"Heh, jangan bilang begitu. Sejak dulu, figur istri itu ya di rumah. Masak, nyuci, setrika, bisa ini dan bisa itu. Laki-laki itu hanya kerja cari nafkah. Jadi, istri juga harus bisa menej rumah." Oma menanggapi dengan sengit."Sekarang sudah ada pembantu, Oma." Mas Yoga menjawab lagi."Iya tapi kalau bisa dikerjakan sendiri, itu lebih baik," ucap Oma."Ya jadi untuk apa ada asisten rumah tangga kalau semuanya masih dikerjakan oleh pemilik rumah?" seru Mas Yoga lagi."Ya seharunya tidak perlu ada asisten rumah tangga untuk anak-anak semuda kalian. Kerjakan sendiri itu lebih baik dan lebih mulia," komentar Oma lagi membuatku mengulek semakin cepat. Sepertinya sudah halus, namun terus kuulek."Ya kalau sudah ada, itu jadi pekerjaan mereka. Untuk apa punya pembantu kalau tuan rumah masih capek kerja." Mas Yoga menanggapi neneknya dengan debat santai. "Alesan aja. Jaman semakin canggih. Sekarang wanita malah ikut-ikutan kerja seperti ibumu. Seharusnya wanita itu diam di rumah saja.""Lah,
Maya***Oma saat ini masih bungkam. Dia tidak mengunyah tidak juga berkomentar.Kami masih menunggu dipersilahkan menyantap makanan. Arya saja menurut, dia hanya diam walau kutahu perutnya sudah keroncongan."Oma, apa kita sudah boleh makan? Gimana rasanya? Apa ada yang kurang?" Mas Yoga menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.Aku dan suami saling lirik takut. Menunggu komentar Oma mengenai masakanku seperti sedang menahan rasa sakit bisulan.Oma menghela napas lalu meninggikan alis. "Ehm! Boleh juga, rasanya belum begitu lezat, tapi lumayan. Silahkan kalian coba."Bak bisulku barusan meletus. Plong, ada perasaan lega mendengar jawaban Oma meskipun masih agak sinis."Tuh 'kan, apa aku bilang. Oma tak percaya kalau istriku pintar masak." Mas Yoga mencairkan suasana yang sejak tadi terasa beku.Kuusap kening yang keluar keringat dinginnya. Tadi sempat searching si Mbah untuk tahu bagaimana meracik bumbu supaya lebih lezat. Alhamdulillah, hasilnya tak dapat omelan dari Oma."Ya, Oma pi
"Lain kali kalau ada yang kirim sesuatu, hubungi dulu saya atau istri saya. Kalau bukan pesanan kami, ditolak saja. Mengerti!" tegas Mas Yoga."Baik, baik, Tuan. Saya pikir itu paket Nona." Pak satpam agak ketakutan."Ya sudah, mulai saat ini jangan lupa tanya dulu. Kalau ada seperti ini, hubungi dulu," pesan Mas Yoga."Siap, Tuan!" Akhirnya satpam pun disuruh kembali oleh Mas Yoga untuk mengemban tugas. Kejadian seperti ini aneh sekali. Baru kali pertama aku mengalami hal ini. Bahkan ini kali ke dua di hari yang sama."Mas, aku takut deh. Meskipun kiriman seperti ini, tapi ini artinya ada orang aneh yang sedang mengincar rumah tangga kita." Aku berpikir ke arah sana."Iya, benar juga. Kenapa tak ada habisnya gangguan dari orang-orang aneh. Heran." Mas Yoga menggerutu."Aku akan simpan barang-barang yang datang ke rumah ini.""Bunga sudah dibuang bibi, Mas?" Aku menyela."Belum, aku mengurungkan niat. Biar kucaritahu semuanya. Mereka pikir sedang berurusan dengan siapa." Aku tak mau
PoV Yoga***Sekarang di rumah ada Oma. Ia katanya ingin tinggal di sini sampai istriku melahirkan nanti. Biasalah, orang tua selalu banyak sekali aturan dan juga soal pantrangan. Kupikir dulu dia juga melakukan hal yang sama pada anak dan cucunya, dan sekarang istriku. Oma akan berada di sini untuk menjaga istri dan jabang bayiku. Mungkin lebih ke ingin menemani.Itu kata Oma, yang aku pikir di sini Oma lebih ke menginginkan peraturan baru. Dia sepertinya ingin mencaritahu bagaimana istriku kesehariannya lebih detail. Kutahu, Oma selalu menginginkan semua hal itu sempurna.Di sisi lain datangnya Oma membuatku gembira. Jadinya, aku juga bisa melihat dan menjaga dia lebih dekat lagi. Bukan hanya bertemu setahun sekali atau dua kali saja.Usianya sudah sepuh sekali. Kalau tak salah, sudah lebih dari 78 tahunan. Begitu katanya. Dengan usia demikian, dia masih mampu berjalan tegap walaupun tak secepat sewaktu masih muda. Kadang aku berpikir,
Betapa kagetnya aku, ada KTP rekan bisnisku di layar. Dengan jelas kutatap foto dan juga nama lengkap. Benar sekali, tak ada yang salah."Hans Putra Baskhara," batinku kaget.Aku zoom kembali lebih detail. Aku juga melihat lagi file lain, siapa tahu salah buka, ternyata tidak. Benar-benar identitas Hans kudapat.Ada sosial media juga yang terpaut dengan nomor asing itu. Semua wajah rekan bisnisku. Ini benar-benar membuatku bertanya-tanya. Bukankah kemarin Risma memalsukan atas nama Hans? Lalu istriku menyelidiki hingga identitas Risma dan suaminya itu terbukti? Sekarang?Apa mungkin ini bukti palsu? Gegas kuhubungi kembali si orang suruhan. Dia yakin 100%, data yang ia dapat dari nomor tersebut itu benar. Tidak ada yang keliru. Aku jadi geleng-geleng kepala. Setelah dipikir-pikir, hari ini lebih baik aku datang pada Hans. Perusahaan cabangnya yang baru berdiri itu akan kuhampiri. Mungkin dia bisa memberikan penjelasan atas semu
PoV Yoga***Dia seperti gelisah setelah berkali-kali melirikku. "Oh, ya, it's oke. Em, diantar siapa kemari? Em, ya, duduk, duduk!" Ia nampak salah tingkah lagi. Hal yang membuat hatiku jadi tidak nyaman bila dia begini. "Resepsionis yang mengantarkan." Aku menjawab sembari duduk di sofa."Oh iya." Ia manggut dengan bola mata tak henti bergerak.Aku semakin curiga dengan ekspresinya. "Sepertinya Pak Hans sedang gelisah sekali? Ada hal buruk 'kah?" Bola matanya tak menatapku fokus. Semuanya membuatku semakin penasaran. Kenapa aku menduga dialah yang akan merusak rumah tanggaku. Untuk apa juga dia pindah rumah ke tempat yang dekat dengan rumahku? Tapi aku tak bisa suudzon begini. Harus benar-benar dicari bukti terlebih dahulu."Em, ada hal yang teramat pentingkah hingga langkah Pak Yoga sampai kemari?" tanyanya begitu resah. Tapi ada sandiwara persembunyian di baliknya."Oh tak ada apa-apa. Kebetulan saya hari
Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m
PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese