"Kita cari kontrakan saja. Nanti, jika sudah mulai berkembang, kamu bisa membeli rumah lagi." Mama terus memberi aku masukan. "Iya, Ma. Nanti kita jual saja!" ujarku. Namun, aku sedang berpikir. Bagaimana surat-suratku yang ada di tante Ecca. Bagaimana mengambilnya, dia pasti sedang menemani Mas Kelvin. Mama masuk ke dalam rumah dan kembali dengan sebuah kotak di tangannya. "Kamu bisa jual ini, jika masih kurang. Semoga, Nak Kelvin tidak terlalu memperhitungkan segala sesuatunya." Mama menyerahkan kotak usang kepadaku. "Ma, ini!" ujarku sambil menunjuk kotak itu. Mama mengangguk dan tersenyum. Aku memeluk mama dan papa bergantian. Aku tidak pernah menyangka, jika mereka begitu mengkhawatirkanku. Diriku yang pernah mengoreskan luka di hati mereka namun, mereka tetap memeluk dan merangkulku erat. Seperti inilah seharusnya orang tua, di belahan bumi mana pun. **** "Nis, bisa berikan rincian uang yang kugunakan dari Mas Kelvin?" tanyaku ketika sampai di butik. "Iya, Mbak.
"Nis, tolong antar Pak Reinaldi keluar, dia sepertinya belum minum obat!" Perintahku. Anis terpaku mendengar ucapanku, kemudian dia melihat kearah Reinaldi dan menatapnya heran. "Sepertinya saya pernah beberapa kali bertemu bapak!" ucap Anis dengan mencoba mengingat-ingat. "Ah, iya! Bapak yang waktu itu bertengkar dengan Mas Kelvin, kan dan yang merawat Mbak Gladis, Kan?" "Iya, betul!" ujar Reinaldi dengan gaya selengekannya. Aku menatap Anis tajam dan memintanya memberikan rincian yang aku minta. Anis tergagap dan kembali ke mejanya lalu ke ruanganku lagi, kemudian menyerahkan flashdisk yang berisi catatan utangku pada Kelvin. Segera kupasang flashdisk yang di berikan oleh Anis, dan melihat berapa banyak utang-utangku. "Cukup banyak!" gumamku. "Hmmm, Nis. Kamu bisa cari pembeli rumah yang aku tempati? Sekalian cari tahu kisaran harganya, ya!" pintaku pada Anis yang masih berdiri di sampingku. Aku terkejut ketika Reinaldi berdiri dan menghentikan tangannya di atas meja.
"Mau kamu apa? Kita enggak saling kenal ataupun dekat. Jangan macam-macam, aku sudah melewati hal yang terburuk. Tidak takut lagi dengan hal lainnya!" ocehku. "Dis, tolong percaya padaku. Aku mencintaimu, lebih besar daripada cinta yang Kelvin punya. Tidak aku tunjukan, bukan berarti cinta yang aku punya hanya candaan seperti katamu!" Mendengar dia bicara aku hanya menghela napas dan memutar bola mata jengah. "Jangan bicara cinta! Jika kamu tidak tau!" balasku. Kali ini, Reinaldi yang menghela napas panjang. Kemudian diam, kembali fokus pada jalanan yang kami lewati. Dua jam perjalanan, membuatku bosan dan tanpa sadar aku tertidur. "Hei, bangun!" Terasa air mengguyur wajahku. "Eh, apa-apaan sih!" Pekikku. "Kita sudah sampai, apa aku harus nunggu kamu bangun dan kita bisa bermalam di sini." ejek Reinaldi. Ucapannya seolah-olah menganggap diriku wanita rendahan. Aku membenarkan posisiku, duduk tegak dan meluruskan rambutku. Di depan sana, terlihat gedung megah yang di h
"Dis, kamu enggak apa-apa?" Reinaldi menarik tubuhku dalam pelukannya. Detak jantung Reinaldi membuatku berdebar-debar, ada apa ini. Aku seperti mengenalnya dan pelukannya sangat nyaman untukku. "Aku enggak kenapa-kenapa! Jangan dekat-dekat!" Aku malah mendorongnya sekuat tenaga. "Dis, aku benar-benar orang yang mencintaimu. Semua orang tau, Dis. Ijinkan aku berjuang lagi, Dis!" ujarnya. Aku bingung ini di mana, sehingga hanya clingak-clinguk mencari kendaraan. "Dis, aku mau membuktikan jika aku mencintaimu lebih dari yang Kelvin rasakan. Aku benar-benar...." "Cukup!" bentakku. "Sepertinya, kamu perlu ke dokter jiwa!" Lagi-lagi, Reinaldi mampu membuat amarahku memuncak. "Ijinkan aku untuk memperlihatkannya padamu, dan memberitahumu perasaanku yang sempat kututup rapat, meskipun menyiksa diriku sendiri." Cukup menyedihkan melihat tingkahnya seperti itu. Bagaimana mungkin lelaki tampan, kaya dan seorang dokter bisa seperti ini. Mungkin dia terlalu mencintai kekasihnya sehi
Tinggal tiga meter lagi, kulihat Mas Kelvin melayangkan tinju dan memukul Reinaldi berkali-kali, lalu memelukku ketika aku tiba di pelaminan. "Dis, maafkan aku. Aku akan jelaskan semua, tunggu aku!" bisik Mas Kelvin. Tubuhku bergetar, air mata seakan-akan tidak mampu kucegah. Mengalir sederas air terjun yang pernah kudatangi bersama Mas Kelvin. Pengantin wanita terlihat menatapku tajam namun, tubuhnya kaku mematung. "Lepas, kan Gladisku!" Reinaldi menarik paksa Mas Kelvin dan menghadiahinya satu pukulan telak. Para tamu undangan yang datang terkejut dan berteriak ketika semua itu terjadi. Lamat-lamat kudengar mereka berbisik, semua karena aku 'janda gatel yang menggoda dua orang lelaki di mana mereka memiliki ikatan persaudaraan.' Kenapa aku yang di salahkan, aku tidak mengerti dengan mereka, tapi bagaimana mereka tau tentang statusku. Padahal, aku tidak mengenal mereka. "Mas, tolong hentikan! Reinaldi, mau kamu apa!" teriakku. "Kalian ini! Seperti anak kecil." tambahku. "
Aldi memanggil perawat, ketika kami sampai di rumah sakit. Mereka langsung cepat tanggap dengan keadaan, sehingga Papa cepat dapat pertolongan. "Dok, Papa saya kenapa?" tanyaku setelah dokter selesai memeriksa papa. "Sepertinya, beliau terkena stroke dan jantung. Tapi, belum pasti. Akan ada pemeriksaan lanjutan, baiknya beliau di rawat saja di sini." ujar dokter yang masih muda itu. Dokter yang memperkenalkan dirinya bernama William, segera pamit untuk kembali bertugas. Namun, cara bicaranya sangat santai padaku, seperti seorang teman. "Ma, aku ke toilet sebentar, ya." Izinku. Ragu-ragu aku mengikuti langkah dokter muda itu, di mana aku kesulitan mengikutinya karena langkahnya yang cukup cepat. "Maaf, Dok!" seruku, Dokter Wiliam menoleh ke arahku. Langkah laki-laki berparas tampan dengan kaca mata yang menghiasi wajahnya berhenti, dan tubuhnya menghadapku. "Ya, Mbak Gladis!" ujarnya. Seketika tubuhku membeku, saat dia memanggil namaku. "Ada apa, Mbak? Kenapa liatin
Tubuh sepertinya kaku dan tidak mampu di gerakan. Ingin melihat pun enggan, karena aku sudah tau dia. Semoga saja, dia tidak mengenali keluargaku. "Bagaimana, Pak Bisma, Bu?" tanyanya pada mama. "Tadi sudah sadar, Dok. Tapi tidur lagi karena minum obat." terang mama. "Jangan panggil, Dok. Panggil saja Reinaldi, saya calon menantu ibu." celetuknya. Tentu saja aku harus klarifikasi pada mama, agar mama tidak syok, dan semoga papa masih tertidur lelap, sehingga tidak mendengar ucapan manusia planet ini. "Bukan, Ma!" balasku cepat. "Hai, Gladis," sapanya. Aku melihat wajah mama yang terlihat kebingungan, lalu terdengar suara papa yang batuk. Reinaldi dan aku langsung mendekati papa, secara repleks. "Jangan dekat-dekat!" Aku menepis tangan Reinaldi ketika dia akan menyentuh tangan papa. "Dis, kenapa kamu jadi kasar, Nak?" tanya papa dengan suara paraunya. Aku memandang sinis pada Reinaldi, dan beralih pada papa dengan pandangan sendu. "Itu, Pa. Tadi dia ngupil! 'Kan jo
"Mbak kenal saya?" tanyaku serius. Suster itu menatap ke arah Reinaldi, dengan pandangan bertanya. "Tidak usah mencegahnya untuk bicara!" ancamku. "Bukan begitu, Mbak. Ada pasien gawat darurat, yang butuh pertolongan dokter!" balas si suster. "Siapa, Sus?" tanya Reinaldi. "Pasien Bu Rukayah, dok. Dia enggak mau di periksa orang lain, selain dokter." jawab suster. "Bilang saja, saya akan menemuinya besok." Perintah Reinaldi. "Siap, dok." Suster pun pergi, untuk memberitahu pasiennya. Aku kembali menatap Reinaldi dan juga gambar yang ada di meja. Bagaimana bisa aku begitu dekat dengan dia, padahal aku tidak mengenalnya. "Apa perlu aku menceritakan ulang semua kejadiannyanya?" tanya Reinaldi, saat aku terus memandangi gambarku yang bersamanya. Ya, wajah itu, wajahku sebelum aku di operasi, wajah yang terkena luka bakar. Aku tidak menggubris ucapannya, hanya fokus memperhatikan setiap poto-poto yang ada. Bagaimana bisa aku dekat dengannya, apakah karena Kelvin koma, wak