Aku menikmati, ciuman yang dia berikan. Pelan, menghanyutkan dan sungguh membuat gelora yang telah lama mati kini bangkit lagi. Namun, aku masih ingat tujuan anakku. "Mas!" Kudorong tubuh kekar itu menjauh dariku, karena aku takut jika keterusan dia akan membuatku terlena. "Maaf, Dis." Mas Kelvin menyapu bibirku yang memerah akibat lumatannya. Kemudian, dia melanjutkan laju kendaraannya dengan sangat bahagia. Terlihat dari wajahnya yang berseri dan senyum yang melengkung indah, juga binar dari matanya. Tidak pernah aku melihatnya seperti itu, selama kami berteman. Apakah benar, jika aku sumber kebahagiaannya? Seperti yang dia tulis di bukunya. Kebahagiaan kami, kini bergabung dengan kebahagiaan para malaikat kecil yang tidak memiliki orang tua dan pelindung lainnya. Meski begitu, mereka tertawa riang dan selalu bergembira. Mungkin, ada satu waktu mereka meratapi nasibnya sama seperti diriku. Satu anak perempuan yang cantik menarik perhatianku, dia tidak selincah anak-anak yan
Papa dan mama fokus bersama ibu-ibu darma yang lainnya. Bersenda gurau dengan malaikat-malaikat kecil. Aku memberitahu mama jika aku ingin pergi jalan-jalan, tanpa memberitahu dengan siapa saja aku pergi. Dan mama menyetujuinya, mama pikir aku bosan di tempat seperti ini. Matahari selalu nempel dengan Mas Kelvin, bahkan di dalam mobil gadis mungil itu enggan duduk bersamaku. Dia memilih duduk di kursi belakang, sambil memandang keluar jendela. "Mas, kenapa dia enggak suka sama aku, ya?!" Mas Kelvin memegang tanganku dan berucap lirih, "dia 'kan, baru ketemu sama kamu. Hal yang wajar!" "Loh, berarti Mas Kelvin sering ketemu dia?" tanyaku penasaran dan Mas Kelvin mengiyakan tanyaku. Aku mencebik kesal, dan hanya di balas dengan kekehan dari Mas Kelvin. Sementara itu, Matahari diam dan melihat kearah jendela. Mobil Mas Kelvin memasuki area pelataran Mall, lalu memarkirkan mobilnya. Kamipun turun dengan gembira, tapi tidak dengan Matahari. Dia seperti ketakutan jika dekat dengan
Mas Kelvin, memberikan tisu untuk membendung air yang tidak bisa kutahan bagaikan rinai hujan yang begitu derasnya. "Mas, kita pulang, yuk!" Aku mengajak Mas Kelvin pulang, karena tidak tahan melihat Matahari, yang bagiku mirip dengan Mutiara. Aku tidak tahu, mirip dari segi apanya. Hanya saja, batinku sungguh menginginkan dia dalam dekapanku dan mengisi hari-hariki. Mas Kelvin mengajak Matahari pulang, setelah gadis mungil itu menyelesaikan makannya. Belanjaan yang kami bawa cukup banyak, sehingga membuatku kesulitan untuk menggandeng Matahari. Nasib sial, sepertinya belum hilang dariku. Karena masih harus bertemu dengan Mas Aditya dengan istri dan anaknya. Naasnya lagi, anak lelakinya itu kenal dengan Matahari. "Mah, anak itu yang ngambil pensilku!" Adu si bocah tengil. Matahari bersembunyi di belakangku dan memegang bajuku erat, kemudian menarik-narik hingga membuatku merunduk. "Tante, aku--aku enggak ambil!" Tubuh Matahari bergetar tanda dia ketakutan dan matanya sudah
Mas Kelvin tertawa mendengar ucapanku, ketika aku mengatakan jika Matahari adalah anakku. Dia tidak mempercayaiku, tentang masalah ini. "Mas, kamu kecelakaan gimana? Mutiara gimana?" tanyaku berulang. "Dis, lebih baik Matahari kita bawa masuk dulu." "Enggak, Mas. Dia anakku!" Aku bersikeras dengan apa yang kuyakini. Mas Kelvin menghela napas panjang, dan mengajakku ke dalam panti dan dia akan menceritakan semuanya. Tentang hari di mana dia tertabrak mobil dan hampir saja merenggut nyawanya. Dengan berat hati, aku mengikuti apa keinginannya. Menyerahkan Matahari pada ibu panti, yang terlihat khawatir karena aku enggan melepasnya. "Kenapa, Dis?" tanya mama yang masih ada di panti. "Ma, dia Mutiaraku, dia bukan Matahari." Tangisku pun pecah lagi dalam pelukan mama. "Tan," sapa Mas Kelvin. Mama mengajakku pulang dan berbicara di rumah. Aku benar-benar kehilangan akal, ketika mengetahui dia adalah Mutiara. Tapi, bagaimana mungkin! Mama dan papa duduk di depanku, begitu p
Aku pergi meninggalkan mereka dengan rasa yang tidak bisa kulukiskan, ingin marah, tapi mereka adalah orang tuaku dan orang yang menyelematkan hidupku juga Mutiara. Berkali-kali, mama mengetuk pintu kamar dan mengatakan ingin bicara. Sayangnya, kali ini aku tidak ingin mendengar apapun dan dari siapapun. Untuk saat ini, lebih memilih diam dan tidur memeluk guling, lalu membayangkan jika Mutiara ada di sampingku. Mata tidak kunjung lelap, meskipun sudah lelah sekali. Ku ambil ponsel dan mencari nomor Anis, lalu menghubunginya. Kali ini, aku berkeluh kesah tanpa memperdulikan waktunya tersita. Hingga aku tidak mendengar suaranya, dan mataku terasa sangat perih. **** Tubuhku masih tersisa lelah dan kepalaku terasa sangat pusing. Namun, rencanaku untuk membalas dendam tidak bisa di elakkan. Beringsut turun dari ranjang dan membersihkan diri, kemudian memantaskan diri dengan pakaian yang cukup sexy. "Halo, Nis. Semua sudah siap?" tanyaku melalui sambungan telepon. Setelah meyakinka
Aku menekankan setiap perkataan padanya dan dia hanya membalas dengan helaan napas panjang. "Aku turun dulu, ya, Mas. Besok, kita akan ngobrol lebih lanjut, jika pekerjaanku beres!" Aku pamit, karena tanpa terasa mobil Mas Kelvin sudah parkir di depan butik. "Dis!" panggilnya. Kuurungkan membuka pintu mobil, dan mengapa ke arahnya. Mas Kelvin mendekatkan wajahnya yang terlihat berantakan, dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Tangannya menangkup wajahku dan matanya menyelami netraku yang masih berapi-api. Matanya seakan-akan mengatakan untukku tinggal saja bersamanya namun, bibirnya seakan keluar mengatakannya. "Ada yang ingin kamu katakan, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin mendekat kesal dan memajukan bibirnya. Namun, dia tidak sendiri. Tangannya dia rapatkan ke wajahku sehingga bibirku terlihat monyong sekarang. "Kamu cantik!" pujinya. Aku tertawa mendengar gobalan yang biasa saja darinya, "kan, dari dulu Mas!" Mas Kelvin melepaskan tangannya dari wajahku dan mengecup
Suaranya, masih terngiang-ngiang di telingaku. Sungguh, menggores dalam, sangat dalam. Aku salah satu wanita bodoh yang bertahan dengan segala perlakuan mertua, ipar dan suami, saat itu. Untung saja, saat aku lelah, sinetron di salah satu televisi yang dicela sekaligus dipuji itu terlihat olehku. Membuatku, semakin hari semakin berani. Mungkin hal itu yang membuat mereka meradang dan meminta Mas Aditya menceraikanku, mungkin pula mereka menyadari surat-surat berharga milikku sudah raib saat aku pergi meninggalkan mereka. Dering ponsel membuyarkan kenangan lama yang menyiksaku. Di layar ponsel tertera nama 'Lelaki Brengsek!' "Halo, ada perlu apa, ya?" tanyaku kesal. "Mbak Zea mau ke Bandung? Saya posisi sedang di Bandung, bagai mana kalau kita bertemu?" "Maaf, ya, Pak! Saya tidak mau di bentak-bentak oleh istri anda. Saya ke sana, karena ada pekerjaan yang perlu saya tangani!" balas kukesal. "Maaf untuk yang kemarin-kemarin, Mbak. Kali ini, saya pastikan, Mbak tidak akan saki
"Nis, target hampir masuk perangkap!" Kukirimkan pesan pada Anis, agar dia tahu perkembanganku dalam melancarkan aksi dan di balas dengan emot senyum dan semangat. Tiga jam perjalanan, cukup membuatku kelaparan. Pasalnya, aku belum sarapan. Aku mengirim pesan pada Rima, untuk membelikan nasi kuning yang terkenal enak di daerah sana. Ya, kemungkinan sudah habis itu pasti. Dikarenakan hari sudah mulai siang. "Mbak, semua nasi kuning sudah tutup. Ini sudah terlalu siang!" Pesan yang kuterima. "Baiklah, Pak. Kita mampir dulu ke resto di depan sana, Pak!" pintaku pada pak supir dan dia segera memarkirkan mobilnya. "Ayo, pak." ajakku. Dia menolak, katanya sudah sarapan saat sebelum berangkat menjemputku dan aku tidak bisa memaksanya. Terpaksa, aku makan seorang diri. Setelah selesai, aku membeli tiga bungkus makanan dan satu bungkus camilan. "Pak, untuk makan saat pulang nanti." Aku memberikan satu bungkus untuk supir travel yang mengantarku dan dia sangat berterimakasih. So
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men