"Iya!" ucapku kesal. Mas Kelvin mendekatiku dan melihat ponsel yang kupegang. Dia berdecak kesal karena aku sudah memulai aksiku, tanpa sepengetahuan darinya. "Kamu mengambil keputusan sendiri?!" ucapnya dengan nada sinis. Aku menghela napas panjang, enggan berdebat dengannya. Memilih beralih mengambil berkas yang ada di depan mejaku, dan membacanya dengan teliti. Mengacuhkan Mas Kelvin yang sedang kesal, dan duduk diam di tempatnya semula. Banyak notif yang masuk dari aplikasi biru itu, membuatku penasaran. Kemudian meraih ponselku untuk melihat ada apa, sebenarnya. Seulas senyuman, kuukir dengan indah. Sehingga menarik perhatian dari Mas Kelvin. Kulihat pria berwajah manis itu membuang wajahnya ke samping, ketika aku tersenyum padanya. "Marah, Mas?" Aku meledeknya. Sayang, tak ada tanggapan darinya. Matanya tetap fokus pada kertas yang disusun rapih, menjadi satu kesatuan. "Mas, kamu enggak ingin menikah denganku?" tanyaku hati-hati, setelah aku duduk di sampingnya. Mas Kelv
Aku berpura-pura menatapnya bingung, lalu mendekatinya perlahan. Tubuh wanita itu gemetaran, dan keringat dingin mulai muncul di keningnya. Padahal, ruangan ini ber-AC. "Mbak, tunggu!!" teriakku, ketika wanita itu lari. Mungkin dia melihatku sama seperti hantu. Anis melepaskan napas sesaknya dengan segera, membuatku berdecak. "Kamu masih takut dengan mereka?!" "Ternyata, tidak semudah yang aku ucapkan." Aku tertawa, melihat Anis yang menahan grogi di depan wanita yang pandai bersandiwara itu. "Mbak, aku pulang duluan, ya. Jangan lupa nanti malam ulang tahun Bagas!" Anis ijin, untuk merayakan ulang tahun anaknya. Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Setelah Anis berlalu, aku kembali ke ruanganku. Mempelajari bisnis baru yang ingin aku kembangkan, selain mendesain baju. Namun, suara notifikhati dari aplikasi sosmed tidak henti. Mengganggu konsentrasiku. Dengan berat hati, aku berselancar lagi. Kali ini, teman-teman Mas Aditya yang koment di status yang dia bagikan tadi. "Memang
Aku yang sedang melihat-lihat di sudut etalase lain, langsung membeku ketika melihat Mas Aditya ada di toko yang sama denganku. Ingin rasanya, aku menutup wajahku dan pergi dari sini. Aku belum ada persiapan untuk bertemu dengannya saat ini, meskipun sudah kurencanakan kemarin-kemarin. "Aditya!" jawab Mas Kelvin gugup, tapi dengan cepat dia menguasai dirinya. Mas Kelvin melihat ke arahku dengan cemas, terlihat dari wajahnya. Hal itu malah membuat Mas Aditya menoleh ke arahku. "Gladis!" ucapnya terkejut. Aku yang sudah menduga dia akan mengenaliku, cepat-cepat memasang wajah pongah. "Saya?!" tanyaku. Mas Aditya mengangguk dan menatapku tajam ke arahku. Kemudian, dia melihat diriku dari kakiku hingga ke atas kepalaku. Meneliti wajahku dengan seksama. Kukeluarkan tanda pengenal dan menunjukkannya pada Mas Aditya. "Kenalkan Zeanara Hadikusumo!" Kuulurkan tanganku dengan mendongakkan kepalaku, agar terlihat percaya diri dan angkuh. Mas Aditya sejenak meragukan diriku, ketika tangan
Aku mendekati Mas Kelvin dan mencoba cincinnya, kemudian aku mengangguk setuju untuk membelinya. Di sisi lain, Mas Aditya dan wanita ular itu hanya menatap kami tanpa bersuara. "Pak, Maaf," ujar pegawai toko, yang memegang paperbag. Mas Aditya, tersadar dan beralih menatap ke pegawai yang membawa pesanannya. Lalu menggandeng wanita ular itu, meninggalkan toko perhiasan yang sama denganku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Kelvin, setelah kami berjalan arah pulang. "Ternyata, aku masih belum kuat, Mas!" keluhku. Mas Kelvin diam, dan memutar balikkan arah tujuan kami. Tidak ada protes dariku, dan aku pun tidak bertanya padanya akan ke mana. Memilih diam dan melintasi waktu ke masalalu. "Kalau kamu kalah, sia-sia pengorbananmu!" ujar Mas Kelvin. Tidak berniat adu argumen, aku tetap pada pososiku. Diam tak bersuara, membiarkan Mutiara bermain di dalam ingatanku. "Dis, bangun!" Aku menggeliat, membenarkan posisi dudukku. Tidak terasa aku terlelap karena begitu merindukan, Mutiara.
Mama menepuk lenganku, dan itu membuatku bersalah. Sejak bertemu dengan Mas Aditya, tadi. Pikiranku tidak tenang, di tambah dengan ke garangan wanita itu. Mereka terlihat sangat bahagia, melupakan kesalahan mereka padaku dan Mutiara. "Nak, mama mau kepanti asuhan besok, kamu ikut, ya." Mama memegang daguku untuk melihat ke arahnya. "Agar luka kamu bisa sembuh, dan kamu bisa bermain dengan anak seumuran Mutiara. Limpahkan kasih sayangmu pada mereka." Mendengar kata anak-anak, darahku berdesir. Seakan-akan ingin menolak dekat dengan mereka namun, hati nuraniku sebagai ibu berpikir sebalikannya. "Bisa, Ma. Tapi, nanti malam aku mau ke rumah Anis. Anaknya ulang tahun, ini mau cari kado dulu," ujarku. Mama terlihat terkejut, tapi tidak ditunjukkan olehnya. Pandangan mama beralih pada Mas Kelvin, seperti sedang bertanya tapi, dalam diam. "Iya, Tan. Saya juga ikut ke sana. Oya, Gladis sudah menerima lamaran saya, tadi." Seenaknya saja, Mas Kelvin berbicara. Ingin rasanya aku marah denga
Pagi-pagi sekali, mama sudah ribut dengan segala macam apa yang ada di depannya. Beberapa orang membantunya, dibuat kuwalahan. "Oh, iya!" Aku menepuk dahiku sendiri, ketika mengingat Anis. Segera kuambil ponsel dan menghubunginya, mengatakan padanya, bahwa aku tidak bisa masuk kerja hari ini, begitu pula dengan Mas Kelvin. Aku memintanya menghandle semuanya, meski terdengar nada protes darinya namun, dia tetap mendukungku. "Ma, ada yang perlu aku bantuin?" tanyaku. "Kamu siap-siap aja," ujar mama, "oya, kamu belikan beberapa boneka dan mainan lainya, ya. Kelvin sebentar lagi akan ke sini, nanti kalian langsung ke panti saja." Aku segera naik ke lantai atas, setelah mengambil beberapa lembar roti bakar kesukaanku. Kemudian, membersihkan diri dan memakai pakaian santai. Aku menunggu Mas Kelvin datang, tidak biasanya dia lama sekali. Sudah satu jam, aku dibuatnya menunggu. Deru mesin mobilnya terdengar jelas, belum juga dia mengetuk pintu, aku membuka pintu dengan memasang wajah ya
Aku menikmati, ciuman yang dia berikan. Pelan, menghanyutkan dan sungguh membuat gelora yang telah lama mati kini bangkit lagi. Namun, aku masih ingat tujuan anakku. "Mas!" Kudorong tubuh kekar itu menjauh dariku, karena aku takut jika keterusan dia akan membuatku terlena. "Maaf, Dis." Mas Kelvin menyapu bibirku yang memerah akibat lumatannya. Kemudian, dia melanjutkan laju kendaraannya dengan sangat bahagia. Terlihat dari wajahnya yang berseri dan senyum yang melengkung indah, juga binar dari matanya. Tidak pernah aku melihatnya seperti itu, selama kami berteman. Apakah benar, jika aku sumber kebahagiaannya? Seperti yang dia tulis di bukunya. Kebahagiaan kami, kini bergabung dengan kebahagiaan para malaikat kecil yang tidak memiliki orang tua dan pelindung lainnya. Meski begitu, mereka tertawa riang dan selalu bergembira. Mungkin, ada satu waktu mereka meratapi nasibnya sama seperti diriku. Satu anak perempuan yang cantik menarik perhatianku, dia tidak selincah anak-anak yan
Papa dan mama fokus bersama ibu-ibu darma yang lainnya. Bersenda gurau dengan malaikat-malaikat kecil. Aku memberitahu mama jika aku ingin pergi jalan-jalan, tanpa memberitahu dengan siapa saja aku pergi. Dan mama menyetujuinya, mama pikir aku bosan di tempat seperti ini. Matahari selalu nempel dengan Mas Kelvin, bahkan di dalam mobil gadis mungil itu enggan duduk bersamaku. Dia memilih duduk di kursi belakang, sambil memandang keluar jendela. "Mas, kenapa dia enggak suka sama aku, ya?!" Mas Kelvin memegang tanganku dan berucap lirih, "dia 'kan, baru ketemu sama kamu. Hal yang wajar!" "Loh, berarti Mas Kelvin sering ketemu dia?" tanyaku penasaran dan Mas Kelvin mengiyakan tanyaku. Aku mencebik kesal, dan hanya di balas dengan kekehan dari Mas Kelvin. Sementara itu, Matahari diam dan melihat kearah jendela. Mobil Mas Kelvin memasuki area pelataran Mall, lalu memarkirkan mobilnya. Kamipun turun dengan gembira, tapi tidak dengan Matahari. Dia seperti ketakutan jika dekat dengan
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men