"Mungkin hanya perasaan bapak saja. Oh, ya, ada perlu apa bapak ingin bertemu saya?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya. "Begini, Mbak. Saya belum bisa membayar utang saya. Karena kemarin ada sedikit masalah di keluarga saya, pakah saya bisa dapat keringanan?" Ada seulas senyum yang tidak kuperlihatkan padanya. "Maaf, Pak. Perjanjian kita, hitam di atas putih. Di dalamnya sudah jelas isinya, dan Pak Aditya sudah menyetujui setelah membacanya. Ini tercatat secara hukum, apa perlu saya mengingatkan lagi?" Aku menolak permohonannya dengan perlahan. "Dan ini sudah mundur seminggu dari perjanjian!" Imbuhku. Mas Aditya, terlihat murung. Aku tahu, dia sedang mencari ide yang lainnya agar aku bisa memenuhi keinginannya. "Bisakah saya meminjam uang lagi?" tanyanya yang membuatku ingin tertawa. "Maaf, Pak. Ini saja belum bapak bayar dan entah kapan bapak bisa membayarnya." balas ku, tanpa berpikir panjang. "Mbak, kasian anak dan istri saya, mereka akan tinggal di mana? Bisnis say
"Dia wanita yang kamu nikahi, tapi kamu sia-siakan! Bahkan di saat hidup dan matinya, kamu malah tertawa bahagia dan kamu tidak peduli bagaimana nasib anak kandung kamu! Apakah kamu yakin, anak yang ada ditengah-tengah kamu adalah anak kandung kamu? Apa masih ada yang belum saya ucapkan! Oya, dengan hutang yang kamu miliki, maka semua aset yang ada di tangan kamu sudah di pastikan akan menghilang. Jika kamu melawan dan berbuat nekat lagi, kita akan berhadapan dengan hukum. Oh, ya, bicara mengenai hukum, kalian akan mempertanggung jawabkan soal kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik dan psikis dari Gladis dan Kelvin, bukti kami sudah lengkap setelah tiga tahun mencarinya." Panjang lebar Reinaldi berkata dan itu membuatku geram. Padahal ini bukan saatnya. Aku menginjak sepatu Reinaldi dengan keras, agar lelaki ini tidak salah dalam berbicara. Tapi, Reinaldi malah memberikan senyum yang terlihat di paksakan. Ekspresi Mas Aditya di luar dugaanku, dia terlihat tenang. Namun, seketika
Melihat mereka berdua sudah bernapas dengan tidak beratur, aku pun berteriak. "Hei! Hentikan!" "Diam kamu!" Suara Mas Aditya meninggi, membentakku. "Ck, kamu tidak berubah, ya, Mas! Kehancuran sudah di depan mata, bukannya bertobat malah menjadi!" ejekku. Mas Aditya menyipitkan matanya, membulatkan bibirnya. Lalu, berjalan mendekatiku. Raut wajahnya berubah, memelas dan penuh penyesalan. "Dis, maafkan aku. Mari kita rujuk," ujarnya yang membuatku ingin tertawa. "Kamu lupa? Telah mentalakku tiga kali?!" ucapku dari terkesan sinis. Tubuh Mas Aditya luruh dan dia menangis. "Maaf, Dis. Maaf!" ujarnya lirih. "Air mata buayamu, tidak akan mempan untukku. Lebih baik kamu persiapkan diri untuk menghadapi masalah yang kamu sebabkan sejak kita menikah! Jangan lupa, kembalikan hakku dan anakku!" Dengan santai aku berbicara, kemudian hendak berlalu. "Aaakh!" teriakan seseorang menghentikan langkahku. Tubuh seseorang tergeletak dan di bagian perutnya mengeluarkan banyak darah. A
Mobil melaju dengan cepat, dan tiba di rumah sakit. Para perawat dan suster bekerja dengan cepat untuk menangani, Mas Kelvin yang mulai tidak berdaya. Aku, Anis dan Aldi menunggu di luar ruangan, dengan harap-harap cemas. Menunggu bagaimana kabarnya. Tidak lama, mama, papa dan Tante Ecca datang bersama Mutiara. Aku langsung memeluk gadis kecil itu yang terus menanyakan Mas Kelvin. Aku hanya bisa mendekapnya erat dan menciuminya berkali-kali, karena tidak ada penolakan darinya. "Bagaimana keadaanya, Rei?" tanya Tante Ecca ketika lelaki yang tadi datang ke butikku, keluar dari ruangan ICU. "Hmm, itu Tan ...." ucapnya bingung. Kami menatap lelaki itu penuh harap, agar Mas Kelvin bisa selamat. "Kita ngobrol di ruanganku saja, Tan." Reinaldi mengajak Tante Ecca. "Kenapa kami tidak boleh ikut mendengar?" tanyaku kesal. "Karena ini masalah keluarga dan kamu belum masuk keluarga inti!" ucapnya tegas membuatku terdiam. Benar, siapa aku. Aku bukan siapa-siapa mereka, aku hanya
"Dari mana perempuan itu bisa tau kita ada di sini?!" ucapku kesal. "Pasti dari polisi, tadi Mirna bertanya kita di rumah sakit mana. Dia sedang diinterogasi," balas Anis. Benar juga, karena tadi kami berpapasan dengan mereka. Ada rasa kasihan, jika mereka semua masuk penjara. Akan tetapi, mereka terlalu banyak kesalahan, bahkan rela menipu untuk mendapatkan harta dan hidup bermewah-mewah. "Nak, kamu lebih baik istirahat dulu," ujar mama dan di aminkan oleh papa juga Anis. Sedangkan Aldi di panggil security untuk menindaklanjuti, keributan tadi. Aku memilih, ikut bersama Papa dan Mama pulang ke rumah. Aku kasian pada Mutiara yang baru saja di perbolehkan ikut bersama Mas Kelvin. Mungkin, tadi Mas Kelvin ingin memberiku kejutan dengan membawa Mutiara. Namun, sayang. Bertepatan dengan kekacauan yang sedang terjadi karena Mas Aditya, tepatnya karena Reinaldi yang asal membongkar siapa aku. Tanpa bertanya terlebih dulu, menciptakan kekacauan yang tidak terduga. *** Mutiara sud
"Kamu sejak dulu iri dengan kami. Tapi, kamu tidak mau di ajak bersusah payah. Setelah usaha itu jadi, kamu merasa kami abaikan! Padahal, kamu sendiri yang menolak ide-ideku dan teman-teman yang lainnya. Sekarang, aku harus kembalikan usaha-usaha itu ke mereka. Agar aku tidak memiliki hutang!" "Semoga kamu sudah cukup menikmati apa yang bukan menjadi hal kamu, dan semoga kamu jera setelah ini. Perbaiki hidupmu, jangan bergantung pada harta orang lain. Takutnya, nanti kamu yang akan terjerumus!" Nova hanya diam, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. "Bu Zea, waktu besuk hampir habis!" Penjaga mengingatkanku. "Aku tidak membencimu, Nov. Tapi, aku membenci sifat kamu yang selalu serakah dan tidak mau susah. Kamu selalu ingin yang instan tanpa perduli orang lain akan terluka atau tidak! Ini, pertama dan terakhir kalinya aku menemuimu. Aku berharap, kamu bisa memberikan makanan dan kehidupan yang baik untuk anak-anak kamu dan terima kasih telah merebut Mas Aditya, sehingga
"Tadi, Ecca menelepon. Katanya, ada pesan terakhir untuk kamu!" Ucapan Mama membuatku, terkejut. Ada apa dengan Mas Kelvin! Aku buru-buru ke rumah sakit, agar bisa mengetahui ada apa sebenarnya. "Sus, Pasien atas nama Kelvin, apa sudah dipindahkan?" tanyaku ketika mencari Mas Kelvin di ruangan ICU tidak ada. "Sepertinya di rujuk ke luar negeri, atas permintaan keluarganya. Dengan Ibu Gladis?" tanyanya. "Iya," jawabku, kemudian suster mengatakan jika aku harus menemui dokter Reinaldi. Dengan harap-harap cemas, aku mendatangi ruangan Reinaldi. Ingin sekali bertanya, sebenarnya apa yang terjadi. "Sus, saya mau bertemu dokter Reinaldi," ujarku pada suster yang jaga di depan ruangannya. "Ibu sudah daftar, ditunggu saja!" jawabannya membuatku kesal. Sungguh, aku lupa jika lelaki itu pernah meneleponku. Kucari nomornya yang belum kusimpan, di daftar panggilan keluar. Lalu meneleponnya, "Halo, aku lagi nunggu di depan ruangan praktek ka...." Panggilanku di putus secara sepiha
"Dia anak satu-satunya, selain anak semata wayang, dia pun pewaris semua harta orang tuanya juga hutang piutang di dalamnya. Membantumu hingga saat ini, adalah taruhannya dan dia cukup senang. Sebelum terjadi penusukan, dia mendatangiku. Memintaku menemuimu, karena mantan suamimu pasti akan datang ke butik karena uang yang di milikinya sangat tipis. Saat ini, Kelvin harus menerima konsekuensinya dengan menikahi wanita pilihan orang tuanya." terang Renaldi. "Sungguh terlalu, kisahnya seperti drama Korea yang sering aku lihat. Tragis dan miris!" cicitku. Reinaldi menepuk punggungku dan menatap jauh ke depan. Pemandangan di sini cukup indah saat mata menangkapnya, hanya saja bersama orang yang tidak tepat. **** Aku kembali ke rumah dengan rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan, rasa yang hanya di rasakan oleh orang yang pernah mengalaminya. Kupeluk Mutiara dengan eratnya, kemudian mengecup keningnya, lama. Mutiara menjadi saksi dua cintaku kandas, meskipun dia tidak tahu apa-apa.