Diwan Pov
***"Gimana kamu semalam, Yang? Tidur nyenyak?" tanyaku pada istri yang sudah menginap satu malam di balik jeruji besi.Wajahnya berubah ketus setelah kutanya. "Mas, bagaimana bisa aku tidur nyenyak? Ngehayal kamu ya? Di dalam sana itu cuma tidur di tikar. Gerah nggak ada kipas angin. Banyak nyamuk juga lagi ah!" kesalnya, "apalagi aku semalam ribut sama penghuni lain, aku dihukum tidur di lantai aja. Sial 'kan, Mas!" imbuhnya lagi dengan geram."Ya sudah, kamu tenang ya, jangan marah-marah." Aku menenangkan."Bukan tenang-tenang, kalau aku kurus kering di sini gimana, Mas? Kamu mau istrimu ini kurus? Dekil, karena nggak perawatan?" cerocosnya. Dasar burung perkutut."Ya mau bagaimana lagi?""Kamu gimana? Udah ke si Maya? Gimana dia jawabnya?" Risma membuatku gugup karena kemarin aku bohong. Mana bisa simpan muka di depan Maya meminta Risma dibebaskan?"Em, a, udah, udah."Permisi, dompet Anda barusan terjatuh di sana. Ini, saya kembalikan. Coba cek dulu dalamnya, takut ada yang hilang."Seorang pria yang kujadikan incaran telah ada di depan mata. Dia dengan senang meraih dompet lalu cek isinya."Oh, terima kasih ya, Mas. Isinya masih lengkap kok. Semuanya ada. Terima kasih banyak, Mas." Dia dengan ramah berterima kasih. Dia sekarang hanya seorang diri sedang menelepon di parkiran mall. Sepertinya sedang menjemput istri."Sama-sama, Mas.""Oh iya, ini untuk Mas. Bukan maksud saya merendahkan, tapi ini sebagai rasa terima kasih saya." Dia merasa tak enak hati."Oh gak usah, Mas, gak usah. Saya ikhlas kok. Saya ikhlas." Aku menempelkan kedua telapak tangan dengan rendah diri."Tapi, Mas saya berterima kasih sekali lho. Saya nggak sadar dompet saya jatuh. Kok bisa ya?" herannya sembari berpikir."Tadi dompet Anda jatuh kok. Sepertinya menyimpan kurang
Maya***Aku lega karena Risma benar-benar sudah dipidanakan. Macam-macam denganku, ya begitu. Padahal, aku ini selalu memberi siapa pun kesempatan untuk berubah. Tidak Mas Anang, tidak Sindy, sekarang Risma. Mereka berurusan denganku lalu berakhir di penjara. Apalagi Sindy sudah kena vonis. Tinggal menunggu vonis Mas Anang dan kasusu Risma.Menurutku hidup sekarang ini penuh dengan tantangan dan rintangan. Mantan, pacar mantan, dan keluarga toxic membuat hidupku lebih berwarna. Tak monoton hanya bicara dengan orang baik-baik saja. Namanya juga hidup, pasti ada pahit-manis-asemnya."Lagi ngapain, Sayang?"Mas Yoga memeluk tubuhku dari belakang. Saat ini hidung sedang menghirup udara sejuk di balkon menatap ke arah kota yang nampak asri meskipun bukan perkampungan. "Lagi cuci mata aja, Mas. Lama di depan layar menyala terus membuat mataku lelah. Hari ini hari Sabtu, aku putuskan untuk tak lihat layar data
Maya***Arya tiba-tiba menghampiri. Dia membawa dus yang tadi ia bawa, yang kami sangka paket oleh-oleh dari temannya. "Apa isinya, Sayang?" Aku benar-benar meneguk liur takut sesuatu hal buruk yang terkirim kemari. Tapi tidak mungkin, kalau benda bahaya pasti akan tertahan oleh security dengan alat canggihnya."Ini, Mah. Ini ada bunga."Semakin kaget saja. Ternyata isi di dalam dus yang tadi kuanggap ringan itu benar-benar ringan. Isinya sebuah buket bunga tulip. Bunga kesukaanku. Bahkan itu bunga favoritku."Mah, kenapa?" Arya bertanya karena melihatku diam tertegun.Segera aku tak ingin membuatnya khawatir. "Sayang, ini untuk kamu dari Aldi."Dia terperanjat. "Wah, tuh 'kan, Mah, bukan ini? Arya kaget kenapa Aldi kirim bunga? Katanya Aldi mainan sama makanan." Anakku berkomentar."Iya, kamu ambil ini ya. Bawa ke kamar kamu dulu."Arya manggut la
"Oma?"Aku dan Mas Yoga sungguh begitu heran. Jauh-jauh Oma di Minang, tapi dia sudah ada di sini saja.Bibi juga langsung disuruh bawa koper di bagasi mobil. Aku pun mendekat ke arah mereka dengan sumringah."Maya, Yoga?" Mama melirik kami bergantian. Mas Yoga ada di belakangku karena dia terakhir sampai.Mama yang menyapa, Oma belum."Assalamualaikum, Ma, Oma."Aku mengecup punggung tangan mereka bergantian."Oma kapan datang? Kok tak bilang-bilang? Aku bisa jemput lho!" Mas Yoga kegirangan. Tapi bukan jingkrak-jingkrak seperti anak TK.Ibu dari ayah mertuaku masih segar meskipun usianya sudah kepala delapan. Kulit yang sudah mengeriput namun pancaran auranya masih terlihat. Dia masih berdiri tegak tanpa bantuan tongkat. Hanya saja, netranya sudah dibantu kacamata minus untuk melihat."Cucu Oma, Yoga." Ia langsung memeluk Mas Yoga. Mereka berdua saling pelu
Maya***"Anakmu mana?" Oma bertanya saat kami berjalan. Ia jalan di depan, dan aku di belakang."Oh iya, Arya ada di kamar, Oma. Sebentar Maya panggilkan." Aku hendak gegas."Oh tidak pelru, nanti saja kita ketemu saat makan malam. Dia hanya diam di kamar saja ya? Tidak pernah keluar rumah?" komentar Oma."Seminggu empat kali Arya les, Oma. Waktu senggang ia gunakan untuk main dengan kawan-kawannya." Aku menjelaskan."Kukira anakmu pasif. Diam saja di rumah tidak mau keluar.""Arya aktif seperti anak lain kok, Oma. Dia belajar dan bermain. Dia juga punya batas waktu untuk memainkan gadget." Kembali aku mengutarakan lagi.Oma balik badan. "Anak-anak sudah dikasih gadget?" Kepalanya geleng-geleng, "itu tidak baik, tidak boleh!" Larangnya."Enggak, Oma, enggak dikasih, tapi kadang dia pinjam tablet milikku untuk bermain. Itu pun waktunya kubatasi.""Tablet? Itu sama saja. Urus anak itu yang bener. Itu mainkan benda begitu tidak baik," tegas Oma."Ya maaf, Oma."Aku telah sampai menganta
"Heh, jangan bilang begitu. Sejak dulu, figur istri itu ya di rumah. Masak, nyuci, setrika, bisa ini dan bisa itu. Laki-laki itu hanya kerja cari nafkah. Jadi, istri juga harus bisa menej rumah." Oma menanggapi dengan sengit."Sekarang sudah ada pembantu, Oma." Mas Yoga menjawab lagi."Iya tapi kalau bisa dikerjakan sendiri, itu lebih baik," ucap Oma."Ya jadi untuk apa ada asisten rumah tangga kalau semuanya masih dikerjakan oleh pemilik rumah?" seru Mas Yoga lagi."Ya seharunya tidak perlu ada asisten rumah tangga untuk anak-anak semuda kalian. Kerjakan sendiri itu lebih baik dan lebih mulia," komentar Oma lagi membuatku mengulek semakin cepat. Sepertinya sudah halus, namun terus kuulek."Ya kalau sudah ada, itu jadi pekerjaan mereka. Untuk apa punya pembantu kalau tuan rumah masih capek kerja." Mas Yoga menanggapi neneknya dengan debat santai. "Alesan aja. Jaman semakin canggih. Sekarang wanita malah ikut-ikutan kerja seperti ibumu. Seharusnya wanita itu diam di rumah saja.""Lah,
Maya***Oma saat ini masih bungkam. Dia tidak mengunyah tidak juga berkomentar.Kami masih menunggu dipersilahkan menyantap makanan. Arya saja menurut, dia hanya diam walau kutahu perutnya sudah keroncongan."Oma, apa kita sudah boleh makan? Gimana rasanya? Apa ada yang kurang?" Mas Yoga menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.Aku dan suami saling lirik takut. Menunggu komentar Oma mengenai masakanku seperti sedang menahan rasa sakit bisulan.Oma menghela napas lalu meninggikan alis. "Ehm! Boleh juga, rasanya belum begitu lezat, tapi lumayan. Silahkan kalian coba."Bak bisulku barusan meletus. Plong, ada perasaan lega mendengar jawaban Oma meskipun masih agak sinis."Tuh 'kan, apa aku bilang. Oma tak percaya kalau istriku pintar masak." Mas Yoga mencairkan suasana yang sejak tadi terasa beku.Kuusap kening yang keluar keringat dinginnya. Tadi sempat searching si Mbah untuk tahu bagaimana meracik bumbu supaya lebih lezat. Alhamdulillah, hasilnya tak dapat omelan dari Oma."Ya, Oma pi
"Lain kali kalau ada yang kirim sesuatu, hubungi dulu saya atau istri saya. Kalau bukan pesanan kami, ditolak saja. Mengerti!" tegas Mas Yoga."Baik, baik, Tuan. Saya pikir itu paket Nona." Pak satpam agak ketakutan."Ya sudah, mulai saat ini jangan lupa tanya dulu. Kalau ada seperti ini, hubungi dulu," pesan Mas Yoga."Siap, Tuan!" Akhirnya satpam pun disuruh kembali oleh Mas Yoga untuk mengemban tugas. Kejadian seperti ini aneh sekali. Baru kali pertama aku mengalami hal ini. Bahkan ini kali ke dua di hari yang sama."Mas, aku takut deh. Meskipun kiriman seperti ini, tapi ini artinya ada orang aneh yang sedang mengincar rumah tangga kita." Aku berpikir ke arah sana."Iya, benar juga. Kenapa tak ada habisnya gangguan dari orang-orang aneh. Heran." Mas Yoga menggerutu."Aku akan simpan barang-barang yang datang ke rumah ini.""Bunga sudah dibuang bibi, Mas?" Aku menyela."Belum, aku mengurungkan niat. Biar kucaritahu semuanya. Mereka pikir sedang berurusan dengan siapa." Aku tak mau