"Mas! Bisa enggak sih, enggak muncul tiba-tiba dan bikin orang jantungan!" kesahku, "lagi pula, siapa yang mau tahu tentang orang aneh kayak gitu!" tambahku. "Hmmm!" jawab Mas Kelvin, sepertinya dia mulai normal. "Mas, jangan berubah seperti itu lagi. Jika kamu pun berubah, aku akan kehilangan semangat! Kamu teman terbaikku." Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Dis, maaf jika membuatmu terluka karena tindakanku kemarin. Mungkin karena pengaruh obat yang kuminum, tapi ajakan untuk menikah aku serius, Dis." Entah kenapa, aku terharu dengan pintanya. Namun, rasa sakit menghalangi semua. "Mas, aku tidak memikirkan pernikahan untuk saat ini. Yang ada di pikiranku, mereka harus membayar semuanya, meskipun aku tahu hal itu tidak akan setimpal dengan apa yang aku rasakan dan alami." "Jika kita menikah, semua bisa lebih mudah Gladis!" ujarnya dengan nada tinggi. "Tidak! Akan lebih sulit, Mas. Tolong, bencilah aku. Hingga suatu saat ada cinta lain di hatimu, aku tidak pantas unt
"Mbak!" sapa Anis. Suaranya membuatku tenang, aku langsung memeluknya erat. Menumpahkan rasa sakit yang tidak akan pernah hilang, aku butuh seseorang yang terus di sisiku, merangkulku dalam tangis dan kesedihan mendalam saat ini. "Mbak sudah siap-siap?" tanyanya di sela-sela menepuk punggungku. "Maaf atas kebohonganku, kenyataan yang takut aku jelaskan!" tambahnya. "Kamu, tahu? Tanpa kamu aku sangat kesepian. Sudah tiga hari ini aku mengurung diri, aku benar-benar tidak ingin diganggu. Bahkan aku memulai membenci semua orang yang ada di dalam rumah ini! Mereka seperti menutupi sesuatu dariku!" ucapku dalam isakan. "Seminggu kamu pergi, aku seperti ranting di sungai, yang terombang-ambing tidak jelas. Rasanya sangat lelah, dan ingin mengakhirinya segera!" tambahku. "Sabar, semua akan bahagia pada waktunya. Mas Aldi pun tidak tenang saat mengetahui perbuatan keluarganya pada mbak Gladis, dia ingin langsung melabrak kakaknya, tapi aku berusaha melarangnya agar balas dendam Mbak Gl
*** "Mbak, ini ada istri bupati dari daerah Jawa, minta di buatkan baju khusus." Anis melapor. Aku merentangkan tangan, dan memiringkan tubuhku ke kiri dan ke kanan. Meregangkan otot yang mulai kaku. "Buatkan saja, janji. Agar dia bisa memilih desainnya seperti apa!" jawabku, saat memutar kursiku menghadap ke arahnya. Tiga tahun setelah operasi plastik di lakukan, aku dan Anis melakukan branding nama dan produk, tentu didukung oleh kedua tante Mas Kelvin dan pastinya Mas Kelvin sendiri. Aku hadir dengan wajah yang baru tapi tetap tidak menghilangkan wajah asliku. Orang-orang terdekatku pasti mengenaliku, hanya saja penampilanku yang sangat berubah. Begitu kata mama dan papa saat berjumpa denganku untuk pertama kalinya. Kuceritakan kepedihan dan kesakitanku pada mereka, ketika mereka sudah kuamankan di rumahku. Rumah sederhana yang kuperoleh dari jerih payahku. Awalnya mama papa ingin langsung marah ke rumah mantan besannya, tapi aku melarang mereka. Aku mengatakan akan memba
Kububuhkan emot love di setiap postingan Mas Aditya, agar menarik perhatiannya. Lalu aku mengunggah poto diriku yang sedang bekerja di ruangan dengan berbagai gaya dan secantik mungkin. Banyak komentar dari para kolega, yang pernah atau masih bekerja sama denganku. Memuji kecantikanku dan juga keanggunanku. Tling! Ada pesan masuk melalui WA dan dari nomor yang aku tidak aku kenal. Dengan malas aku membukanya, sebenarnya saat ini aku enggan menerima pekerjaan, apapun. Namun, untuk segera melunasi hutangku pada Mas Kelvin lunas, aku harus bekerja lebih ekstra lagi. [Hai, cantik!] Waduh, pesan apaan ini?! Tentu saja membuatku tersenyum miris. Aku tahu, jika yang mengirim pesan itu adalah Mas Aditya. Sepertinya, dia butuh dana banyak. Sehingga menghilangkan urat malunya. [Maaf, saya tidak suka dipuji! Saya pun tidak mengenal anda!] Kukirimkan balas padanya. [Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat tadi di akun, Mbaknya. Saya hanya ingin menyambung hubungan bisnis.] Pesanny
"Iya!" ucapku kesal. Mas Kelvin mendekatiku dan melihat ponsel yang kupegang. Dia berdecak kesal karena aku sudah memulai aksiku, tanpa sepengetahuan darinya. "Kamu mengambil keputusan sendiri?!" ucapnya dengan nada sinis. Aku menghela napas panjang, enggan berdebat dengannya. Memilih beralih mengambil berkas yang ada di depan mejaku, dan membacanya dengan teliti. Mengacuhkan Mas Kelvin yang sedang kesal, dan duduk diam di tempatnya semula. Banyak notif yang masuk dari aplikasi biru itu, membuatku penasaran. Kemudian meraih ponselku untuk melihat ada apa, sebenarnya. Seulas senyuman, kuukir dengan indah. Sehingga menarik perhatian dari Mas Kelvin. Kulihat pria berwajah manis itu membuang wajahnya ke samping, ketika aku tersenyum padanya. "Marah, Mas?" Aku meledeknya. Sayang, tak ada tanggapan darinya. Matanya tetap fokus pada kertas yang disusun rapih, menjadi satu kesatuan. "Mas, kamu enggak ingin menikah denganku?" tanyaku hati-hati, setelah aku duduk di sampingnya. Mas Kelv
Aku berpura-pura menatapnya bingung, lalu mendekatinya perlahan. Tubuh wanita itu gemetaran, dan keringat dingin mulai muncul di keningnya. Padahal, ruangan ini ber-AC. "Mbak, tunggu!!" teriakku, ketika wanita itu lari. Mungkin dia melihatku sama seperti hantu. Anis melepaskan napas sesaknya dengan segera, membuatku berdecak. "Kamu masih takut dengan mereka?!" "Ternyata, tidak semudah yang aku ucapkan." Aku tertawa, melihat Anis yang menahan grogi di depan wanita yang pandai bersandiwara itu. "Mbak, aku pulang duluan, ya. Jangan lupa nanti malam ulang tahun Bagas!" Anis ijin, untuk merayakan ulang tahun anaknya. Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Setelah Anis berlalu, aku kembali ke ruanganku. Mempelajari bisnis baru yang ingin aku kembangkan, selain mendesain baju. Namun, suara notifikhati dari aplikasi sosmed tidak henti. Mengganggu konsentrasiku. Dengan berat hati, aku berselancar lagi. Kali ini, teman-teman Mas Aditya yang koment di status yang dia bagikan tadi. "Memang
Aku yang sedang melihat-lihat di sudut etalase lain, langsung membeku ketika melihat Mas Aditya ada di toko yang sama denganku. Ingin rasanya, aku menutup wajahku dan pergi dari sini. Aku belum ada persiapan untuk bertemu dengannya saat ini, meskipun sudah kurencanakan kemarin-kemarin. "Aditya!" jawab Mas Kelvin gugup, tapi dengan cepat dia menguasai dirinya. Mas Kelvin melihat ke arahku dengan cemas, terlihat dari wajahnya. Hal itu malah membuat Mas Aditya menoleh ke arahku. "Gladis!" ucapnya terkejut. Aku yang sudah menduga dia akan mengenaliku, cepat-cepat memasang wajah pongah. "Saya?!" tanyaku. Mas Aditya mengangguk dan menatapku tajam ke arahku. Kemudian, dia melihat diriku dari kakiku hingga ke atas kepalaku. Meneliti wajahku dengan seksama. Kukeluarkan tanda pengenal dan menunjukkannya pada Mas Aditya. "Kenalkan Zeanara Hadikusumo!" Kuulurkan tanganku dengan mendongakkan kepalaku, agar terlihat percaya diri dan angkuh. Mas Aditya sejenak meragukan diriku, ketika tangan
Aku mendekati Mas Kelvin dan mencoba cincinnya, kemudian aku mengangguk setuju untuk membelinya. Di sisi lain, Mas Aditya dan wanita ular itu hanya menatap kami tanpa bersuara. "Pak, Maaf," ujar pegawai toko, yang memegang paperbag. Mas Aditya, tersadar dan beralih menatap ke pegawai yang membawa pesanannya. Lalu menggandeng wanita ular itu, meninggalkan toko perhiasan yang sama denganku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Kelvin, setelah kami berjalan arah pulang. "Ternyata, aku masih belum kuat, Mas!" keluhku. Mas Kelvin diam, dan memutar balikkan arah tujuan kami. Tidak ada protes dariku, dan aku pun tidak bertanya padanya akan ke mana. Memilih diam dan melintasi waktu ke masalalu. "Kalau kamu kalah, sia-sia pengorbananmu!" ujar Mas Kelvin. Tidak berniat adu argumen, aku tetap pada pososiku. Diam tak bersuara, membiarkan Mutiara bermain di dalam ingatanku. "Dis, bangun!" Aku menggeliat, membenarkan posisi dudukku. Tidak terasa aku terlelap karena begitu merindukan, Mutiara.