Aku berpura-pura menatapnya bingung, lalu mendekatinya perlahan. Tubuh wanita itu gemetaran, dan keringat dingin mulai muncul di keningnya. Padahal, ruangan ini ber-AC. "Mbak, tunggu!!" teriakku, ketika wanita itu lari. Mungkin dia melihatku sama seperti hantu. Anis melepaskan napas sesaknya dengan segera, membuatku berdecak. "Kamu masih takut dengan mereka?!" "Ternyata, tidak semudah yang aku ucapkan." Aku tertawa, melihat Anis yang menahan grogi di depan wanita yang pandai bersandiwara itu. "Mbak, aku pulang duluan, ya. Jangan lupa nanti malam ulang tahun Bagas!" Anis ijin, untuk merayakan ulang tahun anaknya. Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Setelah Anis berlalu, aku kembali ke ruanganku. Mempelajari bisnis baru yang ingin aku kembangkan, selain mendesain baju. Namun, suara notifikhati dari aplikasi sosmed tidak henti. Mengganggu konsentrasiku. Dengan berat hati, aku berselancar lagi. Kali ini, teman-teman Mas Aditya yang koment di status yang dia bagikan tadi. "Memang
Aku yang sedang melihat-lihat di sudut etalase lain, langsung membeku ketika melihat Mas Aditya ada di toko yang sama denganku. Ingin rasanya, aku menutup wajahku dan pergi dari sini. Aku belum ada persiapan untuk bertemu dengannya saat ini, meskipun sudah kurencanakan kemarin-kemarin. "Aditya!" jawab Mas Kelvin gugup, tapi dengan cepat dia menguasai dirinya. Mas Kelvin melihat ke arahku dengan cemas, terlihat dari wajahnya. Hal itu malah membuat Mas Aditya menoleh ke arahku. "Gladis!" ucapnya terkejut. Aku yang sudah menduga dia akan mengenaliku, cepat-cepat memasang wajah pongah. "Saya?!" tanyaku. Mas Aditya mengangguk dan menatapku tajam ke arahku. Kemudian, dia melihat diriku dari kakiku hingga ke atas kepalaku. Meneliti wajahku dengan seksama. Kukeluarkan tanda pengenal dan menunjukkannya pada Mas Aditya. "Kenalkan Zeanara Hadikusumo!" Kuulurkan tanganku dengan mendongakkan kepalaku, agar terlihat percaya diri dan angkuh. Mas Aditya sejenak meragukan diriku, ketika tangan
Aku mendekati Mas Kelvin dan mencoba cincinnya, kemudian aku mengangguk setuju untuk membelinya. Di sisi lain, Mas Aditya dan wanita ular itu hanya menatap kami tanpa bersuara. "Pak, Maaf," ujar pegawai toko, yang memegang paperbag. Mas Aditya, tersadar dan beralih menatap ke pegawai yang membawa pesanannya. Lalu menggandeng wanita ular itu, meninggalkan toko perhiasan yang sama denganku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Kelvin, setelah kami berjalan arah pulang. "Ternyata, aku masih belum kuat, Mas!" keluhku. Mas Kelvin diam, dan memutar balikkan arah tujuan kami. Tidak ada protes dariku, dan aku pun tidak bertanya padanya akan ke mana. Memilih diam dan melintasi waktu ke masalalu. "Kalau kamu kalah, sia-sia pengorbananmu!" ujar Mas Kelvin. Tidak berniat adu argumen, aku tetap pada pososiku. Diam tak bersuara, membiarkan Mutiara bermain di dalam ingatanku. "Dis, bangun!" Aku menggeliat, membenarkan posisi dudukku. Tidak terasa aku terlelap karena begitu merindukan, Mutiara.
Mama menepuk lenganku, dan itu membuatku bersalah. Sejak bertemu dengan Mas Aditya, tadi. Pikiranku tidak tenang, di tambah dengan ke garangan wanita itu. Mereka terlihat sangat bahagia, melupakan kesalahan mereka padaku dan Mutiara. "Nak, mama mau kepanti asuhan besok, kamu ikut, ya." Mama memegang daguku untuk melihat ke arahnya. "Agar luka kamu bisa sembuh, dan kamu bisa bermain dengan anak seumuran Mutiara. Limpahkan kasih sayangmu pada mereka." Mendengar kata anak-anak, darahku berdesir. Seakan-akan ingin menolak dekat dengan mereka namun, hati nuraniku sebagai ibu berpikir sebalikannya. "Bisa, Ma. Tapi, nanti malam aku mau ke rumah Anis. Anaknya ulang tahun, ini mau cari kado dulu," ujarku. Mama terlihat terkejut, tapi tidak ditunjukkan olehnya. Pandangan mama beralih pada Mas Kelvin, seperti sedang bertanya tapi, dalam diam. "Iya, Tan. Saya juga ikut ke sana. Oya, Gladis sudah menerima lamaran saya, tadi." Seenaknya saja, Mas Kelvin berbicara. Ingin rasanya aku marah denga
Pagi-pagi sekali, mama sudah ribut dengan segala macam apa yang ada di depannya. Beberapa orang membantunya, dibuat kuwalahan. "Oh, iya!" Aku menepuk dahiku sendiri, ketika mengingat Anis. Segera kuambil ponsel dan menghubunginya, mengatakan padanya, bahwa aku tidak bisa masuk kerja hari ini, begitu pula dengan Mas Kelvin. Aku memintanya menghandle semuanya, meski terdengar nada protes darinya namun, dia tetap mendukungku. "Ma, ada yang perlu aku bantuin?" tanyaku. "Kamu siap-siap aja," ujar mama, "oya, kamu belikan beberapa boneka dan mainan lainya, ya. Kelvin sebentar lagi akan ke sini, nanti kalian langsung ke panti saja." Aku segera naik ke lantai atas, setelah mengambil beberapa lembar roti bakar kesukaanku. Kemudian, membersihkan diri dan memakai pakaian santai. Aku menunggu Mas Kelvin datang, tidak biasanya dia lama sekali. Sudah satu jam, aku dibuatnya menunggu. Deru mesin mobilnya terdengar jelas, belum juga dia mengetuk pintu, aku membuka pintu dengan memasang wajah ya
Aku menikmati, ciuman yang dia berikan. Pelan, menghanyutkan dan sungguh membuat gelora yang telah lama mati kini bangkit lagi. Namun, aku masih ingat tujuan anakku. "Mas!" Kudorong tubuh kekar itu menjauh dariku, karena aku takut jika keterusan dia akan membuatku terlena. "Maaf, Dis." Mas Kelvin menyapu bibirku yang memerah akibat lumatannya. Kemudian, dia melanjutkan laju kendaraannya dengan sangat bahagia. Terlihat dari wajahnya yang berseri dan senyum yang melengkung indah, juga binar dari matanya. Tidak pernah aku melihatnya seperti itu, selama kami berteman. Apakah benar, jika aku sumber kebahagiaannya? Seperti yang dia tulis di bukunya. Kebahagiaan kami, kini bergabung dengan kebahagiaan para malaikat kecil yang tidak memiliki orang tua dan pelindung lainnya. Meski begitu, mereka tertawa riang dan selalu bergembira. Mungkin, ada satu waktu mereka meratapi nasibnya sama seperti diriku. Satu anak perempuan yang cantik menarik perhatianku, dia tidak selincah anak-anak yan
Papa dan mama fokus bersama ibu-ibu darma yang lainnya. Bersenda gurau dengan malaikat-malaikat kecil. Aku memberitahu mama jika aku ingin pergi jalan-jalan, tanpa memberitahu dengan siapa saja aku pergi. Dan mama menyetujuinya, mama pikir aku bosan di tempat seperti ini. Matahari selalu nempel dengan Mas Kelvin, bahkan di dalam mobil gadis mungil itu enggan duduk bersamaku. Dia memilih duduk di kursi belakang, sambil memandang keluar jendela. "Mas, kenapa dia enggak suka sama aku, ya?!" Mas Kelvin memegang tanganku dan berucap lirih, "dia 'kan, baru ketemu sama kamu. Hal yang wajar!" "Loh, berarti Mas Kelvin sering ketemu dia?" tanyaku penasaran dan Mas Kelvin mengiyakan tanyaku. Aku mencebik kesal, dan hanya di balas dengan kekehan dari Mas Kelvin. Sementara itu, Matahari diam dan melihat kearah jendela. Mobil Mas Kelvin memasuki area pelataran Mall, lalu memarkirkan mobilnya. Kamipun turun dengan gembira, tapi tidak dengan Matahari. Dia seperti ketakutan jika dekat dengan
Mas Kelvin, memberikan tisu untuk membendung air yang tidak bisa kutahan bagaikan rinai hujan yang begitu derasnya. "Mas, kita pulang, yuk!" Aku mengajak Mas Kelvin pulang, karena tidak tahan melihat Matahari, yang bagiku mirip dengan Mutiara. Aku tidak tahu, mirip dari segi apanya. Hanya saja, batinku sungguh menginginkan dia dalam dekapanku dan mengisi hari-hariki. Mas Kelvin mengajak Matahari pulang, setelah gadis mungil itu menyelesaikan makannya. Belanjaan yang kami bawa cukup banyak, sehingga membuatku kesulitan untuk menggandeng Matahari. Nasib sial, sepertinya belum hilang dariku. Karena masih harus bertemu dengan Mas Aditya dengan istri dan anaknya. Naasnya lagi, anak lelakinya itu kenal dengan Matahari. "Mah, anak itu yang ngambil pensilku!" Adu si bocah tengil. Matahari bersembunyi di belakangku dan memegang bajuku erat, kemudian menarik-narik hingga membuatku merunduk. "Tante, aku--aku enggak ambil!" Tubuh Matahari bergetar tanda dia ketakutan dan matanya sudah