Aldi memanggil perawat, ketika kami sampai di rumah sakit. Mereka langsung cepat tanggap dengan keadaan, sehingga Papa cepat dapat pertolongan. "Dok, Papa saya kenapa?" tanyaku setelah dokter selesai memeriksa papa. "Sepertinya, beliau terkena stroke dan jantung. Tapi, belum pasti. Akan ada pemeriksaan lanjutan, baiknya beliau di rawat saja di sini." ujar dokter yang masih muda itu. Dokter yang memperkenalkan dirinya bernama William, segera pamit untuk kembali bertugas. Namun, cara bicaranya sangat santai padaku, seperti seorang teman. "Ma, aku ke toilet sebentar, ya." Izinku. Ragu-ragu aku mengikuti langkah dokter muda itu, di mana aku kesulitan mengikutinya karena langkahnya yang cukup cepat. "Maaf, Dok!" seruku, Dokter Wiliam menoleh ke arahku. Langkah laki-laki berparas tampan dengan kaca mata yang menghiasi wajahnya berhenti, dan tubuhnya menghadapku. "Ya, Mbak Gladis!" ujarnya. Seketika tubuhku membeku, saat dia memanggil namaku. "Ada apa, Mbak? Kenapa liatin
Tubuh sepertinya kaku dan tidak mampu di gerakan. Ingin melihat pun enggan, karena aku sudah tau dia. Semoga saja, dia tidak mengenali keluargaku. "Bagaimana, Pak Bisma, Bu?" tanyanya pada mama. "Tadi sudah sadar, Dok. Tapi tidur lagi karena minum obat." terang mama. "Jangan panggil, Dok. Panggil saja Reinaldi, saya calon menantu ibu." celetuknya. Tentu saja aku harus klarifikasi pada mama, agar mama tidak syok, dan semoga papa masih tertidur lelap, sehingga tidak mendengar ucapan manusia planet ini. "Bukan, Ma!" balasku cepat. "Hai, Gladis," sapanya. Aku melihat wajah mama yang terlihat kebingungan, lalu terdengar suara papa yang batuk. Reinaldi dan aku langsung mendekati papa, secara repleks. "Jangan dekat-dekat!" Aku menepis tangan Reinaldi ketika dia akan menyentuh tangan papa. "Dis, kenapa kamu jadi kasar, Nak?" tanya papa dengan suara paraunya. Aku memandang sinis pada Reinaldi, dan beralih pada papa dengan pandangan sendu. "Itu, Pa. Tadi dia ngupil! 'Kan jo
"Mbak kenal saya?" tanyaku serius. Suster itu menatap ke arah Reinaldi, dengan pandangan bertanya. "Tidak usah mencegahnya untuk bicara!" ancamku. "Bukan begitu, Mbak. Ada pasien gawat darurat, yang butuh pertolongan dokter!" balas si suster. "Siapa, Sus?" tanya Reinaldi. "Pasien Bu Rukayah, dok. Dia enggak mau di periksa orang lain, selain dokter." jawab suster. "Bilang saja, saya akan menemuinya besok." Perintah Reinaldi. "Siap, dok." Suster pun pergi, untuk memberitahu pasiennya. Aku kembali menatap Reinaldi dan juga gambar yang ada di meja. Bagaimana bisa aku begitu dekat dengan dia, padahal aku tidak mengenalnya. "Apa perlu aku menceritakan ulang semua kejadiannyanya?" tanya Reinaldi, saat aku terus memandangi gambarku yang bersamanya. Ya, wajah itu, wajahku sebelum aku di operasi, wajah yang terkena luka bakar. Aku tidak menggubris ucapannya, hanya fokus memperhatikan setiap poto-poto yang ada. Bagaimana bisa aku dekat dengannya, apakah karena Kelvin koma, wak
'Oh, iya! Bukannya Anis yang merawatku di rumah sakit, pastinya dia tau tentang Reinaldi, tapi kenapa kemarin nampak tidak kenal! Baiknya ku tanyakan saja!' batinku. "Nis, aku mau tanya. Jawab jujur!" tanyaku pada Anis setelah kami keluar dari kantor pengacara. "Iya, Mbak," balasnya. "Kamu merawatku waktu itu, saat aku baru masuk rumah sakit atau ...?" tanyaku terhenti. " Yang pertama merawat Mbak, kalau enggak salah Mbak Ririn. Kenapa, Mbak?" "Kamu bisa cari tau alamatnya?" pintaku. "Bisa, Mbak," jawabnya cepat. "Masalah rumah yang mau mbak jual, apakah mbak akan pindah jauh? Lalu butik di tutup?" tanya Anis lesu. "Butik tetap berjalan seperti biasanya. Kamu 'kan sudah handal, jadi bisa menjaga butik dengan aman." Langkah Anis terhenti, wajahnya datar ketika melihatku. Namun, matanya telah berair. Dia tidak menangis, menurutku dia orang yang paling tegar di sisiku. Anis berharap, aku tidak meninggalkannya dan tetap mengelola butik seperti biasanya. Aku menepuk pundaknya,
Orang-orang yang ada di sekitarku tersenyum ketika Reinaldi berujar dengan santai dan pasti. Membantah ucapanku, sepertinya sudah kebiasaannya. "Ya sudah Pa, ma, Matahari, Mbok, saya pergi dulu. Mau mempersiapkan sesuatu, dan saya sedang ketakutan dengan amarah janda cantik di depan ini. Nanti malahan dia kabur dari saya," ujar Reinaldi dengan telapak tangan dia tempelkan di pipi, seperti seseorang sedang berbisik. "Nanti, Om patah hati!" Semua memandang ke arah suara yang sepertinya mendukung Reinaldi. Tidak bisa di biarkan lagi ini. Aku harus segera pindah dan mencari sekolah yang terbaik untuk Matahari. Aku tidak ingin berlama-lama tinggal di sini. "Maaf, dok. Apa papa saya bisa pulang hari ini? Lalu, bagaimana progrea kesehatannya?" "Papa sudah membaik dan bisa pulang besok pagi setelah jam kerja saya, Agar saya mudah ...," "Baik, dok. Terima kasih dan sepertinya pasien lain sedang membutuhkan bapak, silahkan." usirku. "Kamu tetap seperti ini, ya. Lebih manis dan terlih
"Saya enggak yakin! Bagaimana bisa ingatan hilang hanya di bagian tertentu!" ejekku. "Tidak ada untungnya saat ini saya berbohong. Sejak kejadian itu, saya merasa bersalah pada kalian berdua. Terutama pada dokter Reinaldi, yang baru bisa membuka hatinya setelah kematian pacarnya. Saya dan yang lainnya merasa iri dengan Mbak Gladis, bisa mendapatkan hati dokter Reinaldi tanpa harus berjuang. Tapi, Bu Rebecca lebih sayang kepada ponakannya yang koma waktu itu, daripada dokter Reinaldi yang juga masih keponakannya. Sehingga dia membayarku untuk melakukan hal yang kusesali. " ungkapnya membuatku mengeryitkan dahi. "Tante Rebecca?" tanyaku dan Ririn mengangguk. Ririn pun mengatakan, jika tante Rose yang mempunyai ide memalsukan kematian anakku dan menunda-nunda untuk aku membalas dendam pada Mas Aditya. Dikarenakan hal itu, Mas Kelvin dan Reinaldi sempat bertengkar hebat di rumah sakit, setelah beberapa bulan Mas Kelvin bangun dari komanya. Agar aku bisa selalu dekat dengan Kelvin, ra
"Maaf, saya lupa. Maklum saja, ya." Dia menepuk punggung tanganku. "Maaf, Bu. Apakah benar saya pernah dekat dengan Reinaldi?" tanyaku lagi. "Dokter Reinaldi?" tanyanya balik dan aku mengangguk. Kemudian wanita paruh baya yang tidak juga mengenalkan siapa namanya tersenyum dan berkali-kali menyentuh kaca matanya. "Kalian cukup dekat. Setelah mbak datang ke rumah sakit, tanpa ada yang mengenali. Dokter Reinaldi sepertinya tertarik begitu saja dengan Mbak. Kami merasa heran, Mbak seperti magnet yang mampu menarik dokter Reinaldi yang begitu dingin dan pendiam. Padahal, kalian tidak saling kenal. Kedekatan makin intens, dan dokter Reinaldi mencari info tentang mbak karena enggak ingin kehilangan mbak. Namun, setelah tahu dia agak murung. Lalu, Dokter Reinaldi urung melaporkan mbak sebagai orang hilang. Dia terus merawat mbak, sampai luka di wajah mbak mengering. Lalu, Ririn mengetahui sesuatu yang dokter Reinaldi katakan pada ibunya, saat akan menikahi mbak. Tanpa ragu, dia menghub
Punggung kekar itu terus menjauh hingga sampai tidak terlihat lagi oleh netraku. Debaran ini menguat, ketika dia menghilang. Huft. *** Tidak butuh waktu yang lama, Papa sudah keluar dari rumah sakit. Di saat aku menjemput papa pulang, pengacara mengabarkan jika semua usaha yang kurintis dulu, di kembalikan dengan mudah oleh mantan mertuaku tanpa pemaksaan yang berarti dan langsung kuminta pengacara untuk mengiklankan semuanya. Mungkin, mantan mertuaku sudah lelah, karena anak dan menantunya sedang berada di penjara. Sedangkan menantunya --Amar --,enggan membantu keluarga istrinya lagi. Kabarnya, lelaki itu sedang menggugat cerai istrinya. Di karenakan anak pertama mereka terbukti bukan darah daging Amar dan ternyata, Sintia tetap berhubungan dengan ayah dari anaknya. Sungguh hancur keluarga. "Sudah beres, Pa?" tanyaku ketika melihat mereka sudah siap. Papa mengacungkan dua jempolnya, dan tersenyum lebar. Mama memasang wajah masam, karena papa menggoda suster yang memeriksanya