"Sekarang, kita ke butik." Anis mengekor di belakangku. *** Butikku sudah penuh penonton yang kepo dengan masalah, orang lain. Sebelum aku sampai ke butik, aku singgah ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian perusakan dan lain-lainnya. "Permisi ... Permisi," ujarku membelah kerumunan penonton. "Nah, ini dia pelakor murahan. Wanita sok suci, tapi perebut suami orang!" Tentu saja aku tertawa mendengarnya. "Hallo Novalia Asmarani! Kamu tau pribahasa jawa, satu jari jempol menunjuk ke orang lain, empat jari menunjuk ke arah sendiri." Dengan santai aku menjawab. Nova berlari ke arahku dan mengambil vas bunga yang berdiri cantik di meja, tepat di samping tempatku berdiri. Prang! Vas itu mengenai kepalaku, pas sekali dengan kedatangan beberapa polisi. Nova langsung di tangkap tanpa perlawanan, karena bukti sudah ada di depan mata para polisi yang datang. Untung saja, hanya luka gores di dahiku saja. "Satu orang sudah kena batunya!" ujarku. Ketika aku ingin membersihka
"Mungkin hanya perasaan bapak saja. Oh, ya, ada perlu apa bapak ingin bertemu saya?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya. "Begini, Mbak. Saya belum bisa membayar utang saya. Karena kemarin ada sedikit masalah di keluarga saya, pakah saya bisa dapat keringanan?" Ada seulas senyum yang tidak kuperlihatkan padanya. "Maaf, Pak. Perjanjian kita, hitam di atas putih. Di dalamnya sudah jelas isinya, dan Pak Aditya sudah menyetujui setelah membacanya. Ini tercatat secara hukum, apa perlu saya mengingatkan lagi?" Aku menolak permohonannya dengan perlahan. "Dan ini sudah mundur seminggu dari perjanjian!" Imbuhku. Mas Aditya, terlihat murung. Aku tahu, dia sedang mencari ide yang lainnya agar aku bisa memenuhi keinginannya. "Bisakah saya meminjam uang lagi?" tanyanya yang membuatku ingin tertawa. "Maaf, Pak. Ini saja belum bapak bayar dan entah kapan bapak bisa membayarnya." balas ku, tanpa berpikir panjang. "Mbak, kasian anak dan istri saya, mereka akan tinggal di mana? Bisnis say
"Dia wanita yang kamu nikahi, tapi kamu sia-siakan! Bahkan di saat hidup dan matinya, kamu malah tertawa bahagia dan kamu tidak peduli bagaimana nasib anak kandung kamu! Apakah kamu yakin, anak yang ada ditengah-tengah kamu adalah anak kandung kamu? Apa masih ada yang belum saya ucapkan! Oya, dengan hutang yang kamu miliki, maka semua aset yang ada di tangan kamu sudah di pastikan akan menghilang. Jika kamu melawan dan berbuat nekat lagi, kita akan berhadapan dengan hukum. Oh, ya, bicara mengenai hukum, kalian akan mempertanggung jawabkan soal kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik dan psikis dari Gladis dan Kelvin, bukti kami sudah lengkap setelah tiga tahun mencarinya." Panjang lebar Reinaldi berkata dan itu membuatku geram. Padahal ini bukan saatnya. Aku menginjak sepatu Reinaldi dengan keras, agar lelaki ini tidak salah dalam berbicara. Tapi, Reinaldi malah memberikan senyum yang terlihat di paksakan. Ekspresi Mas Aditya di luar dugaanku, dia terlihat tenang. Namun, seketika
Melihat mereka berdua sudah bernapas dengan tidak beratur, aku pun berteriak. "Hei! Hentikan!" "Diam kamu!" Suara Mas Aditya meninggi, membentakku. "Ck, kamu tidak berubah, ya, Mas! Kehancuran sudah di depan mata, bukannya bertobat malah menjadi!" ejekku. Mas Aditya menyipitkan matanya, membulatkan bibirnya. Lalu, berjalan mendekatiku. Raut wajahnya berubah, memelas dan penuh penyesalan. "Dis, maafkan aku. Mari kita rujuk," ujarnya yang membuatku ingin tertawa. "Kamu lupa? Telah mentalakku tiga kali?!" ucapku dari terkesan sinis. Tubuh Mas Aditya luruh dan dia menangis. "Maaf, Dis. Maaf!" ujarnya lirih. "Air mata buayamu, tidak akan mempan untukku. Lebih baik kamu persiapkan diri untuk menghadapi masalah yang kamu sebabkan sejak kita menikah! Jangan lupa, kembalikan hakku dan anakku!" Dengan santai aku berbicara, kemudian hendak berlalu. "Aaakh!" teriakan seseorang menghentikan langkahku. Tubuh seseorang tergeletak dan di bagian perutnya mengeluarkan banyak darah. A
Mobil melaju dengan cepat, dan tiba di rumah sakit. Para perawat dan suster bekerja dengan cepat untuk menangani, Mas Kelvin yang mulai tidak berdaya. Aku, Anis dan Aldi menunggu di luar ruangan, dengan harap-harap cemas. Menunggu bagaimana kabarnya. Tidak lama, mama, papa dan Tante Ecca datang bersama Mutiara. Aku langsung memeluk gadis kecil itu yang terus menanyakan Mas Kelvin. Aku hanya bisa mendekapnya erat dan menciuminya berkali-kali, karena tidak ada penolakan darinya. "Bagaimana keadaanya, Rei?" tanya Tante Ecca ketika lelaki yang tadi datang ke butikku, keluar dari ruangan ICU. "Hmm, itu Tan ...." ucapnya bingung. Kami menatap lelaki itu penuh harap, agar Mas Kelvin bisa selamat. "Kita ngobrol di ruanganku saja, Tan." Reinaldi mengajak Tante Ecca. "Kenapa kami tidak boleh ikut mendengar?" tanyaku kesal. "Karena ini masalah keluarga dan kamu belum masuk keluarga inti!" ucapnya tegas membuatku terdiam. Benar, siapa aku. Aku bukan siapa-siapa mereka, aku hanya
"Dari mana perempuan itu bisa tau kita ada di sini?!" ucapku kesal. "Pasti dari polisi, tadi Mirna bertanya kita di rumah sakit mana. Dia sedang diinterogasi," balas Anis. Benar juga, karena tadi kami berpapasan dengan mereka. Ada rasa kasihan, jika mereka semua masuk penjara. Akan tetapi, mereka terlalu banyak kesalahan, bahkan rela menipu untuk mendapatkan harta dan hidup bermewah-mewah. "Nak, kamu lebih baik istirahat dulu," ujar mama dan di aminkan oleh papa juga Anis. Sedangkan Aldi di panggil security untuk menindaklanjuti, keributan tadi. Aku memilih, ikut bersama Papa dan Mama pulang ke rumah. Aku kasian pada Mutiara yang baru saja di perbolehkan ikut bersama Mas Kelvin. Mungkin, tadi Mas Kelvin ingin memberiku kejutan dengan membawa Mutiara. Namun, sayang. Bertepatan dengan kekacauan yang sedang terjadi karena Mas Aditya, tepatnya karena Reinaldi yang asal membongkar siapa aku. Tanpa bertanya terlebih dulu, menciptakan kekacauan yang tidak terduga. *** Mutiara sud
"Kamu sejak dulu iri dengan kami. Tapi, kamu tidak mau di ajak bersusah payah. Setelah usaha itu jadi, kamu merasa kami abaikan! Padahal, kamu sendiri yang menolak ide-ideku dan teman-teman yang lainnya. Sekarang, aku harus kembalikan usaha-usaha itu ke mereka. Agar aku tidak memiliki hutang!" "Semoga kamu sudah cukup menikmati apa yang bukan menjadi hal kamu, dan semoga kamu jera setelah ini. Perbaiki hidupmu, jangan bergantung pada harta orang lain. Takutnya, nanti kamu yang akan terjerumus!" Nova hanya diam, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. "Bu Zea, waktu besuk hampir habis!" Penjaga mengingatkanku. "Aku tidak membencimu, Nov. Tapi, aku membenci sifat kamu yang selalu serakah dan tidak mau susah. Kamu selalu ingin yang instan tanpa perduli orang lain akan terluka atau tidak! Ini, pertama dan terakhir kalinya aku menemuimu. Aku berharap, kamu bisa memberikan makanan dan kehidupan yang baik untuk anak-anak kamu dan terima kasih telah merebut Mas Aditya, sehingga
"Tadi, Ecca menelepon. Katanya, ada pesan terakhir untuk kamu!" Ucapan Mama membuatku, terkejut. Ada apa dengan Mas Kelvin! Aku buru-buru ke rumah sakit, agar bisa mengetahui ada apa sebenarnya. "Sus, Pasien atas nama Kelvin, apa sudah dipindahkan?" tanyaku ketika mencari Mas Kelvin di ruangan ICU tidak ada. "Sepertinya di rujuk ke luar negeri, atas permintaan keluarganya. Dengan Ibu Gladis?" tanyanya. "Iya," jawabku, kemudian suster mengatakan jika aku harus menemui dokter Reinaldi. Dengan harap-harap cemas, aku mendatangi ruangan Reinaldi. Ingin sekali bertanya, sebenarnya apa yang terjadi. "Sus, saya mau bertemu dokter Reinaldi," ujarku pada suster yang jaga di depan ruangannya. "Ibu sudah daftar, ditunggu saja!" jawabannya membuatku kesal. Sungguh, aku lupa jika lelaki itu pernah meneleponku. Kucari nomornya yang belum kusimpan, di daftar panggilan keluar. Lalu meneleponnya, "Halo, aku lagi nunggu di depan ruangan praktek ka...." Panggilanku di putus secara sepiha
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men