Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.
Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.
Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.
Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.
Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata orang-orang. Dan Fara, sebagai istri yang mendampingi, merasa bangga. Mereka sering mendapat pujian, terutama dari teman-teman dan keluarga yang menganggap mereka pasangan ideal. "Kalian berdua sempurna," kata mereka, sering kali tanpa menyadari betapa kata-kata itu menambah beban di hati Fara.
Namun, di balik semua itu, Fara merasa ada sesuatu yang hilang. Ia berusaha menutupinya, berpura-pura bahagia, tetapi semakin lama, perasaan kosong itu semakin tak tertahankan. Damian sering kali terlalu sibuk dengan pekerjaannya, terjebak dalam dunia yang berbeda, sementara Fara merasa terasingkan di dalam rumah mereka sendiri. Di mata orang lain, mereka adalah pasangan yang sangat serasi, tetapi di dalam hatinya, Fara merasa seperti seorang asing yang hanya bermain peran.
Pandangan orang-orang yang iri dengan pernikahan mereka justru semakin membuat Fara merasa terperangkap. Mereka memuji Damian tanpa henti, berdecak kagum pada kariernya yang gemilang, pada penampilannya yang selalu rapi dan sempurna. "Kamu beruntung memiliki suami seperti Damian," kata mereka, dan Fara hanya bisa tersenyum, meskipun di dalam dirinya, perasaan itu terasa seperti sebuah cemoohan. Mereka semua tidak tahu bahwa di balik semua penampilan itu, ada perasaan yang jauh lebih dalam—perasaan kesepian dan kekecewaan yang Fara rasakan setiap hari.
Pernikahan mereka tidak seperti yang orang lain bayangkan. Tidak ada kebahagiaan yang tulus di dalamnya. Ada terlalu banyak hal yang tidak terucapkan, terlalu banyak perasaan yang terpendam. Damian, yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, tidak pernah tahu betapa Fara merindukan perhatian dan kehadirannya. Ia terlalu tenggelam dalam dunia yang ia bangun sendiri, sementara Fara, yang mencoba mempertahankan pernikahan mereka, semakin merasa terabaikan.
Kadang-kadang, Fara merasa bahwa ia telah memberikan segalanya dalam pernikahan ini, tetapi ia tidak pernah mendapatkan apa yang ia harapkan—perhatian, kasih sayang, dan pengertian. Di balik senyumannya yang selalu tampak bahagia, ia merasa terperangkap dalam pernikahan yang hanya tampak sempurna di luar. Setiap kali ia berusaha mengungkapkan perasaannya, Damian selalu mengalihkan topik, atau lebih parah lagi, mengabaikannya sama sekali. Fara merasa seperti sebuah bayangan di samping Damian, tidak lebih dari sekadar istri yang ada karena kewajiban, bukan karena cinta yang sejati.
Kesedihan dan penyesalan semakin meresap dalam dirinya. Fara menyesali pernikahannya. Ia merasa seolah-olah hidupnya telah terbuang percuma, terperangkap dalam sebuah pernikahan yang tidak memberinya kebahagiaan yang ia dambakan. Ia merasa seperti telah mengorbankan dirinya sendiri demi menjaga citra pernikahan yang tampak sempurna di mata orang lain, padahal di dalam hati, semuanya sudah retak.
Kadang, Fara berpikir, apakah semuanya sudah terlambat? Apakah ada cara untuk memperbaiki apa yang telah rusak? Namun, semakin ia merenung, semakin ia sadar bahwa perasaan ini bukan sesuatu yang bisa diperbaiki dengan mudah. Ia sudah terlalu lama menekan perasaannya, berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya, tetapi kenyataannya justru semakin memperburuk keadaan.
Ia juga merasa cemas dengan pandangan orang-orang yang selalu mengagumi pernikahannya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah mereka. Mereka tidak tahu bahwa Fara lebih sering merasa sendirian daripada merasa dicintai. Mereka tidak tahu bahwa setiap senyuman yang ia tunjukkan hanyalah sebuah topeng yang menutupi kesedihan yang ia rasakan. Orang-orang itu hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, sebuah hubungan yang tampak sempurna, padahal kenyataannya jauh dari itu.
"Saya pasti sangat beruntung punya suami seperti Damian," ujar satu teman dekatnya suatu hari. Fara hanya bisa tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ia merasa sesak. Ia tahu bahwa teman-temannya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak tahu betapa ia merindukan Damian, betapa ia merasa kesepian di tengah pernikahan mereka yang semakin jauh. Setiap kali ia mendengar komentar seperti itu, ia merasa semakin terperangkap dalam citra yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak ada yang tahu tentang kebosanan yang ia rasakan, tentang rasa sakit yang tumbuh setiap kali ia merasa diabaikan oleh suaminya.
Fara merasa seperti berada di persimpangan jalan, dan ia tidak tahu harus ke mana. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang seolah-olah sempurna, tetapi penuh dengan ketidakbahagiaan. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Di satu sisi, ia merasa sangat mencintai Damian, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia tidak bisa lagi mengorbankan dirinya sendiri demi hubungan yang tidak lagi memberinya kebahagiaan.
"Apa yang sebenarnya aku inginkan?" Fara bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya. "Apa aku harus terus hidup seperti ini?" Ia merasa bingung, tersesat dalam perasaan yang saling bertentangan.
Dengan perasaan yang hancur, Fara berjalan pelan menuju kamar tidurnya. Langkah kakinya terasa berat, seperti beban yang terus mengikutinya. Ia menatap pintu kamar yang terbuka sedikit, lampu tidur yang remang-remang memberi kesan sepi yang semakin menekannya. Ketika ia melangkah masuk, ia merasakan udara kamar yang dingin, dan bed cover yang tak lagi memberi kehangatan.
Tanpa berpikir panjang, Fara berjalan menuju tempat tidurnya dan duduk di sisi kasur. Ia menatap kosong ke arah bantal yang tergeletak rapi, tempat dimana dulu ia dan Damian sering berbaring bersama, berbincang tentang banyak hal, berbagi impian dan harapan. Namun, semuanya kini terasa jauh, seperti mimpi yang telah lama pudar.
Dengan perlahan, Fara berbaring. Matanya terasa berat, tetapi pikirannya tak bisa berhenti berputar. Ia mencoba untuk menutup matanya, berusaha tidur agar bisa melupakan sesaat semua masalah yang menghantuinya. Namun, perasaan kesedihan itu tetap hadir, seakan mengisi setiap sudut ruang hatinya. Tidur menjadi satu-satunya cara yang ia pikirkan untuk melarikan diri dari kenyataan yang pahit. Setiap detik yang ia habiskan terjaga semakin terasa seperti beban, dan tidur adalah satu-satunya tempat yang memberinya sedikit ketenangan.
Fara menarik selimut, membungkus dirinya seakan itu bisa melindunginya dari segala perasaan yang menggerogoti jiwanya. Ia menutup matanya dengan erat, berharap tidur akan mengalihkan pikirannya. Namun, bayangan Damian dan semua yang telah terjadi antara mereka terus mengganggunya. Meski tubuhnya lelah, pikiran Fara tidak bisa berhenti berputar, mengingat setiap kata, setiap kejadian yang membuatnya semakin merasa terperangkap dalam kehidupan yang ia bangun.
Seiring waktu yang berlalu, Fara akhirnya terlelap, meskipun tidur yang ia cari tidak memberinya kedamaian yang ia harapkan. Dalam tidurnya, ia terjebak dalam mimpi-mimpi yang mengingatkan pada kenyataan pahit yang tak bisa ia lupakan.
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia tahu suasana ini harus dicairkan. Sekuat tenaga, ia memasang senyuman yang meski tipis tetap terlihat tulus, lalu menatap Halimah yang sedang menyeruput teh di sofa.“Ibu suka tehnya? Saya mencoba merek baru ini. Damian juga bilang aromanya lebih wangi daripada teh yang biasanya kita beli,” ujarnya, mencoba memulai percakapan ringan.Halimah menaruh cangkir tehnya di atas meja dengan gerakan lambat, tatapannya meneliti wajah Fara. “Lumayan,” jawabnya singkat. “Tapi rasanya agak hambar. Kalau Damian di sini, dia pasti langsung bilang teh ini terlalu lemah untuk seleranya.”Fara tersenyum kaku. Kalimat itu terdengar seperti komentar biasa, tapi baginya menyiratkan sindiran yang cukup tajam. Namun, ia tetap menahan diri. “Oh, maaf, Bu. Lain kali saya akan cari teh yang lebih sesuai,” balasnya, mencoba tetap ramah.Halimah hanya mengangguk kecil, lalu m
Dua hari berlalu sejak pertemuannya dengan Halimah, dan perasaan Fara masih berkecamuk. Ia mencoba menepis kata-kata mertuanya yang terus terngiang di kepala, tetapi semakin ia mencoba, semakin dalam kata-kata itu menusuk. Damian pun, seolah sengaja menguatkan kesan bahwa ia tidak peduli. Selama dua hari penuh, hanya sekali Damian menghubunginya, itu pun sebatas obrolan singkat yang berlangsung kurang dari lima menit."Maaf sayang, banyak yang harus aku kerjakan. Nanti aku kabari lagi."Itu saja. Tidak ada nada perhatian, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaan Fara setelah pertemuannya dengan Halimah. Hanya nada datar seorang pria yang tenggelam dalam dunianya sendiri.Fara merasa marah, kesal, dan terabaikan. Ia muak duduk sendirian di rumah, mencoba menebak-nebak isi kepala Damian, sambil mengingat ucapan Halimah yang seolah menyalahkan semua padanya. Malam itu, setelah lama menatap pantulan wajahnya di cermin, ia mengambil ponselnya dan menelepon Kia
Di bawah cahaya redup klub malam, alkohol mulai menguasai Fara. Cocktail yang diminumnya barusan seolah membakar semua ragu yang tersisa. Tubuhnya terasa lebih ringan, pikirannya seolah melayang. Irama musik dan dentuman bass yang berulang membenamkan dirinya lebih dalam ke dalam euforia malam itu.Pria yang menari bersamanya, yang kini memperkenalkan dirinya sebagai Arman, tampak menikmati setiap gerakan Fara. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari tubuh Fara yang bergerak dengan sensual di bawah sorotan lampu strobo. Fara tersenyum, kali ini senyuman yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya—senyuman nakal yang menyembunyikan rasa percaya diri baru yang muncul dari dalam dirinya."Kamu menari dengan baik," bisik Arman di telinganya, suaranya bergetar nyaris kalah oleh suara musik.Fara mendekat, memiringkan kepalanya dengan gaya menggoda. "Mungkin itu bukan karena aku... mungkin kamu yang membuatku merasa nyaman," balasnya dengan nada yang lembut tapi penuh g
"Jadi begini caramu bersenang-senang?" Suara keras dan penuh kejutan itu menghantam Fara, membuatnya terhenyak. Ia menoleh dengan cepat, dan di sana, berdiri Damian—suaminya. Ekspresinya serius, wajahnya kaku, penuh kerutan kekecewaan yang sulit disembunyikan. Tatapan matanya yang biasa penuh kasih kini berubah tajam, menyorotnya dengan penuh kemarahan.Fara merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Damian ada di sana, berdiri tegak di belakangnya, dengan tubuh yang tegang, seolah menunggu penjelasan, atau lebih tepatnya, mencari jawaban atas kekecewaannya yang sudah menggunung.Di belakang Damian, Kiara tampak canggung. Sambil memberikan isyarat dengan tangannya, ia berusaha menenangkan situasi yang semakin memanas. Sepertinya Kiara tahu betul bahwa keadaan ini lebih rumit dari yang Fara duga, tapi yang ia lakukan justru malah membuat suasana menjadi lebih canggung.Fara bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ruang itu, seperti udara y
Damian terpaku, mulutnya terkatup rapat. Fara bisa melihat kilatan kebingungan dan sedikit rasa bersalah di mata suaminya, namun ia tahu bahwa itu hanya sementara. Keheningan kembali menyelimuti mobil mereka, namun kali ini, terasa lebih berat. Fara merasakan setiap detik berlalu seolah menjadi beban yang tak tertahankan. Ia merasakan ketegangan yang ada di antara mereka, bukan hanya karena kata-kata yang terucap, tetapi karena kenyataan bahwa mereka tidak lagi bisa berhubungan seperti dulu.Fara menatap ke luar jendela, tidak ingin melihat wajah Damian. Ia merasa terperangkap dalam kebisuan yang semakin membangun jarak di antara mereka. Semua kata-kata yang tidak pernah terucapkan selama ini, semuanya terpendam dalam dada Fara, bergejolak, ingin keluar dan menghancurkan segala sesuatu yang mereka bangun. Ia tahu ini bukan hanya tentang apa yang terjadi malam ini—ini adalah akumulasi dari rasa sakit yang telah menumpuk selama bertahun-tahun, saat ia merasa tidak diharga
Beberapa hari berlalu, suasana di rumah Damian dan Fara tetap terasa dingin. Tak ada percakapan berarti di antara mereka. Damian, seperti biasa, tenggelam dalam pekerjaannya. Ia lebih sering berada di ruang kerjanya, menatap layar laptop seolah semua masalah bisa diselesaikan dengan tenggelam dalam tumpukan dokumen dan rapat online. Fara, di sisi lain, lebih sering duduk di ruang tamu, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ditayangkan. Rutinitas harian mereka berjalan seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Hanya ada keheningan yang memisahkan, sesekali pecah oleh obrolan singkat yang terasa hambar—lebih mirip kewajiban berbicara daripada komunikasi yang tulus.Fara merasa semakin terasing di rumahnya sendiri. Setiap sudut rumah, yang dulu terasa hangat oleh tawa dan percakapan, kini hanya menyisakan bayangan luka. Sofa di ruang tamu yang dulu menjadi tempat mereka berbincang hangat kini hanya menjadi tempat Fara melamun. Ruang makan
“Cuma bercanda,” kata Fara menggoda Kiara sambil tertawa kecil. Sejak percakapan itu, Fara merasa ada sesuatu yang menggelitik di pikirannya tentang tetangga baru itu. Rasanya, penasaran mulai muncul begitu saja, seperti sesuatu yang tak bisa diabaikan.Hari itu, Fara sedang membersihkan rumah, menyapu dan mengatur segala sesuatunya dengan gerakan otomatis, ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Pikirannya sedikit melayang, mengingat percakapan dengan Kiara beberapa hari sebelumnya, namun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya.Dengan langkah agak malas, Fara berjalan menuju pintu dan membukanya. Berdiri di sana seorang pria, mengenakan penampilan yang cukup mengejutkan. Fara tertegun sejenak melihatnya."Dih, culun banget," pikir Fara dalam hati. Gayanya benar-benar tak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Pria itu mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru yang dimasukkan begitu saja ke dalam celana jeans yang tampak sedikit kebesaran
Damian telah tertidur pulas, sementara Fara masih terjaga dalam kegelapan kamar. Matanya menatap langit-langit tanpa benar-benar melihat apa pun. Ada perasaan mengganjal dalam dadanya, perasaan yang sejak tadi berusaha ia abaikan, tapi tetap mendesak untuk diakui.Ia membalikkan badan, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tetap saja gelisah. Napasnya berat, pikirannya terus berputar seperti kaset yang diputar ulang.Akhirnya, dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Damian, Fara bangkit dari tempat tidur. Ia menyambar jaket tipis, kemudian melangkah keluar kamar. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar dengkuran halus dari Damian yang seakan menjadi bukti bahwa hanya dia yang tersiksa oleh pikirannya sendiri.Tanpa ragu, Fara berjalan menuju garasi, mengambil sepeda listrik yang selama ini jarang ia gunakan. Udara malam m
Begitu mobil berhenti di garasi, Fara segera membuka pintu dan turun tanpa menunggu Damian. Ia melangkah cepat ke dalam rumah, berusaha menghindari pembicaraan yang masih menggantung di udara. Namun, Damian tidak membiarkannya begitu saja. Ia menyusul ke dalam, menutup pintu dengan lembut, lalu mendekati istrinya yang kini berdiri di ruang tengah, memunggunginya.“Fara,” suara Damian terdengar tenang tapi sarat dengan ketegasan. “Dengar aku dulu.”Fara mengusap wajahnya dengan kasar, menahan isakan yang ingin pecah. “Aku lelah, Damian. Aku nggak mau mendengar alasanmu lagi.”“Tapi kamu harus dengar.” Damian berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya. “Aku ngerti kamu sakit hati karena omongan Mama tadi. Aku tahu kamu ingin membuktikan sesuatu. Tapi Fara, kita nggak bis
Damian meraih tangan Fara yang gemetar di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Mata istrinya masih berkaca-kaca, bibirnya terkatup rapat seolah menahan emosi yang nyaris meluap. Damian tahu betul bagaimana perasaan Fara saat ini—terluka, terhina, dan mungkin juga kecewa.“Fara…” suaranya pelan, penuh kehati-hatian.Fara menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggaman Damian, tapi suaminya menahannya. “Jangan dengarkan omongan Ibu,” lanjut Damian. “Dia nggak punya hak buat ngomong kayak tadi.”Tapi Fara hanya menunduk, air matanya jatuh ke pangkuannya. “Kamu dengar sendiri, kan?” suaranya nyaris berbisik. “Dia bilang aku nggak berguna sebagai istri karena aku nggak bisa kasih kamu anak.”Damian menghela n
Halimah menatap Damian dengan ekspresi tidak puas, tapi akhirnya menghela napas dan memilih diam.Namun, Fara bisa merasakan ketidaksetujuan mertuanya. Bagi Halimah, seorang istri yang sudah menikah selama lebih dari dua tahun tapi belum memberikan cucu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.Di sisi lain, Hartono—ayah Damian—yang sedari tadi lebih banyak diam akhirnya bersuara."Kalian tidak perlu terburu-buru," katanya dengan suara berat namun tenang. "Setiap pasangan punya waktunya masing-masing. Asal kalian bahagia, itu sudah cukup."Damian tersenyum tipis, sedikit lega karena setidaknya ayahnya tidak ikut menekan mereka.Namun, sebelum suasana benar-benar kembali santai, Halimah tiba-tiba b
Fara menatap bayangannya di cermin, menghela napas panjang sebelum merapikan blus sutra yang ia kenakan. Meski sudah berusaha tampak rapi, matanya tetap terlihat lesu, seakan ada beban yang terus menghimpit dadanya.Damian yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, perlahan mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Fara. Ia mengecup pelan puncak kepala istrinya, suaranya lembut ketika berbisik, "Semua akan baik-baik saja."Fara hanya tersenyum tipis. Ia ingin percaya, ingin berpikir bahwa malam ini akan berlalu tanpa insiden, tanpa komentar yang menekan, tanpa tatapan yang menusuk. Namun, pengalaman selama ini mengajarinya untuk tidak berharap terlalu banyak.Mereka tiba di restoran tepat waktu. Cahaya keemasan dari lampu gantung memberikan kesan elegan pada ruangan. Pelayan berseragam hitam putih berjalan dengan anggun, menyajikan hidangan kepada tamu-tamu istimewa.Di sebuah meja besar, keluarga besar Damian sudah berkumpul.Halimah, mertuanya, duduk anggun di samping suamin
Setelah kepergian Juan, Fara masih berdiri di dekat pintu, jemarinya memainkan ujung kaosnya tanpa sadar. Jantungnya masih berdebar pelan, mengingat tatapan Juan sebelum pria itu pergi terburu-buru."Kenapa dia mendadak jadi aneh begitu?" pikirnya.Fara menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya sendiri. Ia harus berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak. Ini bukan pertama kalinya ia bertemu Juan, tapi entah kenapa kali ini rasanya berbeda.Saat malam tiba, Damian pulang kerja lebih awal dari biasanya. Fara yang tengah sibuk di dapur mendengar suara langkah kaki suaminya mendekat."Hei," sapa Damian sambil mencium keningnya sekilas sebelum duduk di meja makan.Fara tersenyum kecil. "Tumben cepat pulang?""Rapatnya selesai lebih cepat," jawab Damian sambil membuka kancing kerah bajunya. Ia lalu m
Fara mendorong troli perlahan di antara rak-rak supermarket, matanya menyapu deretan barang yang tersusun rapi. Ia hanya berniat membeli beberapa kebutuhan dapur, tapi tanpa sadar, daftar belanjaannya bertambah panjang.Saat hendak mengambil sekotak susu, suara familiar menyapanya dari samping. "Kamu lagi borong persediaan sebulan?"Fara menoleh cepat. Juan berdiri di sana, masih dengan penampilan uniknya—kemeja sedikit kebesaran dengan jaket hitam yang tampak tidak serasi, dan rambut acak-acakan seolah baru bangun tidur. Namun, berbeda dari sebelumnya, kali ini ekspresinya lebih ramah.Fara menghela napas. "Nggak juga, cuma… kayaknya aku terlalu impulsif kalau belanja."Juan melirik isi troli yang sudah cukup penuh. "Jelas banget. Kalau kamu butuh saran, aku bisa bantu milihin. Aku lumayan ngerti soal bahan makanan."Fara tersenyum tipis. "Boleh juga."Mereka mulai berjalan beriringan, memilih sayur dan buah dengan lebih selektif. Juan sesekali memberikan komentar tentang kualitas pro
Fara yang tersipu malu hanya bisa tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dengan langkah sedikit terburu-buru, ia berjalan menuju kasir terlebih dahulu, sementara Juan mengikuti dari belakang.Di meja kasir, Juan dengan cekatan melayani pembayaran Fara. Tangannya dengan luwes memasukkan croissant cokelat ke dalam kantong kertas, lalu menyerahkannya dengan senyum tipis yang masih menghiasi wajahnya. “Ini pesanannya. Semoga suka,” ujarnya dengan suara hangat.Fara menerima kantong roti itu dengan hati yang masih berdebar. “Terima kasih,” ucapnya pelan, lalu segera berbalik sebelum kegugupannya semakin terlihat. Kiara yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka, hanya menahan tawa geli sebelum akhirnya ikut melangkah keluar dari toko.Saat mereka berjalan pulang, Kiara tak bisa menahan diri untuk menggoda sahabatnya. “Astaga, Fara, tadi itu apa?” tanyanya sambil menyeringai, matanya berbinar penuh rasa jahil.
Kiara tiba di rumah Fara dengan wajah penuh antusias, matanya bersinar cerah. "Ayo ikut aku! Ada toko roti baru di dekat kompleks, katanya enak banget!" serunya tanpa basa-basi, suaranya riang dan penuh semangat.Fara yang sedang bersantai di sofa mengernyit, memandang sahabatnya yang begitu bersemangat. "Toko roti? Kenapa tiba-tiba?" tanyanya dengan nada bingung, tak tahu harus menanggapi bagaimana."Ya, penasaran aja! Lagian kamu juga lagi nganggur kan? Ayo, jangan banyak alasan!" Kiara menjawab cepat, menarik tangan Fara dengan penuh semangat, memaksanya bangkit dari tempat duduknya.Dengan sedikit keluhan dan senyum terpaksa, Fara akhirnya mengikutinya. Mereka berjalan santai menuju toko roti yang baru buka beberapa minggu lalu. Suasana pagi yang cerah membuat langkah mereka ringan, dan tidak lama setelah itu, mereka pun tiba di depan toko yang kecil namun terlihat hangat. Saat melangkah masuk, aroma roti yang baru matang langsung menyambut mereka. Udara di