Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.
Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.
Fara menarik napas dalam, membuang rasa gugup yang masih tersisa. Ia meraih pinggiran celana Damian, menurunkannya perlahan hingga menyentuh lantai. Damian membantu dengan mengangkat sedikit tubuhnya, mempermudah Fara untuk menyelesaikan aksinya. Ketika celana itu sepenuhnya terlepas, Damian hanya mengenakan boxer hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna.
Pandangan Fara tertuju pada suaminya, matanya menyiratkan campuran perasaan kagum dan rasa penasaran. "Kamu terlihat... sempurna," gumamnya lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Damian terkekeh, suaranya rendah dan menggoda. "Aku selalu sempurna di depan kamu, sayang," jawabnya dengan tatapan penuh cinta. Ia menyentuh dagu Fara, mengangkatnya perlahan hingga mata mereka bertemu. "Tapi malam ini, aku ingin melihat sisi kamu yang lebih berani," tambahnya, suaranya terdengar lebih dalam, nyaris seperti bisikan.
Merasa ditantang, Fara tersenyum tipis. Ia mendekatkan wajahnya ke Damian, sengaja membiarkan jarak di antara mereka hanya sejengkal. "Berani? Kamu belum lihat apa-apa, Damian," jawabnya dengan nada menggoda. Tangannya perlahan menyentuh tubuh suaminya, mulai dari dada hingga perutnya, setiap gerakannya penuh keyakinan.
Damian mengangkat alis, jelas terkejut tetapi juga terpikat oleh keberanian istrinya malam itu. Ia meraih pinggang Fara, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka nyaris menyatu. "Aku suka sisi ini dari kamu," bisiknya sambil mengecup lembut bibir Fara.
Ciuman itu hanya berlangsung sebentar sebelum Fara melepaskan diri, mengambil kendali kembali. "Giliran aku," ucapnya tegas, kali ini dengan tatapan yang menunjukkan bahwa ia tidak akan berhenti sampai Damian sepenuhnya takluk di bawah kendalinya. Jemarinya kembali menjelajahi tubuh Damian, sementara Damian hanya tersenyum puas, membiarkan Fara menunjukkan sisi dirinya yang selama ini tersembunyi.
Fara menghela napas panjang dan membalikkan badan, tidak tahu harus berkata apa. "Kamu selalu seperti ini, Damian," katanya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar. "Setiap kali kita menghabiskan waktu bersama, selalu ada yang lebih penting dari aku."
Damian tampak terkejut. Ia tidak menyangka Fara akan mengungkapkan perasaannya seperti itu. "Fara, itu bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya dengan nada cemas, berusaha menjelaskan. "Ini hanya pekerjaan, bukan apa-apa. Kamu tahu aku selalu berusaha untuk ada buat kamu."
Fara menggelengkan kepalanya, masih dengan pandangan kosong yang penuh kekecewaan. "Selalu alasan yang sama, kan? Pekerjaan. Tapi kamu tahu apa yang lebih buruk? Kalau aku terus mendengarkan alasan itu dan merasa semakin jauh darimu."
Damian mencoba menenangkan Fara, tetapi Fara sudah bergerak mengambil dress tergeletak di lantai. Ia mengenakannya kembali dengan gerakan terburu-buru, seolah ingin menutupi perasaan yang kini begitu sulit ia sembunyikan.
"Fara, jangan seperti ini," Damian memohon. "Aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa seperti itu. Kamu lebih penting dari apa pun bagiku. Tolong, jangan pergi seperti ini."
Namun Fara tetap diam, menarik dressnya ke tubuh dengan ekspresi yang jelas menunjukkan rasa kecewa yang mendalam. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Damian," katanya sambil menatap suaminya dengan kesal. "Aku sudah mencoba mengerti. Tapi kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, dengan panggilan-panggilan itu. Aku merasa aku bukan lagi bagian dari hidupmu."
Damian terdiam, kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ia ingin meyakinkan Fara bahwa ia tidak bermaksud seperti itu, bahwa ia masih mencintainya lebih dari apapun, tetapi kata-kata itu terasa sulit untuk keluar. "Fara, tolong... Aku janji setelah ini aku akan lebih fokus. Aku akan lebih menghargai waktu kita," katanya, suaranya lebih lembut, penuh penyesalan.
Fara menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Janji? Lagi-lagi janji, Damian. Itu sudah sering kamu ucapkan. Tapi apa yang berubah? Aku tetap merasa ditinggalkan. Aku tidak ingin menjadi orang yang selalu harus menunggu kamu selesai dengan dunia luar untuk bisa merasakan perhatianmu."
Damian menghela napas panjang, menyesali kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Aku salah, Fara. Aku tahu aku salah, dan aku ingin berubah. Aku akan lebih mendengarkan kamu, lebih memperhatikanmu. Jangan pergi seperti ini. Aku butuh kamu."
Tapi Fara hanya memandangnya dengan tatapan kosong, menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku juga butuh kamu, Damian. Tapi bukan seperti ini. Aku butuh kamu yang ada di sini, bukan yang selalu terputus oleh telepon-telepon itu," katanya, suaranya semakin bergetar. "Aku lelah, Damian. Aku lelah merasa selalu menjadi yang terakhir."
Fara menundukkan kepala, berusaha menahan tangisnya. Sementara itu, Damian merasa semakin kehilangan kata-kata. Ia ingin mengerti, ingin menenangkan Fara, tetapi kenyataan bahwa ia telah membuat istrinya merasa seperti ini membuatnya terperangkap dalam penyesalan yang begitu dalam.
"Fara, aku benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana," kata Damian, suaranya lemah. "Tapi aku berjanji aku akan berubah. Aku akan lebih memperhatikanmu. Aku tidak ingin kita berakhir seperti ini."
Fara mengangkat wajahnya, matanya masih basah. "Damian, aku ingin percaya padamu. Aku ingin bisa merasa dicintai dan dihargai. Tapi kamu harus buktikan itu, bukan hanya dengan kata-kata," jawabnya, dengan nada yang lebih tenang namun penuh makna. "Aku ingin kamu ada di sini sekarang, bukan nanti."
Damian mengangguk, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. Ia tahu ia telah membuat kesalahan besar, dan bahwa kata-kata saja tidak akan cukup untuk menyelesaikan semuanya. "Aku mengerti, Fara," katanya, dengan penuh penyesalan. "Aku akan buktikan itu. Aku akan ada untukmu, lebih dari sebelumnya."
Namun, meskipun Damian berjanji begitu, Fara tetap tidak bisa menahan perasaan hampa yang mengisi dadanya. Ia merasakan jarak yang semakin lebar di antara mereka, meskipun Damian berdiri tepat di depannya, berusaha meminta maaf. Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tapi hatinya terasa berat.
"Baiklah, Damian," jawab Fara dengan suara yang lebih lembut. "Aku akan memberimu kesempatan. Tapi ingat, aku tidak bisa terus begini. Aku butuh kamu di sini, sekarang. Bukan nanti."
Damian mengangguk, merasa bersyukur bahwa Fara masih memberi kesempatan. "Aku akan berusaha, Fara. Terima kasih karena masih mau memberikan aku kesempatan," katanya, sebelum dengan cepat berbalik menuju kamar untuk mengangkat telepon yang masih berdering.
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata ora
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama."Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti bia
Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba
Fara berdiri di tempatnya, matanya yang basah menatap pintu yang baru saja ditutup Damian.Suasana malam yang sebelumnya terasa hangat kini menjadi dingin dan suram. Di luar, angin malam berhembus perlahan, tetapi di dalam hatinya, badai sedang berlangsung. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk perasaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, tak tahu harus ke mana lagi.Fara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun perasaan kecewa itu begitu kuat, seperti sebuah beban yang terus menghimpit dadanya.Fara tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat ia bertumbuh dan merasa dicintai.Fara teringat betul bagaimana semuanya dimulai. Pernikahan mereka pada awalnya terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh harapan. Damian, dengan segala ketampanannya dan pesonanya yang tak terbantahkan, selalu tampak sempurna di mata ora
Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab."Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah i
Tangan Damian dengan lembut mengangkat slip dress satin hitam milik Fara, membiarkan kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya. Kulit halus Fara kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar yang redup, memperlihatkan keindahan tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Damian menatap istrinya dengan penuh kekaguman, seperti melihat karya seni yang sempurna. Dia menunduk sedikit, tangannya tetap menjaga gerakan lembut, memastikan Fara merasa nyaman dengan setiap sentuhan. Fara yang awalnya sedikit tegang kini mulai rileks, kedua pipinya memerah saat dia melihat tatapan Damian yang penuh cinta.Tak ingin kalah dengan sang suami, Fara dengan cepat membuka risleting celana kain yang dikenakan Damian. Jemarinya yang lentik bergerak lincah, menurunkan risleting dengan perlahan, seperti memberi jeda pada waktu yang membuat suasana di antara mereka semakin intens. Damian menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin membiarkan istrinya memegang kendali malam itu.Fara menarik napas
Fara Kinara duduk di tepi ranjang, matanya memandangi langit Jakarta yang terhampar luas, dipenuhi bintang-bintang yang samar, seolah ikut merasakan kesepiannya. Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun kota itu tak pernah tidur.Lampu-lampu kota memantulkan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menerangi perasaannya yang semakin gelap. Suaminya, Damian, baru saja selesai dengan rapat panjang yang memakan hampir seluruh waktunya.Namun, ketika dia kembali ke rumah, ia tidak terlihat sedikit pun meluangkan waktu untuk Fara. Fara merasa terabaikan, meskipun di dalam ruangan yang sama, di dalam rumah yang sama."Damian..." suara Fara terdengar lembut, hampir seperti bisikan, berharap suaminya akan mendengarnya.Namun, Damian tetap terfokus pada laptopnya, jari-jarinya cepat mengetik, tampaknya sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. "Sebentar, Fara. Aku hampir selesai," jawabnya tanpa mengangkat wajah, suaranya terdengar datar, seperti bia