Mas Kelvin, sebenarnya tidak rela membiarkan diriku menemui Mas Aditya. Dia takut aku akan terpesona oleh kelihaian dan rayuan Mas Aditya. "Mbak Zea, melamun?" Mas Aditya membuatku terkejut. "Eh, enggak. Saya hanya bisa sebentar saja berkunjung ke rumah Pak Aditya, pekerjaan saya cukup banyak bulan ini." Mataku terbelalak ketika dia berdiri di depan mobilnya. "Baiklah, ayo." Mas Aditya mengajakku masuk ke dalam mobilnya. 'Woow, mobil keluaran baru! Seberapa banyak uang yang kamu hasilkan dari usaha-usaha yang kudirikan, Mas!' gumamku. Dengan santai, aku menaikki mobil. Melihat apa yang ada di dalam mobil barunya. "Banyak sekali barang-barangnya, Mas?" "Iya, untuk kebutuhan anakku." "Wah, ternyata Pak Aditya ayah yang sangat baik. Seandainya saya tidak memiliki tunangan dan Pak Aditya tidak memiliki istri, mungkin saya akan jatuh cinta," ucapku dengan menutup mulutku. Senyuman itu menghiasi wajahnya yang tampan dan terlihat sangat natural, padahal senyuman itu penuh dengan
Sepertinya, Amar tidak mempercayaiku. Buktinya dia terus memandangiku dan tatapan penuh selidik. Karena risih, aku pun bertanya padanya. "Pak..." ucapku terpotong. "Dia suami saya, Amar!" Sintia merangkul manja Amar. Namun, Amar terlihat kaku dan enggan membalas perlakuan istrinya. "Pasangan yang serasi!" Aku mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mataku. "Oya, Pak Amar bekerja di mana?" lanjutku. "Dia Dokter, dan hari ini kami memintanya untuk libur. 'Kan, kedatangan tamu spesial!" jawabnya dengan gaya manja. Duh, aku benar-benar mual melihat tingkah mereka. Namun, demi mengambil usaha-usaha yang kurintis sejak dulu, dan demi mengambil hakku yang mereka gunakan dengan seenaknya, maka aku harus bersabar. Meskipun, usaha-usaha itu tidak sebanding dengan apa yang kupunya saat ini, tetap saja usaha itu mempunya kelebihan tersendiri, menurutku. "Ayo kita makan, dulu!" ajak ibu mantan mertuaku. Sintia menarikku, bagaikan seorang sahabat. Benar-benar perlakuan yang beda saat
Kepulanganku dari rumah mantan keluarga, membuat tekadku berubah dengan cepat. Melihat keserakahan yang sangat nampak dari mereka. "Apa yang hendak kamu ambil dulu?" tanya Mas Kelvin serius. "Rumah atas namaku. Surat-suratnya masih lengkap di Tante Rebecca." "Nanti aku yang urus! Untuk mempermudahnya, anggap kamu jual denganku." "Apapun yang kamu lakukan, pasti yang terbaik, Mas." balasku. **** Setelah kejadian di rumah Mas Aditya yang heboh. Mas Aditya terus mencoba menghubungiku, tentu saja hal itu mengganggu konsentrasiku saat mendisain baju pesanan. "Nis, tolong kamu yang pegang ponselku ini." Kuulurkan ponsel pada Anis dan diterima tanpa bertanya. "Klien atas nama Bu Veronica ingin bertemu, Mbak." Lapor Anis. "Tentukan saja hari dan jam berapa!" Jawabku. Sepertinya, berkumpul dan di puji oleh keluarga Mas Aditya membuatku menjadi tidak nyaman selama berhari-hari, ditambah teror Mas Aditya yang ingin bertemu denganku. Untuk menghindarinya, aku bekerja dari rumah.
"Sekarang, kita ke butik." Anis mengekor di belakangku. *** Butikku sudah penuh penonton yang kepo dengan masalah, orang lain. Sebelum aku sampai ke butik, aku singgah ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian perusakan dan lain-lainnya. "Permisi ... Permisi," ujarku membelah kerumunan penonton. "Nah, ini dia pelakor murahan. Wanita sok suci, tapi perebut suami orang!" Tentu saja aku tertawa mendengarnya. "Hallo Novalia Asmarani! Kamu tau pribahasa jawa, satu jari jempol menunjuk ke orang lain, empat jari menunjuk ke arah sendiri." Dengan santai aku menjawab. Nova berlari ke arahku dan mengambil vas bunga yang berdiri cantik di meja, tepat di samping tempatku berdiri. Prang! Vas itu mengenai kepalaku, pas sekali dengan kedatangan beberapa polisi. Nova langsung di tangkap tanpa perlawanan, karena bukti sudah ada di depan mata para polisi yang datang. Untung saja, hanya luka gores di dahiku saja. "Satu orang sudah kena batunya!" ujarku. Ketika aku ingin membersihka
"Mungkin hanya perasaan bapak saja. Oh, ya, ada perlu apa bapak ingin bertemu saya?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya. "Begini, Mbak. Saya belum bisa membayar utang saya. Karena kemarin ada sedikit masalah di keluarga saya, pakah saya bisa dapat keringanan?" Ada seulas senyum yang tidak kuperlihatkan padanya. "Maaf, Pak. Perjanjian kita, hitam di atas putih. Di dalamnya sudah jelas isinya, dan Pak Aditya sudah menyetujui setelah membacanya. Ini tercatat secara hukum, apa perlu saya mengingatkan lagi?" Aku menolak permohonannya dengan perlahan. "Dan ini sudah mundur seminggu dari perjanjian!" Imbuhku. Mas Aditya, terlihat murung. Aku tahu, dia sedang mencari ide yang lainnya agar aku bisa memenuhi keinginannya. "Bisakah saya meminjam uang lagi?" tanyanya yang membuatku ingin tertawa. "Maaf, Pak. Ini saja belum bapak bayar dan entah kapan bapak bisa membayarnya." balas ku, tanpa berpikir panjang. "Mbak, kasian anak dan istri saya, mereka akan tinggal di mana? Bisnis say
"Dia wanita yang kamu nikahi, tapi kamu sia-siakan! Bahkan di saat hidup dan matinya, kamu malah tertawa bahagia dan kamu tidak peduli bagaimana nasib anak kandung kamu! Apakah kamu yakin, anak yang ada ditengah-tengah kamu adalah anak kandung kamu? Apa masih ada yang belum saya ucapkan! Oya, dengan hutang yang kamu miliki, maka semua aset yang ada di tangan kamu sudah di pastikan akan menghilang. Jika kamu melawan dan berbuat nekat lagi, kita akan berhadapan dengan hukum. Oh, ya, bicara mengenai hukum, kalian akan mempertanggung jawabkan soal kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik dan psikis dari Gladis dan Kelvin, bukti kami sudah lengkap setelah tiga tahun mencarinya." Panjang lebar Reinaldi berkata dan itu membuatku geram. Padahal ini bukan saatnya. Aku menginjak sepatu Reinaldi dengan keras, agar lelaki ini tidak salah dalam berbicara. Tapi, Reinaldi malah memberikan senyum yang terlihat di paksakan. Ekspresi Mas Aditya di luar dugaanku, dia terlihat tenang. Namun, seketika
Melihat mereka berdua sudah bernapas dengan tidak beratur, aku pun berteriak. "Hei! Hentikan!" "Diam kamu!" Suara Mas Aditya meninggi, membentakku. "Ck, kamu tidak berubah, ya, Mas! Kehancuran sudah di depan mata, bukannya bertobat malah menjadi!" ejekku. Mas Aditya menyipitkan matanya, membulatkan bibirnya. Lalu, berjalan mendekatiku. Raut wajahnya berubah, memelas dan penuh penyesalan. "Dis, maafkan aku. Mari kita rujuk," ujarnya yang membuatku ingin tertawa. "Kamu lupa? Telah mentalakku tiga kali?!" ucapku dari terkesan sinis. Tubuh Mas Aditya luruh dan dia menangis. "Maaf, Dis. Maaf!" ujarnya lirih. "Air mata buayamu, tidak akan mempan untukku. Lebih baik kamu persiapkan diri untuk menghadapi masalah yang kamu sebabkan sejak kita menikah! Jangan lupa, kembalikan hakku dan anakku!" Dengan santai aku berbicara, kemudian hendak berlalu. "Aaakh!" teriakan seseorang menghentikan langkahku. Tubuh seseorang tergeletak dan di bagian perutnya mengeluarkan banyak darah. A
Mobil melaju dengan cepat, dan tiba di rumah sakit. Para perawat dan suster bekerja dengan cepat untuk menangani, Mas Kelvin yang mulai tidak berdaya. Aku, Anis dan Aldi menunggu di luar ruangan, dengan harap-harap cemas. Menunggu bagaimana kabarnya. Tidak lama, mama, papa dan Tante Ecca datang bersama Mutiara. Aku langsung memeluk gadis kecil itu yang terus menanyakan Mas Kelvin. Aku hanya bisa mendekapnya erat dan menciuminya berkali-kali, karena tidak ada penolakan darinya. "Bagaimana keadaanya, Rei?" tanya Tante Ecca ketika lelaki yang tadi datang ke butikku, keluar dari ruangan ICU. "Hmm, itu Tan ...." ucapnya bingung. Kami menatap lelaki itu penuh harap, agar Mas Kelvin bisa selamat. "Kita ngobrol di ruanganku saja, Tan." Reinaldi mengajak Tante Ecca. "Kenapa kami tidak boleh ikut mendengar?" tanyaku kesal. "Karena ini masalah keluarga dan kamu belum masuk keluarga inti!" ucapnya tegas membuatku terdiam. Benar, siapa aku. Aku bukan siapa-siapa mereka, aku hanya