Mama menepuk lenganku, dan itu membuatku bersalah. Sejak bertemu dengan Mas Aditya, tadi. Pikiranku tidak tenang, di tambah dengan ke garangan wanita itu. Mereka terlihat sangat bahagia, melupakan kesalahan mereka padaku dan Mutiara. "Nak, mama mau kepanti asuhan besok, kamu ikut, ya." Mama memegang daguku untuk melihat ke arahnya. "Agar luka kamu bisa sembuh, dan kamu bisa bermain dengan anak seumuran Mutiara. Limpahkan kasih sayangmu pada mereka." Mendengar kata anak-anak, darahku berdesir. Seakan-akan ingin menolak dekat dengan mereka namun, hati nuraniku sebagai ibu berpikir sebalikannya. "Bisa, Ma. Tapi, nanti malam aku mau ke rumah Anis. Anaknya ulang tahun, ini mau cari kado dulu," ujarku. Mama terlihat terkejut, tapi tidak ditunjukkan olehnya. Pandangan mama beralih pada Mas Kelvin, seperti sedang bertanya tapi, dalam diam. "Iya, Tan. Saya juga ikut ke sana. Oya, Gladis sudah menerima lamaran saya, tadi." Seenaknya saja, Mas Kelvin berbicara. Ingin rasanya aku marah denga
Pagi-pagi sekali, mama sudah ribut dengan segala macam apa yang ada di depannya. Beberapa orang membantunya, dibuat kuwalahan. "Oh, iya!" Aku menepuk dahiku sendiri, ketika mengingat Anis. Segera kuambil ponsel dan menghubunginya, mengatakan padanya, bahwa aku tidak bisa masuk kerja hari ini, begitu pula dengan Mas Kelvin. Aku memintanya menghandle semuanya, meski terdengar nada protes darinya namun, dia tetap mendukungku. "Ma, ada yang perlu aku bantuin?" tanyaku. "Kamu siap-siap aja," ujar mama, "oya, kamu belikan beberapa boneka dan mainan lainya, ya. Kelvin sebentar lagi akan ke sini, nanti kalian langsung ke panti saja." Aku segera naik ke lantai atas, setelah mengambil beberapa lembar roti bakar kesukaanku. Kemudian, membersihkan diri dan memakai pakaian santai. Aku menunggu Mas Kelvin datang, tidak biasanya dia lama sekali. Sudah satu jam, aku dibuatnya menunggu. Deru mesin mobilnya terdengar jelas, belum juga dia mengetuk pintu, aku membuka pintu dengan memasang wajah ya
Aku menikmati, ciuman yang dia berikan. Pelan, menghanyutkan dan sungguh membuat gelora yang telah lama mati kini bangkit lagi. Namun, aku masih ingat tujuan anakku. "Mas!" Kudorong tubuh kekar itu menjauh dariku, karena aku takut jika keterusan dia akan membuatku terlena. "Maaf, Dis." Mas Kelvin menyapu bibirku yang memerah akibat lumatannya. Kemudian, dia melanjutkan laju kendaraannya dengan sangat bahagia. Terlihat dari wajahnya yang berseri dan senyum yang melengkung indah, juga binar dari matanya. Tidak pernah aku melihatnya seperti itu, selama kami berteman. Apakah benar, jika aku sumber kebahagiaannya? Seperti yang dia tulis di bukunya. Kebahagiaan kami, kini bergabung dengan kebahagiaan para malaikat kecil yang tidak memiliki orang tua dan pelindung lainnya. Meski begitu, mereka tertawa riang dan selalu bergembira. Mungkin, ada satu waktu mereka meratapi nasibnya sama seperti diriku. Satu anak perempuan yang cantik menarik perhatianku, dia tidak selincah anak-anak yan
Papa dan mama fokus bersama ibu-ibu darma yang lainnya. Bersenda gurau dengan malaikat-malaikat kecil. Aku memberitahu mama jika aku ingin pergi jalan-jalan, tanpa memberitahu dengan siapa saja aku pergi. Dan mama menyetujuinya, mama pikir aku bosan di tempat seperti ini. Matahari selalu nempel dengan Mas Kelvin, bahkan di dalam mobil gadis mungil itu enggan duduk bersamaku. Dia memilih duduk di kursi belakang, sambil memandang keluar jendela. "Mas, kenapa dia enggak suka sama aku, ya?!" Mas Kelvin memegang tanganku dan berucap lirih, "dia 'kan, baru ketemu sama kamu. Hal yang wajar!" "Loh, berarti Mas Kelvin sering ketemu dia?" tanyaku penasaran dan Mas Kelvin mengiyakan tanyaku. Aku mencebik kesal, dan hanya di balas dengan kekehan dari Mas Kelvin. Sementara itu, Matahari diam dan melihat kearah jendela. Mobil Mas Kelvin memasuki area pelataran Mall, lalu memarkirkan mobilnya. Kamipun turun dengan gembira, tapi tidak dengan Matahari. Dia seperti ketakutan jika dekat dengan
Mas Kelvin, memberikan tisu untuk membendung air yang tidak bisa kutahan bagaikan rinai hujan yang begitu derasnya. "Mas, kita pulang, yuk!" Aku mengajak Mas Kelvin pulang, karena tidak tahan melihat Matahari, yang bagiku mirip dengan Mutiara. Aku tidak tahu, mirip dari segi apanya. Hanya saja, batinku sungguh menginginkan dia dalam dekapanku dan mengisi hari-hariki. Mas Kelvin mengajak Matahari pulang, setelah gadis mungil itu menyelesaikan makannya. Belanjaan yang kami bawa cukup banyak, sehingga membuatku kesulitan untuk menggandeng Matahari. Nasib sial, sepertinya belum hilang dariku. Karena masih harus bertemu dengan Mas Aditya dengan istri dan anaknya. Naasnya lagi, anak lelakinya itu kenal dengan Matahari. "Mah, anak itu yang ngambil pensilku!" Adu si bocah tengil. Matahari bersembunyi di belakangku dan memegang bajuku erat, kemudian menarik-narik hingga membuatku merunduk. "Tante, aku--aku enggak ambil!" Tubuh Matahari bergetar tanda dia ketakutan dan matanya sudah
Mas Kelvin tertawa mendengar ucapanku, ketika aku mengatakan jika Matahari adalah anakku. Dia tidak mempercayaiku, tentang masalah ini. "Mas, kamu kecelakaan gimana? Mutiara gimana?" tanyaku berulang. "Dis, lebih baik Matahari kita bawa masuk dulu." "Enggak, Mas. Dia anakku!" Aku bersikeras dengan apa yang kuyakini. Mas Kelvin menghela napas panjang, dan mengajakku ke dalam panti dan dia akan menceritakan semuanya. Tentang hari di mana dia tertabrak mobil dan hampir saja merenggut nyawanya. Dengan berat hati, aku mengikuti apa keinginannya. Menyerahkan Matahari pada ibu panti, yang terlihat khawatir karena aku enggan melepasnya. "Kenapa, Dis?" tanya mama yang masih ada di panti. "Ma, dia Mutiaraku, dia bukan Matahari." Tangisku pun pecah lagi dalam pelukan mama. "Tan," sapa Mas Kelvin. Mama mengajakku pulang dan berbicara di rumah. Aku benar-benar kehilangan akal, ketika mengetahui dia adalah Mutiara. Tapi, bagaimana mungkin! Mama dan papa duduk di depanku, begitu p
Aku pergi meninggalkan mereka dengan rasa yang tidak bisa kulukiskan, ingin marah, tapi mereka adalah orang tuaku dan orang yang menyelematkan hidupku juga Mutiara. Berkali-kali, mama mengetuk pintu kamar dan mengatakan ingin bicara. Sayangnya, kali ini aku tidak ingin mendengar apapun dan dari siapapun. Untuk saat ini, lebih memilih diam dan tidur memeluk guling, lalu membayangkan jika Mutiara ada di sampingku. Mata tidak kunjung lelap, meskipun sudah lelah sekali. Ku ambil ponsel dan mencari nomor Anis, lalu menghubunginya. Kali ini, aku berkeluh kesah tanpa memperdulikan waktunya tersita. Hingga aku tidak mendengar suaranya, dan mataku terasa sangat perih. **** Tubuhku masih tersisa lelah dan kepalaku terasa sangat pusing. Namun, rencanaku untuk membalas dendam tidak bisa di elakkan. Beringsut turun dari ranjang dan membersihkan diri, kemudian memantaskan diri dengan pakaian yang cukup sexy. "Halo, Nis. Semua sudah siap?" tanyaku melalui sambungan telepon. Setelah meyakinka
Aku menekankan setiap perkataan padanya dan dia hanya membalas dengan helaan napas panjang. "Aku turun dulu, ya, Mas. Besok, kita akan ngobrol lebih lanjut, jika pekerjaanku beres!" Aku pamit, karena tanpa terasa mobil Mas Kelvin sudah parkir di depan butik. "Dis!" panggilnya. Kuurungkan membuka pintu mobil, dan mengapa ke arahnya. Mas Kelvin mendekatkan wajahnya yang terlihat berantakan, dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Tangannya menangkup wajahku dan matanya menyelami netraku yang masih berapi-api. Matanya seakan-akan mengatakan untukku tinggal saja bersamanya namun, bibirnya seakan keluar mengatakannya. "Ada yang ingin kamu katakan, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin mendekat kesal dan memajukan bibirnya. Namun, dia tidak sendiri. Tangannya dia rapatkan ke wajahku sehingga bibirku terlihat monyong sekarang. "Kamu cantik!" pujinya. Aku tertawa mendengar gobalan yang biasa saja darinya, "kan, dari dulu Mas!" Mas Kelvin melepaskan tangannya dari wajahku dan mengecup