Papa dan mama fokus bersama ibu-ibu darma yang lainnya. Bersenda gurau dengan malaikat-malaikat kecil. Aku memberitahu mama jika aku ingin pergi jalan-jalan, tanpa memberitahu dengan siapa saja aku pergi. Dan mama menyetujuinya, mama pikir aku bosan di tempat seperti ini. Matahari selalu nempel dengan Mas Kelvin, bahkan di dalam mobil gadis mungil itu enggan duduk bersamaku. Dia memilih duduk di kursi belakang, sambil memandang keluar jendela. "Mas, kenapa dia enggak suka sama aku, ya?!" Mas Kelvin memegang tanganku dan berucap lirih, "dia 'kan, baru ketemu sama kamu. Hal yang wajar!" "Loh, berarti Mas Kelvin sering ketemu dia?" tanyaku penasaran dan Mas Kelvin mengiyakan tanyaku. Aku mencebik kesal, dan hanya di balas dengan kekehan dari Mas Kelvin. Sementara itu, Matahari diam dan melihat kearah jendela. Mobil Mas Kelvin memasuki area pelataran Mall, lalu memarkirkan mobilnya. Kamipun turun dengan gembira, tapi tidak dengan Matahari. Dia seperti ketakutan jika dekat dengan
Mas Kelvin, memberikan tisu untuk membendung air yang tidak bisa kutahan bagaikan rinai hujan yang begitu derasnya. "Mas, kita pulang, yuk!" Aku mengajak Mas Kelvin pulang, karena tidak tahan melihat Matahari, yang bagiku mirip dengan Mutiara. Aku tidak tahu, mirip dari segi apanya. Hanya saja, batinku sungguh menginginkan dia dalam dekapanku dan mengisi hari-hariki. Mas Kelvin mengajak Matahari pulang, setelah gadis mungil itu menyelesaikan makannya. Belanjaan yang kami bawa cukup banyak, sehingga membuatku kesulitan untuk menggandeng Matahari. Nasib sial, sepertinya belum hilang dariku. Karena masih harus bertemu dengan Mas Aditya dengan istri dan anaknya. Naasnya lagi, anak lelakinya itu kenal dengan Matahari. "Mah, anak itu yang ngambil pensilku!" Adu si bocah tengil. Matahari bersembunyi di belakangku dan memegang bajuku erat, kemudian menarik-narik hingga membuatku merunduk. "Tante, aku--aku enggak ambil!" Tubuh Matahari bergetar tanda dia ketakutan dan matanya sudah
Mas Kelvin tertawa mendengar ucapanku, ketika aku mengatakan jika Matahari adalah anakku. Dia tidak mempercayaiku, tentang masalah ini. "Mas, kamu kecelakaan gimana? Mutiara gimana?" tanyaku berulang. "Dis, lebih baik Matahari kita bawa masuk dulu." "Enggak, Mas. Dia anakku!" Aku bersikeras dengan apa yang kuyakini. Mas Kelvin menghela napas panjang, dan mengajakku ke dalam panti dan dia akan menceritakan semuanya. Tentang hari di mana dia tertabrak mobil dan hampir saja merenggut nyawanya. Dengan berat hati, aku mengikuti apa keinginannya. Menyerahkan Matahari pada ibu panti, yang terlihat khawatir karena aku enggan melepasnya. "Kenapa, Dis?" tanya mama yang masih ada di panti. "Ma, dia Mutiaraku, dia bukan Matahari." Tangisku pun pecah lagi dalam pelukan mama. "Tan," sapa Mas Kelvin. Mama mengajakku pulang dan berbicara di rumah. Aku benar-benar kehilangan akal, ketika mengetahui dia adalah Mutiara. Tapi, bagaimana mungkin! Mama dan papa duduk di depanku, begitu p
Aku pergi meninggalkan mereka dengan rasa yang tidak bisa kulukiskan, ingin marah, tapi mereka adalah orang tuaku dan orang yang menyelematkan hidupku juga Mutiara. Berkali-kali, mama mengetuk pintu kamar dan mengatakan ingin bicara. Sayangnya, kali ini aku tidak ingin mendengar apapun dan dari siapapun. Untuk saat ini, lebih memilih diam dan tidur memeluk guling, lalu membayangkan jika Mutiara ada di sampingku. Mata tidak kunjung lelap, meskipun sudah lelah sekali. Ku ambil ponsel dan mencari nomor Anis, lalu menghubunginya. Kali ini, aku berkeluh kesah tanpa memperdulikan waktunya tersita. Hingga aku tidak mendengar suaranya, dan mataku terasa sangat perih. **** Tubuhku masih tersisa lelah dan kepalaku terasa sangat pusing. Namun, rencanaku untuk membalas dendam tidak bisa di elakkan. Beringsut turun dari ranjang dan membersihkan diri, kemudian memantaskan diri dengan pakaian yang cukup sexy. "Halo, Nis. Semua sudah siap?" tanyaku melalui sambungan telepon. Setelah meyakinka
Aku menekankan setiap perkataan padanya dan dia hanya membalas dengan helaan napas panjang. "Aku turun dulu, ya, Mas. Besok, kita akan ngobrol lebih lanjut, jika pekerjaanku beres!" Aku pamit, karena tanpa terasa mobil Mas Kelvin sudah parkir di depan butik. "Dis!" panggilnya. Kuurungkan membuka pintu mobil, dan mengapa ke arahnya. Mas Kelvin mendekatkan wajahnya yang terlihat berantakan, dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Tangannya menangkup wajahku dan matanya menyelami netraku yang masih berapi-api. Matanya seakan-akan mengatakan untukku tinggal saja bersamanya namun, bibirnya seakan keluar mengatakannya. "Ada yang ingin kamu katakan, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin mendekat kesal dan memajukan bibirnya. Namun, dia tidak sendiri. Tangannya dia rapatkan ke wajahku sehingga bibirku terlihat monyong sekarang. "Kamu cantik!" pujinya. Aku tertawa mendengar gobalan yang biasa saja darinya, "kan, dari dulu Mas!" Mas Kelvin melepaskan tangannya dari wajahku dan mengecup
Suaranya, masih terngiang-ngiang di telingaku. Sungguh, menggores dalam, sangat dalam. Aku salah satu wanita bodoh yang bertahan dengan segala perlakuan mertua, ipar dan suami, saat itu. Untung saja, saat aku lelah, sinetron di salah satu televisi yang dicela sekaligus dipuji itu terlihat olehku. Membuatku, semakin hari semakin berani. Mungkin hal itu yang membuat mereka meradang dan meminta Mas Aditya menceraikanku, mungkin pula mereka menyadari surat-surat berharga milikku sudah raib saat aku pergi meninggalkan mereka. Dering ponsel membuyarkan kenangan lama yang menyiksaku. Di layar ponsel tertera nama 'Lelaki Brengsek!' "Halo, ada perlu apa, ya?" tanyaku kesal. "Mbak Zea mau ke Bandung? Saya posisi sedang di Bandung, bagai mana kalau kita bertemu?" "Maaf, ya, Pak! Saya tidak mau di bentak-bentak oleh istri anda. Saya ke sana, karena ada pekerjaan yang perlu saya tangani!" balas kukesal. "Maaf untuk yang kemarin-kemarin, Mbak. Kali ini, saya pastikan, Mbak tidak akan saki
"Nis, target hampir masuk perangkap!" Kukirimkan pesan pada Anis, agar dia tahu perkembanganku dalam melancarkan aksi dan di balas dengan emot senyum dan semangat. Tiga jam perjalanan, cukup membuatku kelaparan. Pasalnya, aku belum sarapan. Aku mengirim pesan pada Rima, untuk membelikan nasi kuning yang terkenal enak di daerah sana. Ya, kemungkinan sudah habis itu pasti. Dikarenakan hari sudah mulai siang. "Mbak, semua nasi kuning sudah tutup. Ini sudah terlalu siang!" Pesan yang kuterima. "Baiklah, Pak. Kita mampir dulu ke resto di depan sana, Pak!" pintaku pada pak supir dan dia segera memarkirkan mobilnya. "Ayo, pak." ajakku. Dia menolak, katanya sudah sarapan saat sebelum berangkat menjemputku dan aku tidak bisa memaksanya. Terpaksa, aku makan seorang diri. Setelah selesai, aku membeli tiga bungkus makanan dan satu bungkus camilan. "Pak, untuk makan saat pulang nanti." Aku memberikan satu bungkus untuk supir travel yang mengantarku dan dia sangat berterimakasih. So
Dengan lancar Mas Aditya menceritakan tentang bisnisnya yang hampir bangkrut, sebenarnya bukan bisnisnya, tapi usaha yang kurintis sejak masa kuliah. Aku terus berpura-pura kagum dengan usahanya yang dia jalankan dengan susah payah, padahal aku sudah tau kebusukan keluarganya. "Baik. Anda butuh modal berapa? Dan apa jaminannya jika anda ingkar?" tanyaku serius. "500 juta, jika dalam waktu tiga bulan, uang yang saya pinjam tidak menghasilkan, silahkan ambil tiga depot air isi ulang milik saya sebagai fee." Ingin rasanya aku tertawa mendengar penawarannya. "Apa bapak yakin, mau terjun ke dunia bisnis? Apa bapak punya basic dan pengalaman? Jangan sampai malah jadi bumerang untuk diri sendiri." Aku memastikan, karena aku tau dia bagaimana. Dengan pongah, Mas Aditya berkata dia sangat yakin dengan bisnisnya dan aku menyetujui syaratnya. "Baik, dalam waktu tiga bulan jika saya tidak mendapatkan fee dari bisnis bapak, maka bapak harus mengembalikan uang saya plus tiga depot air isi