Mas Kelvin terus mendekatiku, berusaha meraih tubuhku. "Mas, sadar! Aku minta maaf kalau aku salah!" lirihku. Seperti awal tadi, Mas Kelvin tidak menggubris ucapanku. Dia makin mendekat dan mencoba meraih tanganku. Aku berlari ke arah jendela, dan melompati pembatas. "Jangan berani sentuh aku lagi, Mas!" ujarku. Mataku sudah tidak mampu menampung air yang ingin menyerobot keluar. Mas Kelvin duduk di tepi ranjang, dan memandang nanar padaku. Setitik air mata jatuh, dari neteanya yang terlihat memerah. "Kalau kamu mati, aku pun akan mati!" Mataku terbelalak mendengarnya. Ini mah benar, Mas Kelvin kepalanya luka parah. "Tante! Tante!" pekikku berulang. Suaraku menggema hingga seluruh ruangan, tentu saja Tante Ecca mendengarnya. Tidak butuh waktu lama, Tante Ecca datang dan melihat ke arahku. "Kamu apa-apaan, Dis!" bentaknya."Tan, Mas Kelvin sudah jadi gila! Ini pasti karena kepalanya yang kebentur dan dia mengalami gegar otak! Dia, mau ...."Aku menatap ngeri ke arah Mas Kelvin.
Buru-buru aku menarik meja yang menghalangi pintu dan membuka pintu dengan cepat, kemudian berteriak memanggil tante Ecca dan berlari ke bawah meminta bantuan security, yang berjaga di luar rumah. Aku kembali bersama security dan di dalam kamar ternyata sudah ada tante Ecca yang sedang mengguncang-guncang tubuh Mas Kelvin yang terkulai lemah di lantai. Kekhawatiran nampak jelas di wajahnya, melihat kedatanganku tante Ecca meminta security membantunya mengangkat tubuh Mas Kelvin ke ranjang. "Ada apa sebenarnya, Dis?" tanya Tante Ecca. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, bingung bagaimana caranya menjelaskan yang terjadi pada tante. Tante Ecca mengambil ponsel dan menghubungi seseorang, untuk membantunya terkait kesehatan Mas Kelvin. Aku berdiri mematung, ketika melihat Mas Kelvin menggeliat. Sungguh, hal yang aneh menurutku. Aku tidak pernah melihat lelaki tidur kecuali papaku dan Mas Kelvin. "Aku ganteng, ya?" ucapan absurd, ketika Mas Kelvin terbangun dan duduk. "Gila!" ma
"Mas! Bisa enggak sih, enggak muncul tiba-tiba dan bikin orang jantungan!" kesahku, "lagi pula, siapa yang mau tahu tentang orang aneh kayak gitu!" tambahku. "Hmmm!" jawab Mas Kelvin, sepertinya dia mulai normal. "Mas, jangan berubah seperti itu lagi. Jika kamu pun berubah, aku akan kehilangan semangat! Kamu teman terbaikku." Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Dis, maaf jika membuatmu terluka karena tindakanku kemarin. Mungkin karena pengaruh obat yang kuminum, tapi ajakan untuk menikah aku serius, Dis." Entah kenapa, aku terharu dengan pintanya. Namun, rasa sakit menghalangi semua. "Mas, aku tidak memikirkan pernikahan untuk saat ini. Yang ada di pikiranku, mereka harus membayar semuanya, meskipun aku tahu hal itu tidak akan setimpal dengan apa yang aku rasakan dan alami." "Jika kita menikah, semua bisa lebih mudah Gladis!" ujarnya dengan nada tinggi. "Tidak! Akan lebih sulit, Mas. Tolong, bencilah aku. Hingga suatu saat ada cinta lain di hatimu, aku tidak pantas unt
"Mbak!" sapa Anis. Suaranya membuatku tenang, aku langsung memeluknya erat. Menumpahkan rasa sakit yang tidak akan pernah hilang, aku butuh seseorang yang terus di sisiku, merangkulku dalam tangis dan kesedihan mendalam saat ini. "Mbak sudah siap-siap?" tanyanya di sela-sela menepuk punggungku. "Maaf atas kebohonganku, kenyataan yang takut aku jelaskan!" tambahnya. "Kamu, tahu? Tanpa kamu aku sangat kesepian. Sudah tiga hari ini aku mengurung diri, aku benar-benar tidak ingin diganggu. Bahkan aku memulai membenci semua orang yang ada di dalam rumah ini! Mereka seperti menutupi sesuatu dariku!" ucapku dalam isakan. "Seminggu kamu pergi, aku seperti ranting di sungai, yang terombang-ambing tidak jelas. Rasanya sangat lelah, dan ingin mengakhirinya segera!" tambahku. "Sabar, semua akan bahagia pada waktunya. Mas Aldi pun tidak tenang saat mengetahui perbuatan keluarganya pada mbak Gladis, dia ingin langsung melabrak kakaknya, tapi aku berusaha melarangnya agar balas dendam Mbak Gl
*** "Mbak, ini ada istri bupati dari daerah Jawa, minta di buatkan baju khusus." Anis melapor. Aku merentangkan tangan, dan memiringkan tubuhku ke kiri dan ke kanan. Meregangkan otot yang mulai kaku. "Buatkan saja, janji. Agar dia bisa memilih desainnya seperti apa!" jawabku, saat memutar kursiku menghadap ke arahnya. Tiga tahun setelah operasi plastik di lakukan, aku dan Anis melakukan branding nama dan produk, tentu didukung oleh kedua tante Mas Kelvin dan pastinya Mas Kelvin sendiri. Aku hadir dengan wajah yang baru tapi tetap tidak menghilangkan wajah asliku. Orang-orang terdekatku pasti mengenaliku, hanya saja penampilanku yang sangat berubah. Begitu kata mama dan papa saat berjumpa denganku untuk pertama kalinya. Kuceritakan kepedihan dan kesakitanku pada mereka, ketika mereka sudah kuamankan di rumahku. Rumah sederhana yang kuperoleh dari jerih payahku. Awalnya mama papa ingin langsung marah ke rumah mantan besannya, tapi aku melarang mereka. Aku mengatakan akan memba
Kububuhkan emot love di setiap postingan Mas Aditya, agar menarik perhatiannya. Lalu aku mengunggah poto diriku yang sedang bekerja di ruangan dengan berbagai gaya dan secantik mungkin. Banyak komentar dari para kolega, yang pernah atau masih bekerja sama denganku. Memuji kecantikanku dan juga keanggunanku. Tling! Ada pesan masuk melalui WA dan dari nomor yang aku tidak aku kenal. Dengan malas aku membukanya, sebenarnya saat ini aku enggan menerima pekerjaan, apapun. Namun, untuk segera melunasi hutangku pada Mas Kelvin lunas, aku harus bekerja lebih ekstra lagi. [Hai, cantik!] Waduh, pesan apaan ini?! Tentu saja membuatku tersenyum miris. Aku tahu, jika yang mengirim pesan itu adalah Mas Aditya. Sepertinya, dia butuh dana banyak. Sehingga menghilangkan urat malunya. [Maaf, saya tidak suka dipuji! Saya pun tidak mengenal anda!] Kukirimkan balas padanya. [Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat tadi di akun, Mbaknya. Saya hanya ingin menyambung hubungan bisnis.] Pesanny
"Iya!" ucapku kesal. Mas Kelvin mendekatiku dan melihat ponsel yang kupegang. Dia berdecak kesal karena aku sudah memulai aksiku, tanpa sepengetahuan darinya. "Kamu mengambil keputusan sendiri?!" ucapnya dengan nada sinis. Aku menghela napas panjang, enggan berdebat dengannya. Memilih beralih mengambil berkas yang ada di depan mejaku, dan membacanya dengan teliti. Mengacuhkan Mas Kelvin yang sedang kesal, dan duduk diam di tempatnya semula. Banyak notif yang masuk dari aplikasi biru itu, membuatku penasaran. Kemudian meraih ponselku untuk melihat ada apa, sebenarnya. Seulas senyuman, kuukir dengan indah. Sehingga menarik perhatian dari Mas Kelvin. Kulihat pria berwajah manis itu membuang wajahnya ke samping, ketika aku tersenyum padanya. "Marah, Mas?" Aku meledeknya. Sayang, tak ada tanggapan darinya. Matanya tetap fokus pada kertas yang disusun rapih, menjadi satu kesatuan. "Mas, kamu enggak ingin menikah denganku?" tanyaku hati-hati, setelah aku duduk di sampingnya. Mas Kelv
Aku berpura-pura menatapnya bingung, lalu mendekatinya perlahan. Tubuh wanita itu gemetaran, dan keringat dingin mulai muncul di keningnya. Padahal, ruangan ini ber-AC. "Mbak, tunggu!!" teriakku, ketika wanita itu lari. Mungkin dia melihatku sama seperti hantu. Anis melepaskan napas sesaknya dengan segera, membuatku berdecak. "Kamu masih takut dengan mereka?!" "Ternyata, tidak semudah yang aku ucapkan." Aku tertawa, melihat Anis yang menahan grogi di depan wanita yang pandai bersandiwara itu. "Mbak, aku pulang duluan, ya. Jangan lupa nanti malam ulang tahun Bagas!" Anis ijin, untuk merayakan ulang tahun anaknya. Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Setelah Anis berlalu, aku kembali ke ruanganku. Mempelajari bisnis baru yang ingin aku kembangkan, selain mendesain baju. Namun, suara notifikhati dari aplikasi sosmed tidak henti. Mengganggu konsentrasiku. Dengan berat hati, aku berselancar lagi. Kali ini, teman-teman Mas Aditya yang koment di status yang dia bagikan tadi. "Memang