Edi berusaha menjelaskan kesehariannya selama di rumah bersama Sari. Alasannya beberapa hari ini ia dan anak - anak sering meninggalkan Sari sendirian. "Kalau nggak pakai ramuan hijau itu, bau busuknya menyengat. Ada saatnya Aku nggak tahan.""Astaghfirullah.." Yanah mengurut dadanya. "Jadi bagaimana sekarang?"Tidak ada yang bisa menjawab karena semua juga menanyakan hal yang sama.Yanah menatap kedatangan Sari di kursi rodanya dengan keharuan yang menyeruak dalam rongga dadanya. Sari terlihat tenang meski lemah dan pucat. Dada Sari tertutup perban. Tidak ada lagi warna hijau. Benar kata Edi, bau busuk samar tercium, mungkin sedikit terhalang oleh perban itu."Sari, Kamu udah nggak papa, 'kan?""Memang nggak papa. Ngapain coba, orang lagi tidur di bawa ke sini. Buang - buang uang aja." celetukan Sari membuat yang lain berusaha membuat senyum di wajahnya. Kalau Sari hanya tidur, ngapain juga mereka sampai sepanik ini? "Jadi habis berapa biayanya? Mahal, 'kan? Pasti pakai uang bang
Sari merasakan tangan Nisa yang membelai rambutnya. "Nisa, Aku tidurnya lama, ya?" katanya tersenyum. Nisa tercengang. Baru 5 menit yang lalu saat ia berteriak tidak mau makan bubur dengan kecap. "Rasanya enak banget." ujar Sari lagi.Edi datang membawa uang dari Yanah dan menyelipkannya di tangan Nisa. Nisa bangun dan berpamitan."Jangan pergi, Nisa!" cegah Sari. Ia tidak mau Nisa meninggalkannya. "Kamu mau makan hati sapi, 'kan? Nisa mau beli." netra Sari seperti menyala. "Hati sapi yang udah mateng aja, Nisa. Di warungnya Emak Abun." Sari sangat menyukai masakan Emak Abun. Ada semur hati sapi di sana."Iya. Nisa mau beli di sana.""Cepat ya, Nisa. Teteh lapar." ujar Sari bersemangat. Nisa mengangguk dan bergegas membeli lauk yang diinginkan Sari. Ia harus menyeberang jalan besar untuk sampai ke warung itu. "Saya mau beli semur atinya 1, Mbak. Yang itu." tunjuk Nisa. "Apalagi, Bu?" tanya si penjaga warung. "Udah, itu aja."Nisa bergegas pulang ke rumah Sari. Sari teelihat s
Suasana pemakaman masih diisi dengan isak tangis, terutama dari Mona dan Lisa yang hanya sebentar melihat ibunya. Mona juga menyalahkan dirinya sendiri. "Kalau saja waktu itu Aku larang Mamah dioperasi sama Kyai itu! Ini salah Aku Bibi, Aku yang ngedorong Mamah pada kematiannya!" Yanah dan Yanti kembali menangis. Mereka ingat saat ikut mengantarkan Sari ke sana dan mereka seperti kehilangan keinginannya untuk mendebat Kyai itu. Memaksa untuk bertemu Pak Kyai juga tidak ingin mereka lakukan. "Mona yang salah. Mona yang salah." Mona terus meracau dalam tangisnya. "Kalau ada yang salah, yang salah Bapakmu ini." ucap Edi getir. Ia sudah kehilangan istrinya karena biaya operasi yang murah. Ada yang salah. Apa yang salah? Siapa yang salah? "Tidak ada yang salah. Memang umurnya hanya sampai di sini. Lewat apapun caranya." ujar Hasby menenangkan. Padahal ia juga merasakan penyesalan yang sama. Netranya yang teduh berkabut. Andai semua ini dapat dicegah. Andai waktu bisa diulang, ia ti
Nisa menerima uluran lembaran biru itu dari tangan Iman."Papah dapet darimana?""Dari Sapta." Sapta itu suami Tika. "Papah minta, ya. Mamah nggak mau, ah!" Nisa mengulurkan kembali lembaran biru itu. Ia tidak mau uang hasil meminta - minta. ia malu jika bertemu dengan Tika dan suaminya nanti. Tentu saja Iman marah karena merasa tak dihargai. "Siapa yang minta? Papah dulu benerin motornya dan Dia belum bayar. Papah juga nggak mau di bayar sih, tapi tadi Dia nanyain rokok Papah apa, Dia mau ngebeliin. Terus Papah bilang, mentahnya aja, deh."Tika dan suaminya memang kerap berkunjung ke rumah Mamahnya tapi jarang menginap. Nisa langsung bangun dan memeluk Iman yang sedang marah."Maafin Mamah ya, Pah?" Nisa membenamkan wajahnya di dada Iman. "Mamah nggak suka kalau Papah cuma minta - minta. Mamah juga tadi nyesek karena nggak ada bekal buat Doni." Iman mengangguk. Otomatis tangannya membalas pelukan Nisa. "Sekarang masih nyesek?" Nisa menggeleng. "Kan udah ada ini." Nisa menunju
Kembali dulu ya pada saat Nisa baru sembuh dari sakitnya dan kembali pulang ke rumah setelah hampir 3 bulan di rumah Wida, Mamahnya. "Di mana Arga?" tanya Nisa setelah 2 hari berturut - turut ia tidak melihat Arga. "Arga sudah berhenti, Mah.""Kenapa?" "Nggak tau." Iman mengangkat bahunya. "Cari pemancingan yang lebih ramai, mungkin." katanya lagi. Nisa menghela nafas. Sejak ia pulang ia memang melihat pemancingannya boleh dikatakan sepi. Hanya 1 - 2 orang yang mancing. Itupun pemancing lama yang Nisa kenal. "Ibu udah sembuh?" sapa mereka ketika melihat Nisa lagi. "Alhamdulillah." Nisa tersenyum. Ia mulai mengerjakan pekerjaan rumah meski Iman melarangnya. "Mamah istirahat aja.""Mamah udah 3 bulan istirahat, Pah." Nisa berkeras. Mana bisa Nisa istirahat melihat rumahnya seperti kapal pecah begitu? Iman menyerah karena Nisa menjadi marah kalau Iman terus menerus melarangnya. "Kalau ngelarang, harus ada yang ngerjain! Papah bisa bayar orang?" sentakan Nisa membuat Iman terdi
Brakk! Pintu kamar terbuka dan ketiga anak mereka menghambur masuk. "Mamah nggak papa?" teriak mereka bersamaan. Nisa spontan mendorong tubuh Iman hingga jatuh dari tempat tidur. "Aaaw!"Bruk! Iman sukses mendarat di lantai.Mereka semua terkejut. Termasuk Nisa. Ia bergegas turun dan mengulurkan tangannya. "Maaf, Pah. Nggak sengaja." Iman mengusap pantatnya seraya menatap ketiga anaknya dengan gusar. "Kalian ngapain sih mendadak masuk begitu? Bukan ketok magic dulu?" Iman ini. Dalam keadaan kesal begini masih bisa bicara ngawur. "Ketok pintu kali, Pah." dumel Doni. Ia langsung menghampiri Mamahnya yang langsung duduk di sisi tempat tidur. "Mamah kenapa tadi? Kok teriak?" Nisa melongo. Ia bahkan sudah lupa kalau ia menjerit tadi. Ia menatap anak - anaknya dengan heran. Nino dan Deni mengangguk membenarkan pernyataan adiknya. "Mamah nggak teriak, kok?" Iman menggeleng - geleng. Selain mudah marah, Nisa ini juga mudah melupakan sesuatu yang baru saja terjadi. "Mamah tadi teri
"Mala berhenti, Mah.""Kenapa?""Dia sering sakit. Katanya nggak enak nggak masuk kerja mulu."Saat itu usia Rifki hampir berusia setahun dan sudah bisa berjalan.Mala berhenti bekerja dengan alasan sakit dan ingin beristirahat.'Ya, baguslah.' dalam hati Nisa bersyukur.Sejak saat itu Rifki dibawa oleh Wiwi saat bekerja untuk dititipkan pada ibunya. Pulang bekerja Ia akan mengambilnya lagi untuk dibawa pulang. "Kenapa nggak ditinggal aja, sih?" protes Iman. Ia merasa kehilangan cucunya karena Rifki hanya ada di rumah saat sore. Waktu berkumpul mereka hanya sebentar. Pagi - pagi ia sudah dibawa lagi. "Siapa yang jagain, Pah? Kasihan Mamah." Wiwi tidak ingin menambah beban pekerjaan Nisa. "Mala nggak sakit. Ia pindah bekerja pada anak tetangga sebelah." beritahu Tika dengn rasa kesal yang berusaha ia tutupi. Tetangga sebelah? Tetangga sebelah mereka hanya Yanah. "Siapa maksud Kamu, Wi? Tika atau Bandi?""Mbak Tika." Tika memang baru saja melahirkan anak ketiganya. Nisa menghela
"Projek apa, sih?" sengat Iman."Projek. Tugas dari sekolah." jelas Nisa."Uang mulu!" dumel Iman. Doni cemberut. Papahnya ini selalu ngomel sebelum memberinya uang. Kenapa nggak langsung ngasih aja, sih? Bikin sakit hati aja!Doni selalu malas untuk meminta keperluannya pada Papahnya itu. Ia segera beranjak menuju ke kamarnya. "Mamah punya uang?" bisik Iman. Nisa menggelengkan kepalanya. "Lah, itu Mamah janji besok?" Nisa inigin meminta pada Deni sebenarnya. Tapi,"Makanya Papah cari, dong. Kali aja ada yang buang di jalanan!" ketus Nisa. Netra Iman membeliak mendengar jawaban Nisa. Tapi pada dasarnya Iman ini sangat menyayangi anak - anaknya. Hanya ia terlalu malas. Iman melihat jam dinding. Sudah hampir jam 1 siang. "Mamah tungguin Raka, ya? Sebentar lagi Nino juga pulang.""Papah mau nyetrum lagi?" alis tebal Nisa bertaut. Iman mendelik. "Papah mau nyari uang. Kali aja ada yang buang di jalan!" dumel Iman kesal. Mau tak mau Nisa menahan senyumnya. "Asal jangan jadi tukang mi