Di bawah cahaya redup klub malam, alkohol mulai menguasai Fara. Cocktail yang diminumnya barusan seolah membakar semua ragu yang tersisa. Tubuhnya terasa lebih ringan, pikirannya seolah melayang. Irama musik dan dentuman bass yang berulang membenamkan dirinya lebih dalam ke dalam euforia malam itu.
Pria yang menari bersamanya, yang kini memperkenalkan dirinya sebagai Arman, tampak menikmati setiap gerakan Fara. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari tubuh Fara yang bergerak dengan sensual di bawah sorotan lampu strobo. Fara tersenyum, kali ini senyuman yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya—senyuman nakal yang menyembunyikan rasa percaya diri baru yang muncul dari dalam dirinya.
"Kamu menari dengan baik," bisik Arman di telinganya, suaranya bergetar nyaris kalah oleh suara musik.
Fara mendekat, memiringkan kepalanya dengan gaya menggoda. "Mungkin itu bukan karena aku... mungkin kamu yang membuatku merasa nyaman," balasnya dengan nada yang lembut tapi penuh g
"Jadi begini caramu bersenang-senang?" Suara keras dan penuh kejutan itu menghantam Fara, membuatnya terhenyak. Ia menoleh dengan cepat, dan di sana, berdiri Damian—suaminya. Ekspresinya serius, wajahnya kaku, penuh kerutan kekecewaan yang sulit disembunyikan. Tatapan matanya yang biasa penuh kasih kini berubah tajam, menyorotnya dengan penuh kemarahan.Fara merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Damian ada di sana, berdiri tegak di belakangnya, dengan tubuh yang tegang, seolah menunggu penjelasan, atau lebih tepatnya, mencari jawaban atas kekecewaannya yang sudah menggunung.Di belakang Damian, Kiara tampak canggung. Sambil memberikan isyarat dengan tangannya, ia berusaha menenangkan situasi yang semakin memanas. Sepertinya Kiara tahu betul bahwa keadaan ini lebih rumit dari yang Fara duga, tapi yang ia lakukan justru malah membuat suasana menjadi lebih canggung.Fara bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ruang itu, seperti udara y
Damian terpaku, mulutnya terkatup rapat. Fara bisa melihat kilatan kebingungan dan sedikit rasa bersalah di mata suaminya, namun ia tahu bahwa itu hanya sementara. Keheningan kembali menyelimuti mobil mereka, namun kali ini, terasa lebih berat. Fara merasakan setiap detik berlalu seolah menjadi beban yang tak tertahankan. Ia merasakan ketegangan yang ada di antara mereka, bukan hanya karena kata-kata yang terucap, tetapi karena kenyataan bahwa mereka tidak lagi bisa berhubungan seperti dulu.Fara menatap ke luar jendela, tidak ingin melihat wajah Damian. Ia merasa terperangkap dalam kebisuan yang semakin membangun jarak di antara mereka. Semua kata-kata yang tidak pernah terucapkan selama ini, semuanya terpendam dalam dada Fara, bergejolak, ingin keluar dan menghancurkan segala sesuatu yang mereka bangun. Ia tahu ini bukan hanya tentang apa yang terjadi malam ini—ini adalah akumulasi dari rasa sakit yang telah menumpuk selama bertahun-tahun, saat ia merasa tidak diharga
Beberapa hari berlalu, suasana di rumah Damian dan Fara tetap terasa dingin. Tak ada percakapan berarti di antara mereka. Damian, seperti biasa, tenggelam dalam pekerjaannya. Ia lebih sering berada di ruang kerjanya, menatap layar laptop seolah semua masalah bisa diselesaikan dengan tenggelam dalam tumpukan dokumen dan rapat online. Fara, di sisi lain, lebih sering duduk di ruang tamu, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ditayangkan. Rutinitas harian mereka berjalan seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Hanya ada keheningan yang memisahkan, sesekali pecah oleh obrolan singkat yang terasa hambar—lebih mirip kewajiban berbicara daripada komunikasi yang tulus.Fara merasa semakin terasing di rumahnya sendiri. Setiap sudut rumah, yang dulu terasa hangat oleh tawa dan percakapan, kini hanya menyisakan bayangan luka. Sofa di ruang tamu yang dulu menjadi tempat mereka berbincang hangat kini hanya menjadi tempat Fara melamun. Ruang makan
“Cuma bercanda,” kata Fara menggoda Kiara sambil tertawa kecil. Sejak percakapan itu, Fara merasa ada sesuatu yang menggelitik di pikirannya tentang tetangga baru itu. Rasanya, penasaran mulai muncul begitu saja, seperti sesuatu yang tak bisa diabaikan.Hari itu, Fara sedang membersihkan rumah, menyapu dan mengatur segala sesuatunya dengan gerakan otomatis, ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Pikirannya sedikit melayang, mengingat percakapan dengan Kiara beberapa hari sebelumnya, namun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya.Dengan langkah agak malas, Fara berjalan menuju pintu dan membukanya. Berdiri di sana seorang pria, mengenakan penampilan yang cukup mengejutkan. Fara tertegun sejenak melihatnya."Dih, culun banget," pikir Fara dalam hati. Gayanya benar-benar tak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Pria itu mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru yang dimasukkan begitu saja ke dalam celana jeans yang tampak sedikit kebesaran
“Kiara, kamu nggak bakal percaya deh! Dia bener-bener culun banget! Penampilannya kayak nggak cocok sama lingkungan sini,” kata Fara, suaranya penuh dengan gelak tawa kecil. “Bayangin aja, dia pakai kemeja kotak-kotak yang dimasukin ke celana jeans kebesaran, terus kacamata tebal yang bikin dia makin susah dikenali. Duh, aku sampe bingung deh, ini beneran tetangga baru kita?”Kiara yang ada di seberang telepon terdengar tertawa ringan. “Hahaha, seriusan? Bener-bener nggak sesuai ekspektasi ya? Terus, dia bawa kue bolu gitu? Kayak udah siap jadi tetangga baik yang klise banget!”“Iya, dia bawa kue bolu buat ‘tanda pertemanan’. Tapi jujur, aku nggak tahu ya, ini tuh lebih kayak canggung banget daripada manis. Dia nggak ada rasa malu gitu, Ki. Aku sempat mikir, ‘Kok bisa sih ada orang segitu nggak peduli sama penampilan?’” Fara melanjutkan ceritanya, sambil tertawa pelan. “Pokoknya, itu si Juan bener-bener bikin aku bingung deh. Gimana bisa dia nggak sadar penampilannya kayak gitu?”Perca
Fara merasakan hatinya berdebar kencang setelah pengakuan Damian yang begitu tulus. Kata-kata suaminya seperti menyentuh bagian terdalam hatinya yang selama ini terasa terluka dan terlupakan. Perasaan yang sempat terpendam kini mulai muncul ke permukaan. Dia menatap Damian dalam diam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan. Tanpa bisa menahan dirinya lebih lama, Fara meraih wajah Damian dengan kedua tangannya, menariknya mendekat, dan kemudian mencium bibirnya dengan lembut.Ciuman mereka, meskipun singkat, terasa penuh makna dan penuh kerinduan. Seolah-olah, dalam satu sentuhan itu, mereka mengungkapkan segala yang selama ini terpendam: penyesalan, kerinduan, dan keinginan untuk kembali bersama. Ciuman itu menghapus semua kebekuan yang menghalangi mereka, memberi mereka kehangatan dan kedamaian yang sudah lama hilang. Fara bisa merasakan ketulusan dalam setiap detik ciuman itu. Hatinya yang semula keras terasa mencair kembali.Damian membalas ciuman itu
Fara terbangun oleh cahaya matahari pagi yang menyusup lembut melalui tirai jendela. Cahaya itu terasa hangat, tetapi juga sedikit mengganggu ketenangan tidurnya yang nyaman. Perlahan, ia meraba kasur di sampingnya, berharap menemukan Damian di sana, namun hanya ada ruang kosong yang membuatnya merasakan sedikit kekosongan di hati. Sesaat, sebuah rasa hampa menyelimutinya, namun suara deru dari dapur yang menguar lembut membuatnya tersadar bahwa suaminya pasti sedang sibuk menyiapkan sesuatu.Dengan sedikit rasa penasaran dan tubuh yang masih terasa lemas, Fara mengulur waktu sejenak di tempat tidurnya. Ia menatap langit-langit kamar yang mulai semakin terang, seakan memberi isyarat untuk bangun. Namun, cahaya yang semakin terik itu akhirnya memaksanya untuk beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.Begitu ia melangkah ke cermin, matanya langsung tertuju pada wajahnya yang memerah, masih dihiasi dengan bekas-bekas tanda cinta dari malam yang penuh gairah bersama Damian. "Dasar
Setelah insiden pagi itu, Fara merasa dunia seolah berputar lebih cepat. Ia tidak bisa mengelak dari perasaan aneh yang muncul setiap kali ia bertemu Juan. Awalnya, ia menganggap pertemuan-pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi semakin sering mereka bertemu, semakin kuat pula perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pria berkacamata tebal itu. Setiap pertemuan mereka meninggalkan kesan yang tak terdefinisikan dalam benaknya, seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan.Hari itu, Fara pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan. Udara pagi yang masih sejuk membuat langkahnya terasa ringan. Pasar yang penuh dengan orang-orang membuat Fara merasa sedikit tenggelam dalam keramaian. Pedagang yang berteriak menawarkan barang dagangan mereka, aroma rempah yang menyeruak di udara, dan suara riuh yang datang dari berbagai arah. Semua itu memberi kesan bahwa hari baru sedang dimulai dengan semangat, meskipun pasar sudah cukup sesak. Fara berjalan di antar
Damian telah tertidur pulas, sementara Fara masih terjaga dalam kegelapan kamar. Matanya menatap langit-langit tanpa benar-benar melihat apa pun. Ada perasaan mengganjal dalam dadanya, perasaan yang sejak tadi berusaha ia abaikan, tapi tetap mendesak untuk diakui.Ia membalikkan badan, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tetap saja gelisah. Napasnya berat, pikirannya terus berputar seperti kaset yang diputar ulang.Akhirnya, dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Damian, Fara bangkit dari tempat tidur. Ia menyambar jaket tipis, kemudian melangkah keluar kamar. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar dengkuran halus dari Damian yang seakan menjadi bukti bahwa hanya dia yang tersiksa oleh pikirannya sendiri.Tanpa ragu, Fara berjalan menuju garasi, mengambil sepeda listrik yang selama ini jarang ia gunakan. Udara malam m
Begitu mobil berhenti di garasi, Fara segera membuka pintu dan turun tanpa menunggu Damian. Ia melangkah cepat ke dalam rumah, berusaha menghindari pembicaraan yang masih menggantung di udara. Namun, Damian tidak membiarkannya begitu saja. Ia menyusul ke dalam, menutup pintu dengan lembut, lalu mendekati istrinya yang kini berdiri di ruang tengah, memunggunginya.“Fara,” suara Damian terdengar tenang tapi sarat dengan ketegasan. “Dengar aku dulu.”Fara mengusap wajahnya dengan kasar, menahan isakan yang ingin pecah. “Aku lelah, Damian. Aku nggak mau mendengar alasanmu lagi.”“Tapi kamu harus dengar.” Damian berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya. “Aku ngerti kamu sakit hati karena omongan Mama tadi. Aku tahu kamu ingin membuktikan sesuatu. Tapi Fara, kita nggak bis
Damian meraih tangan Fara yang gemetar di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Mata istrinya masih berkaca-kaca, bibirnya terkatup rapat seolah menahan emosi yang nyaris meluap. Damian tahu betul bagaimana perasaan Fara saat ini—terluka, terhina, dan mungkin juga kecewa.“Fara…” suaranya pelan, penuh kehati-hatian.Fara menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggaman Damian, tapi suaminya menahannya. “Jangan dengarkan omongan Ibu,” lanjut Damian. “Dia nggak punya hak buat ngomong kayak tadi.”Tapi Fara hanya menunduk, air matanya jatuh ke pangkuannya. “Kamu dengar sendiri, kan?” suaranya nyaris berbisik. “Dia bilang aku nggak berguna sebagai istri karena aku nggak bisa kasih kamu anak.”Damian menghela n
Halimah menatap Damian dengan ekspresi tidak puas, tapi akhirnya menghela napas dan memilih diam.Namun, Fara bisa merasakan ketidaksetujuan mertuanya. Bagi Halimah, seorang istri yang sudah menikah selama lebih dari dua tahun tapi belum memberikan cucu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.Di sisi lain, Hartono—ayah Damian—yang sedari tadi lebih banyak diam akhirnya bersuara."Kalian tidak perlu terburu-buru," katanya dengan suara berat namun tenang. "Setiap pasangan punya waktunya masing-masing. Asal kalian bahagia, itu sudah cukup."Damian tersenyum tipis, sedikit lega karena setidaknya ayahnya tidak ikut menekan mereka.Namun, sebelum suasana benar-benar kembali santai, Halimah tiba-tiba b
Fara menatap bayangannya di cermin, menghela napas panjang sebelum merapikan blus sutra yang ia kenakan. Meski sudah berusaha tampak rapi, matanya tetap terlihat lesu, seakan ada beban yang terus menghimpit dadanya.Damian yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, perlahan mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Fara. Ia mengecup pelan puncak kepala istrinya, suaranya lembut ketika berbisik, "Semua akan baik-baik saja."Fara hanya tersenyum tipis. Ia ingin percaya, ingin berpikir bahwa malam ini akan berlalu tanpa insiden, tanpa komentar yang menekan, tanpa tatapan yang menusuk. Namun, pengalaman selama ini mengajarinya untuk tidak berharap terlalu banyak.Mereka tiba di restoran tepat waktu. Cahaya keemasan dari lampu gantung memberikan kesan elegan pada ruangan. Pelayan berseragam hitam putih berjalan dengan anggun, menyajikan hidangan kepada tamu-tamu istimewa.Di sebuah meja besar, keluarga besar Damian sudah berkumpul.Halimah, mertuanya, duduk anggun di samping suamin
Setelah kepergian Juan, Fara masih berdiri di dekat pintu, jemarinya memainkan ujung kaosnya tanpa sadar. Jantungnya masih berdebar pelan, mengingat tatapan Juan sebelum pria itu pergi terburu-buru."Kenapa dia mendadak jadi aneh begitu?" pikirnya.Fara menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya sendiri. Ia harus berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak. Ini bukan pertama kalinya ia bertemu Juan, tapi entah kenapa kali ini rasanya berbeda.Saat malam tiba, Damian pulang kerja lebih awal dari biasanya. Fara yang tengah sibuk di dapur mendengar suara langkah kaki suaminya mendekat."Hei," sapa Damian sambil mencium keningnya sekilas sebelum duduk di meja makan.Fara tersenyum kecil. "Tumben cepat pulang?""Rapatnya selesai lebih cepat," jawab Damian sambil membuka kancing kerah bajunya. Ia lalu m
Fara mendorong troli perlahan di antara rak-rak supermarket, matanya menyapu deretan barang yang tersusun rapi. Ia hanya berniat membeli beberapa kebutuhan dapur, tapi tanpa sadar, daftar belanjaannya bertambah panjang.Saat hendak mengambil sekotak susu, suara familiar menyapanya dari samping. "Kamu lagi borong persediaan sebulan?"Fara menoleh cepat. Juan berdiri di sana, masih dengan penampilan uniknya—kemeja sedikit kebesaran dengan jaket hitam yang tampak tidak serasi, dan rambut acak-acakan seolah baru bangun tidur. Namun, berbeda dari sebelumnya, kali ini ekspresinya lebih ramah.Fara menghela napas. "Nggak juga, cuma… kayaknya aku terlalu impulsif kalau belanja."Juan melirik isi troli yang sudah cukup penuh. "Jelas banget. Kalau kamu butuh saran, aku bisa bantu milihin. Aku lumayan ngerti soal bahan makanan."Fara tersenyum tipis. "Boleh juga."Mereka mulai berjalan beriringan, memilih sayur dan buah dengan lebih selektif. Juan sesekali memberikan komentar tentang kualitas pro
Fara yang tersipu malu hanya bisa tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dengan langkah sedikit terburu-buru, ia berjalan menuju kasir terlebih dahulu, sementara Juan mengikuti dari belakang.Di meja kasir, Juan dengan cekatan melayani pembayaran Fara. Tangannya dengan luwes memasukkan croissant cokelat ke dalam kantong kertas, lalu menyerahkannya dengan senyum tipis yang masih menghiasi wajahnya. “Ini pesanannya. Semoga suka,” ujarnya dengan suara hangat.Fara menerima kantong roti itu dengan hati yang masih berdebar. “Terima kasih,” ucapnya pelan, lalu segera berbalik sebelum kegugupannya semakin terlihat. Kiara yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka, hanya menahan tawa geli sebelum akhirnya ikut melangkah keluar dari toko.Saat mereka berjalan pulang, Kiara tak bisa menahan diri untuk menggoda sahabatnya. “Astaga, Fara, tadi itu apa?” tanyanya sambil menyeringai, matanya berbinar penuh rasa jahil.
Kiara tiba di rumah Fara dengan wajah penuh antusias, matanya bersinar cerah. "Ayo ikut aku! Ada toko roti baru di dekat kompleks, katanya enak banget!" serunya tanpa basa-basi, suaranya riang dan penuh semangat.Fara yang sedang bersantai di sofa mengernyit, memandang sahabatnya yang begitu bersemangat. "Toko roti? Kenapa tiba-tiba?" tanyanya dengan nada bingung, tak tahu harus menanggapi bagaimana."Ya, penasaran aja! Lagian kamu juga lagi nganggur kan? Ayo, jangan banyak alasan!" Kiara menjawab cepat, menarik tangan Fara dengan penuh semangat, memaksanya bangkit dari tempat duduknya.Dengan sedikit keluhan dan senyum terpaksa, Fara akhirnya mengikutinya. Mereka berjalan santai menuju toko roti yang baru buka beberapa minggu lalu. Suasana pagi yang cerah membuat langkah mereka ringan, dan tidak lama setelah itu, mereka pun tiba di depan toko yang kecil namun terlihat hangat. Saat melangkah masuk, aroma roti yang baru matang langsung menyambut mereka. Udara di