'Oh, iya! Bukannya Anis yang merawatku di rumah sakit, pastinya dia tau tentang Reinaldi, tapi kenapa kemarin nampak tidak kenal! Baiknya ku tanyakan saja!' batinku. "Nis, aku mau tanya. Jawab jujur!" tanyaku pada Anis setelah kami keluar dari kantor pengacara. "Iya, Mbak," balasnya. "Kamu merawatku waktu itu, saat aku baru masuk rumah sakit atau ...?" tanyaku terhenti. " Yang pertama merawat Mbak, kalau enggak salah Mbak Ririn. Kenapa, Mbak?" "Kamu bisa cari tau alamatnya?" pintaku. "Bisa, Mbak," jawabnya cepat. "Masalah rumah yang mau mbak jual, apakah mbak akan pindah jauh? Lalu butik di tutup?" tanya Anis lesu. "Butik tetap berjalan seperti biasanya. Kamu 'kan sudah handal, jadi bisa menjaga butik dengan aman." Langkah Anis terhenti, wajahnya datar ketika melihatku. Namun, matanya telah berair. Dia tidak menangis, menurutku dia orang yang paling tegar di sisiku. Anis berharap, aku tidak meninggalkannya dan tetap mengelola butik seperti biasanya. Aku menepuk pundaknya,
Orang-orang yang ada di sekitarku tersenyum ketika Reinaldi berujar dengan santai dan pasti. Membantah ucapanku, sepertinya sudah kebiasaannya. "Ya sudah Pa, ma, Matahari, Mbok, saya pergi dulu. Mau mempersiapkan sesuatu, dan saya sedang ketakutan dengan amarah janda cantik di depan ini. Nanti malahan dia kabur dari saya," ujar Reinaldi dengan telapak tangan dia tempelkan di pipi, seperti seseorang sedang berbisik. "Nanti, Om patah hati!" Semua memandang ke arah suara yang sepertinya mendukung Reinaldi. Tidak bisa di biarkan lagi ini. Aku harus segera pindah dan mencari sekolah yang terbaik untuk Matahari. Aku tidak ingin berlama-lama tinggal di sini. "Maaf, dok. Apa papa saya bisa pulang hari ini? Lalu, bagaimana progrea kesehatannya?" "Papa sudah membaik dan bisa pulang besok pagi setelah jam kerja saya, Agar saya mudah ...," "Baik, dok. Terima kasih dan sepertinya pasien lain sedang membutuhkan bapak, silahkan." usirku. "Kamu tetap seperti ini, ya. Lebih manis dan terlih
"Saya enggak yakin! Bagaimana bisa ingatan hilang hanya di bagian tertentu!" ejekku. "Tidak ada untungnya saat ini saya berbohong. Sejak kejadian itu, saya merasa bersalah pada kalian berdua. Terutama pada dokter Reinaldi, yang baru bisa membuka hatinya setelah kematian pacarnya. Saya dan yang lainnya merasa iri dengan Mbak Gladis, bisa mendapatkan hati dokter Reinaldi tanpa harus berjuang. Tapi, Bu Rebecca lebih sayang kepada ponakannya yang koma waktu itu, daripada dokter Reinaldi yang juga masih keponakannya. Sehingga dia membayarku untuk melakukan hal yang kusesali. " ungkapnya membuatku mengeryitkan dahi. "Tante Rebecca?" tanyaku dan Ririn mengangguk. Ririn pun mengatakan, jika tante Rose yang mempunyai ide memalsukan kematian anakku dan menunda-nunda untuk aku membalas dendam pada Mas Aditya. Dikarenakan hal itu, Mas Kelvin dan Reinaldi sempat bertengkar hebat di rumah sakit, setelah beberapa bulan Mas Kelvin bangun dari komanya. Agar aku bisa selalu dekat dengan Kelvin, ra
"Maaf, saya lupa. Maklum saja, ya." Dia menepuk punggung tanganku. "Maaf, Bu. Apakah benar saya pernah dekat dengan Reinaldi?" tanyaku lagi. "Dokter Reinaldi?" tanyanya balik dan aku mengangguk. Kemudian wanita paruh baya yang tidak juga mengenalkan siapa namanya tersenyum dan berkali-kali menyentuh kaca matanya. "Kalian cukup dekat. Setelah mbak datang ke rumah sakit, tanpa ada yang mengenali. Dokter Reinaldi sepertinya tertarik begitu saja dengan Mbak. Kami merasa heran, Mbak seperti magnet yang mampu menarik dokter Reinaldi yang begitu dingin dan pendiam. Padahal, kalian tidak saling kenal. Kedekatan makin intens, dan dokter Reinaldi mencari info tentang mbak karena enggak ingin kehilangan mbak. Namun, setelah tahu dia agak murung. Lalu, Dokter Reinaldi urung melaporkan mbak sebagai orang hilang. Dia terus merawat mbak, sampai luka di wajah mbak mengering. Lalu, Ririn mengetahui sesuatu yang dokter Reinaldi katakan pada ibunya, saat akan menikahi mbak. Tanpa ragu, dia menghub
Punggung kekar itu terus menjauh hingga sampai tidak terlihat lagi oleh netraku. Debaran ini menguat, ketika dia menghilang. Huft. *** Tidak butuh waktu yang lama, Papa sudah keluar dari rumah sakit. Di saat aku menjemput papa pulang, pengacara mengabarkan jika semua usaha yang kurintis dulu, di kembalikan dengan mudah oleh mantan mertuaku tanpa pemaksaan yang berarti dan langsung kuminta pengacara untuk mengiklankan semuanya. Mungkin, mantan mertuaku sudah lelah, karena anak dan menantunya sedang berada di penjara. Sedangkan menantunya --Amar --,enggan membantu keluarga istrinya lagi. Kabarnya, lelaki itu sedang menggugat cerai istrinya. Di karenakan anak pertama mereka terbukti bukan darah daging Amar dan ternyata, Sintia tetap berhubungan dengan ayah dari anaknya. Sungguh hancur keluarga. "Sudah beres, Pa?" tanyaku ketika melihat mereka sudah siap. Papa mengacungkan dua jempolnya, dan tersenyum lebar. Mama memasang wajah masam, karena papa menggoda suster yang memeriksanya
Lelaki yang pernah mengisi hatiku di masa muda itu pun pamit padaku dan kedua orang tuaku, lalu kami berjabat tangan layaknya sahabat lama. *** "Pa, Ma, aku lupa ngasih tau! Rumah kita sudah terjual dengan harga yang lumayan tinggi. Lusa, kita pindah. Semoga papa kuat di perjalanan." Aku mengabarkan kepindahan pada papa, setelah sampai di rumah. "Apapun yang terbaik untuk kamu, Nak." "Aku ingin hidup menjauh dari semua yang mengakibatkan hatiku terluka, Pa!" "Papa dan mama akan mendukung, semua yang keputusanmu jika, itu yang terbaik." Mama ikut berbicara. Aku lega, papa dan mama jauh berubah sikap dan sifatnya. Mungkin karena aku pernah terjatuh sangat dalam sehingga membuat mereka khawatir. "Apa yang perlu kita siapakan?" tanya Mama. "Enggak ada, Ma. Semua sudah di beresin mbok, hanya bawa baju saja. Sedangkan perabotan tidak di bawa, karena akan merepotkan." Aku menatap sekitarku, rumah yang penuh kenangan selama hampir empat tahun terakhir. Rumah tempatku mengeluh, tem
"Maksud mama, kamu belum membuat akta kelahiran untuknya. Bukankah dia sudah waktunya sekolah tahun ini?" Aku bangkit dan duduk, menatap layar datar di hadapanku. Benar ucapan mama, aku lupa akan hal sepenting itu. "Aku akan mengurusnya, Ma." Aku meninggalkan mama sendirian dan meminta Mbok Asih untuk menemaninya. Mereka berdua seperti ibu dan anak, hanya saja tidak ada hubungan darah. "Halo, Nis. Bisa bantu carikan orang yang bisa membuatkan akte kelahiran untuk Mutiara?" Tanyaku melalui sambungan telepon. "Bisa, Mbak. Asal ada surat lahir, KTP orang tua dan KK." Aku berpikir sejenak, mana mungkin semua itu aku persiapkan. Identitas yang kupakai adalah identitas asli, tapi palsu. "Kamu bisa urus pergantian namaku, sesuai dengan yang asli dan kembali di masukan ke dalam KK orang tuaku?" "Akte untuk Mbak Gladis?" "Bukan, tapi untuk Mutiara." "Baik, Mbak. Aku cari jalan yang terbaik, supaya bisa buat Akte secepatnya." "Terima kasih," Aku memutus panggilan telepon da
Tidak lama, muncul seorang wanita yang sering membantuku. Dia adalah istri Pak RT, "Gladis?" ucapnya tidak percaya. Aku mengangguk, membenarkan ucapannya yang seakan-akan tidak benar. "Masuk ... Masuk," Bu Rt memintaku masuk. "Duduk dulu, ya. Saya lagi masak, sebentar saya matikan dulu kompornya. Aku menunggu di ruang tamu, menatap poto-poto yang tergantung rapi di dinding. Tidak lama, bu RT kembali dengan membawa nampan berisi air minum. "Tambah cantik kamu. Dah lama sekali kita enggak ketemu!" ucapnya antusias. "Terima kasih, Bu. Bu, mau tanya tentang mantan mertua, apa benar beliau sudah ....?" "Iya, setelah hartanya kembali ke kamu, beliau terkena serangan jantung. Awalnya, warga enggak mau membantu keluarga mereka. Tapi karena kami memohon, alhamdulillah semua selesai hingga di makamkan." terang Bu RT. "Kenapa banyak yang enggak mau membantu, Bu?" tanyaku heran. Sepengetahuanku, keluarga Mas Aditya royal pada tetangga. "Hmmm, ini aib sebenarnya. Tapi ..." Bu RT ra
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men