Maya***Aku lega karena Risma benar-benar sudah dipidanakan. Macam-macam denganku, ya begitu. Padahal, aku ini selalu memberi siapa pun kesempatan untuk berubah. Tidak Mas Anang, tidak Sindy, sekarang Risma. Mereka berurusan denganku lalu berakhir di penjara. Apalagi Sindy sudah kena vonis. Tinggal menunggu vonis Mas Anang dan kasusu Risma.Menurutku hidup sekarang ini penuh dengan tantangan dan rintangan. Mantan, pacar mantan, dan keluarga toxic membuat hidupku lebih berwarna. Tak monoton hanya bicara dengan orang baik-baik saja. Namanya juga hidup, pasti ada pahit-manis-asemnya."Lagi ngapain, Sayang?"Mas Yoga memeluk tubuhku dari belakang. Saat ini hidung sedang menghirup udara sejuk di balkon menatap ke arah kota yang nampak asri meskipun bukan perkampungan. "Lagi cuci mata aja, Mas. Lama di depan layar menyala terus membuat mataku lelah. Hari ini hari Sabtu, aku putuskan untuk tak lihat layar data
Maya***Arya tiba-tiba menghampiri. Dia membawa dus yang tadi ia bawa, yang kami sangka paket oleh-oleh dari temannya. "Apa isinya, Sayang?" Aku benar-benar meneguk liur takut sesuatu hal buruk yang terkirim kemari. Tapi tidak mungkin, kalau benda bahaya pasti akan tertahan oleh security dengan alat canggihnya."Ini, Mah. Ini ada bunga."Semakin kaget saja. Ternyata isi di dalam dus yang tadi kuanggap ringan itu benar-benar ringan. Isinya sebuah buket bunga tulip. Bunga kesukaanku. Bahkan itu bunga favoritku."Mah, kenapa?" Arya bertanya karena melihatku diam tertegun.Segera aku tak ingin membuatnya khawatir. "Sayang, ini untuk kamu dari Aldi."Dia terperanjat. "Wah, tuh 'kan, Mah, bukan ini? Arya kaget kenapa Aldi kirim bunga? Katanya Aldi mainan sama makanan." Anakku berkomentar."Iya, kamu ambil ini ya. Bawa ke kamar kamu dulu."Arya manggut la
"Oma?"Aku dan Mas Yoga sungguh begitu heran. Jauh-jauh Oma di Minang, tapi dia sudah ada di sini saja.Bibi juga langsung disuruh bawa koper di bagasi mobil. Aku pun mendekat ke arah mereka dengan sumringah."Maya, Yoga?" Mama melirik kami bergantian. Mas Yoga ada di belakangku karena dia terakhir sampai.Mama yang menyapa, Oma belum."Assalamualaikum, Ma, Oma."Aku mengecup punggung tangan mereka bergantian."Oma kapan datang? Kok tak bilang-bilang? Aku bisa jemput lho!" Mas Yoga kegirangan. Tapi bukan jingkrak-jingkrak seperti anak TK.Ibu dari ayah mertuaku masih segar meskipun usianya sudah kepala delapan. Kulit yang sudah mengeriput namun pancaran auranya masih terlihat. Dia masih berdiri tegak tanpa bantuan tongkat. Hanya saja, netranya sudah dibantu kacamata minus untuk melihat."Cucu Oma, Yoga." Ia langsung memeluk Mas Yoga. Mereka berdua saling pelu
Maya***"Anakmu mana?" Oma bertanya saat kami berjalan. Ia jalan di depan, dan aku di belakang."Oh iya, Arya ada di kamar, Oma. Sebentar Maya panggilkan." Aku hendak gegas."Oh tidak pelru, nanti saja kita ketemu saat makan malam. Dia hanya diam di kamar saja ya? Tidak pernah keluar rumah?" komentar Oma."Seminggu empat kali Arya les, Oma. Waktu senggang ia gunakan untuk main dengan kawan-kawannya." Aku menjelaskan."Kukira anakmu pasif. Diam saja di rumah tidak mau keluar.""Arya aktif seperti anak lain kok, Oma. Dia belajar dan bermain. Dia juga punya batas waktu untuk memainkan gadget." Kembali aku mengutarakan lagi.Oma balik badan. "Anak-anak sudah dikasih gadget?" Kepalanya geleng-geleng, "itu tidak baik, tidak boleh!" Larangnya."Enggak, Oma, enggak dikasih, tapi kadang dia pinjam tablet milikku untuk bermain. Itu pun waktunya kubatasi.""Tablet? Itu sama saja. Urus anak itu yang bener. Itu mainkan benda begitu tidak baik," tegas Oma."Ya maaf, Oma."Aku telah sampai menganta
"Heh, jangan bilang begitu. Sejak dulu, figur istri itu ya di rumah. Masak, nyuci, setrika, bisa ini dan bisa itu. Laki-laki itu hanya kerja cari nafkah. Jadi, istri juga harus bisa menej rumah." Oma menanggapi dengan sengit."Sekarang sudah ada pembantu, Oma." Mas Yoga menjawab lagi."Iya tapi kalau bisa dikerjakan sendiri, itu lebih baik," ucap Oma."Ya jadi untuk apa ada asisten rumah tangga kalau semuanya masih dikerjakan oleh pemilik rumah?" seru Mas Yoga lagi."Ya seharunya tidak perlu ada asisten rumah tangga untuk anak-anak semuda kalian. Kerjakan sendiri itu lebih baik dan lebih mulia," komentar Oma lagi membuatku mengulek semakin cepat. Sepertinya sudah halus, namun terus kuulek."Ya kalau sudah ada, itu jadi pekerjaan mereka. Untuk apa punya pembantu kalau tuan rumah masih capek kerja." Mas Yoga menanggapi neneknya dengan debat santai. "Alesan aja. Jaman semakin canggih. Sekarang wanita malah ikut-ikutan kerja seperti ibumu. Seharusnya wanita itu diam di rumah saja.""Lah,
Maya***Oma saat ini masih bungkam. Dia tidak mengunyah tidak juga berkomentar.Kami masih menunggu dipersilahkan menyantap makanan. Arya saja menurut, dia hanya diam walau kutahu perutnya sudah keroncongan."Oma, apa kita sudah boleh makan? Gimana rasanya? Apa ada yang kurang?" Mas Yoga menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.Aku dan suami saling lirik takut. Menunggu komentar Oma mengenai masakanku seperti sedang menahan rasa sakit bisulan.Oma menghela napas lalu meninggikan alis. "Ehm! Boleh juga, rasanya belum begitu lezat, tapi lumayan. Silahkan kalian coba."Bak bisulku barusan meletus. Plong, ada perasaan lega mendengar jawaban Oma meskipun masih agak sinis."Tuh 'kan, apa aku bilang. Oma tak percaya kalau istriku pintar masak." Mas Yoga mencairkan suasana yang sejak tadi terasa beku.Kuusap kening yang keluar keringat dinginnya. Tadi sempat searching si Mbah untuk tahu bagaimana meracik bumbu supaya lebih lezat. Alhamdulillah, hasilnya tak dapat omelan dari Oma."Ya, Oma pi
"Lain kali kalau ada yang kirim sesuatu, hubungi dulu saya atau istri saya. Kalau bukan pesanan kami, ditolak saja. Mengerti!" tegas Mas Yoga."Baik, baik, Tuan. Saya pikir itu paket Nona." Pak satpam agak ketakutan."Ya sudah, mulai saat ini jangan lupa tanya dulu. Kalau ada seperti ini, hubungi dulu," pesan Mas Yoga."Siap, Tuan!" Akhirnya satpam pun disuruh kembali oleh Mas Yoga untuk mengemban tugas. Kejadian seperti ini aneh sekali. Baru kali pertama aku mengalami hal ini. Bahkan ini kali ke dua di hari yang sama."Mas, aku takut deh. Meskipun kiriman seperti ini, tapi ini artinya ada orang aneh yang sedang mengincar rumah tangga kita." Aku berpikir ke arah sana."Iya, benar juga. Kenapa tak ada habisnya gangguan dari orang-orang aneh. Heran." Mas Yoga menggerutu."Aku akan simpan barang-barang yang datang ke rumah ini.""Bunga sudah dibuang bibi, Mas?" Aku menyela."Belum, aku mengurungkan niat. Biar kucaritahu semuanya. Mereka pikir sedang berurusan dengan siapa." Aku tak mau
PoV Yoga***Sekarang di rumah ada Oma. Ia katanya ingin tinggal di sini sampai istriku melahirkan nanti. Biasalah, orang tua selalu banyak sekali aturan dan juga soal pantrangan. Kupikir dulu dia juga melakukan hal yang sama pada anak dan cucunya, dan sekarang istriku. Oma akan berada di sini untuk menjaga istri dan jabang bayiku. Mungkin lebih ke ingin menemani.Itu kata Oma, yang aku pikir di sini Oma lebih ke menginginkan peraturan baru. Dia sepertinya ingin mencaritahu bagaimana istriku kesehariannya lebih detail. Kutahu, Oma selalu menginginkan semua hal itu sempurna.Di sisi lain datangnya Oma membuatku gembira. Jadinya, aku juga bisa melihat dan menjaga dia lebih dekat lagi. Bukan hanya bertemu setahun sekali atau dua kali saja.Usianya sudah sepuh sekali. Kalau tak salah, sudah lebih dari 78 tahunan. Begitu katanya. Dengan usia demikian, dia masih mampu berjalan tegap walaupun tak secepat sewaktu masih muda. Kadang aku berpikir,
PoV Maya***"Oh, jadi kamu Mas biang kerok semua ini? Aku gak nyangka kamu begini ya Mas!" Aku begitu marah. Wajahnya memerah nanar menatap pria itu."Arkh, apaan kalian, dasar tukang tuduh!" Dia itu berdecak. Dia berdalih dan tidak mengakui hal yang sebenarnya terjadi.Kami sekarang sedang berada di sebuah tempat. Dimana sekarang di sini kami sudah berhadapan dengan Mas Diwan yang ternyata memang biang kerok dari semuanya.Di sini juga tidak hanya ada aku dan suami juga anak buahku. Tapi di sini juga ada Hans yang baru saja datang. Aku sengaja ingin memperlihatkan kepadanya kalau anak buahnya selama ini telah melakukan hal yang buruk.Mas Diwan mencuri identitas dirinya untuk menerorku. Dan seakan-akan Hans lah yang ingin menggencarkan rumah tanggaku bersama Mas Yoga. Pijit sekali kelakuannya.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi nya Mas Diwan oleh telapak tanganku. Mas Yog
Dada omah mundur ke belakang. Bibirnya tertarik ke atas seperti tak mengindahkan apa yang aku duga. "Ya ampun, Yoga. Kamu menduga istrimu itu hanya jadi korban orang lain? Takut itu kah kamu istri kamu pergi? Pasti benar, dia itu sudah selingkuh. Kamu ini kok kaya melindungi banget istri kamu?" Dugaanku benar, Oma menyalahkan istriku."Bukan begitu, Oma. Tapi aku sama Mas Yoga juga sedang menyelidiki siapa orang yang selalu meneror aku dengan barang-barang seperti ini. Aku benar-benar enggak tahu, Oma, aku yakin ini ada unsur disengaja." Istriku mendekat membela dirinya.Aku coba meredam kemarahan Oma. "Oke, Oma tenang dulu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Yoga sama Maya mau ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kita bicarakan.""Nah, itu bagus!" Oma setuju, "pasti kamu ingin memarahi dia kan? Bagus itu, ayok sana. Jangan pernah mau kalah sama istrimu. Nanti dia bakal kebiasaan," tandas Oma.Istriku masih terus rerpojok
PoV Yoga***"Semua informasinya sudah aku kirim lewat email."Pesan masuk setelah aku keluar dari ruang meeting. Temanku yang detektif ini menjanjikan waktu sebentar, tapi karena katanya dia ada meeting penting sehingga pekerjaannya dia tunda dulu. Dan baru sekarang dia mengirimkan semuanya. Katanya sudah lewat email.Aku Pun bergegas menuju ruang bekerja. Membuka laptop dan segera mencari tahu informasi terbaru yang masuk lewat email yang yang aku pakai untuk mendapatkan informasi darinya.Tanpa basa-basi aku pun segera membaca dan melihat bukti lokasi yang telah temanku itu selidiki.Degh!Aku kaget ketika dua nomor yang berbeda itu ternyata berada di lokasi yang sama. Bahkan bukan berdekatan, tapi memang di titik yang sama.Satu Nomor dengan identitas bernama Diwan. Dan satu lagi nomor atas nama Hans. Aku malah semakin bingung, jangan-jangan dugaan istriku benar, kalau Diwan lah yang memanfaatkan situasi ini untuk meneror istriku. Tapi apa maksud dan tujuannya?Ku tanya lagi kepad
PoV Yoga***[Maaf, kita belum bisa bertemu. Aku hanya bisa mengagumimu tanpa bisa melihatmu. Kita ini berada di posisi yang masih salah. Aku punya istri dan kamu pun punya. Aku hanya berharap suatu saat kita bersatu]Wajah istriku saat ini benar-benar murung dan ketakutan. Dia pasti berpikir kalau aku akan marah. "Mas, sumpah aku nggak tahu lho Mas salah orang ini," resahnya.Aku berusaha percaya. "Oke, sudah jelas kalau orang itu benar-benar menginginkan kamu. Tapi identitasnya terus saja dia sembunyikan.""Mas, aku yakin, ini adalah kerjaan seseorang untuk menghancurkan rumah tangga kita saja. Sumpah, aku gak tahu soal ini." Kekeh istriku seperti meresahkan pikiranku saat ini.Kami berdua diam. Namun, tiba-tiba istriku mengatakan kalau dia memiliki sebuah ide. "Mas!" Dia membuyarkan lamunanku. "Ada apa?" tanyaku.Dia malah mondar-mandir. "Gini nih, Mas, aku kok jadi suuzon kalau
PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese
Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m
PoV Yoga***Dia seperti gelisah setelah berkali-kali melirikku. "Oh, ya, it's oke. Em, diantar siapa kemari? Em, ya, duduk, duduk!" Ia nampak salah tingkah lagi. Hal yang membuat hatiku jadi tidak nyaman bila dia begini. "Resepsionis yang mengantarkan." Aku menjawab sembari duduk di sofa."Oh iya." Ia manggut dengan bola mata tak henti bergerak.Aku semakin curiga dengan ekspresinya. "Sepertinya Pak Hans sedang gelisah sekali? Ada hal buruk 'kah?" Bola matanya tak menatapku fokus. Semuanya membuatku semakin penasaran. Kenapa aku menduga dialah yang akan merusak rumah tanggaku. Untuk apa juga dia pindah rumah ke tempat yang dekat dengan rumahku? Tapi aku tak bisa suudzon begini. Harus benar-benar dicari bukti terlebih dahulu."Em, ada hal yang teramat pentingkah hingga langkah Pak Yoga sampai kemari?" tanyanya begitu resah. Tapi ada sandiwara persembunyian di baliknya."Oh tak ada apa-apa. Kebetulan saya hari
Betapa kagetnya aku, ada KTP rekan bisnisku di layar. Dengan jelas kutatap foto dan juga nama lengkap. Benar sekali, tak ada yang salah."Hans Putra Baskhara," batinku kaget.Aku zoom kembali lebih detail. Aku juga melihat lagi file lain, siapa tahu salah buka, ternyata tidak. Benar-benar identitas Hans kudapat.Ada sosial media juga yang terpaut dengan nomor asing itu. Semua wajah rekan bisnisku. Ini benar-benar membuatku bertanya-tanya. Bukankah kemarin Risma memalsukan atas nama Hans? Lalu istriku menyelidiki hingga identitas Risma dan suaminya itu terbukti? Sekarang?Apa mungkin ini bukti palsu? Gegas kuhubungi kembali si orang suruhan. Dia yakin 100%, data yang ia dapat dari nomor tersebut itu benar. Tidak ada yang keliru. Aku jadi geleng-geleng kepala. Setelah dipikir-pikir, hari ini lebih baik aku datang pada Hans. Perusahaan cabangnya yang baru berdiri itu akan kuhampiri. Mungkin dia bisa memberikan penjelasan atas semu
PoV Yoga***Sekarang di rumah ada Oma. Ia katanya ingin tinggal di sini sampai istriku melahirkan nanti. Biasalah, orang tua selalu banyak sekali aturan dan juga soal pantrangan. Kupikir dulu dia juga melakukan hal yang sama pada anak dan cucunya, dan sekarang istriku. Oma akan berada di sini untuk menjaga istri dan jabang bayiku. Mungkin lebih ke ingin menemani.Itu kata Oma, yang aku pikir di sini Oma lebih ke menginginkan peraturan baru. Dia sepertinya ingin mencaritahu bagaimana istriku kesehariannya lebih detail. Kutahu, Oma selalu menginginkan semua hal itu sempurna.Di sisi lain datangnya Oma membuatku gembira. Jadinya, aku juga bisa melihat dan menjaga dia lebih dekat lagi. Bukan hanya bertemu setahun sekali atau dua kali saja.Usianya sudah sepuh sekali. Kalau tak salah, sudah lebih dari 78 tahunan. Begitu katanya. Dengan usia demikian, dia masih mampu berjalan tegap walaupun tak secepat sewaktu masih muda. Kadang aku berpikir,