"Mau kamu apa? Kita enggak saling kenal ataupun dekat. Jangan macam-macam, aku sudah melewati hal yang terburuk. Tidak takut lagi dengan hal lainnya!" ocehku. "Dis, tolong percaya padaku. Aku mencintaimu, lebih besar daripada cinta yang Kelvin punya. Tidak aku tunjukan, bukan berarti cinta yang aku punya hanya candaan seperti katamu!" Mendengar dia bicara aku hanya menghela napas dan memutar bola mata jengah. "Jangan bicara cinta! Jika kamu tidak tau!" balasku. Kali ini, Reinaldi yang menghela napas panjang. Kemudian diam, kembali fokus pada jalanan yang kami lewati. Dua jam perjalanan, membuatku bosan dan tanpa sadar aku tertidur. "Hei, bangun!" Terasa air mengguyur wajahku. "Eh, apa-apaan sih!" Pekikku. "Kita sudah sampai, apa aku harus nunggu kamu bangun dan kita bisa bermalam di sini." ejek Reinaldi. Ucapannya seolah-olah menganggap diriku wanita rendahan. Aku membenarkan posisiku, duduk tegak dan meluruskan rambutku. Di depan sana, terlihat gedung megah yang di h
"Dis, kamu enggak apa-apa?" Reinaldi menarik tubuhku dalam pelukannya. Detak jantung Reinaldi membuatku berdebar-debar, ada apa ini. Aku seperti mengenalnya dan pelukannya sangat nyaman untukku. "Aku enggak kenapa-kenapa! Jangan dekat-dekat!" Aku malah mendorongnya sekuat tenaga. "Dis, aku benar-benar orang yang mencintaimu. Semua orang tau, Dis. Ijinkan aku berjuang lagi, Dis!" ujarnya. Aku bingung ini di mana, sehingga hanya clingak-clinguk mencari kendaraan. "Dis, aku mau membuktikan jika aku mencintaimu lebih dari yang Kelvin rasakan. Aku benar-benar...." "Cukup!" bentakku. "Sepertinya, kamu perlu ke dokter jiwa!" Lagi-lagi, Reinaldi mampu membuat amarahku memuncak. "Ijinkan aku untuk memperlihatkannya padamu, dan memberitahumu perasaanku yang sempat kututup rapat, meskipun menyiksa diriku sendiri." Cukup menyedihkan melihat tingkahnya seperti itu. Bagaimana mungkin lelaki tampan, kaya dan seorang dokter bisa seperti ini. Mungkin dia terlalu mencintai kekasihnya sehi
Tinggal tiga meter lagi, kulihat Mas Kelvin melayangkan tinju dan memukul Reinaldi berkali-kali, lalu memelukku ketika aku tiba di pelaminan. "Dis, maafkan aku. Aku akan jelaskan semua, tunggu aku!" bisik Mas Kelvin. Tubuhku bergetar, air mata seakan-akan tidak mampu kucegah. Mengalir sederas air terjun yang pernah kudatangi bersama Mas Kelvin. Pengantin wanita terlihat menatapku tajam namun, tubuhnya kaku mematung. "Lepas, kan Gladisku!" Reinaldi menarik paksa Mas Kelvin dan menghadiahinya satu pukulan telak. Para tamu undangan yang datang terkejut dan berteriak ketika semua itu terjadi. Lamat-lamat kudengar mereka berbisik, semua karena aku 'janda gatel yang menggoda dua orang lelaki di mana mereka memiliki ikatan persaudaraan.' Kenapa aku yang di salahkan, aku tidak mengerti dengan mereka, tapi bagaimana mereka tau tentang statusku. Padahal, aku tidak mengenal mereka. "Mas, tolong hentikan! Reinaldi, mau kamu apa!" teriakku. "Kalian ini! Seperti anak kecil." tambahku. "
Aldi memanggil perawat, ketika kami sampai di rumah sakit. Mereka langsung cepat tanggap dengan keadaan, sehingga Papa cepat dapat pertolongan. "Dok, Papa saya kenapa?" tanyaku setelah dokter selesai memeriksa papa. "Sepertinya, beliau terkena stroke dan jantung. Tapi, belum pasti. Akan ada pemeriksaan lanjutan, baiknya beliau di rawat saja di sini." ujar dokter yang masih muda itu. Dokter yang memperkenalkan dirinya bernama William, segera pamit untuk kembali bertugas. Namun, cara bicaranya sangat santai padaku, seperti seorang teman. "Ma, aku ke toilet sebentar, ya." Izinku. Ragu-ragu aku mengikuti langkah dokter muda itu, di mana aku kesulitan mengikutinya karena langkahnya yang cukup cepat. "Maaf, Dok!" seruku, Dokter Wiliam menoleh ke arahku. Langkah laki-laki berparas tampan dengan kaca mata yang menghiasi wajahnya berhenti, dan tubuhnya menghadapku. "Ya, Mbak Gladis!" ujarnya. Seketika tubuhku membeku, saat dia memanggil namaku. "Ada apa, Mbak? Kenapa liatin
Tubuh sepertinya kaku dan tidak mampu di gerakan. Ingin melihat pun enggan, karena aku sudah tau dia. Semoga saja, dia tidak mengenali keluargaku. "Bagaimana, Pak Bisma, Bu?" tanyanya pada mama. "Tadi sudah sadar, Dok. Tapi tidur lagi karena minum obat." terang mama. "Jangan panggil, Dok. Panggil saja Reinaldi, saya calon menantu ibu." celetuknya. Tentu saja aku harus klarifikasi pada mama, agar mama tidak syok, dan semoga papa masih tertidur lelap, sehingga tidak mendengar ucapan manusia planet ini. "Bukan, Ma!" balasku cepat. "Hai, Gladis," sapanya. Aku melihat wajah mama yang terlihat kebingungan, lalu terdengar suara papa yang batuk. Reinaldi dan aku langsung mendekati papa, secara repleks. "Jangan dekat-dekat!" Aku menepis tangan Reinaldi ketika dia akan menyentuh tangan papa. "Dis, kenapa kamu jadi kasar, Nak?" tanya papa dengan suara paraunya. Aku memandang sinis pada Reinaldi, dan beralih pada papa dengan pandangan sendu. "Itu, Pa. Tadi dia ngupil! 'Kan jo
"Mbak kenal saya?" tanyaku serius. Suster itu menatap ke arah Reinaldi, dengan pandangan bertanya. "Tidak usah mencegahnya untuk bicara!" ancamku. "Bukan begitu, Mbak. Ada pasien gawat darurat, yang butuh pertolongan dokter!" balas si suster. "Siapa, Sus?" tanya Reinaldi. "Pasien Bu Rukayah, dok. Dia enggak mau di periksa orang lain, selain dokter." jawab suster. "Bilang saja, saya akan menemuinya besok." Perintah Reinaldi. "Siap, dok." Suster pun pergi, untuk memberitahu pasiennya. Aku kembali menatap Reinaldi dan juga gambar yang ada di meja. Bagaimana bisa aku begitu dekat dengan dia, padahal aku tidak mengenalnya. "Apa perlu aku menceritakan ulang semua kejadiannyanya?" tanya Reinaldi, saat aku terus memandangi gambarku yang bersamanya. Ya, wajah itu, wajahku sebelum aku di operasi, wajah yang terkena luka bakar. Aku tidak menggubris ucapannya, hanya fokus memperhatikan setiap poto-poto yang ada. Bagaimana bisa aku dekat dengannya, apakah karena Kelvin koma, wak
'Oh, iya! Bukannya Anis yang merawatku di rumah sakit, pastinya dia tau tentang Reinaldi, tapi kenapa kemarin nampak tidak kenal! Baiknya ku tanyakan saja!' batinku. "Nis, aku mau tanya. Jawab jujur!" tanyaku pada Anis setelah kami keluar dari kantor pengacara. "Iya, Mbak," balasnya. "Kamu merawatku waktu itu, saat aku baru masuk rumah sakit atau ...?" tanyaku terhenti. " Yang pertama merawat Mbak, kalau enggak salah Mbak Ririn. Kenapa, Mbak?" "Kamu bisa cari tau alamatnya?" pintaku. "Bisa, Mbak," jawabnya cepat. "Masalah rumah yang mau mbak jual, apakah mbak akan pindah jauh? Lalu butik di tutup?" tanya Anis lesu. "Butik tetap berjalan seperti biasanya. Kamu 'kan sudah handal, jadi bisa menjaga butik dengan aman." Langkah Anis terhenti, wajahnya datar ketika melihatku. Namun, matanya telah berair. Dia tidak menangis, menurutku dia orang yang paling tegar di sisiku. Anis berharap, aku tidak meninggalkannya dan tetap mengelola butik seperti biasanya. Aku menepuk pundaknya,
Orang-orang yang ada di sekitarku tersenyum ketika Reinaldi berujar dengan santai dan pasti. Membantah ucapanku, sepertinya sudah kebiasaannya. "Ya sudah Pa, ma, Matahari, Mbok, saya pergi dulu. Mau mempersiapkan sesuatu, dan saya sedang ketakutan dengan amarah janda cantik di depan ini. Nanti malahan dia kabur dari saya," ujar Reinaldi dengan telapak tangan dia tempelkan di pipi, seperti seseorang sedang berbisik. "Nanti, Om patah hati!" Semua memandang ke arah suara yang sepertinya mendukung Reinaldi. Tidak bisa di biarkan lagi ini. Aku harus segera pindah dan mencari sekolah yang terbaik untuk Matahari. Aku tidak ingin berlama-lama tinggal di sini. "Maaf, dok. Apa papa saya bisa pulang hari ini? Lalu, bagaimana progrea kesehatannya?" "Papa sudah membaik dan bisa pulang besok pagi setelah jam kerja saya, Agar saya mudah ...," "Baik, dok. Terima kasih dan sepertinya pasien lain sedang membutuhkan bapak, silahkan." usirku. "Kamu tetap seperti ini, ya. Lebih manis dan terlih
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men