"Kamu sejak dulu iri dengan kami. Tapi, kamu tidak mau di ajak bersusah payah. Setelah usaha itu jadi, kamu merasa kami abaikan! Padahal, kamu sendiri yang menolak ide-ideku dan teman-teman yang lainnya. Sekarang, aku harus kembalikan usaha-usaha itu ke mereka. Agar aku tidak memiliki hutang!" "Semoga kamu sudah cukup menikmati apa yang bukan menjadi hal kamu, dan semoga kamu jera setelah ini. Perbaiki hidupmu, jangan bergantung pada harta orang lain. Takutnya, nanti kamu yang akan terjerumus!" Nova hanya diam, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. "Bu Zea, waktu besuk hampir habis!" Penjaga mengingatkanku. "Aku tidak membencimu, Nov. Tapi, aku membenci sifat kamu yang selalu serakah dan tidak mau susah. Kamu selalu ingin yang instan tanpa perduli orang lain akan terluka atau tidak! Ini, pertama dan terakhir kalinya aku menemuimu. Aku berharap, kamu bisa memberikan makanan dan kehidupan yang baik untuk anak-anak kamu dan terima kasih telah merebut Mas Aditya, sehingga
"Tadi, Ecca menelepon. Katanya, ada pesan terakhir untuk kamu!" Ucapan Mama membuatku, terkejut. Ada apa dengan Mas Kelvin! Aku buru-buru ke rumah sakit, agar bisa mengetahui ada apa sebenarnya. "Sus, Pasien atas nama Kelvin, apa sudah dipindahkan?" tanyaku ketika mencari Mas Kelvin di ruangan ICU tidak ada. "Sepertinya di rujuk ke luar negeri, atas permintaan keluarganya. Dengan Ibu Gladis?" tanyanya. "Iya," jawabku, kemudian suster mengatakan jika aku harus menemui dokter Reinaldi. Dengan harap-harap cemas, aku mendatangi ruangan Reinaldi. Ingin sekali bertanya, sebenarnya apa yang terjadi. "Sus, saya mau bertemu dokter Reinaldi," ujarku pada suster yang jaga di depan ruangannya. "Ibu sudah daftar, ditunggu saja!" jawabannya membuatku kesal. Sungguh, aku lupa jika lelaki itu pernah meneleponku. Kucari nomornya yang belum kusimpan, di daftar panggilan keluar. Lalu meneleponnya, "Halo, aku lagi nunggu di depan ruangan praktek ka...." Panggilanku di putus secara sepiha
"Dia anak satu-satunya, selain anak semata wayang, dia pun pewaris semua harta orang tuanya juga hutang piutang di dalamnya. Membantumu hingga saat ini, adalah taruhannya dan dia cukup senang. Sebelum terjadi penusukan, dia mendatangiku. Memintaku menemuimu, karena mantan suamimu pasti akan datang ke butik karena uang yang di milikinya sangat tipis. Saat ini, Kelvin harus menerima konsekuensinya dengan menikahi wanita pilihan orang tuanya." terang Renaldi. "Sungguh terlalu, kisahnya seperti drama Korea yang sering aku lihat. Tragis dan miris!" cicitku. Reinaldi menepuk punggungku dan menatap jauh ke depan. Pemandangan di sini cukup indah saat mata menangkapnya, hanya saja bersama orang yang tidak tepat. **** Aku kembali ke rumah dengan rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan, rasa yang hanya di rasakan oleh orang yang pernah mengalaminya. Kupeluk Mutiara dengan eratnya, kemudian mengecup keningnya, lama. Mutiara menjadi saksi dua cintaku kandas, meskipun dia tidak tahu apa-apa.
"Kita cari kontrakan saja. Nanti, jika sudah mulai berkembang, kamu bisa membeli rumah lagi." Mama terus memberi aku masukan. "Iya, Ma. Nanti kita jual saja!" ujarku. Namun, aku sedang berpikir. Bagaimana surat-suratku yang ada di tante Ecca. Bagaimana mengambilnya, dia pasti sedang menemani Mas Kelvin. Mama masuk ke dalam rumah dan kembali dengan sebuah kotak di tangannya. "Kamu bisa jual ini, jika masih kurang. Semoga, Nak Kelvin tidak terlalu memperhitungkan segala sesuatunya." Mama menyerahkan kotak usang kepadaku. "Ma, ini!" ujarku sambil menunjuk kotak itu. Mama mengangguk dan tersenyum. Aku memeluk mama dan papa bergantian. Aku tidak pernah menyangka, jika mereka begitu mengkhawatirkanku. Diriku yang pernah mengoreskan luka di hati mereka namun, mereka tetap memeluk dan merangkulku erat. Seperti inilah seharusnya orang tua, di belahan bumi mana pun. **** "Nis, bisa berikan rincian uang yang kugunakan dari Mas Kelvin?" tanyaku ketika sampai di butik. "Iya, Mbak.
"Nis, tolong antar Pak Reinaldi keluar, dia sepertinya belum minum obat!" Perintahku. Anis terpaku mendengar ucapanku, kemudian dia melihat kearah Reinaldi dan menatapnya heran. "Sepertinya saya pernah beberapa kali bertemu bapak!" ucap Anis dengan mencoba mengingat-ingat. "Ah, iya! Bapak yang waktu itu bertengkar dengan Mas Kelvin, kan dan yang merawat Mbak Gladis, Kan?" "Iya, betul!" ujar Reinaldi dengan gaya selengekannya. Aku menatap Anis tajam dan memintanya memberikan rincian yang aku minta. Anis tergagap dan kembali ke mejanya lalu ke ruanganku lagi, kemudian menyerahkan flashdisk yang berisi catatan utangku pada Kelvin. Segera kupasang flashdisk yang di berikan oleh Anis, dan melihat berapa banyak utang-utangku. "Cukup banyak!" gumamku. "Hmmm, Nis. Kamu bisa cari pembeli rumah yang aku tempati? Sekalian cari tahu kisaran harganya, ya!" pintaku pada Anis yang masih berdiri di sampingku. Aku terkejut ketika Reinaldi berdiri dan menghentikan tangannya di atas meja.
"Mau kamu apa? Kita enggak saling kenal ataupun dekat. Jangan macam-macam, aku sudah melewati hal yang terburuk. Tidak takut lagi dengan hal lainnya!" ocehku. "Dis, tolong percaya padaku. Aku mencintaimu, lebih besar daripada cinta yang Kelvin punya. Tidak aku tunjukan, bukan berarti cinta yang aku punya hanya candaan seperti katamu!" Mendengar dia bicara aku hanya menghela napas dan memutar bola mata jengah. "Jangan bicara cinta! Jika kamu tidak tau!" balasku. Kali ini, Reinaldi yang menghela napas panjang. Kemudian diam, kembali fokus pada jalanan yang kami lewati. Dua jam perjalanan, membuatku bosan dan tanpa sadar aku tertidur. "Hei, bangun!" Terasa air mengguyur wajahku. "Eh, apa-apaan sih!" Pekikku. "Kita sudah sampai, apa aku harus nunggu kamu bangun dan kita bisa bermalam di sini." ejek Reinaldi. Ucapannya seolah-olah menganggap diriku wanita rendahan. Aku membenarkan posisiku, duduk tegak dan meluruskan rambutku. Di depan sana, terlihat gedung megah yang di h
"Dis, kamu enggak apa-apa?" Reinaldi menarik tubuhku dalam pelukannya. Detak jantung Reinaldi membuatku berdebar-debar, ada apa ini. Aku seperti mengenalnya dan pelukannya sangat nyaman untukku. "Aku enggak kenapa-kenapa! Jangan dekat-dekat!" Aku malah mendorongnya sekuat tenaga. "Dis, aku benar-benar orang yang mencintaimu. Semua orang tau, Dis. Ijinkan aku berjuang lagi, Dis!" ujarnya. Aku bingung ini di mana, sehingga hanya clingak-clinguk mencari kendaraan. "Dis, aku mau membuktikan jika aku mencintaimu lebih dari yang Kelvin rasakan. Aku benar-benar...." "Cukup!" bentakku. "Sepertinya, kamu perlu ke dokter jiwa!" Lagi-lagi, Reinaldi mampu membuat amarahku memuncak. "Ijinkan aku untuk memperlihatkannya padamu, dan memberitahumu perasaanku yang sempat kututup rapat, meskipun menyiksa diriku sendiri." Cukup menyedihkan melihat tingkahnya seperti itu. Bagaimana mungkin lelaki tampan, kaya dan seorang dokter bisa seperti ini. Mungkin dia terlalu mencintai kekasihnya sehi
Tinggal tiga meter lagi, kulihat Mas Kelvin melayangkan tinju dan memukul Reinaldi berkali-kali, lalu memelukku ketika aku tiba di pelaminan. "Dis, maafkan aku. Aku akan jelaskan semua, tunggu aku!" bisik Mas Kelvin. Tubuhku bergetar, air mata seakan-akan tidak mampu kucegah. Mengalir sederas air terjun yang pernah kudatangi bersama Mas Kelvin. Pengantin wanita terlihat menatapku tajam namun, tubuhnya kaku mematung. "Lepas, kan Gladisku!" Reinaldi menarik paksa Mas Kelvin dan menghadiahinya satu pukulan telak. Para tamu undangan yang datang terkejut dan berteriak ketika semua itu terjadi. Lamat-lamat kudengar mereka berbisik, semua karena aku 'janda gatel yang menggoda dua orang lelaki di mana mereka memiliki ikatan persaudaraan.' Kenapa aku yang di salahkan, aku tidak mengerti dengan mereka, tapi bagaimana mereka tau tentang statusku. Padahal, aku tidak mengenal mereka. "Mas, tolong hentikan! Reinaldi, mau kamu apa!" teriakku. "Kalian ini! Seperti anak kecil." tambahku. "