"Permisi, Pak." Seorang wanita berpakaian formal datang menyapa, tersenyum ramah dengan netra cerah memandang penuh ketenangan."Eh ... i-iya," jawab pria setengah baya tersenyum canggung, matanya tak terlepas dari wanita cantik yang menyapa.Layaknya mendapat keberuntungan besar, matahari yang masih mengintip ragu di antara gelapnya awan, namun mata sudah mendapat pemandangan indah yang meningkatkan suasana hati. Walau begitu, hati yang bersih akan tetap menjaga dirinya dari segala bisikan dan pikiran buruk, tetap mampu mengontrol diri, dan membuat batasan."Mau tanya, Pak." Wanita cantik berwajah oriental itu tersenyum simpul, senyuman sederhana yang kini perlahan menghilang saat raut berganti dengan keseriusan, "bapak pernah antar paket atas nama Kirana Zendaya, enggak?"Terdiam pria itu mengernyitkan dahinya heran, "o-oh itu teman saya, belum datang dia, biasanya agak siangan. Kenapa memang? Paketnya enggak sampai atau gimana? Biar dikasih tahu ke orangnya."Menggeleng pelan wanit
"Titip di sini," pungkas Rana kembali meletakkan kotak paket ke meja resepsionis, berlari ia meninggalkan lobi utama perusahaannya.Mengabaikan berbagai pandangan heran, dan himbauan petugas keamanan. Dalam otak Rana kini hanya tertuju pada pangkalan ojek konvensional dekat kantornya, sampai ia berhenti langkahnya saat melihat ada lima motor berbaris.Terdiam sejenak Rana memandang lima pria yang sedang berjuang mencari nafkah, terlihat santai walau Rana yakin bahwa otak mereka kalut dengan pemasukan. Terkatup rapat bibir wanita karir itu mempertimbangkan segala kemungkinan, apa yang akan terjadi jika bertanya pada mereka? Bisakah langsung mengetahui pengirim hanya dengan bertanya?"Ah sudahlah," tukas si Kepala Humas menggeleng pelan lalu menghampiri lima ojek konvensional itu, "permisi, Pak," sapa Rana tersenyum ramah."Nah ... ini cewek cantik yang gue bilang tadi," pungkas pria paruh baya yang memang Rana tanyakan sebelum masuk kantor, "ini mbak orangnya," tunjuknya pada pria lain
"Hm ... permisi, Pak," sapa seorang wanita muda pada pria muda di area tunggu, area yang dikhususkan untuk tamu menuju humas dengan berbagai alasan. "Iya," sahut pria muda yang memiliki garis rahang tegas. "Bu Rana meminta saya untuk menyampaikan, bahwa silakan bertamu sesuai janji temu yang sudah disepakati," ujar wanita bernama Nifala Cessa Anggraeni, wanita cantik yang cukup cekatan namun tidak cukup untuk menandingi kepiawaian Sang Kepala Humas. "Oh, enggak masalah ...," jawab pria muda itu menggantungkan kalimatnya, "Nifala," lanjutnya setelah membaca tanda pengenal yang melingkar di leher lawan bicaranya. "Nifa ... Nifa saja," kata Nifa tersenyum tipis menghargai usaha tamu itu untuk mengetahui identitas umum, begitu besar rasa Nifa hendak basa-basi bertanya namun dirinya sudah tahu nama si tamu. "Arhan Prasetia," ucap pria muda itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan yang tentu membuat Nifa cepat merespon. Bagaimana tidak? Seorang pengelola anak perusahaan
"Ah ... orang baru datang!" teriak tiga wanita berseru keras menyambut kedatangan seorang pria yang melambai-lambaikan kedua tangannya, ketulusan dalam kesenangan jelas terlihat dari senyum simpul terulum itu, "tiga ... dua ... satu."Dus!Bunyi tembakan khas konfeti terdengar mengejutkan, disusul dengan teriakan gembira tiga wanita yang kini melompat-lompat kecil, "ih gue enggak sangka banget," ucap seorang wanita dengan tahi lalat di dekat hidungnya menahan tangis, ditekan area lubang hidung dengan tisu, mata memerah jelas sangat menggambarkan suasana hatinya."Ini kalian serius balikan, enggak sih?" tukas wanita dengan lesung pipi yang terlihat samar dari senyum simpul tertahan, "gue masih enggak sangka banget serius, Fafa benar-benar berjuang buat dapat kakak lagi.""Serius kok, Di," jawab pria berbadan tegap itu melebarkan senyumnya, lalu menunduk dan mengambil selembar konfeti di dekat kaki, "jangan nangis mulu, makin jelek nanti," lanjutnya menempelkan konfeti tepat di kening
"Ah ...."Terhembus napas seorang wanita muda, terdiam ia di atas ranjangnya bersama sebuah kotak kecil yang sudah dibuka. Kotak kecil yang lagi dan lagi hanya berisikan beberapa lembar foto, bila sebelumnya berisikan foto seorang pria sedang bertaruh dengan banyaknya kartu dan uang, kotak kali ini berisikan foto seorang pria merangkul wanita menuju kamar hotel."Iya sih, dia memang pulang ke rumah walau belum mengaku kalau sudah jadi pengangguran, tapi kenapa malah pergi sama cewek ke hotel? Duit dari mana?" gumamnya seorang diri bersandar di kepala ranjang dan memandang kosong ke arah kotak kecil lain yang berada di atas meja riasnya.Tin ... tin ... tinMengernyit wanita itu mendengar klakson mobil yang begitu familiar di telinganya, menoleh ia ke arah jam digital berukuran besar di dinding kamar, terbuka lebar mata itu saat menyadari jam sudah menunjukkan pukul 23.33. Bergegas ia mengambil kotak kecil dan tutupnya di atas ranjang untuk disimpan di meja rias, "jam tidurku jadi kaca
"Serius deh, kaki kamu kenapa bisa begitu sih, Ran?"Sekali lagi, napas pendek terhela tidak bebas dari mulut seorang wanita yang kini berkulit pucat pasi. Pertanyaan yang setidaknya sudah tiga kali ditanyakan hanya dalam waktu lima menit, "memangnya jawaban aku kurang jelas sampai ditanya lagi dan lagi?" sahut wanita bernama Kirana Zendaya itu menanggapi rekan kerjanya."Jelas sih jelas, tapi masa sih karena hal itu?" tanya Nifa, rekan kerja sekaligus asisten bagi Rana untuk beberapa pekerjaan."Kamu kira aku bohong?" ucap Rana santai menanggapi pertanyaan Nifa, walau dirinya tahu bahwa Nifa tidak mengira itu suatu kebohongan, namun jelas terasa itu pertanyaan atas rasa tidak percaya."Eh? B-bukan begitu, mana mung ....""Memang sesulit itu buat dipercaya, tahu kok aku," tukas si Kepala Humas itu tersenyum kecil, "entar sore antar aku pulang, ya?" lanjutnya mengalihkan perhatian Nifa."Ih pasti susahlah. Sekarang gini saja, laki-laki pengangguran, pinjam mobil istri, pas balik malah
Lenguhan terdengar sedikit menggema dari ruang utama di rumah sederhana, seorang pria dengan pakaian berantakan itu bergerak asal untuk merenggangkan badannya. Keluhan pusing dan mual pun menyusul keluar dari mulutnya, dengan mata yang masih enggan terbuka ia beranjak duduk dan bersandar di sofa. "Ah ...," desahnya yang terdengar amat lelah, seolah ada rasa muak dan penat yang sangat mendesak hati maupun pikiran, seolah ada beban berat yang harus dipikir, dipertimbangkan, dan dijalankan, dan seolah ada kesulitan besar yang menghalanginya dengan segala rupa. "Kirana," panggil pria bernama Kalil Nayaka itu menyebut nama istrinya, dengan suara parau kembali menyebut nama sang istri lagi dan lagi. Tidak kenal lelah dan tidak kenal bosan, "Kirana!" Suara paraunya terdengar keras. Terdiam lagi pria yang akrab disapa Kal, menunggu tanggapan dan kedatangan sang istri. Satu dua menit ia menunggu, tidak ada juga suara yang terdengar dan tiada pula wujud yang dilihatnya. "Argh! Kemana sih
"Halah, Jess cuma cewek goblok. Bisa santai gue.""Masa sih? Orang kaya loh mereka, lo bisa dalam bahaya.""Mereka banyak duit tapi kagak punya otak."Tap!Ditekan cepat dan kasar tanda jeda di laptop, lirikan tajam dengan napas memburu bersatu tidak padu pada sorot mata lemah, sorot mata yang jelas menunjukkan rasa bersalah dan ketakutan, "maksud kamu apaan?""Kayak yang tadi aku bilang, Kak. Aku dapat paket misterius terus-menerus, ada foto Mas Tom lagi main di meja bundar, ke hotel sama cewek yang enggak tahu siapa, terus juga sekarang dapat alat rekam suara yang isinya ginian," ujar wanita cantik berambut hitam lebat, menatap sang kakak yang justru berdecih dan tersenyum miris."Kamu fitnah suami aku? Dari awal aku tahu kok kamu enggak suka sama cowok, kamu benci sesama manusia, dan kamu juga enggak suka sama suamiku sejak aku bilang mau nikah. Tapi aku enggak duga kalau si kecil kesayanganku bakal memfitnah orang, memfitnah kakak ip ....""Siapa yang fitnah?" tukas wanita cantik
[Hari ini]Diambilnya ponsel dan mencari nama Fauziah Aini Fafa di daftar kontak, pernah saling bertukar nomor saat berjumpa di kantor beberapa hari lalu, demi kepentingan apapun kelak. Ditekannya kolom tulisan yang bertujuan untuk menghubungi, melakukan panggilan suara dengan sengaja, "halo," sapa Rana dengan canggung dan kebingungannya.Begitu pula dengan Fafa di lokasi berbeda, yang terbangun dalam keadaan terkejut karena nada dering dari panggilan. Sapaan ringan itu pula yang cepat ditanggapi, "halo, Rana.""Aku enggak mau basa-basi biar enggak basi juga, aku mau bilang ayo kita jadi teman," kata Rana membuat Fafa sontak terduduk di ranjang dengan mata terbuka lebar."Apa kamu bilang?" tukas Fafa menjawab sambil menggelengkan kepala dan mengusap mata, "aku takut salah dengar, baru bangun tidur hehe," lanjutnya terkekeh ringan tidak beralasan, hanya mencegah adanya kesan canggung."Ayo jadi teman," tanggap Rana singkat dan kali ini semakin jelas terdengar di telinga Fafa, "mau?" ka
[Kemarin] "Kakak mau sampai kapan jadi budak cinta dari cowok sialan itu? Sebenarnya juga, sejak kapan kakak jadi enggak percaya sama aku? Kenapa enggak percaya lagi sama aku? Aku salah apa?" tanya Rana memandang sang kakak dengan kecewa, membiarkan kakaknya hanya tertunduk yang mungkin saja menggerutu, alih-alih berpikir dan menyadari kesalahan, "Kak ... kakak tahu enggak sih yang sudah kakak kasih tahu ke Tomi itu apa? Kakak sadar enggak?" kata Rana mencecar Jess dengan pertanyaan dan pertanyaan. Terdiam dua wanita itu, napas menggebu Rana semakin memperjelas suasana yang canggung dan tidak tentram. Mata memerah dan hidung yang sesekali kembang-kempis, cukup menjelaskan suasana hati Rana kini yang menahan segalanya. Sedih, marah, dan kecewa sudah tidak bisa lagi dibagi atau sekadar dijelaskan semuanya, hanya ada satu kata yang pantas menjelaskan. Sesak. "Itu rencana aku, itu rencanaku untuk mencari tahu keterlibatan Tomi sama Fafa si pengirim paket, itu rencanaku buat cari ta
[Kemarin] Satu hari sudah berlalu sejak wanita asing datang dan berbincang, sehari sudah berlalu dengan beban pikiran yang semakin tidak terkendali, dan sudah sehari pula memiliki suami rasa jomlo. Walau hubungan tidak melibatkan perasaan, namun tak jarang perasaan memang tidak bisa dikendalikan, terutama saat diri ini beberapa kali mengandalkannya dalam berbagai hal. "Ih!" seru wanita bersetelan semi formal cenderung santai, hanya menggunakan blus dan blazer dengan celana panjang kulot. Ingin rasanya berkeluh kesah dan mengoceh atas segala yang terjadi, namum nyatanya hidup memang akan selalu sendiri dan berjuang sendiri Melangkah keluar wanita itu tanpa sedikitpun menoleh ke pria yang termenung membisu di sofa ruang tengah, melewatinya seolah memang tidak ada apapun. Memulai pagi dengan perasaan yang berkecamuk, menghabiskan hari kemarin dengan kegundahan dan kesedihan. Walau pernikahan ini dilakukan dengan kesepakatan demi tujuan masing-masing, namun menikah demi sebuah kart
[2 Hari lalu] Membelah ramainya jalan di siang menuju sore hari, lebarnya jalan di area bisnis perkantoran dan pusat kota, membuat jalanan seolah tidak pernah padat merayap meski seluruh karyawan keluar pada waktu bersamaan. Tertibnya lalu lintas tentu bagian dari kelancaran jalan yang dihasilkan, berpacu lagi dengan kecepatan tinggi nan stabil usai lampu jalan telah hijau. Pikiran yang terbang ke banyak hal dengan penuhnya fokus tak terbatas, membawa wanita di dalam kendaraan roda empat berwarna merah itu kembali ke rumah. Menghentikan cepat mobilnya di pinggir jalan tepat depan rumah, keahlian mengemudi jelas tak perlu dipertanyakan lagi. Bruk! "Loh ... sudah pulang?" tanya seorang pria yang kini memiliki perut sedikit buncit, memegang sapu dan terlihat sedang menyapu rumah. Menoleh pria itu ke dalam rumah dan kembali melihat ke arah istrinya yang sedang membuka gerbang, "baru jam 11," katanya lagi. "Aku enggak boleh pulang ke rumahku sendiri?" ketus Rana sambil melangkah masuk
[2 Hari lalu] "Menguasai salah satu cabang bisnis buat berbagi hasil, melanjutkan bisnisnya dan berorientasi pada penghasilannya?" kata Rana mengulang hal yang baru ia tahu, perkataan yang mendapat anggukan setuju, "kalau tentang Kalil taruhan, aku sudah tahu langsung dari Kalil sekitar dua minggu lalu. Tapi kenapa Tomi dendam sama aku?" "Ya kamu punya masa lalu apa sama Tomi?" jawab Fafa membuat Rana mengernyit bingung, terdiam sesaat dan menggeleng, "yakin?" kata wanita itu bertanya lagi, dan mendapat anggukan walau ekspresi tidak meyakinkan. Terhela napas Fafa melihat kebingungan Rana. Sebagai perempuan, dirinya sadar bahwa Rana tidak merasa bersalah dan tidak menganggap hal yang sudah lalu itu sebagai hal penting. "Aku mau tanya dulu, kamu kenapa bisa enggak peduli sama apapun dan siapapun?" tanya Fafa setelah terdiam sejenak dan bertukar tatap dengan Rana, komunikasi mata pun yang didapat hanya kehampaan belaka. "Ya ... buat apa? Aku urus diri sendiri saja belum tentu benar,
[2 hari lalu]Berdeham panjang Rana mendengar itu, begitu ingin mulut berujar jahat tentang fakta bahwa pada akhirnya Kalil tidak menikahi wanita itu, "oke," tanggap Rana singkat dan memilih untuk menahan dirinya dari kejahatan verbal.Saling terdiam dan memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Tujuan, manfaat, keinginan, kehendak, harapan, dan hal lainnya yang baru diketahui. Menciptakan hening yang begitu dalam di antara mereka, seolah tidak tahu lagi hal yang ingin dibicarakan namun juga ada banyak hal yang ingin dikatakan dan ditanyakan. Kebingungan melanda keduanya, harus memulai dari mana? Apakah akan ada rasa tersinggung? Bisakah ini dibicarakan? Dan banyak lagi yang dikhawatirkan wanita bernama Fauziah Aini itu.Begitu pula dengan keragaman yang berada di pikiran seorang Kirana Zendaya. Apa harus bertanya lebih jelas tentang hubungan wanita itu dengan Kalil? Bisakah Kalil dan wanita itu dipercaya? Harus mulai dari mana mempercayainya? Tapi apa perkataannya semua itu benar? Kena
[2 hari lalu]"Jadi inti tujuanmu untuk mengingatkanku tentang bahaya sosial terutama lingkunganku gitu?"Mengangguk Fafa menanggapinya, "kamu bisa menjauhi bahaya itu dengan sikap bodoamat, dengan perilaku individualis, tapi itu tetap enggak bisa menyelamatkanmu. Orang jahat bisa saja dari sekitarmu sendiri, kayak yang dialami kakakmu," jelas Fafa membuat Rana terbungkam bersama pemahaman dan kesadarannya."Aku payah," lirih Rana seorang diri menyadari kegagalannya melindungi orang yang disayang dan menjaga diri sendiri, "terus apa urusannya sama kamu?""Kalau orang jahat saja bisa dari lingkungan sekitar, dari orang terdekat. Berarti orang baik juga bisa dari lingkungan terjauh, bahkan enggak dikenal dong," tutur Fafa membuat Rana sontak menyipitkan matanya bingung, "enggak ada yang bilang kalau aku baik, aku juga enggak baik ke kamu. Buktinya kamu ketakutan, dan kakakmu mau melibatkan pihak berwajib, ya karena caraku juga salah sih.""Sadar?" kata Rana menjawab dengan ketus."Aku c
Waktu berputar tak kenal lelah, waktu berjalan tak tahu bosan, dan waktu berlalu tanpa terasa. Sepuluh hari sudah sejak paket terakhir dikirim, dan dua hari sudah setelah bertemu tatap muka dan berbicara langsung dengan si penerima paket.Aktivitas harian selama satu bulan yang biasa terisi dengan pikiran untuk paket, kini menjadi aktivitas harian yang terasa lebih tenang dan santai. Bisa melakukan apapun dengan bebas dan sesuai keinginan, tidak perlu berharap dan hanya perlu mengambil segala hal serupa kesempatan yang menguntungkan terlihat.Berbaring cepat seorang wanita dengan rambut hitam sebatas bahu, napas terengah, mata terpejam, dan keringat yang membasahi wajah maupun tubuhnya. Diembuskan napas terengah itu berulang kali dari mulut, seolah meniup udara yang tak kunjung mengantarkan oksigen yang cukup."Ah ... kamu enak," puji seorang pria sambil mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke wanita di sebelahnya, menatap penuh kepuasan pada wanita yang hanya tersenyum kecil t
"Masuk!" Terbuka perlahan pintu ruang kerja itu oleh seorang wanita setelan formal, senyum simpulnya tidak mendapat balasan apapun dari sang penguasa ruangan itu. Melihat respon yang cenderung biasa diterima, berjalan keluar lagi wanita itu seraya mempersilakan tamu yang dibicarakan sebelumnya. Bunyi langkah dari sepatu tinggi terdengar jelas beradu dengan lantai, bunyi langkah yang sontak menghilang saat gerakan kaki itu terhenti tepat di balik pintu ruang kerja yang kini sudah tertutup. Saling beradu tatap dua wanita itu, napas menderu menjadi bahasa tubuh pertama yang disadari si Kepala Humas. Ada sedikit kegugupan yang wanita itu lihat dari tamu tak diundangnya, kegugupan yang sangat terlihat dari napas tidak stabil. "Sini," kata wanita bernama Kirana Zendaya itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya, dua kursi yang berada persis di hadapannya dan hanya terjarak meja kerja. Terdiam wanita bersetelan santai cenderung tak sopan itu, setelan santai berupa celana pendek di atas lut