"Mbak, sepertinya telepon rumah keluarga mbak disadap oleh orang. Ini buktinya dia tahu kalau ada yangencari mbak Gladis!" ujar Anis. Aku menatap mata Anis, kini ketakutan mulai muncul di hatiku. Curiga, pada hal yang seharusnya tidak perlu aku curigai. Aku takut, jika Anis salah satu dari mereka. Yang pandai menyembunyikan kebenaran. 'Ada apa denganku!' lirihku. Aku memukul kepalaku, menyadarkan pikiran burukku karena kecurigaan yang tidak mendasar. "Mbak, kenapa?" Anis terlihat panik. 'Apa benar, orang sebaik ini akan mencelakaiku!'Anis melambaikan tangannya ke depan wajahku. Seakan-akan, aku ini kehilangan kesadaran. "Eh, iya. Aku juga berpikiran seperti itu!" ucapku bohong. Tatapanku tidak beralih darinya, membuatnya merasa aneh dan berkali-kali melihat dirinya sendiri. "Mbak, aku ke bu Rebecca!" Anis langsung pamit, tanpa menunggu persetujuanku. Dengan perlahan aku turun dari ranjang dan mengikutinya, untung saja pintu tidak ditutup olehnya memudahkanku untuk keluar. Hat
"Enggak, Tan. Aku tidak ada hak untuk melarang, malah seharusnya aku yang ijin dan berterimakasih karena sudah diijinkan tinggal di sini dan di rawat dengan baik."Tante Ecca hanya mengusap rambutku dan berlalu, ujarnya ingin mempersiapkan keperluan Mas Kelvin dan kepindahannya. 'Bagaimana caranya menghindari Mas Kelvin!'Hanya hembusan napas kasar, yang memberi kelegaan hatiku. Buku yang di tulis Mas Kelvin, membuatku benar-benar merasa di atas awan namun, takut terjatuh ke jurang. "Kenapa manyun?" ledek Anis. "Aku malu, harus bertemu dengan Mas Kelvin!" jawabku jujur. Anis tertawa mendengar apa yang kuucapkan. Aku hanya mencubit pinggangnya karena kesal. Setelah kejadian ponsel kemarin, kami semakin dekat. Aku mulai percaya padanya namun, tetap tidak bisa 100%.Aku menatap langit-langi kamar dan kembali termenung, rasanya rindu sekali pada Mutiara dan kedua orang tuaku. Ingin memeluk mereka erat di saat aku terpuruk seperti ini. Akan tetapi, harus menahan diri agar bisa membalas p
Anis tergopoh-gopoh, ketika aku memanggilnya dari depan pintu kamarku. Jika tidak ada kedua tante Kelvin, maka aku berani berteriak. "Iya, Mbak?" tanyanya panik. Mungkin dalam pikirannya dia berbuat salah atau sesuatu terjadi padaku. "Ponsel kamu ada di dalam. Kamu lupa membawanya!" ujarku, dengan menatapnya tajam. Anis sempat salah tingkah, ketika aku menatapnya, dan berlalu mengambil ponselnya yang belum berhenti berdering. Dia langsung menerima panggilan itu, dan beberapa kali menoleh ke arahku. "Mbak, saya mau pamit!" ujarnya, setelah menyelesaikan panggilan telepon. "Tunggu dulu, telepon suami kamu lagi dan katakan padanya suruh tunggu di ruangan security, nanti aku yang kasih tau security."Tanpa menunggu jawaban Anis yang menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Aku menelpon security yang sedang berjaga dan meminta mereka menemani suami Anis, dengan alasan Anis sedang membantuku. "Duduk, Nis!" pintaku dengan nada ketus. Anis langsung duduk dengan gelisah, ber
"Enam tahun yang lalu, aku belum menjadi perawat rumah sakit dan perawat spesial yang bisa di minta menemani pasien di rumahnya. Orang tuaku tidak punya harta, aku pun sama. Saat itu, Mas Aldi sudah bekerja di perusahaan bonafide. Keluarga Mas Aldi berharap mendapatkan menantu yang kaya dan bisa membantu kerajaan bisnis yang sedang mereka kembangkan diam-diam. Adik Mas Aldi datang dan mengancamku untuk tidak mendekati Mas Aldi lagi dan aku menurutinya. Namun, perasaan kami tidak bisa di bohongi, Mbak. Mas Aldi tetap menikahiku, tanpa persetujuan keluarganya. Pesta pernikahan yang di gelar di rumahku, di rusak oleh keluarga Mas Aldi dan membuat ibu, bapak syok. Bapak langsung meninggal, sedangkan ibu struk dan selalu meratap. Namun, melihat kami bahagia, kesehatannya mulai pulih. Mas Aldi pun diusir dan di coret dari KK mereka, berulang kali Mas Aldi memohon maaf namun, selalu ditolak dan pulang ke rumah dengan keadaan babak belur." Anis menghentikan ceritanya dan menghapus air matanya.
Aldi memegang pundak Anis dan mengangkat dagunya. "Kamu bohong apa, Nda? Tidak mungkin, kan!" cecar Aldi. "Ma--Mas Aditya!" ucap Anis dengan suara tercekat. Mata Aldi membulat mendengar nama kakaknya disebut, lalu dia memandangku dengan tajam. "Jika kamu di permainkan olehnya! Bukan berarti Anis berbohong padamu!" Aldi menahan amarahnya, tapi tidak dengan jarinya yang menunjukkan ke arahku. Terlihat sekali dia sangat sayang pada Anis, berbeda dengan kakaknya."Assalamualaikum, Bunda," Sapa anak lelaki yang berusia 5 tahun. "Bunda nangis?" tambahnya.Aldi menunduk dan menatap anaknya, dengan senyum dia berkata jika bundanya kelilipan pasir saat membersihkan jendela kamarnya sebelum bertemu mereka dan bocah kecil itu percaya. Aldi meminta anaknya untuk menjauh dan memainkan mainannya dan dituruti juga oleh anak itu. Lembutnya, Aldi ketika sedang berbicara pada anaknya membuatku tanpa sadar meneteskan air mata. Ketika aku menyeka air mata yang turun, selendang yang kupakai turun. Men
Anis mendekatiku, kemudian memelukku erat. Menenangkanku dengan tepukan di pundakku. "Mbak, maaf! Aku benar-benar tidak tau kalau mbak istrinya, eh, mantannya Mas Aditya! Di rumah sakit pun aku tidak langsung mengenali Mas Aditya. Karena memang aku tidak pernah melihatnya!" ujar Anis lembut. "Memang, bagaimanapun Mas Aldi tetaplah adik dan anak mereka. Tapi, mereka sudah membuang Mas Aldi, menderita. Mereka mengadu pada pimpinan perusahaan, kalau Mas Aldi bermasalah dan bualan mereka yang lainnya sehingga Mas Aldi di pecat tanpa pesangon. Sekarang Mas Aldi mengurus ladang kami! Apa yang bisa kami tanam, yang sebagian bisa di jual, sebagian di masak dan makan sendiri. Aku yang bekerja dan da yang di rumah dan sesekali jadi tukang ojek dadakan." imbuh Anis. "Mbak, kalau bisa hancurkan mereka. Agar mereka bisa mengingat Tuhan. Tindakan mereka sudah terlalu jauh! Percayalah, aku akan mendukungmu! Maafkan atas ketidak tahuanku tentangmu. Karena, aku sudah putus kontak dengan mereka sejak
Terdengar tawanya ketika keluar dari kamar. Aku menggaruk kepalaku, melihat tingkahnya yang aneh. Buru-buru, aku membersihkan diri dan menemui tante Rebecca. Karena hanya ada dia di rumah, tante Rose sedang berada di salah satu kota untuk mengurus udahannya. "Tan, apakah Mas Kelvin kepalanya terluka?" tanyaku serius. Tante Ecca menatapku bingung. "Kemarin, dokter enggak ngasih tau kalau kepalanya terluka! Hanya dadanya saja, dan itu harus berhati-hati, karena jantungnya terhimpit!" terangnya. "Emang ada apa?" tanya Tante Ecca kemudian. "Kayaknya dia mulai sinting, Tan!" ujarku serius. Tante Ecca tertawa terbahak-bahak, mendengar penuturanku."Tante kira aku bohong?!" ucapku kesal. "Tidak! Emang rada aneh sih dia, sejak pagi ini!" Tante mencoba mengingat-ingat. "Nah, coba tante kirim dia ke rumah sakit lagi! Mungkin ada pemeriksaannya terlewat!" Aku mencoba memberikan saran dan tante mengacu ngikutin jempol. "Oya, kapan kamu siap di operasi?" tanyanya, tante Ecca mengalihkan p
Mas Kelvin terus mendekatiku, berusaha meraih tubuhku. "Mas, sadar! Aku minta maaf kalau aku salah!" lirihku. Seperti awal tadi, Mas Kelvin tidak menggubris ucapanku. Dia makin mendekat dan mencoba meraih tanganku. Aku berlari ke arah jendela, dan melompati pembatas. "Jangan berani sentuh aku lagi, Mas!" ujarku. Mataku sudah tidak mampu menampung air yang ingin menyerobot keluar. Mas Kelvin duduk di tepi ranjang, dan memandang nanar padaku. Setitik air mata jatuh, dari neteanya yang terlihat memerah. "Kalau kamu mati, aku pun akan mati!" Mataku terbelalak mendengarnya. Ini mah benar, Mas Kelvin kepalanya luka parah. "Tante! Tante!" pekikku berulang. Suaraku menggema hingga seluruh ruangan, tentu saja Tante Ecca mendengarnya. Tidak butuh waktu lama, Tante Ecca datang dan melihat ke arahku. "Kamu apa-apaan, Dis!" bentaknya."Tan, Mas Kelvin sudah jadi gila! Ini pasti karena kepalanya yang kebentur dan dia mengalami gegar otak! Dia, mau ...."Aku menatap ngeri ke arah Mas Kelvin.