‘Uff! Lelahnya! Bos sialan! Satu jam lebih dia mengerjai aku!’ rutuk Ziandra di hatinya sambil berjalan lunglai di lorong rumah sakit.
Masih teringat jelas bagaimana Aldric sangat buas dan agresif ketika menyetubuhinya. Badannya terasa remuk akibat kegilaan sang Bos. Tadi mengendarai motor pun, nyaris menabrak beberapa kali.
Dia kembali ke rumah sakit hanya untuk memastikan anaknya masuk ke ruang operasi dan kemudian pulang ke rumah untuk mandi. Untung saja Susan dan Namila mau menunggui Clara menjalani operasi.
“Aku harus mandi … aku butuh mandi!” tegasnya, berbisik sambil mengemudikan motor ke rumah.
Selama ini, dia masih menempati rumah orang tuanya bersama Dion dan Clara. Mereka belum memiliki rumah sendiri. Dulu dia hendak mengontrak sebuah rumah kecil agar mandiri, tapi Dion tak setuju. Dion lebih suka tinggal di rumah mertua yang cukup lapang dan nyaman.
Tiba di rumah, dia melihat suaminya masih asyik bermain game online di sofa.
Dia harus bersikap senormal mungkin di depan suaminya agar Dion tidak mengetahui apa yang baru saja dia perbuat demi mendapatkan uang.
“Mas, daritadi aku telepon kamu, kenapa tidak diangkat?” tanyanya, sedikit kesal. “Aku pontang-panting mencari uang untuk operasinya Clara, Mas!”
Dion tidak ingin repot-repot menoleh dan tetap fokus ke layar handphone-nya. “Aku lagi sibuk push rank, nih! Udah, ah! Sana, sana! Berisik, ih!”
Ziandra kecewa. Harusnya Dion ikut merasakan kesedihan atas Clara. Itu anak mereka berdua! Tapi mau bagaimana lagi, sejak dulu Dion memang sudah kecanduan game online dan media sosial.
Tak ada gunanya memprotes sikap abai Dion. Suaminya hanya manis ketika dulu mengejar cintanya dan saat awal pernikahan saja.
Dia pun berjalan lunglai ke kamarnya, dan langsung menyambar handuk untuk mandi. Saat memutar keran shower, dia teringat kejadian antara dia dan Aldric di ruangan si Bos. Mendadak saja dia merasa jijik sendiri.
“Aku kotor … hiks! Aku sudah sekotor ini, hiks!” Dia berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri di bawah kucuran air shower.
Lekas diambilnya sabun dan berulang kali digosokkan kuat-kuat ke tubuhnya.
‘Aku harus melepaskan semua kotoran dan aroma Pak Aldric dari tubuhku!’ tekad Ziandra.
Maka, dia terus menyabuni dirinya, berulang kali. Bahkan 3 kali bilasan dilakukan demi melunturkan bau Aldric. Berharap Dion tak bisa mencium aroma dosa darinya.
Tak heran jika mandinya membutuhkan waktu hampir 1 jam. Ketika selesai, dia merasa linglung dan matanya sakit akibat banyak menangis.
‘Ini baru satu kali. Masih ada 29 kali lainnya.’
Kemudian dia mulai menangis lagi dengan isakan tertahan, tak ingin suaminya mendengar.
Tiba-tiba, handphone-nya berdering lirih di dalam tas. Dia mengambilnya, berharap itu dari ibu atau adiknya yang memberi kabar mengenai Clara.
Sayangnya, harapannya terlalu tinggi.
“Lakukan tugasmu sore nanti. Aku akan kirimkan lokasinya.” Demikian suara berat dan dalam milik Aldric ketika dia mengangkat panggilan itu.
Dia melongo. Bingung. Bukankah tadi sudah di kantor? Kenapa meminta lagi dengan rentang waktu yang sangat dekat? Memangnya si Bos belum puas?
Hendak protes, tapi dia teringat perjanjian yang sudah terlanjur ditandatangani. Memang bodoh dan ceroboh! Tapi itu satu-satunya jalan untuk pengobatan Clara! Itu satu-satunya harapan untuk sang anak!
Maka, setelah berpakaian rapi, dia bersiap pergi di jam 5 sore.
“M-Mas, aku … aku ke rumah sakit dulu. Kalau Mas ingin makan malam, sudah aku buatkan nasi goreng seafood di meja.” Dia sampai tak berani menatap lama-lama suaminya karena takut hatinya luluh dan mengakui semua dosanya.
Tak ada jawaban dari Dion selain, “Hum.” Pendek dan cuek.
Bahkan pria itu tidak mengalihkan pandangan dari layar handphone. Bertanya mengenai anak mereka pun tidak! Ya sudahlah! Perlu berharap apa lagi?
Dia memacu motornya ke sebuah hotel bintang 5 yang dipilih Aldric.
Tiba di kamar presidential suite, Aldric menariknya dengan tak sabar. Pria itu secara bernapsu melucuti blus dan celana jinsnya hingga dia memekik kaget.
“Argh! Pak!” Dia tak bisa berkutik ketika dirinya dihempas ke ranjang.
Aldric mulai melumat bibirnya seraya tangan pria itu menjelajah liar ke tubuhnya, meremas apa saja yang dia miliki seakan tak ada hari esok.
“Kenapa? Mau berlagak suci?” Aldric Hagar menyeringai sambil tangannya menjelajah kasar di pusat tubuh Ziandra di bawah sana.
Ziandra menjadi gugup dan ketakutan. Bosnya sebuas ini, sangat jauh berbeda dengan citra ramah dan baik yang ditampilkan di kantor.
“Ayo, layani aku sesuai perjanjian kita!” Aldric mulai mendominasi.
Belum sempat Ziandra menyahut, dia sudah diterkam Aldric yang beringas. Diciumi, diremas, dan juga dilumat. Dia bagaikan mangsa tak berdaya di tangan Aldric.
“Pak, tolong pelan—ah!” Ziandra tidak mengira Aldric akan lebih ganas ketika di atas ranjang.
Meski Ziandra sudah bersiap akan momen ini, dia masih saja tak siap menghadapi sikap agresif Aldric. Dia pun terentak-entak kencang oleh dorongan pinggul Aldric.
“Kamu yang datang ke aku untuk uang, dasar perempuan matre! Pastinya yang seperti ini hanya hal biasa untukmu!” balas Aldric dengan suara geraman, bernada menghina. “Puaskan aku!”
Mata Ziandra memejam rapat, enggan menatap Aldric yang mendominasi kuat di atasnya. Jemarinya dirasakan kebas akibat meremas erat-erat tepian bantal.
‘Aku dihina sebagai perempuan matre. Rasanya sakit, tapi ini … ini harus aku lakukan. Dan … hal begini baru pertama kali kujalani, Pak!’ jerit batin Ziandra sambil mengalirkan air mata tanpa ada isakan.
Dia tak mungkin mengucapkan protes itu kepada Aldric, karena sangat membutuhkan uang pria 40 tahun itu. Hatinya hancur, moralitasnya berantakan berserakan, tapi dia tak punya pilihan lain.
“Arrghh!” Ziandra memekik keras dengan kepala dilempar ke belakang, menekan bantal, sebagai pelampiasan akan perasaan hancurnya jiwa dan raga.
Yang pasti, kehormatannya lagi-lagi terburai menjadi kepingan memalukan.
‘Satu hal yang aku pelajari sekarang … jangan terburu-buru menilai seorang pria dari sikap baik yang ditampilkan di publik.’ Ziandra membatin, merasa tertipu.Dia berjalan gontai di lorong rumah sakit. Setiap selesai melayani Aldric, dia selalu merasa dirinya tak pantas ada di dunia ini. Malu kepada suami dan juga keluarga.Hanya karena tekad besar menyembuhkan anaknya yang membuat dia terus bertahan menjalani kegilaan yang sama sekali belum pernah dia rambah.“Kamu kenapa, Zia?” tanya Susan ketika putri sulungnya sudah tiba di depan ruang tunggu operasi. “Mukamu pucat begitu. Kamu sudah makan?”Ziandra lekas duduk di bangku panjang dan menjawab, “Sudah, Ma. Mukaku pucat … mungkin karena lelah, Ma.”Ya, dia lelah karena kegilaan Aldric.“Mila di mana?” tanya Ziandra ketika tidak melihat adiknya menemani Susan.“Dia baru saja pergi, katanya mau live di Tik Tak, makanya pulang lebih dulu.” Susan menyahut.Ziandra menghela napas. Tak habis pikir dengan kelakuan adiknya.“Bocah itu … dulu
“Astaga!” pekik tertahan Ziandra ketika menatap pantulan bayangannya di cermin besar kamar mandi mewah itu.Dia bisa melihat gaun tersebut begitu mini dan minim. Dia yakin kalau merunduk sedikit saja, maka akan langsung terlihat bokongnya. Belum lagi bagian dada yang banyak diekspos.Itu benar-benar kostum perawat seksi yang biasa digunakan untuk menaikkan gairah bercinta pasangan.“Da-dasar maniak! Gila! Cowok cabul! Mesum! Apa fetishnya perawat? Menjijikkan!” Sumpah serapah pelan Ziandra mengalir lancar ketika menyadari kemauan Aldric.Seumur-umur pernikahannya dengan Dion saja, suaminya tidak pernah minta macam-macam ketika mereka hendak bercinta.Tapi ini Aldric, seorang bujangan ….Ziandra tidak bisa tidak berasumsi liar bahwa bosnya sudah terbiasa memperlakukan wanita sedemikian rupa. Pikirannya gelap mengenai apa mungkin Aldric yang terlihat baik dan dermawan itu sejatinya suka merendahkan wanita?“Hei! Kenapa belum keluar? Jangan katakan kalau kamu ingin aku masuk dan membopon
‘Rekening baruku ini aku buka satu bulan lalu. Ini agar uangku tidak cepat habis,’ batin Ziandra.Setelah itu, dia mandi dan mulai menunggui anaknya.Sambil memegangi tangan putrinya yang ditempelkan ke pipinya, dia mulai menyapa, “Rara, sayangnya Bunda, bangun, Nak! Bunda kangen Rara!”Kemudian, dia mulai teringat dengan ‘dosanya’.Dengan nada pelan, dia berucap, “Rara, maafkan Bunda. Bunda mengobati Rara dengan uang hasil …. hasil Bunda ….”“Hasil kamu apa?” Mendadak saja terdengar suara Dion di belakang Ziandra.Terkejut dengan kemunculan suaminya, Ziandra lekas menoleh dan memang suaminya sudah ada di belakangnya, mengenakan baju khusus untuk masuk ke ICU.Ada rasa gembira, akhirnya suaminya bersedia menjenguk putrinya! Tapi, tadi suaminya bertanya …..“Ah, oh, itu … maksudku … itu … uang dari hasil … berutang sana-sini.” Meski gugup, dia berhasil juga memberikan jawaban yang sangat masuk akal. “Mas Dion tumben ke sini. Rara—““Aku ingin membawa motormu. Mana kuncinya?” potong Dio
“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu._ _ _‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, samb
“Kamu berani menolak?” Ada suara geraman rendah saat Aldric mengucapkan itu.Mendadak, nyali Ziandra menciut. Langsung saja dia khawatir mengenai uang untuk biaya Qiana.‘Duh! Harusnya aku tidak langsung menolak! Kalau dia marah, lalu tak mau memberi uang lagi, aku harus cari uang di mana? Tak mungkin aku nekat merayu pria lain lagi. Akan jadi apa aku nanti kalau pakai cara itu terus?’ Dia panik.Sambil menggenggam erat ponselnya, Ziandra melembutkan suaranya untuk bicara ke Aldric, “Maaf, Pak, bukan maksud saya menolak perintah Bapak, tapi … luar negeri terlalu jauh dan pasti butuh waktu cukup lama untuk meninggalkan rumah.”Dia berharap, Aldric bisa mengerti posisinya sebagai wanita bersuami.Kemudian, ada tawa di seberang sambungan, tawa sumbang Aldric. “Hahaha! Kamu merasa tak enak pada suami kamu, begitu? Rupanya kamu masih punya cinta ke dia, yah? Cih! Cinta, tapi tubuhmu kamu jajakan ke pria lain sepertiku. Wah, wah, uang memang membutakan kamu, yah!”Geraham Ziandra terkatup e
‘Gawat! Bagaimana kalau aku sampai diangkut paksa dan dibawa ke luar negeri? Rara! Aku tak bisa pergi! Rara butuh aku! Rara menungguku!’ Batin Ziandra terus berteriak.Selain itu, dia berusaha memberontak dari cengkeraman Aldric, hingga akhirnya terhempas di lantai. Isakan tangis tak tertahankan. Dia tak mau dibawa paksa sejauh itu dari putrinya!Aldric pun melepaskan genggaman tangan kokohnya pada lengan ramping Ziandra dan menatap wanita yang sedang terisak sembari duduk tak berdaya di lantai.“Pak … hiks! Saya mohon jangan paksa saya begini … saya mohon, Pak!” Ziandra tetap mengiba tanpa berani menatap sang Bos.Dengan kepala tertunduk, dia melihat kedua kaki Aldric mendekat ke dirinya. Setelah itu, dagunya dicengkeram dan diangkat sehingga mau tak mau, mereka saling bertemu tatap.“Kamu membantahku, Ziandra. Padahal kamu sudah sangat jelas dengan setiap butir pasal di perjanjian kita, perjanjian yang sudah kamu tanda tangani.” Suara rendah dan berat milik Aldric semakin terasa men
“Mas Dion sebenarnya ke mana, sih?” heran Ziandra.Akhirnya dia terpaksa menelepon Susan.“Ma, Mas Dion ada di rumah?” tanyanya.“Enggak, Zia. Dia pergi dari kemarin. Katanya ada kerjaan bersama temannya di luar kota.” Susan menyahut. “Ini juga Mila pergi dari kemarin, katanya diajak temennya cari baju untuk dagangan di kota Ebon.”Susan menyebutkan nama kota industri, 270 km ke timur dari kota Sangria.Ziandra menghela napas. Pasti besok dia harus menggunakan ojek untuk ke kantor.“Padahal aku harus ambil pakaian kerjaku untuk besok. Hgh! Mas Dion egois!” rutuknya pelan.Terpaksa dia pulang sebentar menggunakan angkot yang lebih murah untuk mengambil pakaian kerjanya.“Apa tak apa kalau Rara kamu tinggal begini, Zia?” tanya Susan ketika melihat kedatangan putri sulungnya di rumah.“Ini aku buru-buru, kok Ma.” Dia bergegas mengemasi pakaian untuk Senin besok, memasukkannya serapi mungkin ke tas travel yang agak besar dan segera kembali ke rumah sakit usai mencium tangan Susan.Untung
“Itu … silakan Pak Binar bicara dengan Pak Aldric. Saya permisi.” Ziandra bergegas melarikan diri dari ruangan itu.Dia begitu gugup ketika ditatap Binar yang memicingkan mata dengan curiga saat mempertanyakan hal tadi.‘Semoga saja bajuku sudah rapi, tak ada kancing yang meleset!’ Ziandra sambil melihat blusnya, berharap tak ada satu pun hal mencurigakan di sana, seperti … bau Aldric?Hari ini terasa sangat panjang bagi Ziandra yang sedang menanti waktu pulang kerja agar bisa secepatnya bertemu dengan Clara.Ketika sore tiba, semangat padam Ziandra mulai bangkit. Matanya berbinar, membayangkan Clara akan tersenyum kalau dia membawakan roti krim kesukaan bocah itu.Sayangnya ….“Ikut aku menemui salah satu klien. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Kamu hanya perlu ikut aku sekarang juga dan bisa pulang jam 11 nanti.” Aldric langsung saja menjatuhkan bom padanya.Aldric dan kemauannya selalu saja mengagetkan Ziandra meski dia sudah belajar untuk terbiasa dengan sikap bossy dan berbeda
Ziandra memandang Dion dengan dahi mengernyit, hatinya seketika terasa aneh. “Apa maksudmu kita pindah rumah?” tanyanya, menjaga nada suaranya tetap rendah agar tidak membangunkan Clara.Dion tersenyum, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak membuat Ziandra nyaman. “Aku dapat kerjaan di kota sebelah. Gaji bagus. Aku pikir ini bisa jadi awal yang baru buat kita. Kamu, aku, Clara. Kita tinggalkan semua masalah di sini.”“Kamu tiba-tiba sekali,” sahut Ziandra, pelan. “Kenapa tidak bicara dulu? Kenapa putuskan sendiri, Mas?”Dion mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya menyentuh tangan Ziandra dengan lembut, lalu turun ke pahanya. “Zia… kamu tahu aku cuma ingin yang terbaik buat keluarga kita. Aku tahu akhir-akhir ini kita… renggang. Tapi kita bisa perbaiki itu, kan?”Ziandra menegakkan punggungnya, merasa canggung. Dia bisa mencium napas Dion yang makin dekat.Laki-laki itu mengusap bahunya, lalu dengan perlahan menunduk, mencium sisi lehernya.“Dion, jangan,” ucapnya cepat, me
‘Astaga, bagaimana aku menjelaskannya pada Rara? Apa aku beli dulu di kota setelah mendarat?’Ziandra bersandar di kursi penumpang jet pribadi Aldric, masih mencoba menenangkan pikirannya setelah semua yang terjadi.Langit luar jendela tampak gelap, malam menutupi seluruh pandangan, seakan menyembunyikan segala kenangan dan rahasia yang tertinggal di Maldavis.Dia menghela napas panjang, memeluk tubuhnya sendiri. Terlalu banyak hal yang belum bisa dia cerna. Aldric, Hanz, Kenzo—semuanya berputar di kepalanya seperti kabut yang tak kunjung reda.“Lusa seharusnya kita kembali,” gumamnya sendiri.Tapi Aldric, seperti biasa, mengambil keputusan sepihak. Mendadak, tak terbantahkan, dan tanpa penjelasan panjang. Sikapnya tetap sama—dingin, tegas, tak memberi ruang untuk perdebatan.Bahkan saat menyelamatkan Ziandra dari bahaya malam itu, dia melakukannya dengan ekspresi tajam dan diam, seolah bukan karena peduli, melainkan karena harga diri.Ziandra sempat menatapnya saat berada di kabin pe
“A-Aldric?” Sekali lagi Ziandra memanggil si Bos.Namun, senyap, seakan hanya dia sendirian saja di ruangan itu.Sret! Sret!Tiba-tiba dia dikejutkan dengan terurainya belenggu di pergelangan tangannya.“Pakai pakaianmu, Zia. Cepat!” Suara Aldric kembali terdengar.Ziandra merenggut kain penutup di matanya dan mendapati Aldric ada di depannya, berdiri dengan wajah tegang. Kenapa dengan pria itu? Marah?Tapi Ziandra tak ingin membuang waktu dan segera memakai pakaian yang sudah cukup rusak di beberapa bagian.“Pakai ini!” Aldric berkata sambil melemparkan jasnya ke Ziandra.Tanpa pikir panjang, Ziandra bergegas mengenakan jas yang kebesaran di tubuhnya untuk menutupi baju rusaknya di bagian atas.Kemudian, dengan digamit pada pinggangnya, Ziandra keluar dari tempat itu bersama Aldric, langsung masuk ke mobil si Bos.“Ini… kita ke mana? Kok bukan arah hotel?” tanya Ziandra saat dia mengamati jalanan yang dilalui.Dia masih ingat meski samar arah-arah ke hotelnya. Dan saat ini mobil just
“A-apa maksudmu, Aldric?” Ziandra mulai dihinggapi rasa takut serta khawatir.Terlebih ketika dia melihat senyum seringai di wajah Aldric.“Aldric, lepaskan dulu ikatanku. Aku… aku akan melayanimu seperti biasanya.” Ziandra membujuk.Tangannya yang terbelenggu digerakkan dengan maksud meminta pria itu segera membebaskannya.Tapi Aldric justru menggeleng.“Bukankah aku sudah bilang kalau kamu menarik dalam kondisi seperti itu, Zia?” Aldric mengusap bibir menggunakan ibu jarinya.Setelah itu, dia menatap sekeliling, ada beberapa peralatan BDSM di sana, dan tangannya mengambil salah satu.“Aldric!” Ziandra terkejut saat kedua matanya seketika tertutup sesuatu berwarna hitam yang dipakaian Aldric padanya.Sebuah blindfold, penutup mata.“Sshhh… jangan terlalu tegang, Zia. Aku takkan menyakitimu. Aku justru akan membuatmu… melayang.” Aldric membisikkannya di dekat telinga Ziandra.Ziandra hendak menyahut, ketika dia bergiding merinding saat telinga yang baru saja menerima bisikan itu sudah
“Tidak! Aku tidak mau!” Ziandra memejamkan mata ketika dada polosnya masih saja diremas dan dipermainkan tangan agresif Hanz sambil pria itu sesekali akan mendekatkan ponselnya ke dia.Terkadang mengarahkan kamera ke wajahnya, kadang pula ke dadanya yang sudah tidak ditutupi apa pun.Isak tangis Ziandra tidak menimbulkan iba pada Hanz, seakan sudah tak ada rasa kemanusiaan sedikit pun pada pria itu.“Aldric… Aldric, tolong! Aldric… huhuhuuu….” Dengan mata terpejam erat, Ziandra tanpa sadar menyeru nama pria itu keras-keras saking kalutnya.CKLAAKK!Suara pintu yang dibuka kasar terdengar.Hanz tersentak, kepalanya menoleh dengan ekspresi terkejut.Ziandra juga membelalakkan mata, napasnya tersengal. Masih ada sisa air mata di pelupuk matanya.Di ambang pintu yang kini terbuka lebar, seorang pria berdiri dengan ekspresi penuh amarah.Tatapan matanya gelap, tajam seperti elang yang siap menerkam. Tangannya mengepal di sisinya, rahangnya mengeras seolah menahan diri agar tidak langsung
“Apa ini? Mau apa kau?”Ziandra tersentak saat kesadarannya kembali, napasnya tersengal. Rasa berat dan sesak menyerang tubuhnya, dan begitu matanya terbuka lebar, dia tersentak panik.“Tanganku!”Dua tangannya terikat di atas kepalanya, dibelenggu dengan kain kuat yang diikat ke kepala ranjang. Pergelangan kakinya juga mengalami nasib yang sama, terikat.Dia terbaring di atas tempat tidur empuk, tetapi rasa nyaman itu sama sekali tak berarti ketika dia menyadari situasinya.“Lepaskan aku! Lepaskan tali ini! Kumohon….”Dia panik saat menyadari bahwa dia sudah tak bisa berkutik. Namun, tetap saja dia berjuang melepaskan diri.“Kamu… kenapa kamu melakukan ini? Ini salah! Ini sudah melanggar hukum! Tolong lepaskan aku, dan aku berjanji takkan melaporkanmu. Aku akan langsung pulang dan tidak akan berkata apa-apa mengenai ini pada siapa pun.”Dengan nada memelas, dia membujuk Hanz agar melepaskannya. Dua tangan yang terbelenggu terus digerakkan, berharap bisa melonggarkan ikatannya.Tapi,
“Orang-orang yang tidak menghargainya, yah?” Suara Aldric terdengar berat dan sinis.Mata Aldric melirik setajam belati ke putranya. Kenzo sedang menyindir dia atau bagaimana?Ziandra menatapnya dengan bingung. Pemuda itu mengetahui seluk-beluk kehidupannya? Bahkan tentang Clara?Hal ini semakin membuat Ziandra tak tenang. "Kenzo, kamu baru mengenalku. Kamu tidak tahu—""Aku tahu cukup banyak untuk menyadari bahwa kamu pantas mendapatkan kebahagiaan," potong Kenzo.Aldric tiba-tiba menarik tangan Ziandra dengan kasar, wajahnya semakin gelap. "Sudah cukup, Kenzo. Ziandra bukan milikmu untuk direncanakan sesuka hati."Kenzo, bukannya takut, malah menahan tangan Ziandra yang satunya. "Tapi dia juga bukan milikmu, Ayah. Kamu sendiri yang selalu menolak konsep kepemilikan dalam hubungan, bukan? Lalu kenapa sekarang kamu terdengar begitu posesif?"Ziandra semakin merasa tak nyaman. Tatapan para tamu restoran semakin banyak yang mengarah ke mereka."Cukup! Aku tidak ingin menjadi pusat perha
"Hah? Argh!"Ziandra termangu mendengar ucapan sang Bos, tapi dia sudah langsung dihentak kuat-kuat dari bawah, sehingga dia tak sempat berpikir lebih."Ayo, Zia! Fokus saja padaku dan tinggalkan suamimu payahmu itu, ergh!" Aldric berucap disela-sela hentakannya."Tu-tunggu, Al—ahh!” Dia tak sempat mendebat Aldric karena pria itu sudah terus bergerak di bawahnya secara beringas.Ruang mobil yang terbatas menjadi semakin terasa sesak dan tak sanggup menampung pergolakan dua orang di dalamnya.“Kamu milikku, Zia!” geram Aldric seraya terus mengentak tubuh pasrah Ziandra.“Hah? Argh!” Ziandra tak mengerti maksud Aldric? Dia dinyatakan sebagai milik pria itu dikarenakan sudah dibeli oleh perjanjian laknat mereka?Bahkan ketika mereka sudah kembali ke hotel dan Aldric melanjutkan permainan panas mereka di kamarnya, pria itu mengulangi ucapannya.“Ja-jangan bicara be-begitu, Al…Aldric… mmhh….” Ziandra tergagap saat dia terengah dalam kuasa Aldric yang menindihnya dari belakang punggungnya.
“Pak….” Ziandra mendesah ketika tangannya ditarik secara lembut oleh Aldric dan dibawa ke dalam pelukan pria itu.“Jangan panggil aku seperti itu.” Suara Aldric melirih.Ziandra bisa merasakan debaran jantungnya sendiri yang berpacu dengan debaran milik Aldric.‘Sepertinya Pak Aldric sedang dalam kondisi yang cukup rapuh.’ Dia berpikir.Sementara, tanpa dia ketahui, Kenzo melihat adegan tersebut dan tetap diam di tempatnya, tidak mengganggu seperti biasa.Sret!Ketika Ziandra merasa iba akan rapuhnya Aldric saat ini, mendadak saja dia sudah ditarik pergi.‘Pasti Pak Aldric merasa hancur melihat kenekatan Bu Aurelind.’ Dia berspekulasi sembarangan saja di kepalanya. ‘Yah, wajar saja karena mereka memiliki anak dan tentu ada kisah sebelum ini.’Lagi dan lagi, Ziandra mencoba berempati atas hubungan rumit yang terjadi antara Aldric dan Aurelind.“Heh?&