‘Uff! Lelahnya! Bos sialan! Satu jam lebih dia mengerjai aku!’ rutuk Ziandra di hatinya sambil berjalan lunglai di lorong rumah sakit.
Masih teringat jelas bagaimana Aldric sangat buas dan agresif ketika menyetubuhinya. Badannya terasa remuk akibat kegilaan sang Bos. Tadi mengendarai motor pun, nyaris menabrak beberapa kali.
Dia kembali ke rumah sakit hanya untuk memastikan anaknya masuk ke ruang operasi dan kemudian pulang ke rumah untuk mandi. Untung saja Susan dan Namila mau menunggui Clara menjalani operasi.
“Aku harus mandi … aku butuh mandi!” tegasnya, berbisik sambil mengemudikan motor ke rumah.
Selama ini, dia masih menempati rumah orang tuanya bersama Dion dan Clara. Mereka belum memiliki rumah sendiri. Dulu dia hendak mengontrak sebuah rumah kecil agar mandiri, tapi Dion tak setuju. Dion lebih suka tinggal di rumah mertua yang cukup lapang dan nyaman.
Tiba di rumah, dia melihat suaminya masih asyik bermain game online di sofa.
Dia harus bersikap senormal mungkin di depan suaminya agar Dion tidak mengetahui apa yang baru saja dia perbuat demi mendapatkan uang.
“Mas, daritadi aku telepon kamu, kenapa tidak diangkat?” tanyanya, sedikit kesal. “Aku pontang-panting mencari uang untuk operasinya Clara, Mas!”
Dion tidak ingin repot-repot menoleh dan tetap fokus ke layar handphone-nya. “Aku lagi sibuk push rank, nih! Udah, ah! Sana, sana! Berisik, ih!”
Ziandra kecewa. Harusnya Dion ikut merasakan kesedihan atas Clara. Itu anak mereka berdua! Tapi mau bagaimana lagi, sejak dulu Dion memang sudah kecanduan game online dan media sosial.
Tak ada gunanya memprotes sikap abai Dion. Suaminya hanya manis ketika dulu mengejar cintanya dan saat awal pernikahan saja.
Dia pun berjalan lunglai ke kamarnya, dan langsung menyambar handuk untuk mandi. Saat memutar keran shower, dia teringat kejadian antara dia dan Aldric di ruangan si Bos. Mendadak saja dia merasa jijik sendiri.
“Aku kotor … hiks! Aku sudah sekotor ini, hiks!” Dia berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri di bawah kucuran air shower.
Lekas diambilnya sabun dan berulang kali digosokkan kuat-kuat ke tubuhnya.
‘Aku harus melepaskan semua kotoran dan aroma Pak Aldric dari tubuhku!’ tekad Ziandra.
Maka, dia terus menyabuni dirinya, berulang kali. Bahkan 3 kali bilasan dilakukan demi melunturkan bau Aldric. Berharap Dion tak bisa mencium aroma dosa darinya.
Tak heran jika mandinya membutuhkan waktu hampir 1 jam. Ketika selesai, dia merasa linglung dan matanya sakit akibat banyak menangis.
‘Ini baru satu kali. Masih ada 29 kali lainnya.’
Kemudian dia mulai menangis lagi dengan isakan tertahan, tak ingin suaminya mendengar.
Tiba-tiba, handphone-nya berdering lirih di dalam tas. Dia mengambilnya, berharap itu dari ibu atau adiknya yang memberi kabar mengenai Clara.
Sayangnya, harapannya terlalu tinggi.
“Lakukan tugasmu sore nanti. Aku akan kirimkan lokasinya.” Demikian suara berat dan dalam milik Aldric ketika dia mengangkat panggilan itu.
Dia melongo. Bingung. Bukankah tadi sudah di kantor? Kenapa meminta lagi dengan rentang waktu yang sangat dekat? Memangnya si Bos belum puas?
Hendak protes, tapi dia teringat perjanjian yang sudah terlanjur ditandatangani. Memang bodoh dan ceroboh! Tapi itu satu-satunya jalan untuk pengobatan Clara! Itu satu-satunya harapan untuk sang anak!
Maka, setelah berpakaian rapi, dia bersiap pergi di jam 5 sore.
“M-Mas, aku … aku ke rumah sakit dulu. Kalau Mas ingin makan malam, sudah aku buatkan nasi goreng seafood di meja.” Dia sampai tak berani menatap lama-lama suaminya karena takut hatinya luluh dan mengakui semua dosanya.
Tak ada jawaban dari Dion selain, “Hum.” Pendek dan cuek.
Bahkan pria itu tidak mengalihkan pandangan dari layar handphone. Bertanya mengenai anak mereka pun tidak! Ya sudahlah! Perlu berharap apa lagi?
Dia memacu motornya ke sebuah hotel bintang 5 yang dipilih Aldric.
Tiba di kamar presidential suite, Aldric menariknya dengan tak sabar. Pria itu secara bernapsu melucuti blus dan celana jinsnya hingga dia memekik kaget.
“Argh! Pak!” Dia tak bisa berkutik ketika dirinya dihempas ke ranjang.
Aldric mulai melumat bibirnya seraya tangan pria itu menjelajah liar ke tubuhnya, meremas apa saja yang dia miliki seakan tak ada hari esok.
“Kenapa? Mau berlagak suci?” Aldric Hagar menyeringai sambil tangannya menjelajah kasar di pusat tubuh Ziandra di bawah sana.
Ziandra menjadi gugup dan ketakutan. Bosnya sebuas ini, sangat jauh berbeda dengan citra ramah dan baik yang ditampilkan di kantor.
“Ayo, layani aku sesuai perjanjian kita!” Aldric mulai mendominasi.
Belum sempat Ziandra menyahut, dia sudah diterkam Aldric yang beringas. Diciumi, diremas, dan juga dilumat. Dia bagaikan mangsa tak berdaya di tangan Aldric.
“Pak, tolong pelan—ah!” Ziandra tidak mengira Aldric akan lebih ganas ketika di atas ranjang.
Meski Ziandra sudah bersiap akan momen ini, dia masih saja tak siap menghadapi sikap agresif Aldric. Dia pun terentak-entak kencang oleh dorongan pinggul Aldric.
“Kamu yang datang ke aku untuk uang, dasar perempuan matre! Pastinya yang seperti ini hanya hal biasa untukmu!” balas Aldric dengan suara geraman, bernada menghina. “Puaskan aku!”
Mata Ziandra memejam rapat, enggan menatap Aldric yang mendominasi kuat di atasnya. Jemarinya dirasakan kebas akibat meremas erat-erat tepian bantal.
‘Aku dihina sebagai perempuan matre. Rasanya sakit, tapi ini … ini harus aku lakukan. Dan … hal begini baru pertama kali kujalani, Pak!’ jerit batin Ziandra sambil mengalirkan air mata tanpa ada isakan.
Dia tak mungkin mengucapkan protes itu kepada Aldric, karena sangat membutuhkan uang pria 40 tahun itu. Hatinya hancur, moralitasnya berantakan berserakan, tapi dia tak punya pilihan lain.
“Arrghh!” Ziandra memekik keras dengan kepala dilempar ke belakang, menekan bantal, sebagai pelampiasan akan perasaan hancurnya jiwa dan raga.
Yang pasti, kehormatannya lagi-lagi terburai menjadi kepingan memalukan.
‘Satu hal yang aku pelajari sekarang … jangan terburu-buru menilai seorang pria dari sikap baik yang ditampilkan di publik.’ Ziandra membatin, merasa tertipu.Dia berjalan gontai di lorong rumah sakit. Setiap selesai melayani Aldric, dia selalu merasa dirinya tak pantas ada di dunia ini. Malu kepada suami dan juga keluarga.Hanya karena tekad besar menyembuhkan anaknya yang membuat dia terus bertahan menjalani kegilaan yang sama sekali belum pernah dia rambah.“Kamu kenapa, Zia?” tanya Susan ketika putri sulungnya sudah tiba di depan ruang tunggu operasi. “Mukamu pucat begitu. Kamu sudah makan?”Ziandra lekas duduk di bangku panjang dan menjawab, “Sudah, Ma. Mukaku pucat … mungkin karena lelah, Ma.”Ya, dia lelah karena kegilaan Aldric.“Mila di mana?” tanya Ziandra ketika tidak melihat adiknya menemani Susan.“Dia baru saja pergi, katanya mau live di Tik Tak, makanya pulang lebih dulu.” Susan menyahut.Ziandra menghela napas. Tak habis pikir dengan kelakuan adiknya.“Bocah itu … dulu
“Astaga!” pekik tertahan Ziandra ketika menatap pantulan bayangannya di cermin besar kamar mandi mewah itu.Dia bisa melihat gaun tersebut begitu mini dan minim. Dia yakin kalau merunduk sedikit saja, maka akan langsung terlihat bokongnya. Belum lagi bagian dada yang banyak diekspos.Itu benar-benar kostum perawat seksi yang biasa digunakan untuk menaikkan gairah bercinta pasangan.“Da-dasar maniak! Gila! Cowok cabul! Mesum! Apa fetishnya perawat? Menjijikkan!” Sumpah serapah pelan Ziandra mengalir lancar ketika menyadari kemauan Aldric.Seumur-umur pernikahannya dengan Dion saja, suaminya tidak pernah minta macam-macam ketika mereka hendak bercinta.Tapi ini Aldric, seorang bujangan ….Ziandra tidak bisa tidak berasumsi liar bahwa bosnya sudah terbiasa memperlakukan wanita sedemikian rupa. Pikirannya gelap mengenai apa mungkin Aldric yang terlihat baik dan dermawan itu sejatinya suka merendahkan wanita?“Hei! Kenapa belum keluar? Jangan katakan kalau kamu ingin aku masuk dan membopon
‘Rekening baruku ini aku buka satu bulan lalu. Ini agar uangku tidak cepat habis,’ batin Ziandra.Setelah itu, dia mandi dan mulai menunggui anaknya.Sambil memegangi tangan putrinya yang ditempelkan ke pipinya, dia mulai menyapa, “Rara, sayangnya Bunda, bangun, Nak! Bunda kangen Rara!”Kemudian, dia mulai teringat dengan ‘dosanya’.Dengan nada pelan, dia berucap, “Rara, maafkan Bunda. Bunda mengobati Rara dengan uang hasil …. hasil Bunda ….”“Hasil kamu apa?” Mendadak saja terdengar suara Dion di belakang Ziandra.Terkejut dengan kemunculan suaminya, Ziandra lekas menoleh dan memang suaminya sudah ada di belakangnya, mengenakan baju khusus untuk masuk ke ICU.Ada rasa gembira, akhirnya suaminya bersedia menjenguk putrinya! Tapi, tadi suaminya bertanya …..“Ah, oh, itu … maksudku … itu … uang dari hasil … berutang sana-sini.” Meski gugup, dia berhasil juga memberikan jawaban yang sangat masuk akal. “Mas Dion tumben ke sini. Rara—““Aku ingin membawa motormu. Mana kuncinya?” potong Dio
“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu._ _ _‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, samb
“Kamu berani menolak?” Ada suara geraman rendah saat Aldric mengucapkan itu.Mendadak, nyali Ziandra menciut. Langsung saja dia khawatir mengenai uang untuk biaya Qiana.‘Duh! Harusnya aku tidak langsung menolak! Kalau dia marah, lalu tak mau memberi uang lagi, aku harus cari uang di mana? Tak mungkin aku nekat merayu pria lain lagi. Akan jadi apa aku nanti kalau pakai cara itu terus?’ Dia panik.Sambil menggenggam erat ponselnya, Ziandra melembutkan suaranya untuk bicara ke Aldric, “Maaf, Pak, bukan maksud saya menolak perintah Bapak, tapi … luar negeri terlalu jauh dan pasti butuh waktu cukup lama untuk meninggalkan rumah.”Dia berharap, Aldric bisa mengerti posisinya sebagai wanita bersuami.Kemudian, ada tawa di seberang sambungan, tawa sumbang Aldric. “Hahaha! Kamu merasa tak enak pada suami kamu, begitu? Rupanya kamu masih punya cinta ke dia, yah? Cih! Cinta, tapi tubuhmu kamu jajakan ke pria lain sepertiku. Wah, wah, uang memang membutakan kamu, yah!”Geraham Ziandra terkatup e
‘Gawat! Bagaimana kalau aku sampai diangkut paksa dan dibawa ke luar negeri? Rara! Aku tak bisa pergi! Rara butuh aku! Rara menungguku!’ Batin Ziandra terus berteriak.Selain itu, dia berusaha memberontak dari cengkeraman Aldric, hingga akhirnya terhempas di lantai. Isakan tangis tak tertahankan. Dia tak mau dibawa paksa sejauh itu dari putrinya!Aldric pun melepaskan genggaman tangan kokohnya pada lengan ramping Ziandra dan menatap wanita yang sedang terisak sembari duduk tak berdaya di lantai.“Pak … hiks! Saya mohon jangan paksa saya begini … saya mohon, Pak!” Ziandra tetap mengiba tanpa berani menatap sang Bos.Dengan kepala tertunduk, dia melihat kedua kaki Aldric mendekat ke dirinya. Setelah itu, dagunya dicengkeram dan diangkat sehingga mau tak mau, mereka saling bertemu tatap.“Kamu membantahku, Ziandra. Padahal kamu sudah sangat jelas dengan setiap butir pasal di perjanjian kita, perjanjian yang sudah kamu tanda tangani.” Suara rendah dan berat milik Aldric semakin terasa men
“Mas Dion sebenarnya ke mana, sih?” heran Ziandra.Akhirnya dia terpaksa menelepon Susan.“Ma, Mas Dion ada di rumah?” tanyanya.“Enggak, Zia. Dia pergi dari kemarin. Katanya ada kerjaan bersama temannya di luar kota.” Susan menyahut. “Ini juga Mila pergi dari kemarin, katanya diajak temennya cari baju untuk dagangan di kota Ebon.”Susan menyebutkan nama kota industri, 270 km ke timur dari kota Sangria.Ziandra menghela napas. Pasti besok dia harus menggunakan ojek untuk ke kantor.“Padahal aku harus ambil pakaian kerjaku untuk besok. Hgh! Mas Dion egois!” rutuknya pelan.Terpaksa dia pulang sebentar menggunakan angkot yang lebih murah untuk mengambil pakaian kerjanya.“Apa tak apa kalau Rara kamu tinggal begini, Zia?” tanya Susan ketika melihat kedatangan putri sulungnya di rumah.“Ini aku buru-buru, kok Ma.” Dia bergegas mengemasi pakaian untuk Senin besok, memasukkannya serapi mungkin ke tas travel yang agak besar dan segera kembali ke rumah sakit usai mencium tangan Susan.Untung
“Itu … silakan Pak Binar bicara dengan Pak Aldric. Saya permisi.” Ziandra bergegas melarikan diri dari ruangan itu.Dia begitu gugup ketika ditatap Binar yang memicingkan mata dengan curiga saat mempertanyakan hal tadi.‘Semoga saja bajuku sudah rapi, tak ada kancing yang meleset!’ Ziandra sambil melihat blusnya, berharap tak ada satu pun hal mencurigakan di sana, seperti … bau Aldric?Hari ini terasa sangat panjang bagi Ziandra yang sedang menanti waktu pulang kerja agar bisa secepatnya bertemu dengan Clara.Ketika sore tiba, semangat padam Ziandra mulai bangkit. Matanya berbinar, membayangkan Clara akan tersenyum kalau dia membawakan roti krim kesukaan bocah itu.Sayangnya ….“Ikut aku menemui salah satu klien. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Kamu hanya perlu ikut aku sekarang juga dan bisa pulang jam 11 nanti.” Aldric langsung saja menjatuhkan bom padanya.Aldric dan kemauannya selalu saja mengagetkan Ziandra meski dia sudah belajar untuk terbiasa dengan sikap bossy dan berbeda
“Gila kamu, yah!” Ziandra sampai mendelik sambil menahan seruan suaranya.Tapi Namila justru terkikik seakan reaksi kakaknya merupakan hal lucu.“Ayolah, Kak. Cuma Rp50 juta pasti kecil buat kamu. Apalagi untuk pacar barumu. Ya kan?”Tangan Ziandra terkepal erat di samping tubuhnya. Dia sibuk membuat pertimbangan di kepalanya mengenai permintaan keterlaluan adiknya.Kenapa sekarang dia justru jadi korban pemerasan orang-orang yang katanya adalah keluarga?“Hgh!” dengus kesal Ziandra sambil mengambil ponsel di dalam tasnya.Tak berapa lama, dia mengetik ini dan itu pada layarnya dan kemudian menatap Namila yang menunggu dengan senyum terkulum lebar.“Sudah!” Ziandra menyimpan kembali ponselnya.Wajahnya berubah masam dan keruh. Apakah dia tidak pernah dipandang sebagai manusia sejak dulu?“Haha! Nah gitu, dong Kak! Itu baru namanya kakak sayang adik!” Namila memeriksa rekening bank di ponselnya.Raut mukanya langsung cerah saat melihat deretan nominal yang baru masuk di sana.“Sana per
“Hmmm….”Aldric menatap layar ponsel itu lama. Layarnya terkunci, tapi pemberitahuan terakhir masih terpampang jelas:Dion: “Aku ingin 50 juta ditransfer malam ini. Jangan coba-coba menghindar, Zia.”Tangan Aldric mengepal. Rahangnya mengeras. Tapi dia tidak membuka pesan itu lebih jauh, tidak membongkar isi ponsel secara langsung.Sebaliknya, dia mengembalikan ponsel itu ke tempat semula dan menutup tas Ziandra pelan. Napasnya panjang, berat, dan dalam matanya terpancar gelombang kekecewaan yang ditahan.Beberapa saat kemudian, Ziandra keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, kulitnya yang bersih bersinar lembut di bawah cahaya temaram kamar. Tapi sorot matanya tetap sama—lelah, kosong, dan penuh tekanan.Aldric hanya menatapnya sebentar. Tak ada pertanyaan. Tak ada kecurigaan yang dilontarkan.“Masih mengantuk?” tanya Aldric, duduk di tepi ranjang, memandangi Ziandra seperti biasa.Ziandra mengangguk. “Sedikit.”“Kalau begitu, kita tidur.”Dia mengangguk lagi dan masuk ke dal
Aldric menggenggam jemarinya. “Kamu tidak sendiri, Zia. Sekarang dan seterusnya.”Ziandra hanya bisa mengangguk.Namun dalam dadanya, badai telah terlanjur bertiup. Dan dia tahu… tidak selamanya dia bisa menyembunyikannya.“Aku mandi dulu.” Aldric beranjak turun dari tempat tidur.Tak lupa dia mengecup kening Ziandra sebelum melangkah ke kamar mandi.Setelah yakin Aldric masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran shower di dalam sana, Ziandra lekas meraih ponselnya kembali. Dia menekan nomor suaminya.Jantung Ziandra berdetak lebih kencang ketika sambungan tersambung. Dia menengok cepat ke arah kamar mandi—suara shower masih terdengar deras, menandakan Aldric belum selesai. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat.“Cepat katakan apa yang kamu mau, Dion,” desis Ziandra pelan, menahan suaranya agar tak terdengar.Suara Dion di seberang langsung terdengar sinis, seolah sudah menunggu dengan segelas kopi dan senyum licik di wajah.“Akhirnya kamu angkat juga, Zia sayang. Aku hampir mengira k
“Aku di sini, Zia,” jawab Aldric sambil mengecup pipinya yang basah. “Dan aku akan tetap bersamamu, Zia. Selalu.”Malam terus bergulir, membawa mereka ke dunia tanpa batas, di mana waktu tak berarti dan dunia luar tak lagi penting. Yang ada hanyalah mereka, saling menemukan, saling melepaskan, saling menyembuhkan.Keintiman itu bukan semata-mata pertemuan raga, melainkan pengakuan batin yang akhirnya menemukan suara.“Aaahhh!”Ketika semuanya mereda, dan napas mereka mulai menyatu dalam ketenangan, Aldric menarik Ziandra ke dadanya. Dia membelai rambutnya perlahan, seakan membungkusnya dalam doa panjang.Ziandra mendekapnya erat, membenamkan wajah di leher pria itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa… tidak sendirian. Tak lagi takut. Tak lagi ragu.“Aku mencintaimu,” bisiknya dalam diam. Mungkin belum siap mengatakannya keras-keras. Tapi dia tahu, pria itu mendengarnya—melalui detak jantung, pelukan, dan cara Aldric membalas dekapannya dengan begitu sabar dan past
“Aku… aku….” Dengan mata basahnya, Ziandra berucap.Haruskah dia mengatakan hal ITU? Bukankah dia sudah cukup menunjukkannya melalui tindakan yang tak biasa? Kurang apa lagi?“Kamu apa, Zia? Bicara yang jelas,” desak Aldric tanpa mengalihkan pandangan dari wanita di bawah kungkungan tubuhnya.Ziandra ragu-ragu. Dia merutuki pria itu. Alangkah kejamnya Aldric memaksanya menyebutkan sesuatu yang akan membuatnya malu.Sambil menggigit bibirnya dengan tubuh terhentak di bawah Aldric, Ziandra memalingkan pandangan ke arah lain, seakan-akan itu lebih menarik dibandingkan pria itu.“Masih mau bungkam, Zia? Baiklah, kalau begitu, aku lebih baik pergi saja.”Aldric menghentikan gerakannya dan bersiap untuk beranjak dari tempat tidur.Seketika Ziandra panik. Dia lekas rengkuh leher Aldric dan membelitnya erat-erat. Khawatir pria itu benar-benar pergi.“Jangan pergi! Aldric, aku… aku menginginkan kamu. Aku menginginkanmu!” Ziandra menoleh, menyatukan tatapannya ke mata Aldric.Dia sudah menyerah
“Um….” Ziandra terbangun pada tengah malam.Matanya beredar mencari sosok pria yang dia inginkan di ruangan tersebut.Tak ada. Pria itu tak ada.“Aldric? Aldric kamu di mana?”Dengan suara parau, Ziandra bertanya. Dia melangkah turun dari tempat tidur untuk mencari Aldric.Namun, tidak juga ditemukan di semua ruangan di kamar suite yang luas tersbut.“Apa dia… dia meninggalkanku? Dia bosan padaku?”Dalam gumaman lirih, Ziandra menduga-duga. Ada rasa menyengat di matanya ketika dia membayangkan Aldric tak lagi menginginkannya.Serasa ada tangan berduri yang meremas jantungnya saat imajinasi liar dia muncul. Yaitu jika Aldric bosan padanya dan memiliki wanita lain untuk ditaklukkan.Mata Ziandra semakin terasa panas dengan pikiran kacau yang terasa kusut. Hatinya sesak oleh rasa cemburu yang asing.Meski sekuat apa pun dia ingin menyangkal apa yang sedang bercokol di sanubarinya, tapi batinnya semakin menjerit kalut.Dengan air mata berjatuhan tanpa bisa dicegah, dia membatin pilu, ‘Aku
"Tapi... benarkah begitu?" Justru dia sendiri yang meragukan hatinya.Namun, dorongan itu terus mendesak dan semakin membuatnya gelisah.Ting tung!Ziandra terlonjak saat melihat pintu terbuka di depannya usai dia menekan bel.Di sana, berdiri Aldric, mengenakan kemeja hitam yang dilipat di lengan, rambutnya sedikit berantakan seperti habis berkutat dengan pikiran yang tak menentu. Mata pria itu langsung mengunci matanya—dalam, teduh, dan... menahan sesuatu."Ziandra..." gumam Aldric.Namun, Ziandra tak memberinya kesempatan berkata apa-apa lagi.Tanpa sadar, gadis itu melangkah maju, melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Aldric, memeluknya erat seolah hidupnya bergantung padanya.Seolah... Aldric adalah satu-satunya jangkar dalam badai hatinya.Aldric tersentak sedikit, kaget, namun segera menahan tubuhnya. Tangannya refleks memeluk Ziandra erat, seperti menahan sesuatu yang rapuh agar tak pecah.Ziandra menggigil dalam pelukan itu."Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi padaku..."
‘Perjalanan ke Kantata terasa lebih sunyi dari yang aku bayangkan.’ Ziandra membatin saat dia sudah berada di dalam mobil bersama Aldric.Hanya suara deru mobil dan sesekali Aldric menjawab telepon dari anak buahnya.Sepanjang jalan, Aldric tetap menjaga jarak, namun ada kalanya, diam-diam, Ziandra menangkap sorot matanya yang teduh memandanginya dari sudut kaca spion.Di hotel tempat mereka menginap, Aldric memilih suite dua kamar. Tidak satu kamar.‘Apakah dia kecewa padaku? Tapi aku tak mungkin begitu saja bercerai dari Mas Dion. Tidak segampang itu, kan?’ batinnya.Bahkan keputusan kecil semacam pisah kamar, tanpa banyak penjelasan, sudah membuat Ziandra serasa dilemparkan ke lautan ketidakpastian lagi.Setelah rapat yang cukup melelahkan di kantor cabang Kantata, Aldric dan Ziandra kembali ke hotel menjelang malam. Langit mulai gelap, dengan rintik hujan membasahi jalanan.Ziandra menatap bayangan Aldric di kaca lift sambil membatin, ‘Dia tampak begitu jauh, begitu tak terjangkau
‘Tidak… tidak akan memintaku menikahinya lagi?’Napas Ziandra tercekat saat membatin, mengulangi ucapan Aldric di hatinya.Ada gelenyar rasa sesak di hatinya ketika dia merenungi sejenak ucapan Aldric. Seakan jantungnya diremas secara tak nyaman oleh tangan berduri.‘Apakah dia marah?’ Ziandra hanya bisa berasumsi demikian di hatinya.Setelah itu, selama beberapa hari berikutnya, sikap Aldric kian dingin dan pria itu seolah menjauh dari Ziandra. Meski tetap saja jika Aldric menginginkannya di ranjang, dia tak bisa menolak.‘Dia sudah tidak seperti biasanya.’Pikiran Ziandra semakin berkeliaran tak terkendali. Baru saja dia melayani Aldric di ranjang, tapi pria itu memperlakukannya seperti dia hanyalah batang pohon pisang semata.‘Dingin, dia dingin.’ Ada rasa sedih menyusup di sanubari Ziandra melihat perubahan pada sikap Aldric. ‘Pasti dia marah karena penolakanku.’Selanjutnya, hari-hari terasa kosong bagi Ziandra. Hanya celoteh Clara yang membuatnya berseri.Pagi itu, Ziandra menge