Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.
Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.
Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama.
"Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.
Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti biasa.
Fara menundukkan kepala, matanya sedikit berkabut. Dia mengangguk pelan, mencoba memahami, meskipun hatinya sedikit terluka. Seiring berjalannya waktu, ia sudah terbiasa dengan rutinitas ini: Damian yang selalu sibuk, dan Fara yang merasa seperti bayangan di sisinya. Tak ada kehangatan, tak ada perhatian. Perlahan, ia merasa semakin jauh, seperti berada di dunia yang berbeda dengan suaminya.
"Damian..." Fara mencoba lagi, kali ini suaranya sedikit lebih keras, ingin agar suaminya mendengarnya. "Aku di sini," tambahnya, suara itu lebih dari sekadar sebuah panggilan, lebih seperti sebuah harapan yang ingin diwujudkan.
Damian berhenti mengetik sejenak dan menoleh padanya. "Iya, sayang, bentar lagi, ya? Aku harus selesai ini dulu," katanya, sambil mengusap wajahnya yang terlihat lelah. Meski Fara bisa melihat betapa lelahnya Damian, tidak hanya tubuhnya, tetapi pikirannya juga. Tapi entah kenapa, perasaan terabaikan tetap menggelayuti dirinya.
Fara menatapnya sejenak, perasaan campur aduk di hatinya. "Kamu tahu kan, aku butuh kamu juga, Damian," ucapnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Damian hanya mengangguk, lalu kembali menundukkan wajahnya pada layar laptop. Fara menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan rasa kecewa yang semakin besar. Perlahan ia bangkit dari ranjang, melangkah keluar kamar menuju ruang makan. Ia membuka kulkas dan mulai memotong beberapa buah: apel, mangga, dan nanas. Tangan Fara terasa gemetar, entah karena kebosanan atau karena perasaan yang semakin terpendam.
Dengan langkah yang lesu, Fara menuju ruang TV. Malam ini, ia mengenakan slip dress satin hitam yang membelai tubuhnya dengan lembut. Gaun itu selutut, cukup pendek untuk menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping, namun ia merasa seolah gaun itu tidak berarti apapun malam ini.
Fara duduk di sofa, dengan TV yang tidak kunjung menemukan saluran yang menarik minatnya. Semua terlihat begitu hampa. Di dalam hatinya, ia hanya ingin berbicara dengan Damian, berbicara tentang apa yang dirasakannya, tentang rasa kesepian yang ia alami. Tapi sepertinya itu tidak akan pernah terjadi malam ini.
Tiba-tiba, Fara merasakan sebuah sentuhan di pinggangnya. Tanpa ia sadari, Damian sudah berdiri di belakangnya. Fara terkejut, dan ketika ia menoleh, ia menemukan Damian sedang tersenyum padanya dengan tatapan yang lembut. "Maaf ya, sayang," kata Damian dengan suara yang lebih hangat dari sebelumnya, dan tanpa berkata lebih banyak, ia menarik Fara ke dalam pelukan, menempatkannya di pangkuannya.
Damian menatap Fara dengan senyum menggoda, matanya yang tajam seolah menilai setiap gerakan Fara. "Kamu tahu, aku senang melihatmu seperti ini," katanya dengan suara rendah dan penuh makna. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh pipi Fara dengan lembut, seakan memastikan bahwa dia benar-benar ada di hadapannya.
Fara menggigit bibir bawahnya, merasa aliran panas meresap ke dalam tubuhnya. Ia tak bisa menahan getaran yang semakin kuat di dalam dada. "Kamu selalu membuatku merasa seperti ini," jawabnya dengan nada manja, suaranya hampir berbisik, namun penuh gairah.
Damian tertawa lagi, kali ini lebih lembut dan penuh kasih sayang. "Kamu memang tahu cara membuatku terkesan," katanya sambil merangkul Fara lebih erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Tapi, aku rasa aku bisa membuatmu merasa lebih dari ini."
Fara menatap Damian dengan tatapan penuh tantangan, namun matanya juga memancarkan perasaan yang mendalam. "Aku menunggu," jawabnya, suara itu penuh dengan hasrat yang tak bisa lagi disembunyikan.
Damian mengangkat dagu Fara dengan jari telunjuknya, menatapnya sejenak sebelum menyentuh bibirnya dengan lembut, namun kali ini ciumannya penuh dengan gairah dan janji. Ciuman itu berlangsung lebih lama, seolah tak ingin berakhir.
Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.Fara menarik napas
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata ora
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata ora
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.Fara menarik napas
Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama."Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti bia