"Ngapain kamu telfon aku terus? Aku lagi nggak mau bahas apapun sama kamu apalagi mengenai dirimu itu." Rendra menyahut panggilan telepon Reti dengan suara sumbang."Ren, kita ketemu sebentar saja bisa, nggak?" pinta Reti memohon. Ia hanya bisa bergantung pada Rendra saat itu. Tidak mungkin memberitahu pada kedua orang tuanya sebab mereka pasti akan sangat kecewa. Apalagi jika pihak laki-laki tidak mau bertanggung jawab. Hancur sudah harga diri dan martabat ayah ibunya."Cukup, Reti. Seberapa besar usahamu, aku nggak akan cinta sama kamu apalagi tanggung jawab. Itu bukan tanggung jawabku." Rendra terus menolak."Kamu br*engsek, Rendra! Kamu maunya cuma senang-senang tapi nggak mau bertanggung jawab?!" sentak gadis itu dengan suara tertahan supaya tidak terdengar oleh anggota keluarganya."Lah, emang cewek centil kayak kamu pantasnya cuma buat senang-senang, 'kan? Cewek penggoda! B*tch! Siapa lagi yang kamu goda selain aku, hum? Aku ragu kalau itu anak aku. Jadi, jangan pernah meminta
Ayra merasa pening setelah bertempur dengan buku-buku pelajaran di meja belajarnya. Kendati demikian, ia berhasil menghabiskan hari minggu dengan memperdalam materi untuk ujian besok.Gadis itu berjalan ke ruang televisi membawa camilan yang baru saja diambil dari dapur. Sebelah tangannya membawa minuman dingin. Ayra duduk di sofa, di mana ada Attar yang sudah berada di sana terlebih dulu.Ayra menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Mulutnya mengunyah makanan dan matanya tertuju pada langit-langit rumah."Udah selesai belajarnya?" tanya Attar sembari menoleh ke wajah samping Ayra. "Sudah. Semoga Pak Attar puas." Ayra menyahut pelan. Pikirannya masih berada di fase keluar dari materi pelajaran yang membuat otaknya penat.Attar terkekeh mendengar jawaban gadis di sebelahnya. Usut punya usut, Attar lah yang menyuruh dan memaksa agar hari Minggu ini Ayra menghabiskan waktu untuk belajar hingga sore supaya malamnya bisa rileks dan tidur lebih awal."Nanti tinggal mandi, kita makan di lu
Attar menarik rahang Ayra. Ia mendekatkan wajahnya hingga berhasil memagut bibir gadis itu dengan lembut. Kedua belah bibir mereka saling bertaut dalam waktu lama. Perlahan Attar menggerakkannya dengan tempo pelan. Ayra memejamkan mata. Darahnya berdesir hangat saat ia masuk ke dunia dewasa bersama lelaki yang ia cintai. Gadis itu pasrah mengikuti irama ciuman yang Attar berikan padanya. Jantung Ayra berdegup begitu cepat. Ia terlena dengan perlakuan lembut Attar.Ayra merasakan pinggangnya ditarik oleh Attar. Membuatnya tak sanggup menolak dan terus menerima gerakan ciuman bertubi yang perlahan membakar hasratnya. Kedua tangannya meremat kemeja Attar sebagai sasaran.Pagutan keduanya terpisah dengan pelan. Attar mengakhirinya dengan mengusap bibi Ayra yang memerah. Wajah gadis itu juga bertambah merona. Attar menatap lekat wajah Ayra sembari menjauh beberap inci.Namun tangan Ayra kembali menarik baju atasan yang Attar kenakan. Gadis itu menempelkan bibir mereka lagi sembari memeja
Rendra menundukkan kepala dengan wajah sedih. Sakit di hatinya kali ini sudah tidak dapat digambarkan lagi dengan kata-kata. Seolah diamnya cukup mewakili semua perasaan yang ia rasakan.“Masih mau gangguin aku? Sebentar lagi aku akan menikah dengannya,” ungkap Ayra menyerang mental Rendra secara bertubi-tubi. Ia tersenyum puas melihat Rendra yang menunduk tak berani menatap dirinya.“Kamu sama saja dengan perempuan di luar sana, Ra. Aku pikir kamu bisa jaga diri.”Ada secercah rasa sakit yang memantik lubuk batin Ayra setelah mendengar ucapan Rendra. Kalimat itu benar, tetapi sebagian besar salah. Karena Ayra tidak menyerahkan mahkotanya secara sembarangan. Ia masih memiliki harga diri.“Kamu salah, Ren. Aku nggak sama seperti mereka. Aku berbeda dari perempuan yang kamu sentuh. Aku masih bisa menjaga harga diri,” pungkas Ayra lalu meninggalkan Rendra.Kali ini nyali Rendra menciut. Ia membiarkan Ayra pergi begitu saja. Mungkin setelahnya, tak ada lagi keberanian dirinya mengganggu A
“Aku ke sini buat ketemu sama kamu. Anak kita minta ketemu,” ucap Sania dengan wajah riang menatap Attar. Ia juga tersenyum senang menampilkan deretan gigi putihnya yang rajin.Kedua mata Ayra membelalak kaget saat mendengar pengakuan Sania. Ia melepaskan tangannya yang sempat memegang erat lengan tangan Attar. Gadis itu benar-benar terkejut atas kalimat yang Sania ucapkan. Rasa sakit perlahan menusuk hati sampai ia tak sanggup menanggapi dengan sepatah kata. Lidahnya terasa kelu.Ayra tidak tahan berada di sana. Ia langsung meninggalkan ruangan tersebut dan berlari menuju tempat yang jauh dari keberadaan Attar dalam keadaan kecewa dan menahan tangis.Attar bingung dengan sikap Sania yang gila itu. “Kamu apa-apaan sih?!” sentak Attar tertahan. Ia langsung berjalan untuk menarik wanita di hadapannya agar keluar dari ruangan miliknya.“Sebaiknya kamu keluar sekarang, Sania. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi,” paparnya sembari menarik lengan tangan Sania.“Haha. Aku ke sini bukan untu
Seorang gadis baru saja menaiki taksi online setelah menjauh dari gedung yang membuatnya pening dan sakit hati. Ayra menitihkan air mata sepanjang perjalanannya yang entah ke mana, kali ini gadis itu tidak memiliki tujuan.Seharusnya saat ini masih ada Fera yang bisa menolongnya. Menjadikan sebagai tempatnya berbagi cerita. Ayra butuh bahu dan telinga. Namun orang itu tidak ada. Ia bersandar lemah di sandaran kursi mobil.Ayra tahu dan sadar sejak tadi ponselnya terus berbunyi dan itu adalah Attar yang melakukan panggilan suara. Ayra ingin membuat ponselnya mati, tetapi rasanya enggan. Lebih baik bisa dihubungi meskipun tidak akan pernah ia jawab. Supaya Attars semakin tahu kalau ia sungguh marah dengan apa yang terjadi.Ayra merenungkan semua kejadian yang menimpa pada hidupnya. Merasa dunia sangat tidak adil terhadapnya. Apa yang terjadi semuanya serba menyakitkan dan menjauhkannya dari sebuah kebahagiaan.Semua yang Ayra miliki seolah direbut oleh alam semesta. Orang tua, sahabat,
“Sania itu bohong, Ay. Dia nggak hamil. Aku saja nggak pernah menyentuh dia. Kamu percaya sama aku,” tutur Attar dengan jelas.“Dia cuma mau bikin hubungan kita ini pecah,” lanjut lelaki yang masih mendekap Ayra dengan erat. Ia memperdalam pelukannya.Ayra hanya terdiam sembari tetap membalas pelukan Attar. Ia dapat merasakan kejujuran yang lelaki itu ungkapkan. Semoga saja instingnya memang benar. Kalau sampai Ayra dikecewakan lagi, maka ia tidak akan tahu harus mempercayai manusia lagi atau tidak di dalam hidupnya.“Kamu percaya sama aku ‘kan, Ay?” tanya Attar dengan suara lembut. Ia mengecup kepala Ayra guna menyalurkan rasa sayang yang ia punya.“Nikahi aku, Pak. Aku mau menikah sama Pak Attar secepatnya. Itu kalau memang Pak Attar benar-benar mencintaiku.” Kali ini Ayra sungguh tidak ingin kehilangan sosok lelaki yang ia cintai lagi. Maka dari itu, Ayra menginginkan pernikahannya dengan Attar segera dilaksanakan.“Baiklah, Ay. Kita akan menikah selepas kamu selesai ujian kelulusa
“Kamu mandi sendiri saja kalau nggak mau kuserang sekarang. Aku akan pergi ke kamarku,” ujar Attar lalu mengusap ujung kepala Ayra dan pergi dari kamar itu dengan menenteng kemeja miliknya yang tidak dipakai lagi.Sesampainya Attar di depan kamar Ayra, ia berpapasan dengan Mbok Inah dalam keadaan tanpa mengenakan baju atasan. Attar cuek dan terus berjalan begitu saja tanpa merasa malu. Padahal Mbok Inah sangat terkejut hingga mematung saat mendapati Attar keluar dari kamar Ayra dalam keadaan seperti itu. Ia menjadi berpikir yang macam-macam. Wanita yang semula ingin mengantarkan minuman dan camilan untuk Ayra itu merasa ragu untuk mengantarnya. Haruskah dibatalkan?Tidak, nanti yang ada sia-sia camilan dan minuman buatannya. Itu sangat berguna bagi Ayra guna menemani belajar gadis tersebut.Akhirnya Mbok Inah meneruskan langkahnya yang sempat terhenti di anak tangga paling atas. Ia segera berjalan menuju kamar Ayra dan masuk ke sana. “Non, saya mau mengantar minuman hangat buat neme
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant