Selesai membersihkan diri dan berpakaian, serta memasang masker di wajahku untuk menutupi luka bakar. Tante mengajakku menaiki mobilnya. Mataku menyapu seluruh area ini, sudah di pastikan jika ini adalah apartement. Tapi, aku tidak tau ini di mana. Perjalanan cukup jauh, membuat tubuhku lemas. Dikarenakan duduk terlalu lama. Ketika, melihat sebuah taman di balik jendela mobil, anganku melayang ke masa lalu. Di mana aku ingin sekali berhenti sejenak di sana, menghirup udara bebas. Udara yang berasal dari banyaknya pepohonan. Namun, mas Aditya enggan menemaniku dan memilih bekerja. Sekarang aku tau, bukan bekerja tujuannya saat itu. Akan tetapi wanita yang tengah hamil muda itu. Jika aku tahu sejak awal, akan ku beri r*cun, mas Aditya. Suami yang tidak tau di untung itu. Terlebih mertuaku, yang selalu meludahi makanan yang kumasak dengan cinta. Begitu juga iparku yang sempurna, Sintia. "Ayo kita turun." Tante Rose memegang pundakku, membuat lamunanku buyar. Suster dan tante memba
"Kita turun sekarang," ajak Tante Rose. "Ini kuburan! Untuk apa kita ke sini?" tanyaku bingung. Sepertinya, sudah kebiasaan mereka. Selalu mengabaikan, jika aku bertanya di situasi yang genting. Tante segera turun di ikuti suster yang menemani kami sejak tadi. Kemudian, mereka mengambil kursi roda. Lalu, memintaku untuk segera duduk. Mata tante berair dan merah, begitu juga dengan hidungnya. Mirip dengan orang yang sedang menahan tangisannya. "Halo, kamu masih di makam?" "-----------" "Gue langsung ke sana!" Tante menutup panggilannya, aku tidak dapat melihat apapun yang di kerjakan tante di belakangku. Padahal, tante bisa berjalan di sampingku. "Menangislah sepuasnya, lalu tinggalkan dirimu di sini. Kemudian berubah menjadi yang lebih baik." ujar tante Rose dengan suara tercekat. Kursi roda terus di dorong, cukup jauh ternyata hanya untuk bertemu dengan tante Rebecca. "Kenapa harus di kuburan, sih?" keluhku, "Oh, ya, tante belum mengajakku untuk bertemu anakku. Aku
"Kalian brengs*k! Dasar b*jingaaan!!" pekikku. Rasanya seperti hatiku yang di sobek oleh mereka, lalu direndam air garam. Perih, pilu, tidak berdaya. Bagaimana mereka bisa berlaku keji seperti ini, pada Mutiara. Bukankah darah mereka mengalir di tubuh mungil anakku. Apa yang ada di pikiran mereka! Apakah usaha yang kubangun bertambah pesat, sehingga layak untuk menghilangkan kami berdua. Tangis meraung-raung dan sumpah serapah terucap lagi. "Nak, bawa mama ... Bawa mama! Mama enggak mau sendirian, Mutiara. Bawa mama pergi," Tangisku mengundang tatapan dari para peziarah lainnya. Ada pengunjung yang berbicara nyelekit, "ini makam, tidak elok teriak dan menangis di sini! Berilah bekal doa untuk mereka yang ada di sini!" Namun, aku mengabaikannya. Memilih memeluk makam anakku yang masih basah. "Keluarkan semua yang ada di hatimu, legakan dadamu yang sesak bagai terhimpit batu besar. Namun, kamu harus bangkit, untuk memberi mereka pelajaran, ujar Tante Rebecca. Tante Rose menepuk
Aku akan membuat mereka tekuk lutut di hadapanku, setelah aku mendapatkan wajahku lagi. Dengan semangat dan sisa senyuman Mutiara yang kuingat, aku berjalan ke arah kamar mandi. Melepas pakaianku dan menyimpannya dalam plastik. Kemudian mengguyur tubuhku dengan air dingin, agar otakku tidak terpengaruh oleh halusinasi. Selesai mandi dan mengganti pakaian, aku duduk di depan jendela. Menatap jauh ke depan, tanpa sadar aku menyentuh buku yang tadi di berikan oleh tante Rebecca. Tertulis diary disana. "Maaf, Mas. Aku mengacaukan semuanya dan kamu pun harus melewati hidup dan mati demi menyelamatkan anakku." lirih ku sebelum membaca diary itu. Ketika akan membuka diary, suara derit pintu terbuka, mengangguku. Kututup kembali buku yang ditulis oleh mas Kelvin. "Sudah bisa berdamai dengan hatimu?" tanya tante Rebecca. Aku mengangguk, meski hatiku sebenarnya terluka parah sangat parah namun, tidak berdarah. "Kita akan mengurus pembuatan paspor dan dokumen pendukungnya besok. Kamu
Kubersihkan ludah itu dengan tanganku, kemudian aku berusaha berdiri. Kukembalikan ludah itu ke pipinya di tambah bonus tamparan. "Lo ingat baik-baik, ya! Ini permulaan untukmu dan keluargamu!" ujarku dengan santai. Kemudian, kembali duduk dan meminta suster mendorong kursi rodaku menjauh dari wanita yang tidak punya akhlak itu. Masih sempat aku memberikannya senyum smirk yang indah, karena melihatnya terpaku pada perubahanku. Kulihat kedua tante Kelvin memberikan acungan dua jempol mereka, untung saja mereka tidak di dekatku. Sehingga wanita ular itu tidak akan tau aku pergi dengan siapa. Dari kejauhan, kulihat Mas Aditya lari tergopoh-gopoh, mendekati wanita yang masih terus terpaku menatapku. "Sus, belok!" pintaku, aku ingin melihat dan mendengar ada apa dengan mereka sehingga mas Aditya terlihat khawatir dan terburu-buru. Namun, wanita itu malah mengikutiku dan Mas Aditya mengekori wanita itu. Aku meminta suster untuk meninggalkanku, dan membawa kursi roda. Keberuntungan
"Sudahlah! Kamu itu tidak berubah, entah kenapa aku malah memilihmu yang merepotkan!" bentak Mas Aditya, kemudian lelaki yang pernah bersamaku beberapa tahun, pergi meninggalkan wanita yang dipilihnya, lalu wanita itu mengekori sang suami sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Setelah mereka berdua hilang dari pandanganku, aku mendekati suster dan berterima kasih pada wanita muda itu. "Itu suami Mbak?" tanyanya. "Mantan, tepatnya!" balasku. "Yang membuat mbak seperti ini?" tunjuknya pada wajahku yang rusak dan aku mengangguk, mengiyakan tanyanya. "Kenapa enggak lapor polisi? Eh, tapi rugi sih! Lebih baik mbak balas aja perlakuannya, dan hancurkan secara perlahan-lahan. Saya pikir hanya di sinetron dan novel aja, ada suami yang begitu. Sabar mbak! Jika butuh bantuan ini nomor saya. Saya paling benci dengan lelaki seperti itu!" Gadis ini mengulurkan kertas yang sudah ditulis nomor ponselnya. "Tau dari mana, kalau saya tersiksa dan semua ini karena perbuatannya?" Rasa penas
"Ada apa, Bu? Eh, Mbak Gladis!" tanya Anis dengan suara tersengal-sengal. Aku tak menjawabnya, dadaku sesak lagi. Seperti di hantam batu besar. Anis mengelus punggungku perlahan, dan menggenggam tanganku. "Nis, bolehkah aku meminjam ponselmu?" tanyaku. "Aku sedang rindu pada orang tuaku." kelasku, kemudian. "Saya ambil dulu," Anis keluar dari kamar untuk beberapa saat, dan kembali dengan ponsel di genggamannya. "Tapi, tante sudah melarangku!" ucapnya ragu. "Aku hanya rindu mereka. Lagi pula besok kita akan berangkat!" ujarku kesal. Sebenarnya, aku paham posisinya. Akan tetapi, aku benar-benar rindu pada kedua orang tuaku. Sudah lama tidak mengetahui kabarnya mereka, aku hanya sibuk mengurus rumah tanggaku. "Tolong jangan sebutkan alamat kita!" Anis mengulurkan ponselnya padaku. Ketika akan menekan tombol-tombol angka, aku menjadi ragu. Terbayang pengorbanan kedua orang tuaku, pengorbanan kedua tante Mas Kelvin, Anis, bahkan aku lupa, jika Mas Kelvin sedang sekarat di r
"Mbak, sepertinya telepon rumah keluarga mbak disadap oleh orang. Ini buktinya dia tahu kalau ada yangencari mbak Gladis!" ujar Anis. Aku menatap mata Anis, kini ketakutan mulai muncul di hatiku. Curiga, pada hal yang seharusnya tidak perlu aku curigai. Aku takut, jika Anis salah satu dari mereka. Yang pandai menyembunyikan kebenaran. 'Ada apa denganku!' lirihku. Aku memukul kepalaku, menyadarkan pikiran burukku karena kecurigaan yang tidak mendasar. "Mbak, kenapa?" Anis terlihat panik. 'Apa benar, orang sebaik ini akan mencelakaiku!'Anis melambaikan tangannya ke depan wajahku. Seakan-akan, aku ini kehilangan kesadaran. "Eh, iya. Aku juga berpikiran seperti itu!" ucapku bohong. Tatapanku tidak beralih darinya, membuatnya merasa aneh dan berkali-kali melihat dirinya sendiri. "Mbak, aku ke bu Rebecca!" Anis langsung pamit, tanpa menunggu persetujuanku. Dengan perlahan aku turun dari ranjang dan mengikutinya, untung saja pintu tidak ditutup olehnya memudahkanku untuk keluar. Hat
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men