“Sania itu bohong, Ay. Dia nggak hamil. Aku saja nggak pernah menyentuh dia. Kamu percaya sama aku,” tutur Attar dengan jelas.“Dia cuma mau bikin hubungan kita ini pecah,” lanjut lelaki yang masih mendekap Ayra dengan erat. Ia memperdalam pelukannya.Ayra hanya terdiam sembari tetap membalas pelukan Attar. Ia dapat merasakan kejujuran yang lelaki itu ungkapkan. Semoga saja instingnya memang benar. Kalau sampai Ayra dikecewakan lagi, maka ia tidak akan tahu harus mempercayai manusia lagi atau tidak di dalam hidupnya.“Kamu percaya sama aku ‘kan, Ay?” tanya Attar dengan suara lembut. Ia mengecup kepala Ayra guna menyalurkan rasa sayang yang ia punya.“Nikahi aku, Pak. Aku mau menikah sama Pak Attar secepatnya. Itu kalau memang Pak Attar benar-benar mencintaiku.” Kali ini Ayra sungguh tidak ingin kehilangan sosok lelaki yang ia cintai lagi. Maka dari itu, Ayra menginginkan pernikahannya dengan Attar segera dilaksanakan.“Baiklah, Ay. Kita akan menikah selepas kamu selesai ujian kelulusa
“Kamu mandi sendiri saja kalau nggak mau kuserang sekarang. Aku akan pergi ke kamarku,” ujar Attar lalu mengusap ujung kepala Ayra dan pergi dari kamar itu dengan menenteng kemeja miliknya yang tidak dipakai lagi.Sesampainya Attar di depan kamar Ayra, ia berpapasan dengan Mbok Inah dalam keadaan tanpa mengenakan baju atasan. Attar cuek dan terus berjalan begitu saja tanpa merasa malu. Padahal Mbok Inah sangat terkejut hingga mematung saat mendapati Attar keluar dari kamar Ayra dalam keadaan seperti itu. Ia menjadi berpikir yang macam-macam. Wanita yang semula ingin mengantarkan minuman dan camilan untuk Ayra itu merasa ragu untuk mengantarnya. Haruskah dibatalkan?Tidak, nanti yang ada sia-sia camilan dan minuman buatannya. Itu sangat berguna bagi Ayra guna menemani belajar gadis tersebut.Akhirnya Mbok Inah meneruskan langkahnya yang sempat terhenti di anak tangga paling atas. Ia segera berjalan menuju kamar Ayra dan masuk ke sana. “Non, saya mau mengantar minuman hangat buat neme
“Pak, aku masih belum selesai mencuci piring,” ucap Ayra dengan perasaan sedikit takut sekaligus gugup sebab tatapan intens Attar terus menghunjam bola matanya.Bukannya pergi, Attar justru merapatkan jarak di antara mereka. Ia membuat Ayra tidak bisa keluar dari jeratannya usai kedua tangannya memagari tubuh Ayra dengan cara menumpu di badan kitchen bar.“Bagaimana kalau kita selesaikan urusan kita saja?” Tatapan Attar sudah menggerayangi seluruh inci wajah Ayra. Ia bahkan ingin melahap gadis itu sekarang juga dan menguasainya. Berdekatan dengan Ayra membuat otak Attar tidak waras. Ia kehilangan akal sehatnya.“Maksud Pak Attar? Urusan ap—” Pertanyaan Ayra terpangkas ketika Attar segera membungkam bibirnya dengan bibir lelaki itu.Ayra memejamkan mata dan kembali merasakan aktivitas yang sempat ia dambakan untuk dilakukan bersama Rendra. Namun karena moment rusak, Ayra melakukannya bersama pria yang lebih membuatnya percaya. Ia tidak pernah menyesal setiap melakukan itu bersama deng
“Pak, aku turun dulu. Nanti pulangnya naik taksi saja.”“Oke, selamat mengerjakan ujian, ya?” lontar Attar sambil menyunggungkan senyuman tipis.Ayra membalas dengan anggukan serta senyuman simpul. Kemudian membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan itu.Saat tiba di depan pintu gerbang, Ayra melihat Reti. Gadis di depannya itu terlihat begitu pucat hingga mengenakan jaket untuk menutupi tubuhnya yang mungkin terasa dingin. Ayra mengamati Reti dari keseluruhan tubuh gadis itu. Reti lebih banyak menekuk kedua tangan di depan perut. Seolah sedang melindungi bayi mungilnya di dalam sana. Atau justru takut ketahuan dirinya tengah mengandung meskipun perut itu masih datar.Reti berjalan menunduk. Ia melewati Ayra tanpa sadar. Kemudian Ayra berjalan di belakang Reti dengan tenang.Satu pesan di dalam hidup Ayra adalah, tidak perlu ikut-ikutan dalam pergaulan teman yang kurang sehat. Biarkan mereka menjauh, yang penting diri ini selamat. Daripada tetap berteman, tetapi ujung-ujungnya ma
“Pak Attar tumben pulang malam banget?” Ayra menyambut kepulangan Attar yang lebih malam bahkan sampai Mbok Inah sudah pulang dari sana. Gadis itu baru saja menapakkan kaki di lantai satu.Attar berjalan dengan lemah ke arah Ayra dan langsung memeluk gadis itu dengan erat. “Aku habis kena mental,” cetus Attar.Ayra membalas pelukan Attar. Ia mengusap punggung lelaki itu dengan lembut. “Kena mental gimana, Pak?”“Aku tadi ke rumah orang tuanya Sania buat meminta maaf karena kejadian pernikahan yang batal. Mereka benar-benar marah dan mengusirku. Aku merasa bersalah. Aku merasa diriku manusia paling jahat. Maaf kalau kamu ikut kecewa dengan caraku itu,” ungkap Attar dengan perasaan sedih melanda hatinya.“Pak Attar sudah melakukan yang terbaik.”“Aku melakukan ini semua demi kamu, Ay.”“Aku tahu.”Keduanya terdiam sejenak. Ayra semakin merasa kalau Attar memang sungguh mencintainya. Ia merasa bersalah karena sempat salah paham saat Sania mengatakan kalau wanita itu hamil anaknya Attar.
Saat berada di dalam kelas, Ayra mengedarkan pandangan ke belakang. Mencari keberadaan Rendra. Ayra mendapati pria itu tengah menidurkan kepala di atas meja dengan tengan menekuk sebagai bantalan.Padahal bel masuk sudah berbunyi dan sebentar lagi pengawas pasti akan datang. Bisa-bisanya Rendra tidur?Ayra masa bodo. Itu bukan urusannya, bukan? Hanya saja ia merasa aneh. Apakah Rendra dan Reti habis berbuat sesuatu? Kalau benar, selama ini ucapan Rendra hanya bualan semata? Katanya, Rendra tidak mencintai Reti?Kepala Ayra menepis dugaan-dugaan yang tidak bermanfaat baginya. Lebih baik, ia berdoa untuk diri sendiri yang hendak melaksanakan ujian kelulusan.Ujian hari berikutnya siap dimulai. Pengawas datang dan memimpin doa. Kemudian membagikan soal ke seluruh peserta ujian. Mereka duduk dengan tenang, kecuali Rendra yang baru saja terbangun dari tidurnya. Mata lelaki itu merah dan wajahnya sedikit pucat.“Kamu kurang tidur?” tanya seorang pengawas ujian membuat beberapa murid lain me
Ayra tengah memasak untuk makan malam. Ia telah menyudahi kegiatan belajarnya karena merasa pening jika terus-menerus berkutat dengan buku. Lagipula hasilnya sama saja. Mau belajar atau tidak, besok pagi merupakan mata pelajaran yang paling tidak ia suka. Jadi, baginya tidak masalah jika esok Ayra tidak bisa mengerjakan ataupun nilainya jelek.Gadis berpostur sedang itu berdiri di depan kompor untuk mencicipi makanan yang sudah jadi. Memastikan apakah rasanya sudah pas atau belum. Ayra merasa hasil masakannya semakin ke sini semakin enak.“Mau juga dong, suapin.” Attar tiba-tiba berdiri di sebelah Ayra dan mengagetkan gadis itu. Lelaki yang baru saja selesai mandi dan masih bau sabun itu membuka mulut lebar. Berharap Ayra menyuapinya hasil masakan di depan mereka untuk merasakan rasanya.Ayra tersenyum dan ia menuruti kemauan Attar. Ia mengambil sepucuk sendok makan kuah makanan lalu ia dinginkan dengan cara dikibas menggunakan tanganya. Kemudian disuapkan ke mulut Attar.Ayra sunggu
Sepanjang mengerjakan soal ujian di hari terakhir, Ayra merasa tidak tenang. Ia terus kepikiran tentang Attar. Semua tentang lelaki itu memenuhi isi kepalanya. Dugaan-dugaan tidak enak selalu bersarang dan mengganggu tiada henti. Ayra memutuskan untuk menyudahi soal ujiannya pertama kali. Ia langsung keluar dari kelas karena sudah selesai mengerjakan meskipun ia menjawabnya dengan asal. Ayra tidak peduli lagi. Attar yang sudah membuatnya seperti itu.Gadis itu memesan mobil grab lagi untuk mengantarkannya pulang. Ayra benar-benar tidak menyangka dengan sikap Attar yang ternyata diam-diam suka menghilang. Atau jangan-jangan lelaki itu sengaja pergi dan kabur demi perempuan lain? Seperti halnya saat Attar kabur dari pernikahannya Sania lalu pergi untuknya?Apakah selama ini Attar memiliki perempuan lain di belakang Ayra? Kalau sampai hal itu terjadi, maka Ayra tidak akan segan membakar rumah Attar.Berkali-kali mata Ayra memandang layar ponsel. Ia baru sadar kalau selama ini ponselnya
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant