Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.
Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.
Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.
Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.
Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata orang-orang. Dan Fara, sebagai istri yang mendampingi, merasa bangga. Mereka sering mendapat pujian, terutama dari teman-teman dan keluarga yang menganggap mereka pasangan ideal. "Kalian berdua sempurna," kata mereka, sering kali tanpa menyadari betapa kata-kata itu menambah beban di hati Fara.
Namun, di balik semua itu, Fara merasa ada sesuatu yang hilang. Ia berusaha menutupinya, berpura-pura bahagia, tetapi semakin lama, perasaan kosong itu semakin tak tertahankan. Damian sering kali terlalu sibuk dengan pekerjaannya, terjebak dalam dunia yang berbeda, sementara Fara merasa terasingkan di dalam rumah mereka sendiri. Di mata orang lain, mereka adalah pasangan yang sangat serasi, tetapi di dalam hatinya, Fara merasa seperti seorang asing yang hanya bermain peran.
Pandangan orang-orang yang iri dengan pernikahan mereka justru semakin membuat Fara merasa terperangkap. Mereka memuji Damian tanpa henti, berdecak kagum pada kariernya yang gemilang, pada penampilannya yang selalu rapi dan sempurna. "Kamu beruntung memiliki suami seperti Damian," kata mereka, dan Fara hanya bisa tersenyum, meskipun di dalam dirinya, perasaan itu terasa seperti sebuah cemoohan. Mereka semua tidak tahu bahwa di balik semua penampilan itu, ada perasaan yang jauh lebih dalam—perasaan kesepian dan kekecewaan yang Fara rasakan setiap hari.
Pernikahan mereka tidak seperti yang orang lain bayangkan. Tidak ada kebahagiaan yang tulus di dalamnya. Ada terlalu banyak hal yang tidak terucapkan, terlalu banyak perasaan yang terpendam. Damian, yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, tidak pernah tahu betapa Fara merindukan perhatian dan kehadirannya. Ia terlalu tenggelam dalam dunia yang ia bangun sendiri, sementara Fara, yang mencoba mempertahankan pernikahan mereka, semakin merasa terabaikan.
Kadang-kadang, Fara merasa bahwa ia telah memberikan segalanya dalam pernikahan ini, tetapi ia tidak pernah mendapatkan apa yang ia harapkan—perhatian, kasih sayang, dan pengertian. Di balik senyumannya yang selalu tampak bahagia, ia merasa terperangkap dalam pernikahan yang hanya tampak sempurna di luar. Setiap kali ia berusaha mengungkapkan perasaannya, Damian selalu mengalihkan topik, atau lebih parah lagi, mengabaikannya sama sekali. Fara merasa seperti sebuah bayangan di samping Damian, tidak lebih dari sekadar istri yang ada karena kewajiban, bukan karena cinta yang sejati.
Kesedihan dan penyesalan semakin meresap dalam dirinya. Fara menyesali pernikahannya. Ia merasa seolah-olah hidupnya telah terbuang percuma, terperangkap dalam sebuah pernikahan yang tidak memberinya kebahagiaan yang ia dambakan. Ia merasa seperti telah mengorbankan dirinya sendiri demi menjaga citra pernikahan yang tampak sempurna di mata orang lain, padahal di dalam hati, semuanya sudah retak.
Kadang, Fara berpikir, apakah semuanya sudah terlambat? Apakah ada cara untuk memperbaiki apa yang telah rusak? Namun, semakin ia merenung, semakin ia sadar bahwa perasaan ini bukan sesuatu yang bisa diperbaiki dengan mudah. Ia sudah terlalu lama menekan perasaannya, berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya, tetapi kenyataannya justru semakin memperburuk keadaan.
Ia juga merasa cemas dengan pandangan orang-orang yang selalu mengagumi pernikahannya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah mereka. Mereka tidak tahu bahwa Fara lebih sering merasa sendirian daripada merasa dicintai. Mereka tidak tahu bahwa setiap senyuman yang ia tunjukkan hanyalah sebuah topeng yang menutupi kesedihan yang ia rasakan. Orang-orang itu hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, sebuah hubungan yang tampak sempurna, padahal kenyataannya jauh dari itu.
"Saya pasti sangat beruntung punya suami seperti Damian," ujar satu teman dekatnya suatu hari. Fara hanya bisa tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ia merasa sesak. Ia tahu bahwa teman-temannya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak tahu betapa ia merindukan Damian, betapa ia merasa kesepian di tengah pernikahan mereka yang semakin jauh. Setiap kali ia mendengar komentar seperti itu, ia merasa semakin terperangkap dalam citra yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak ada yang tahu tentang kebosanan yang ia rasakan, tentang rasa sakit yang tumbuh setiap kali ia merasa diabaikan oleh suaminya.
Fara merasa seperti berada di persimpangan jalan, dan ia tidak tahu harus ke mana. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang seolah-olah sempurna, tetapi penuh dengan ketidakbahagiaan. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Di satu sisi, ia merasa sangat mencintai Damian, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia tidak bisa lagi mengorbankan dirinya sendiri demi hubungan yang tidak lagi memberinya kebahagiaan.
"Apa yang sebenarnya aku inginkan?" Fara bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya. "Apa aku harus terus hidup seperti ini?" Ia merasa bingung, tersesat dalam perasaan yang saling bertentangan.
Dengan perasaan yang hancur, Fara berjalan pelan menuju kamar tidurnya. Langkah kakinya terasa berat, seperti beban yang terus mengikutinya. Ia menatap pintu kamar yang terbuka sedikit, lampu tidur yang remang-remang memberi kesan sepi yang semakin menekannya. Ketika ia melangkah masuk, ia merasakan udara kamar yang dingin, dan bed cover yang tak lagi memberi kehangatan.
Tanpa berpikir panjang, Fara berjalan menuju tempat tidurnya dan duduk di sisi kasur. Ia menatap kosong ke arah bantal yang tergeletak rapi, tempat dimana dulu ia dan Damian sering berbaring bersama, berbincang tentang banyak hal, berbagi impian dan harapan. Namun, semuanya kini terasa jauh, seperti mimpi yang telah lama pudar.
Dengan perlahan, Fara berbaring. Matanya terasa berat, tetapi pikirannya tak bisa berhenti berputar. Ia mencoba untuk menutup matanya, berusaha tidur agar bisa melupakan sesaat semua masalah yang menghantuinya. Namun, perasaan kesedihan itu tetap hadir, seakan mengisi setiap sudut ruang hatinya. Tidur menjadi satu-satunya cara yang ia pikirkan untuk melarikan diri dari kenyataan yang pahit. Setiap detik yang ia habiskan terjaga semakin terasa seperti beban, dan tidur adalah satu-satunya tempat yang memberinya sedikit ketenangan.
Fara menarik selimut, membungkus dirinya seakan itu bisa melindunginya dari segala perasaan yang menggerogoti jiwanya. Ia menutup matanya dengan erat, berharap tidur akan mengalihkan pikirannya. Namun, bayangan Damian dan semua yang telah terjadi antara mereka terus mengganggunya. Meski tubuhnya lelah, pikiran Fara tidak bisa berhenti berputar, mengingat setiap kata, setiap kejadian yang membuatnya semakin merasa terperangkap dalam kehidupan yang ia bangun.
Seiring waktu yang berlalu, Fara akhirnya terlelap, meskipun tidur yang ia cari tidak memberinya kedamaian yang ia harapkan. Dalam tidurnya, ia terjebak dalam mimpi-mimpi yang mengingatkan pada kenyataan pahit yang tak bisa ia lupakan.
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama."Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti bia
Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.Fara menarik napas
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata ora
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.Fara menarik napas
Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama."Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti bia