Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Menyapu pandangan ke sekitar ruangan. "Ibu, siapa?" tanyaku penasaran. "Aku yang akan mengubah duniamu!" ketusnya. "Anakku ke mana, Bu?" Air di dalam kelopak mataku tidak dapat lagi kusembunyikan, mengalir tanpa bisa kutahan. "Jangan panggil ibu! Panggil saya tante Rose. Kamu jangan--" ucapnya terhenti ketika aku menyeka airmataku, yang mengalir bebas. Pipiku terasa aneh, berkerut dan terasa kasar. Kemudian aku meraba seluruh wajahku. "Ke--kenapa ini? Ada apa dengan wajahku?!" teriakku. "Cermin, ya, cermin di mana?" Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh dan beringsut dari ranjang. "Di mana? Di manaa?!" pekikku. Berjalan, tidak tentu arah. Mencari cermin untuk melihat ada apa denganku. "Tidak ada cermin di sini!" tegas wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Rose. Tangis dan teriakanku menjadi satu, menggema di ruangan ini. Sementara itu, tante Rose hanya duduk memandang ke arahku dengan pandangan yang tida
Selesai membersihkan diri dan berpakaian, serta memasang masker di wajahku untuk menutupi luka bakar. Tante mengajakku menaiki mobilnya. Mataku menyapu seluruh area ini, sudah di pastikan jika ini adalah apartement. Tapi, aku tidak tau ini di mana. Perjalanan cukup jauh, membuat tubuhku lemas. Dikarenakan duduk terlalu lama. Ketika, melihat sebuah taman di balik jendela mobil, anganku melayang ke masa lalu. Di mana aku ingin sekali berhenti sejenak di sana, menghirup udara bebas. Udara yang berasal dari banyaknya pepohonan. Namun, mas Aditya enggan menemaniku dan memilih bekerja. Sekarang aku tau, bukan bekerja tujuannya saat itu. Akan tetapi wanita yang tengah hamil muda itu. Jika aku tahu sejak awal, akan ku beri r*cun, mas Aditya. Suami yang tidak tau di untung itu. Terlebih mertuaku, yang selalu meludahi makanan yang kumasak dengan cinta. Begitu juga iparku yang sempurna, Sintia. "Ayo kita turun." Tante Rose memegang pundakku, membuat lamunanku buyar. Suster dan tante memba
"Kita turun sekarang," ajak Tante Rose. "Ini kuburan! Untuk apa kita ke sini?" tanyaku bingung. Sepertinya, sudah kebiasaan mereka. Selalu mengabaikan, jika aku bertanya di situasi yang genting. Tante segera turun di ikuti suster yang menemani kami sejak tadi. Kemudian, mereka mengambil kursi roda. Lalu, memintaku untuk segera duduk. Mata tante berair dan merah, begitu juga dengan hidungnya. Mirip dengan orang yang sedang menahan tangisannya. "Halo, kamu masih di makam?" "-----------" "Gue langsung ke sana!" Tante menutup panggilannya, aku tidak dapat melihat apapun yang di kerjakan tante di belakangku. Padahal, tante bisa berjalan di sampingku. "Menangislah sepuasnya, lalu tinggalkan dirimu di sini. Kemudian berubah menjadi yang lebih baik." ujar tante Rose dengan suara tercekat. Kursi roda terus di dorong, cukup jauh ternyata hanya untuk bertemu dengan tante Rebecca. "Kenapa harus di kuburan, sih?" keluhku, "Oh, ya, tante belum mengajakku untuk bertemu anakku. Aku
"Kalian brengs*k! Dasar b*jingaaan!!" pekikku. Rasanya seperti hatiku yang di sobek oleh mereka, lalu direndam air garam. Perih, pilu, tidak berdaya. Bagaimana mereka bisa berlaku keji seperti ini, pada Mutiara. Bukankah darah mereka mengalir di tubuh mungil anakku. Apa yang ada di pikiran mereka! Apakah usaha yang kubangun bertambah pesat, sehingga layak untuk menghilangkan kami berdua. Tangis meraung-raung dan sumpah serapah terucap lagi. "Nak, bawa mama ... Bawa mama! Mama enggak mau sendirian, Mutiara. Bawa mama pergi," Tangisku mengundang tatapan dari para peziarah lainnya. Ada pengunjung yang berbicara nyelekit, "ini makam, tidak elok teriak dan menangis di sini! Berilah bekal doa untuk mereka yang ada di sini!" Namun, aku mengabaikannya. Memilih memeluk makam anakku yang masih basah. "Keluarkan semua yang ada di hatimu, legakan dadamu yang sesak bagai terhimpit batu besar. Namun, kamu harus bangkit, untuk memberi mereka pelajaran, ujar Tante Rebecca. Tante Rose menepuk
Aku akan membuat mereka tekuk lutut di hadapanku, setelah aku mendapatkan wajahku lagi. Dengan semangat dan sisa senyuman Mutiara yang kuingat, aku berjalan ke arah kamar mandi. Melepas pakaianku dan menyimpannya dalam plastik. Kemudian mengguyur tubuhku dengan air dingin, agar otakku tidak terpengaruh oleh halusinasi. Selesai mandi dan mengganti pakaian, aku duduk di depan jendela. Menatap jauh ke depan, tanpa sadar aku menyentuh buku yang tadi di berikan oleh tante Rebecca. Tertulis diary disana. "Maaf, Mas. Aku mengacaukan semuanya dan kamu pun harus melewati hidup dan mati demi menyelamatkan anakku." lirih ku sebelum membaca diary itu. Ketika akan membuka diary, suara derit pintu terbuka, mengangguku. Kututup kembali buku yang ditulis oleh mas Kelvin. "Sudah bisa berdamai dengan hatimu?" tanya tante Rebecca. Aku mengangguk, meski hatiku sebenarnya terluka parah sangat parah namun, tidak berdarah. "Kita akan mengurus pembuatan paspor dan dokumen pendukungnya besok. Kamu
Kubersihkan ludah itu dengan tanganku, kemudian aku berusaha berdiri. Kukembalikan ludah itu ke pipinya di tambah bonus tamparan. "Lo ingat baik-baik, ya! Ini permulaan untukmu dan keluargamu!" ujarku dengan santai. Kemudian, kembali duduk dan meminta suster mendorong kursi rodaku menjauh dari wanita yang tidak punya akhlak itu. Masih sempat aku memberikannya senyum smirk yang indah, karena melihatnya terpaku pada perubahanku. Kulihat kedua tante Kelvin memberikan acungan dua jempol mereka, untung saja mereka tidak di dekatku. Sehingga wanita ular itu tidak akan tau aku pergi dengan siapa. Dari kejauhan, kulihat Mas Aditya lari tergopoh-gopoh, mendekati wanita yang masih terus terpaku menatapku. "Sus, belok!" pintaku, aku ingin melihat dan mendengar ada apa dengan mereka sehingga mas Aditya terlihat khawatir dan terburu-buru. Namun, wanita itu malah mengikutiku dan Mas Aditya mengekori wanita itu. Aku meminta suster untuk meninggalkanku, dan membawa kursi roda. Keberuntungan
"Sudahlah! Kamu itu tidak berubah, entah kenapa aku malah memilihmu yang merepotkan!" bentak Mas Aditya, kemudian lelaki yang pernah bersamaku beberapa tahun, pergi meninggalkan wanita yang dipilihnya, lalu wanita itu mengekori sang suami sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Setelah mereka berdua hilang dari pandanganku, aku mendekati suster dan berterima kasih pada wanita muda itu. "Itu suami Mbak?" tanyanya. "Mantan, tepatnya!" balasku. "Yang membuat mbak seperti ini?" tunjuknya pada wajahku yang rusak dan aku mengangguk, mengiyakan tanyanya. "Kenapa enggak lapor polisi? Eh, tapi rugi sih! Lebih baik mbak balas aja perlakuannya, dan hancurkan secara perlahan-lahan. Saya pikir hanya di sinetron dan novel aja, ada suami yang begitu. Sabar mbak! Jika butuh bantuan ini nomor saya. Saya paling benci dengan lelaki seperti itu!" Gadis ini mengulurkan kertas yang sudah ditulis nomor ponselnya. "Tau dari mana, kalau saya tersiksa dan semua ini karena perbuatannya?" Rasa penas
"Ada apa, Bu? Eh, Mbak Gladis!" tanya Anis dengan suara tersengal-sengal. Aku tak menjawabnya, dadaku sesak lagi. Seperti di hantam batu besar. Anis mengelus punggungku perlahan, dan menggenggam tanganku. "Nis, bolehkah aku meminjam ponselmu?" tanyaku. "Aku sedang rindu pada orang tuaku." kelasku, kemudian. "Saya ambil dulu," Anis keluar dari kamar untuk beberapa saat, dan kembali dengan ponsel di genggamannya. "Tapi, tante sudah melarangku!" ucapnya ragu. "Aku hanya rindu mereka. Lagi pula besok kita akan berangkat!" ujarku kesal. Sebenarnya, aku paham posisinya. Akan tetapi, aku benar-benar rindu pada kedua orang tuaku. Sudah lama tidak mengetahui kabarnya mereka, aku hanya sibuk mengurus rumah tanggaku. "Tolong jangan sebutkan alamat kita!" Anis mengulurkan ponselnya padaku. Ketika akan menekan tombol-tombol angka, aku menjadi ragu. Terbayang pengorbanan kedua orang tuaku, pengorbanan kedua tante Mas Kelvin, Anis, bahkan aku lupa, jika Mas Kelvin sedang sekarat di r