"Bos! Kita pulang dulu, ya." mereka menghabiskan kopinya sebelum berpanitan."Makasih kopinya, Bu." Nisa mengangguk."Ngapain sih buru - buru? Kan belum diusir." celetuk Iman. Ia sendiri langsung berjalan ke lampak kecil. "Si Bos ini!" Juned manyun. "Bercanda." Nisa tertawa. Juned menggaruk kepalanya lalu menundukkan kepalanya pada Nisa. Firman ikut menundukkan kepalanya. "Pamit, Bu." Nisa mengangguk. Iman berdiri di lampak kecil. Sepertinya tidak ada yang aneh. Tapi hatinya mulai tidak tenang. 'Suami si Mbak pasti pakai dukun buat majuin empang mereka. Kalau enggak, ngapain anak buahnya disuruh makan kembang? Lalu..' Iman mulai merasa gelisah. 'Bagaimana kalau mereka..' Iman mendesah. Ia memperhatikan setiap sudut, setiap sisi di lampak kecil itu. "Ngapain, Pah?!" teriak Nisa. "Nggak papa." Iman kembali ke tempat mereka tadi duduk. "Buat buka masak apa, Mah?""Ih, nggak puasa juga ngapain nanya - nanya.""Emang kalau nggak puasa nggak boleh ikut buka?""Nggak boleh." Nisa
Bulan ramadhan ini begitu penuh keberkahan buat Nisa karena ia tetap dapat menyisihkan uang warungnya untuk membeli baju lebaran dan sedikit tunjangan hari raya untuk semua anak buahnya. "Nggak usah di beliin baju, Mah. Mereka puasa juga kagak." cetus Iman."Biarin aja, Pah. Mamah 'kan udah niat ngasih mereka. Kan cuma setahun sekali."Iman merasa sayang. "Mendingan buat beli bensin Kita ke Bandung." katanya julid. Netra Nisa membesar. Iman selalu seperti itu. "Pah! Itu udah rezeki mereka. Jangan suka ditahan tahan." Iman hangs dapat mengangkat bahunya. Hari ini seminggu menjelang lebaran. Si Mbak ijin untuk pulang kampung."Kapan pulangnya?""Besok sore, Bu.""Besok pagi masih bisa kerja?""Bisa, Bu.""Oke." Nisa mengangguk.Paginya si Mbak datang lebih siang dari biasanya. Tapi seperti biasa, Nisa tidak ingin ambil pusing. "Ini." Nisa memberikan bungkusan berisi baju lebaran untuk si Mbak. Si Mbak langsung membukanya. Netranya berbinar. Nisa memang tahu kesukaannya baik dari wa
"Kok aneh. Mereka yang bilang mereka kerja di sana. Masa' udah berhenti lagi, sih?""Tapi mereka beneran nggak ada, Mah. Kata si Mbak mereka cuma seminggu kerja di situ." Nisa semakin terkejut. Bukan karena kata - kata si Mbak yang menyatakan Juned dan Firman hanya seminggu bekerja di sana, tapi.."Si Mbak ada?""Ada. 'Kan Dia yang ngelayanin warungnya." Nisa terhenyak. Ternyata si Mbak belum pulang kampung. Atau tidak? Kenapa Dia harus berbohong? Nisa semakin tidak habis pikir dengan cerita Deni selanjutnya."Anaknya si Mbak yang udah nikah Mamah tau, 'kan?" Nisa mengangguk. "Fikri?" "Masa Dia pakai jaket seperti punya A Nino itu, Mah. Yang Mamah waktu itu tanyain." Nisa mulai dapat menduga tapi ia tidak ingin asal menuduh. "Mungkin Dia juga punya, Nang. Jaket begitu 'kan banyak." Deni menganggukkan kepalanya. "Iya, mungkin." tapi masih ada yang mengganjal di dadanya. "Si Masnya belagu banget, Mah. Si Mbaknya mah baik banget." cerita Deni lagi. Memang begitulah sifat manusia.
"Kalian kok jadi ngomelin Aku, sih?" Iman balik melotot. Piringnya yang sudah kosong ia letakkan di meja. Ia langsung menyalakan rokok, menyalakan lalu menghisapnya dengan nikmat. "Bos sama istri jangan begitu, dong." Cepot seperti tidak peduli akan pelototan Iman. Catur, Anda dan Yasa mengangguk. Mereka memang merasakan sikap Iman yang sedikit keterlaluan pada Nisa. "Cuma ke Bandung, Bos! Bukan ke Bali!"Cuma pulang ke Bandung saja seperti sesuatu yang sangat berat dikerjakan. Padahal tidak harus menyeberangi pulau juga. Catur ingin menambah ketupat dan ayamnya tapi ia takut dinyinyiri Iman lagi. Ia mendekati meja dan duduk di sampingnya. 'Biar gampang.' hatinya tertawa. "Masa' Bos keberatan beli bensinnya, sih?""Udah jangan kebanyakan ngomong!" Iman cemberut. Ia tidak ingin melayani ucapan anak - anak buahnya itu. 'Anak - anak kemarin sore emang tau apa?' gerutu hatinya. Ia berjalan keluar dan duduk di dekat papan. 'Ini kesempatan.' Catur segera menambah ketupat dan opornya.
Nisa sungguh kesal. Iman selalu ingin bersikap seenaknya dalam segala hal. Masa' mereka harus berdebat dulu hanya gara - gara asbak?"Kenapa sih, kalau buang abu itu di dalam asbak? Capek, ya?"Bukan capenya, ribetnya. Kalau langsung begini 'kan enak." Iman yang duduk di samping jendela mengetukkan abunya keluar. "Begini juga enak." Nisa menyorongkan asbak itu di depan Iman. Iman hanya menjebikkan bibirnya. Itu karena Ia yang tidak perduli akan pentingnya kebersihan bagi mama Wida. Tidak ambil pusing akan pentingnya asbak untuk perokok seperti dirinya. "Aawh!" Iman menjerit tertahan. Ia mengusap lengannya yang menjadi sasaran kekesalan Nisa. Gigi Nisa beradu karena menahan kesal. "Kok Mamah nyubit Papah, sih?" bibir Iman mengerucut. "Gemes! Mau lagi?" Iman cepat - cepat menggeleng. Ia tidak ingin membuat masalah di rumah mertuanya.'Awas Kamu nanti kalau sudah di rumah." ancamnya dalam hati. Begitulah Iman, ia menurut bukan karena mengerti, tapi takut mendapat teguran dari mer
Seperti yang Nisa perkirakan, Yanah dan suaminya menanyakan oleh - oleh dari mereka. Yanah melihat saat Iman, Nino dan Doni menurunkan barang dari mobil. Selain koper - koper, banyak sekali bungkusan panganan khas oleh - oleh dari Bandung yang menerbitkan air liurnya. Ia juga melihat kotak bolen pisang dari merek terkenal. "Doni! Bagi Uwak oleh - olehnya, dong!" teriaknya saat Doni keluar untuk mengambil sapu atas permintaan Wiwi. Meski Deni ada di rumah, rumah yang ditinggalkan seperti rumah kosong. Begitu kotor dan berdebu. "Sebentar, Wak. Lagi di rapihin dulu sama Mamah.""Mau misah - misahin dulu, ya? Yang enak - enak buat Kalian!" nyinyir Ijay. Doni mengusap dahinya. Kebiasaannya kalau Dia berusaha menahan kesal."Donii!" teriakan Wiwi yang menganggap Doni begitu lama."Nggak gitu, Wak." Doni bergegas ke dalam rumah untuk memberikan sapu pada kakak iparnya itu. Padahal sang Mamah sedang membagi oleh - oleh itu sama rata. Agar semua saudara Papahnya kebagian. Iman mendenga
Bibir Raihan lalu mengerucut. Doni pada awalnya memang tidak mengijinkannya meminjam sepedanya. Tapi lama kelamaan ia akan memberikan sepedanya untuk ia bawa bermain. Mereka akan bergantian bermain sepeda.Doni pulang mengikuti Mamahnya. Mukanya ditekuk. Bukan kali ini ia mendapat dampratan dari Uwaknya itu. Dan itu sangat mengganggu moodnya saat bermain. "Lagian ngapain sih, orang itu selalu duduk di sana? Mengganggu banget!" sungutnya kesal. Doni secara tidak sadar tumbuh sebagai pribadi yang suka mengumpat seperti Ijay. Ia juga mempunyai stok bahasa yang tidak dimiliki anak - anak seusianya. "Orang itu? Siapa?" tanya Nisa heran. "Itu! Kakak Mamah yang tercinta!" Nisa speechless. Sejak kapan ia mempunyai kakak? Begitulah, Doni dan Ijay tidak saling menyukai satu sama lain. Doni pulang setelah mengantarkan semua oleh - oleh seperti yang diperintahkan Mamahnya dan kembali ke kamarnya. Ia ingin rebahan. "Don, bantuin Mbak dulu, dong." pinta Wiwi. Doni keluar lagi dari kamarnya.
'Malam ini aja? Bisa jadi kebiasaan!' gerutu hati Anda. Para pemancing itu tidak boleh diberi kesempatan. Mereka memang gila memancing. Hoby mengalahkan kebutuhan utama."Bu Nisa gimana, sih? Dia mau tidur mah tidur aja! Yang kerja 'kan ada!""Padahal kalau di sini sampai season 3, Kita nggak usah kemana - mana.""Iya! Payah banget!" Anda, Catur dan Yasa hanya diam tanpa dapat membela. Tapi mereka memang tidak sanggup bila harus ke season 3.'Maaf, Bu.' ucap hati mereka masing - masing. Dengan cara ini mereka tidak mendapat omelan dari Bos mereka, Iman. Dan Nisa rela mendapat kecaman dari para pemancing.Setelah ucapan salam terkirim si Mbak akhirnya benar - benar datang."Maaf, Bu. Saya mau pamit." katanya to the point. Meskipun kesal, Nisa merasa lega. "Di tempat Saya nggak ada yang jagain warungnya." Katanya lagi melihat Nisa hanya diam menatapnya. "Ya. Baik - baik di sana." ujar Nisa tanpa ingin menahannya. Si Mbak terperangah. Nisa bersikap tidak perduli atas pengunduran dir
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k