Perlahan kutelusuri siapa yang awal mulanya menyebarkan gosip yang tidak mengenakan sehingga aku jadi bahan bully-an. Di mana, sebagiannya adalah kolegaku yang merasa kasih pada si wanita yang teraniaya. Padahal, aku benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi. "Siapa dia!" gumamku. Ketika melihat satu status yang me-mention namaku di dalam tulisannya, yang berisi jika aku sedang berselingkuh dengan suaminya. Wanita itu juga bercerita, jika dia sedang hamil dan harus melakukan ini demi buah hatinya. "Brengsek! Siapa sih dia?!" makiku tanpa sadar. Selama perjalanan, aku mencari tahu siapa wanita yang me-mentionku tanpa croscek kebenarannya terlebih dulu. "Nova! Dasar wanita brengsek! Dia yang merebut Mas Aditya, dia yang playing victim!" Lagi-lagi, aku di buat emosi. Setelah mengetahui siapa dalang di balik semua ini. "Nis, perang sepertinya harus di percepat!" ujarku melalui sambungan telepon. Anis menanyakan kenapa aku mendadak memajukan rencanaku dengan kesal kukirimka
"Hmmm, bagus." "Kamu marah, Mas?" tanyaku penasaran karena dia hanya mengeluarkan kata-kata seperlunya saja. "Siapa yang membuat kamu jadi bahan gosip dan membuat kamu viral!" Aku menatapnya, entah dari mana dia tau, jika aku sedang jadi bahan gosip. "Siapa lagi kalau bukan wanita ular itu!" terangku. "Nova?!" tanyanya geram. Aku mengangguk. "Kenapa tidak kita buat menderita secara langsung saja!" Terlihat amarah di wajahnya. "Mas, kita buat mereka menyadari kesalahan yang telah mereka lakukan. Jika langsung kita buat mereka menderita, mereka tidak akan tahu rasanya sakit hati dari derita yang di akibatkan oleh mereka!" Mas Kelvin mendengkus kesal, dia mengira jika aku masih ingin bersama dengan Mas Aditya dan ingin meninggalkan dia. Aku terkadang heran dengan lelaki di depanku ini, begitu banyak yang menawarkan diri padanya, akan tetapi dia tolak. Bukan hanya sekedar cantik, mereka pun memiliki kekayaan yang sama dengannya. Bahkan banyak pula yang memiliki attitude yang
"Iya, Mbak. Mbak Zea sudah dalam perjalanan ke sini, kan? Nanti akan saya utarakan apa tujuan saya menunggu, Mbak Zea." "Maaf, Pak. Tapi, saya sudah jalan ke arah Jakarta, karena ada pekerjaan mendadak dan calon saya yang menjemput saya. Kalau boleh tau, ada hal penting apa, sehingga bapak mau menunggu saya?" "Ibu saya ingin bertemu dengan Mbak Zea. Apakah Mbak Zea ada waktu?" Kutarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. "Oh, begitu. Nanti saya jadwalkan, ya, Pak. Sekarang, bapak bisa pulang dengan tenang!" "Iya, Mbak. Tapi, hati saya belum tenang, karena kehilangan senyum, Mbak Zea yang sangat menawan." "Maaf, Pak. Saya tidak dengar, suaranya terputus-putus. Halo, pak. Pak Aditya, bapak masih di sana?" Panggilan langsung kuputuskan sepihak dan membuatku mencebik kesal, tanpa memperdulikan Mas Kelvin yang ada di sampingku. Begitu juga, Mas Kelvin dia sepertinya tidak perduli dengan kekesalanku. "Nis, lelaki brengsek itu mau mengajakku ke rumahnya dan bertemu ib
"Mas, rencana balas dendamku sudah dekat dan sudah mulai kujalankan." Mas Kelvin menggenggam tanganku dan mengecupnya berkali-kali. Tidak lupa, dengan ucapan i love you berulang-ulang. Aku geli melihatnya. "Aku takut kalau kamu bersikap seperti, tadi!" keluhku. Mas Kelvin mendekatkan kepalanya di perutku, membuatku membeku. "Aku ingin menjadi ayah, dan merasakan kesal saat kamu hamil dan nyidam." Matanya berbinar penuh dengan kebahagiaan saat mengucapkan itu. "Kamu juga harus ingat, Mutiara anakku juga!" "Aku tahu itu, dan dia adalah anak pertama kita. Aku ingin secepatnya menikah denganmu, dan memberikan adik untuk putri kita. Seminggu lagi, Matahari sudah bisa tinggal dengan kita." ucapnya membuatku sedih. "Mas!" Kuhentikan ucapanku. "Hentikan, balas dendammu dan bahagialah denganku." Tulusnya ucapan Mas Kelvin. "Tidak bisa, Mas. Besok aku akan bertemu dengan mantan mertuaku, yang sangat memuja uang. Aku akan mengambil haknya Mutiara." "Apakah kurang uang yang kamu
Mas Kelvin, sebenarnya tidak rela membiarkan diriku menemui Mas Aditya. Dia takut aku akan terpesona oleh kelihaian dan rayuan Mas Aditya. "Mbak Zea, melamun?" Mas Aditya membuatku terkejut. "Eh, enggak. Saya hanya bisa sebentar saja berkunjung ke rumah Pak Aditya, pekerjaan saya cukup banyak bulan ini." Mataku terbelalak ketika dia berdiri di depan mobilnya. "Baiklah, ayo." Mas Aditya mengajakku masuk ke dalam mobilnya. 'Woow, mobil keluaran baru! Seberapa banyak uang yang kamu hasilkan dari usaha-usaha yang kudirikan, Mas!' gumamku. Dengan santai, aku menaikki mobil. Melihat apa yang ada di dalam mobil barunya. "Banyak sekali barang-barangnya, Mas?" "Iya, untuk kebutuhan anakku." "Wah, ternyata Pak Aditya ayah yang sangat baik. Seandainya saya tidak memiliki tunangan dan Pak Aditya tidak memiliki istri, mungkin saya akan jatuh cinta," ucapku dengan menutup mulutku. Senyuman itu menghiasi wajahnya yang tampan dan terlihat sangat natural, padahal senyuman itu penuh dengan
Sepertinya, Amar tidak mempercayaiku. Buktinya dia terus memandangiku dan tatapan penuh selidik. Karena risih, aku pun bertanya padanya. "Pak..." ucapku terpotong. "Dia suami saya, Amar!" Sintia merangkul manja Amar. Namun, Amar terlihat kaku dan enggan membalas perlakuan istrinya. "Pasangan yang serasi!" Aku mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mataku. "Oya, Pak Amar bekerja di mana?" lanjutku. "Dia Dokter, dan hari ini kami memintanya untuk libur. 'Kan, kedatangan tamu spesial!" jawabnya dengan gaya manja. Duh, aku benar-benar mual melihat tingkah mereka. Namun, demi mengambil usaha-usaha yang kurintis sejak dulu, dan demi mengambil hakku yang mereka gunakan dengan seenaknya, maka aku harus bersabar. Meskipun, usaha-usaha itu tidak sebanding dengan apa yang kupunya saat ini, tetap saja usaha itu mempunya kelebihan tersendiri, menurutku. "Ayo kita makan, dulu!" ajak ibu mantan mertuaku. Sintia menarikku, bagaikan seorang sahabat. Benar-benar perlakuan yang beda saat
Kepulanganku dari rumah mantan keluarga, membuat tekadku berubah dengan cepat. Melihat keserakahan yang sangat nampak dari mereka. "Apa yang hendak kamu ambil dulu?" tanya Mas Kelvin serius. "Rumah atas namaku. Surat-suratnya masih lengkap di Tante Rebecca." "Nanti aku yang urus! Untuk mempermudahnya, anggap kamu jual denganku." "Apapun yang kamu lakukan, pasti yang terbaik, Mas." balasku. **** Setelah kejadian di rumah Mas Aditya yang heboh. Mas Aditya terus mencoba menghubungiku, tentu saja hal itu mengganggu konsentrasiku saat mendisain baju pesanan. "Nis, tolong kamu yang pegang ponselku ini." Kuulurkan ponsel pada Anis dan diterima tanpa bertanya. "Klien atas nama Bu Veronica ingin bertemu, Mbak." Lapor Anis. "Tentukan saja hari dan jam berapa!" Jawabku. Sepertinya, berkumpul dan di puji oleh keluarga Mas Aditya membuatku menjadi tidak nyaman selama berhari-hari, ditambah teror Mas Aditya yang ingin bertemu denganku. Untuk menghindarinya, aku bekerja dari rumah.
"Sekarang, kita ke butik." Anis mengekor di belakangku. *** Butikku sudah penuh penonton yang kepo dengan masalah, orang lain. Sebelum aku sampai ke butik, aku singgah ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian perusakan dan lain-lainnya. "Permisi ... Permisi," ujarku membelah kerumunan penonton. "Nah, ini dia pelakor murahan. Wanita sok suci, tapi perebut suami orang!" Tentu saja aku tertawa mendengarnya. "Hallo Novalia Asmarani! Kamu tau pribahasa jawa, satu jari jempol menunjuk ke orang lain, empat jari menunjuk ke arah sendiri." Dengan santai aku menjawab. Nova berlari ke arahku dan mengambil vas bunga yang berdiri cantik di meja, tepat di samping tempatku berdiri. Prang! Vas itu mengenai kepalaku, pas sekali dengan kedatangan beberapa polisi. Nova langsung di tangkap tanpa perlawanan, karena bukti sudah ada di depan mata para polisi yang datang. Untung saja, hanya luka gores di dahiku saja. "Satu orang sudah kena batunya!" ujarku. Ketika aku ingin membersihka