Mas Kelvin tertawa mendengar ucapanku, ketika aku mengatakan jika Matahari adalah anakku. Dia tidak mempercayaiku, tentang masalah ini. "Mas, kamu kecelakaan gimana? Mutiara gimana?" tanyaku berulang. "Dis, lebih baik Matahari kita bawa masuk dulu." "Enggak, Mas. Dia anakku!" Aku bersikeras dengan apa yang kuyakini. Mas Kelvin menghela napas panjang, dan mengajakku ke dalam panti dan dia akan menceritakan semuanya. Tentang hari di mana dia tertabrak mobil dan hampir saja merenggut nyawanya. Dengan berat hati, aku mengikuti apa keinginannya. Menyerahkan Matahari pada ibu panti, yang terlihat khawatir karena aku enggan melepasnya. "Kenapa, Dis?" tanya mama yang masih ada di panti. "Ma, dia Mutiaraku, dia bukan Matahari." Tangisku pun pecah lagi dalam pelukan mama. "Tan," sapa Mas Kelvin. Mama mengajakku pulang dan berbicara di rumah. Aku benar-benar kehilangan akal, ketika mengetahui dia adalah Mutiara. Tapi, bagaimana mungkin! Mama dan papa duduk di depanku, begitu p
Aku pergi meninggalkan mereka dengan rasa yang tidak bisa kulukiskan, ingin marah, tapi mereka adalah orang tuaku dan orang yang menyelematkan hidupku juga Mutiara. Berkali-kali, mama mengetuk pintu kamar dan mengatakan ingin bicara. Sayangnya, kali ini aku tidak ingin mendengar apapun dan dari siapapun. Untuk saat ini, lebih memilih diam dan tidur memeluk guling, lalu membayangkan jika Mutiara ada di sampingku. Mata tidak kunjung lelap, meskipun sudah lelah sekali. Ku ambil ponsel dan mencari nomor Anis, lalu menghubunginya. Kali ini, aku berkeluh kesah tanpa memperdulikan waktunya tersita. Hingga aku tidak mendengar suaranya, dan mataku terasa sangat perih. **** Tubuhku masih tersisa lelah dan kepalaku terasa sangat pusing. Namun, rencanaku untuk membalas dendam tidak bisa di elakkan. Beringsut turun dari ranjang dan membersihkan diri, kemudian memantaskan diri dengan pakaian yang cukup sexy. "Halo, Nis. Semua sudah siap?" tanyaku melalui sambungan telepon. Setelah meyakinka
Aku menekankan setiap perkataan padanya dan dia hanya membalas dengan helaan napas panjang. "Aku turun dulu, ya, Mas. Besok, kita akan ngobrol lebih lanjut, jika pekerjaanku beres!" Aku pamit, karena tanpa terasa mobil Mas Kelvin sudah parkir di depan butik. "Dis!" panggilnya. Kuurungkan membuka pintu mobil, dan mengapa ke arahnya. Mas Kelvin mendekatkan wajahnya yang terlihat berantakan, dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Tangannya menangkup wajahku dan matanya menyelami netraku yang masih berapi-api. Matanya seakan-akan mengatakan untukku tinggal saja bersamanya namun, bibirnya seakan keluar mengatakannya. "Ada yang ingin kamu katakan, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin mendekat kesal dan memajukan bibirnya. Namun, dia tidak sendiri. Tangannya dia rapatkan ke wajahku sehingga bibirku terlihat monyong sekarang. "Kamu cantik!" pujinya. Aku tertawa mendengar gobalan yang biasa saja darinya, "kan, dari dulu Mas!" Mas Kelvin melepaskan tangannya dari wajahku dan mengecup
Suaranya, masih terngiang-ngiang di telingaku. Sungguh, menggores dalam, sangat dalam. Aku salah satu wanita bodoh yang bertahan dengan segala perlakuan mertua, ipar dan suami, saat itu. Untung saja, saat aku lelah, sinetron di salah satu televisi yang dicela sekaligus dipuji itu terlihat olehku. Membuatku, semakin hari semakin berani. Mungkin hal itu yang membuat mereka meradang dan meminta Mas Aditya menceraikanku, mungkin pula mereka menyadari surat-surat berharga milikku sudah raib saat aku pergi meninggalkan mereka. Dering ponsel membuyarkan kenangan lama yang menyiksaku. Di layar ponsel tertera nama 'Lelaki Brengsek!' "Halo, ada perlu apa, ya?" tanyaku kesal. "Mbak Zea mau ke Bandung? Saya posisi sedang di Bandung, bagai mana kalau kita bertemu?" "Maaf, ya, Pak! Saya tidak mau di bentak-bentak oleh istri anda. Saya ke sana, karena ada pekerjaan yang perlu saya tangani!" balas kukesal. "Maaf untuk yang kemarin-kemarin, Mbak. Kali ini, saya pastikan, Mbak tidak akan saki
"Nis, target hampir masuk perangkap!" Kukirimkan pesan pada Anis, agar dia tahu perkembanganku dalam melancarkan aksi dan di balas dengan emot senyum dan semangat. Tiga jam perjalanan, cukup membuatku kelaparan. Pasalnya, aku belum sarapan. Aku mengirim pesan pada Rima, untuk membelikan nasi kuning yang terkenal enak di daerah sana. Ya, kemungkinan sudah habis itu pasti. Dikarenakan hari sudah mulai siang. "Mbak, semua nasi kuning sudah tutup. Ini sudah terlalu siang!" Pesan yang kuterima. "Baiklah, Pak. Kita mampir dulu ke resto di depan sana, Pak!" pintaku pada pak supir dan dia segera memarkirkan mobilnya. "Ayo, pak." ajakku. Dia menolak, katanya sudah sarapan saat sebelum berangkat menjemputku dan aku tidak bisa memaksanya. Terpaksa, aku makan seorang diri. Setelah selesai, aku membeli tiga bungkus makanan dan satu bungkus camilan. "Pak, untuk makan saat pulang nanti." Aku memberikan satu bungkus untuk supir travel yang mengantarku dan dia sangat berterimakasih. So
Dengan lancar Mas Aditya menceritakan tentang bisnisnya yang hampir bangkrut, sebenarnya bukan bisnisnya, tapi usaha yang kurintis sejak masa kuliah. Aku terus berpura-pura kagum dengan usahanya yang dia jalankan dengan susah payah, padahal aku sudah tau kebusukan keluarganya. "Baik. Anda butuh modal berapa? Dan apa jaminannya jika anda ingkar?" tanyaku serius. "500 juta, jika dalam waktu tiga bulan, uang yang saya pinjam tidak menghasilkan, silahkan ambil tiga depot air isi ulang milik saya sebagai fee." Ingin rasanya aku tertawa mendengar penawarannya. "Apa bapak yakin, mau terjun ke dunia bisnis? Apa bapak punya basic dan pengalaman? Jangan sampai malah jadi bumerang untuk diri sendiri." Aku memastikan, karena aku tau dia bagaimana. Dengan pongah, Mas Aditya berkata dia sangat yakin dengan bisnisnya dan aku menyetujui syaratnya. "Baik, dalam waktu tiga bulan jika saya tidak mendapatkan fee dari bisnis bapak, maka bapak harus mengembalikan uang saya plus tiga depot air isi
Tidak terlalu lama, chat darinya masuk dan mengatakan, jika Mas Kelvin marah besar padanya. Mas Kelvin mengancam akan memecatnya. Aku hanya bisa tersenyum ketika membacanya. "Tenang, aja! Mas Kelvin nanti kurayu!" Aku membalas pesan dari Rima. *** Dua jam perjalanan sudah membuatku merasa kecapekan, di tambah dengan waktu untuk koordinasi oleh para pekerja restoran yang baru kurintis. Selesai memberi arahan dan rencana yang aku inginkan, aku meninggalkan mereka dengan berbagai bingkisan snack ringan. "Bu, boleh saya minta satu lagi untuk anak saya?" ujar salah satu pekerja. Hatiku terenyuh mendengarnya, kuberikan lagi dia beberapa bungkus snack. Sebenarnya, masih tersisa banyak sekali snack di luar, tapi aku lupa jika aku tidak punya orang yang membantuku saat ini. "Yang ingin bawa snack untuk anaknya, silahkan ambil di depan," teriakku. Mereka langsung mendekati tempat yang aku tunjuk, raut wajah yang sangat gembira terpancar dari para pekerja itu, membuat hati rasanya, nye
Perlahan kutelusuri siapa yang awal mulanya menyebarkan gosip yang tidak mengenakan sehingga aku jadi bahan bully-an. Di mana, sebagiannya adalah kolegaku yang merasa kasih pada si wanita yang teraniaya. Padahal, aku benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi. "Siapa dia!" gumamku. Ketika melihat satu status yang me-mention namaku di dalam tulisannya, yang berisi jika aku sedang berselingkuh dengan suaminya. Wanita itu juga bercerita, jika dia sedang hamil dan harus melakukan ini demi buah hatinya. "Brengsek! Siapa sih dia?!" makiku tanpa sadar. Selama perjalanan, aku mencari tahu siapa wanita yang me-mentionku tanpa croscek kebenarannya terlebih dulu. "Nova! Dasar wanita brengsek! Dia yang merebut Mas Aditya, dia yang playing victim!" Lagi-lagi, aku di buat emosi. Setelah mengetahui siapa dalang di balik semua ini. "Nis, perang sepertinya harus di percepat!" ujarku melalui sambungan telepon. Anis menanyakan kenapa aku mendadak memajukan rencanaku dengan kesal kukirimka