Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.
Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.
Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba terlihat tenang meski jelas sekali ia belum sepenuhnya siap menyambut tamu.
“Selamat pagi, Fara,” jawab Halimah dengan suara lembut namun penuh makna. Tatapannya langsung menyapu penampilan Fara yang hanya mengenakan dress tipis selutut, rambut berantakan, dan wajah polos tanpa riasan yang masih menyiratkan sisa tidur. Senyum Halimah sedikit melebar, namun ada lirikan tajam yang membuat Fara merasa seperti anak sekolah yang ketahuan guru.
“Aku terlalu pagi, ya?” Halimah melanjutkan, senyumnya tetap ramah namun terasa menggoda.
“Oh, tidak, Bu. Maksud saya…” Fara gugup, mencoba menyusun kata-kata sambil menahan rasa malunya. “Saya hanya kaget. Tidak menyangka Ibu akan datang pagi-pagi.”
Halimah terkekeh kecil. “Keputusan mendadak, sayang. Aku pikir, kapan lagi menjenguk anak dan menantu? Lagi pula, sudah lama aku tidak melihat kalian. Rasanya Damian semakin sibuk, dan kamu juga pasti punya banyak kesibukan, bukan?”
Fara hanya mengangguk kecil sambil membukakan pintu lebih lebar. “Tentu saja, Bu. Silakan masuk.”
Begitu Halimah melangkah masuk dengan anggun, tatapannya kembali jatuh ke dress Fara yang kusut. Ia menggeleng kecil sambil tersenyum tipis. “Tapi, Fara, kamu ini terlalu santai. Damian tidak keberatan istrinya menyambut tamu dengan... ya, pakaian tidur seperti ini?” tanyanya sambil mengangkat alis, nada bicaranya setengah menggoda namun jelas menyiratkan keprihatinan khas seorang mertua.
Fara yang sudah merasa canggung sejak awal hanya bisa tersipu malu. Ia tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyamannya. “Maaf, Bu. Saya tadi baru bangun tidur. Tidak menyangka akan ada tamu pagi-pagi.”
Halimah hanya tersenyum sambil duduk di sofa ruang tamu. Gerakannya anggun, setiap langkah dan sikapnya terlihat penuh perhitungan, seperti seorang bangsawan yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. “Ah, Fara, kamu ini lucu sekali. Tidak apa-apa, sayang. Tapi ingat, seorang istri sebaiknya selalu siap. Siapa tahu ada kejutan seperti ini lagi, kan?”
“Iya, Bu. Saya akan ingat,” jawab Fara, mencoba terdengar percaya diri meskipun wajahnya masih memerah.
Fara segera menuju dapur untuk menyiapkan minuman. Di tengah aktivitasnya menyeduh teh, telinganya samar-samar menangkap gumaman Halimah yang hampir seperti bisikan, “Anak muda zaman sekarang. Untung Damian itu sabar.”
Fara menghela napas panjang, mendengar gumaman itu dengan perasaan campur aduk. “Astaga, malu banget,” pikirnya sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. Ia berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kekacauan ini di lain waktu.
Kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi panas di tangan, Fara berusaha menenangkan dirinya. “Ini, Bu. Tehnya. Saya harap cocok dengan selera Ibu.”
Halimah menerima cangkir itu dengan senyum hangat. “Terima kasih, Fara. Kamu memang menantu yang baik, meskipun kadang-kadang…” Ia berhenti sejenak, seolah ingin menggoda lagi, namun akhirnya memilih diam.
Fara hanya bisa tersenyum canggung sambil duduk di sofa sebelah, merasa seperti sedang menjalani ujian tanpa persiapan. Meski begitu, ia tahu Halimah tidak berniat jahat. Semua komentar mertuanya, meskipun terasa menusuk, datang dari kasih sayang yang tulus.
Suasana yang semula terasa sedikit canggung berubah menjadi lebih menenangkan seiring berjalannya waktu. Fara dan Halimah mulai berbicara lebih santai, meskipun masih ada ketegangan tipis yang tergantung di udara. Halimah tampaknya merasa lebih nyaman dengan topik-topik ringan, seperti cuaca dan berita terbaru seputar keluarga besar.
Namun, percakapan itu tidak berlangsung lama sebelum Halimah mengalihkan topik ke sesuatu yang lebih sensitif. “Fara, bagaimana kabarmu akhir-akhir ini? Kamu dan Damian baik-baik saja, kan?” tanyanya, suaranya terdengar lebih dalam, seolah mencoba menggali lebih jauh.
Fara sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ia mencoba menjaga ekspresinya. “Kami baik-baik saja, Bu. Damian sangat sibuk, seperti yang Ibu bilang tadi,” jawabnya sambil mengatur duduk lebih nyaman di sofa.
Halimah mengangguk, matanya menatap Fara dengan tajam. "Tentu. Tapi kamu tahu, Fara, aku berharap... kalian bisa lebih fokus pada... keluarga kecil kalian." Kalimat itu terasa lebih tajam daripada yang diinginkan, dan Fara merasakan desakan yang hampir tak terhindarkan di dalamnya.
“Fara, kamu sudah menikah dua tahun, kan? Aku pikir sudah saatnya kalian...,” Halimah berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat, sebelum melanjutkan, "memikirkan soal anak. Kamu tahu betapa pentingnya itu, bukan?"
Fara terdiam sejenak, kata-kata itu membuatnya sedikit tercekik. Ada ketegangan di dada, rasa tidak nyaman yang perlahan menyelimuti suasana. Ia tahu benar bahwa pertanyaan itu akan muncul. Keluarga Damian, terutama Halimah, sudah cukup sering mengungkitnya, dan itu selalu membuat Fara merasa terpojok.
“Ibu...” Fara mencoba mencari kata-kata yang tepat, merasa canggung untuk membicarakan hal ini. “Kami memang sedang berusaha. Tapi... kamu tahu, semuanya memerlukan waktu, Bu. Kami... kami sudah berbicara tentang itu, tapi belum ada rezeki,” kata Fara dengan suara yang lebih rendah, mencoba menyembunyikan perasaan kecewanya.
Halimah menatap Fara dengan mata yang tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari bibir menantunya. “Aku tahu, sayang. Tapi kamu harus ingat, tidak ada yang bisa menunda waktu. Usia tidak akan berhenti, dan kalian harus memikirkan masa depan kalian.” Ada nada serius di suara Halimah, yang membuat Fara merasa seolah sedang diuji.
Fara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa Halimah hanya ingin yang terbaik untuk keluarga mereka, namun kadang-kadang, perasaan tertekan itu sangat sulit untuk ditahan. “Iya, Bu. Kami akan berusaha,” jawab Fara dengan tenang, meski hatinya terasa berat.
Halimah menghela napas panjang, tampak sedikit lega. “Baiklah, Fara. Aku tahu kalian sedang berusaha. Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja.” Ia tersenyum, namun senyumnya terasa lebih tipis dari sebelumnya. “Jangan terlalu terburu-buru, sayang. Semua akan datang pada waktunya.”
Fara mengangguk pelan, meskipun dalam hati ia merasa sedikit lelah. Bagaimana ia bisa meyakinkan Halimah bahwa mereka sudah melakukan segala yang kami bisa? Ia merasa beban itu semakin berat, dan tekanan yang datang dari keluarga Damian seolah semakin intens.
Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama."Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti bia
Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.Fara menarik napas
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata ora
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata ora
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.Fara menarik napas
Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama."Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti bia