"Maksud mama, kamu belum membuat akta kelahiran untuknya. Bukankah dia sudah waktunya sekolah tahun ini?" Aku bangkit dan duduk, menatap layar datar di hadapanku. Benar ucapan mama, aku lupa akan hal sepenting itu. "Aku akan mengurusnya, Ma." Aku meninggalkan mama sendirian dan meminta Mbok Asih untuk menemaninya. Mereka berdua seperti ibu dan anak, hanya saja tidak ada hubungan darah. "Halo, Nis. Bisa bantu carikan orang yang bisa membuatkan akte kelahiran untuk Mutiara?" Tanyaku melalui sambungan telepon. "Bisa, Mbak. Asal ada surat lahir, KTP orang tua dan KK." Aku berpikir sejenak, mana mungkin semua itu aku persiapkan. Identitas yang kupakai adalah identitas asli, tapi palsu. "Kamu bisa urus pergantian namaku, sesuai dengan yang asli dan kembali di masukan ke dalam KK orang tuaku?" "Akte untuk Mbak Gladis?" "Bukan, tapi untuk Mutiara." "Baik, Mbak. Aku cari jalan yang terbaik, supaya bisa buat Akte secepatnya." "Terima kasih," Aku memutus panggilan telepon da
Tidak lama, muncul seorang wanita yang sering membantuku. Dia adalah istri Pak RT, "Gladis?" ucapnya tidak percaya. Aku mengangguk, membenarkan ucapannya yang seakan-akan tidak benar. "Masuk ... Masuk," Bu Rt memintaku masuk. "Duduk dulu, ya. Saya lagi masak, sebentar saya matikan dulu kompornya. Aku menunggu di ruang tamu, menatap poto-poto yang tergantung rapi di dinding. Tidak lama, bu RT kembali dengan membawa nampan berisi air minum. "Tambah cantik kamu. Dah lama sekali kita enggak ketemu!" ucapnya antusias. "Terima kasih, Bu. Bu, mau tanya tentang mantan mertua, apa benar beliau sudah ....?" "Iya, setelah hartanya kembali ke kamu, beliau terkena serangan jantung. Awalnya, warga enggak mau membantu keluarga mereka. Tapi karena kami memohon, alhamdulillah semua selesai hingga di makamkan." terang Bu RT. "Kenapa banyak yang enggak mau membantu, Bu?" tanyaku heran. Sepengetahuanku, keluarga Mas Aditya royal pada tetangga. "Hmmm, ini aib sebenarnya. Tapi ..." Bu RT ra
Berkali-kali kuhembuskan napas panjang, agar penat di hati sedikit berkurang. Namun, perkataan Bu RT tidak bisa hilang dari ingatanku. Tapi, mencoba memantapkan hati. Semua bukan salahku dan aku akan menjaga Mutiara dengan baik, kelak akan memilihkannya pasangan yang terbaik. Rasanya, sangat lama melewati hari ini. Ingin segera pulang dan memeluk Mutiara. Ponselku berdering, ketika akan sampai di polsek tempat Mas Aditya di tahan sementara, sampai dia di pindahkan ke lapas. "Ya, halo. Dengan siapa?" "Mbak, ada Mas Kelvin." Kulihat lagi nomor yang menghubungiku, sepertinya ada sesuatu yang salah. "Bik Asih?" "Iya, mbak. Mas Kelvin enggak mau pergi, tadi sempat berkelahi dengan bapak. Sekarang lagi main dengan Mutiara di depan rumah," "Biarkan, saja! Nanti aku pulang secepatnya kalau sudah beres!" Sambungan di akhiri oleh Bik Asih yang takut ketahuan oleh Kelvin. Tadi, sewaktu papa melarang Kelvin datang, lelaki itu marah dan mengamuk di susul istrinya hingga mereka berteng
"Jika aku pelacur, adikmu apa? Jika aku pelacur, dirimu apa? Jika aku pelacur, maka kamu lebih rendah daripada diriku!" ucapku tepat di depan wajahnya. Mas Aditya memundurkan kepalanya agar wajah kami tidak terlalu dekat namun, aku terus mengikuti pergerakannya. "Dulu, sewaktu aku tau kamu mengirim preman untuk membunuhku dan Mutiara, aku langsung berjuang untuk membalaskan dendamku juga anakku. Untung saja, Mutiara kembali dalam dekapanku, jika tidak!" ancamku. "Jika tidak apa?!" bentaknya, tapi aku tau dia mulai terintimidasi. "Jika tidak, aku akan memotong bagian yang sok suci. Akan tetapi, di sanalah tempat dosa terkumpul. Setelah terpotong, aku akan memberikannya pada anjing, dan melihatnya memakan dengan nikmat sesuatu yang ada pada bagian bawah tubuhmu. Jangan kamu kira aku enggak sanggup melakukannya!" Kali ini aku mengucapkannya dengan menatap matanya tanpa berkedip. Tanganku langsung menarik kepalanya, dan kubenturkan di meja. Lalu menekan kuat-kuat di meja. "Berani
"Kelvin meminta cerai dari istrinya, dia ingin menikah denganmu. Tante dan om syok mengetahui hal itu, hingga om masuk rumah sakit. Aku tahu, Kelvin saat ini ada di rumahmu. Makanya, kamu memilih ke sini." terang Reinaldi. "Kalian para lelaki memang jenius dan bodoh jika berhubungan dengan wanita! Sudahlah, aku enggan membahas kalian." Reinaldi mendekat dan meraih tanganku. Memintaku untuk memikirkan soal permintaannya yang sudah lalu. Namun, tetap ku tolak dan mengatakan hal serupa dulu. "Jika jodoh, kita akan bertemu lagi!" Aku meninggalkannya sendiri dan menuju ke Anis. Memberikannya bahan untuk tes DNA. "Tolong, ya Nis." pintaku tulus dan Anis mengangguk. "Biarkan dia di sini, karena dia masih memiliki saham di sini." pesanku. Lalu aku meninggalkan butik, setelah menyapa pegawai yang lainnya. Langsung menuju rumah, untuk persiapan pindah esok hari. *** "Bik, ada makan enggak?" tanyaku saat masuk ke rumah. "Ada, mbak. Mau makan?" tanya Bik Asih. "Iya, laper nih." ja
*** "Ma, Pa ini rumah baru kita, belum jadi milik kita sih!" ujarku dengan tersenyum kaku. "Kita mulai dari awal lagi, Nak." Papa mengusap punggungku. Kami masuk di dampingi oleh pemilik rumah, dan di perlihatkan beberapa ruangan yang sangat unik. Mutiara terlihat sangat senang, di sini banyak mainan anak-anak yang tidak di bawa oleh pemilik rumah. "Terima kasih, Pak. Untuk sisa pembayaran, akan saya transfer seminggu lagi." Aku mengatakannya dengan tidak enak hati. "Santai, Mbak. Semoga betah, bisa di beli," ujarnya dengan senyum mengembang, "ya, sudah, saya permisi dulu. Mari, Pak, Bu."Kami melanjutkan dengan menata baju-baju, mengganti sprai, dan gorden yang terlihat usang. Lalu, kami melihat sekitar untuk kedua kalinya. "Kayaknya, mama bakalan betah. Tempatnya asri dan luas, di belakang bisa kita tanami bunga dan lainnya." Mama terlihat terlalu antusias. "Ma, aku langsung liat cafe, ya. Supaya bisa cepat beroperasi, dan bisa menopang keuangan keluarga kita." Aku pamit beran
"Ternyata, mantan suaminya meninggal karena ...." ungkap Rima namun, terhenti begitu saja. "Apakah bibikmu yang di rumah sakit waktu itu?" tanyaku penasaran. "Bukan, Mbak. Adiknya, mereka berdua menikahi satu laki-laki. Tapi, laki-laki brengsek!" Rima memukul kemudi, dan terisak. Sepertinya ada sesuatu yang salah dari Rima, dan aku tidak ingin melanjutkan pertanyaanku lagi. Takut sesuatu yang buruk akan mempengaruhi Rima. Aku memilih menikmati perjalanan dengan bersenda gurau dengan Mutiara, yang tadi kebetulan menyela dengan pertanyaannya tentang sekolah. "Rima, aku enggak jadi pergi ke cafe. Aku benar-benar lelah hari ini, tapi jika kamu butuh teman kita bisa ngobrol di kamarku." Setelah sampai di rumah, aku menawarkan diri ketika melihat Rima yang murung. Rima menatapku, matanya berbinar dan mulai terlihat genangan air di sana. Aku membawanya masuk ke dalam dan meminta Mutiara untuk berganti pakaian bersama Bik Asih yang sudah menunggu kepulangan kami. "Kamu duduk dulu, atau k
Kamera video kembali mengarah pada Aldi dan Anis. Lalu mereka menceritakan jika Mas Aditya ingin bunuh diri, ketika tahu semua hartanya sudah habis tak bersisa dan istrinya meminta cerai dan mengakui jika anaknya bukanlah darah daging dari Mas Aditya. Rasanya sesak, dan membuatku memilih mematikan panggilan video dari Anis. Kuletakkan ponsel dan menemui mama, untuk bertanya. "Ma," panggilku, ketika aku melihat mama sedang mengupas buah untuk papa. "Ada apa?" tanya mama tanpa melihatku. "Ma, tadi Rima menceritakan tentang dirinya dan itu membuatku berpikir tentang Mutiara di kemudian hari. Apakah aku harus mempertemukan Mutiara dengan Mas Aditya yang sekarat?" tanyaku bimbang. Mama melirik papa yang diam, karena fokus membaca pelajaran agama. Setelah hening beberapa saat, papa menutup bukunya dan melepaskan kacamata yang dia pakai. "Apa yang Rima ceritakan?" tanya papa, aku yakin papa harus menganalisa sesuatu sebelum memutuskan satu perkara. Akupun menceritakan apa yang telah di