Anis tergopoh-gopoh, ketika aku memanggilnya dari depan pintu kamarku. Jika tidak ada kedua tante Kelvin, maka aku berani berteriak. "Iya, Mbak?" tanyanya panik. Mungkin dalam pikirannya dia berbuat salah atau sesuatu terjadi padaku. "Ponsel kamu ada di dalam. Kamu lupa membawanya!" ujarku, dengan menatapnya tajam. Anis sempat salah tingkah, ketika aku menatapnya, dan berlalu mengambil ponselnya yang belum berhenti berdering. Dia langsung menerima panggilan itu, dan beberapa kali menoleh ke arahku. "Mbak, saya mau pamit!" ujarnya, setelah menyelesaikan panggilan telepon. "Tunggu dulu, telepon suami kamu lagi dan katakan padanya suruh tunggu di ruangan security, nanti aku yang kasih tau security."Tanpa menunggu jawaban Anis yang menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Aku menelpon security yang sedang berjaga dan meminta mereka menemani suami Anis, dengan alasan Anis sedang membantuku. "Duduk, Nis!" pintaku dengan nada ketus. Anis langsung duduk dengan gelisah, ber
"Enam tahun yang lalu, aku belum menjadi perawat rumah sakit dan perawat spesial yang bisa di minta menemani pasien di rumahnya. Orang tuaku tidak punya harta, aku pun sama. Saat itu, Mas Aldi sudah bekerja di perusahaan bonafide. Keluarga Mas Aldi berharap mendapatkan menantu yang kaya dan bisa membantu kerajaan bisnis yang sedang mereka kembangkan diam-diam. Adik Mas Aldi datang dan mengancamku untuk tidak mendekati Mas Aldi lagi dan aku menurutinya. Namun, perasaan kami tidak bisa di bohongi, Mbak. Mas Aldi tetap menikahiku, tanpa persetujuan keluarganya. Pesta pernikahan yang di gelar di rumahku, di rusak oleh keluarga Mas Aldi dan membuat ibu, bapak syok. Bapak langsung meninggal, sedangkan ibu struk dan selalu meratap. Namun, melihat kami bahagia, kesehatannya mulai pulih. Mas Aldi pun diusir dan di coret dari KK mereka, berulang kali Mas Aldi memohon maaf namun, selalu ditolak dan pulang ke rumah dengan keadaan babak belur." Anis menghentikan ceritanya dan menghapus air matanya.
Aldi memegang pundak Anis dan mengangkat dagunya. "Kamu bohong apa, Nda? Tidak mungkin, kan!" cecar Aldi. "Ma--Mas Aditya!" ucap Anis dengan suara tercekat. Mata Aldi membulat mendengar nama kakaknya disebut, lalu dia memandangku dengan tajam. "Jika kamu di permainkan olehnya! Bukan berarti Anis berbohong padamu!" Aldi menahan amarahnya, tapi tidak dengan jarinya yang menunjukkan ke arahku. Terlihat sekali dia sangat sayang pada Anis, berbeda dengan kakaknya."Assalamualaikum, Bunda," Sapa anak lelaki yang berusia 5 tahun. "Bunda nangis?" tambahnya.Aldi menunduk dan menatap anaknya, dengan senyum dia berkata jika bundanya kelilipan pasir saat membersihkan jendela kamarnya sebelum bertemu mereka dan bocah kecil itu percaya. Aldi meminta anaknya untuk menjauh dan memainkan mainannya dan dituruti juga oleh anak itu. Lembutnya, Aldi ketika sedang berbicara pada anaknya membuatku tanpa sadar meneteskan air mata. Ketika aku menyeka air mata yang turun, selendang yang kupakai turun. Men
Anis mendekatiku, kemudian memelukku erat. Menenangkanku dengan tepukan di pundakku. "Mbak, maaf! Aku benar-benar tidak tau kalau mbak istrinya, eh, mantannya Mas Aditya! Di rumah sakit pun aku tidak langsung mengenali Mas Aditya. Karena memang aku tidak pernah melihatnya!" ujar Anis lembut. "Memang, bagaimanapun Mas Aldi tetaplah adik dan anak mereka. Tapi, mereka sudah membuang Mas Aldi, menderita. Mereka mengadu pada pimpinan perusahaan, kalau Mas Aldi bermasalah dan bualan mereka yang lainnya sehingga Mas Aldi di pecat tanpa pesangon. Sekarang Mas Aldi mengurus ladang kami! Apa yang bisa kami tanam, yang sebagian bisa di jual, sebagian di masak dan makan sendiri. Aku yang bekerja dan da yang di rumah dan sesekali jadi tukang ojek dadakan." imbuh Anis. "Mbak, kalau bisa hancurkan mereka. Agar mereka bisa mengingat Tuhan. Tindakan mereka sudah terlalu jauh! Percayalah, aku akan mendukungmu! Maafkan atas ketidak tahuanku tentangmu. Karena, aku sudah putus kontak dengan mereka sejak
Terdengar tawanya ketika keluar dari kamar. Aku menggaruk kepalaku, melihat tingkahnya yang aneh. Buru-buru, aku membersihkan diri dan menemui tante Rebecca. Karena hanya ada dia di rumah, tante Rose sedang berada di salah satu kota untuk mengurus udahannya. "Tan, apakah Mas Kelvin kepalanya terluka?" tanyaku serius. Tante Ecca menatapku bingung. "Kemarin, dokter enggak ngasih tau kalau kepalanya terluka! Hanya dadanya saja, dan itu harus berhati-hati, karena jantungnya terhimpit!" terangnya. "Emang ada apa?" tanya Tante Ecca kemudian. "Kayaknya dia mulai sinting, Tan!" ujarku serius. Tante Ecca tertawa terbahak-bahak, mendengar penuturanku."Tante kira aku bohong?!" ucapku kesal. "Tidak! Emang rada aneh sih dia, sejak pagi ini!" Tante mencoba mengingat-ingat. "Nah, coba tante kirim dia ke rumah sakit lagi! Mungkin ada pemeriksaannya terlewat!" Aku mencoba memberikan saran dan tante mengacu ngikutin jempol. "Oya, kapan kamu siap di operasi?" tanyanya, tante Ecca mengalihkan p
Mas Kelvin terus mendekatiku, berusaha meraih tubuhku. "Mas, sadar! Aku minta maaf kalau aku salah!" lirihku. Seperti awal tadi, Mas Kelvin tidak menggubris ucapanku. Dia makin mendekat dan mencoba meraih tanganku. Aku berlari ke arah jendela, dan melompati pembatas. "Jangan berani sentuh aku lagi, Mas!" ujarku. Mataku sudah tidak mampu menampung air yang ingin menyerobot keluar. Mas Kelvin duduk di tepi ranjang, dan memandang nanar padaku. Setitik air mata jatuh, dari neteanya yang terlihat memerah. "Kalau kamu mati, aku pun akan mati!" Mataku terbelalak mendengarnya. Ini mah benar, Mas Kelvin kepalanya luka parah. "Tante! Tante!" pekikku berulang. Suaraku menggema hingga seluruh ruangan, tentu saja Tante Ecca mendengarnya. Tidak butuh waktu lama, Tante Ecca datang dan melihat ke arahku. "Kamu apa-apaan, Dis!" bentaknya."Tan, Mas Kelvin sudah jadi gila! Ini pasti karena kepalanya yang kebentur dan dia mengalami gegar otak! Dia, mau ...."Aku menatap ngeri ke arah Mas Kelvin.
Buru-buru aku menarik meja yang menghalangi pintu dan membuka pintu dengan cepat, kemudian berteriak memanggil tante Ecca dan berlari ke bawah meminta bantuan security, yang berjaga di luar rumah. Aku kembali bersama security dan di dalam kamar ternyata sudah ada tante Ecca yang sedang mengguncang-guncang tubuh Mas Kelvin yang terkulai lemah di lantai. Kekhawatiran nampak jelas di wajahnya, melihat kedatanganku tante Ecca meminta security membantunya mengangkat tubuh Mas Kelvin ke ranjang. "Ada apa sebenarnya, Dis?" tanya Tante Ecca. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, bingung bagaimana caranya menjelaskan yang terjadi pada tante. Tante Ecca mengambil ponsel dan menghubungi seseorang, untuk membantunya terkait kesehatan Mas Kelvin. Aku berdiri mematung, ketika melihat Mas Kelvin menggeliat. Sungguh, hal yang aneh menurutku. Aku tidak pernah melihat lelaki tidur kecuali papaku dan Mas Kelvin. "Aku ganteng, ya?" ucapan absurd, ketika Mas Kelvin terbangun dan duduk. "Gila!" ma
"Mas! Bisa enggak sih, enggak muncul tiba-tiba dan bikin orang jantungan!" kesahku, "lagi pula, siapa yang mau tahu tentang orang aneh kayak gitu!" tambahku. "Hmmm!" jawab Mas Kelvin, sepertinya dia mulai normal. "Mas, jangan berubah seperti itu lagi. Jika kamu pun berubah, aku akan kehilangan semangat! Kamu teman terbaikku." Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Dis, maaf jika membuatmu terluka karena tindakanku kemarin. Mungkin karena pengaruh obat yang kuminum, tapi ajakan untuk menikah aku serius, Dis." Entah kenapa, aku terharu dengan pintanya. Namun, rasa sakit menghalangi semua. "Mas, aku tidak memikirkan pernikahan untuk saat ini. Yang ada di pikiranku, mereka harus membayar semuanya, meskipun aku tahu hal itu tidak akan setimpal dengan apa yang aku rasakan dan alami." "Jika kita menikah, semua bisa lebih mudah Gladis!" ujarnya dengan nada tinggi. "Tidak! Akan lebih sulit, Mas. Tolong, bencilah aku. Hingga suatu saat ada cinta lain di hatimu, aku tidak pantas unt