“Aku di sini, Zia,” jawab Aldric sambil mengecup pipinya yang basah. “Dan aku akan tetap bersamamu, Zia. Selalu.”Malam terus bergulir, membawa mereka ke dunia tanpa batas, di mana waktu tak berarti dan dunia luar tak lagi penting. Yang ada hanyalah mereka, saling menemukan, saling melepaskan, saling menyembuhkan.Keintiman itu bukan semata-mata pertemuan raga, melainkan pengakuan batin yang akhirnya menemukan suara.“Aaahhh!”Ketika semuanya mereda, dan napas mereka mulai menyatu dalam ketenangan, Aldric menarik Ziandra ke dadanya. Dia membelai rambutnya perlahan, seakan membungkusnya dalam doa panjang.Ziandra mendekapnya erat, membenamkan wajah di leher pria itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa… tidak sendirian. Tak lagi takut. Tak lagi ragu.“Aku mencintaimu,” bisiknya dalam diam. Mungkin belum siap mengatakannya keras-keras. Tapi dia tahu, pria itu mendengarnya—melalui detak jantung, pelukan, dan cara Aldric membalas dekapannya dengan begitu sabar dan past
Aldric menggenggam jemarinya. “Kamu tidak sendiri, Zia. Sekarang dan seterusnya.”Ziandra hanya bisa mengangguk.Namun dalam dadanya, badai telah terlanjur bertiup. Dan dia tahu… tidak selamanya dia bisa menyembunyikannya.“Aku mandi dulu.” Aldric beranjak turun dari tempat tidur.Tak lupa dia mengecup kening Ziandra sebelum melangkah ke kamar mandi.Setelah yakin Aldric masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran shower di dalam sana, Ziandra lekas meraih ponselnya kembali. Dia menekan nomor suaminya.Jantung Ziandra berdetak lebih kencang ketika sambungan tersambung. Dia menengok cepat ke arah kamar mandi—suara shower masih terdengar deras, menandakan Aldric belum selesai. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat.“Cepat katakan apa yang kamu mau, Dion,” desis Ziandra pelan, menahan suaranya agar tak terdengar.Suara Dion di seberang langsung terdengar sinis, seolah sudah menunggu dengan segelas kopi dan senyum licik di wajah.“Akhirnya kamu angkat juga, Zia sayang. Aku hampir mengira k
“Hmmm….”Aldric menatap layar ponsel itu lama. Layarnya terkunci, tapi pemberitahuan terakhir masih terpampang jelas:Dion: “Aku ingin 50 juta ditransfer malam ini. Jangan coba-coba menghindar, Zia.”Tangan Aldric mengepal. Rahangnya mengeras. Tapi dia tidak membuka pesan itu lebih jauh, tidak membongkar isi ponsel secara langsung.Sebaliknya, dia mengembalikan ponsel itu ke tempat semula dan menutup tas Ziandra pelan. Napasnya panjang, berat, dan dalam matanya terpancar gelombang kekecewaan yang ditahan.Beberapa saat kemudian, Ziandra keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, kulitnya yang bersih bersinar lembut di bawah cahaya temaram kamar. Tapi sorot matanya tetap sama—lelah, kosong, dan penuh tekanan.Aldric hanya menatapnya sebentar. Tak ada pertanyaan. Tak ada kecurigaan yang dilontarkan.“Masih mengantuk?” tanya Aldric, duduk di tepi ranjang, memandangi Ziandra seperti biasa.Ziandra mengangguk. “Sedikit.”“Kalau begitu, kita tidur.”Dia mengangguk lagi dan masuk ke dal
“Gila kamu, yah!” Ziandra sampai mendelik sambil menahan seruan suaranya.Tapi Namila justru terkikik seakan reaksi kakaknya merupakan hal lucu.“Ayolah, Kak. Cuma Rp50 juta pasti kecil buat kamu. Apalagi untuk pacar barumu. Ya kan?”Tangan Ziandra terkepal erat di samping tubuhnya. Dia sibuk membuat pertimbangan di kepalanya mengenai permintaan keterlaluan adiknya.Kenapa sekarang dia justru jadi korban pemerasan orang-orang yang katanya adalah keluarga?“Hgh!” dengus kesal Ziandra sambil mengambil ponsel di dalam tasnya.Tak berapa lama, dia mengetik ini dan itu pada layarnya dan kemudian menatap Namila yang menunggu dengan senyum terkulum lebar.“Sudah!” Ziandra menyimpan kembali ponselnya.Wajahnya berubah masam dan keruh. Apakah dia tidak pernah dipandang sebagai manusia sejak dulu?“Haha! Nah gitu, dong Kak! Itu baru namanya kakak sayang adik!” Namila memeriksa rekening bank di ponselnya.Raut mukanya langsung cerah saat melihat deretan nominal yang baru masuk di sana.“Sana per
"Anak saya mengidap leukemia, Dok? Kok bisa?"Ziandra Askara nyaris pingsan saat dokter spesialis anak memberitahu penyakit Clara, anaknya yang masih berusia 5 tahun. Dia sedang berada di dalam ruang dokter anak rumah sakit Mayapada.Dokter menjelaskan. "Berdasarkan hasil pemeriksaan, Clara mengidap Acute Lymphoblastic Leukemia atau ALL. Yaitu jenis leukemia akut yang biasa terjadi pada anak-anak."Di tangan Ziandra, terdapat dua kertas. Yaitu hasil pemeriksaan medis dari dokter Ilham dan satu lagi tagihan biaya rumah sakit Clara dari kasir. Dia mengerutkan kening saat membaca keduanya.Ziandra menatap dokter yang menangani anaknya. "Lalu, kenapa dia bisa pingsan, Dok?"Saat hendak pergi bekerja tadi, Clara jatuh pingsan. Dia panik dan membawanya ke rumah sakit dibantu ibu dan adiknya. Sedangkan Dionーsuaminya, tidak peduli.Dion kecanduan judi online selama satu tahun belakangan ini. Utang pinjaman online Dion menggunung. Tidak terasa, Ziandra mulai menangis. Hatinya benar-benar hancu
“Tolong … pinjami saya uang, Pak!” Ziandra mengulangi permohonannya karena tak juga dia mendengar sahutan dari Aldric. “Sa-satu miliar rupiah ….” Suaranya seperti mencicit karena gugup, malu, dan ragu ketika mengatakannya.Awalnya dia hendak meminjam Rp100 juta, tapi mendadak dia berubah pikiran dan menyatakan nominal Rp1 miliar ke Aldric. Dia pikir, uang sebanyak itu bisa mencukupi seluruh biaya pengobatan anaknya.‘Aku tak peduli dianggap terlalu serakah. Ini semua demi Clara!’ seru batinnya.Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban bosnya. Dia tahu, permintaannya sangat keterlaluan. Mana ada karyawan meminjam sebanyak itu? Terlebih lagi, dia bukan jajaran eksekutif. Apakah dia akan menerima semburan marah bosnya? Ziandra ingin menangis. “Kenapa jumlahnya sebesar itu?” Suara Aldric meninggi tanpa berteriak. Tentu saja dia sangat terkejut mendengar nominal yang disebutkan kepala sekretarisnya. Mana ada bawahannya yang berani meminjam sebanyak itu?Ziandra meremas erat tangannya
‘Uff! Lelahnya! Bos sialan! Satu jam lebih dia mengerjai aku!’ rutuk Ziandra di hatinya sambil berjalan lunglai di lorong rumah sakit.Masih teringat jelas bagaimana Aldric sangat buas dan agresif ketika menyetubuhinya. Badannya terasa remuk akibat kegilaan sang Bos. Tadi mengendarai motor pun, nyaris menabrak beberapa kali.Dia kembali ke rumah sakit hanya untuk memastikan anaknya masuk ke ruang operasi dan kemudian pulang ke rumah untuk mandi. Untung saja Susan dan Namila mau menunggui Clara menjalani operasi.“Aku harus mandi … aku butuh mandi!” tegasnya, berbisik sambil mengemudikan motor ke rumah.Selama ini, dia masih menempati rumah orang tuanya bersama Dion dan Clara. Mereka belum memiliki rumah sendiri. Dulu dia hendak mengontrak sebuah rumah kecil agar mandiri, tapi Dion tak setuju. Dion lebih suka tinggal di rumah mertua yang cukup lapang dan nyaman.Tiba di rumah, dia melihat suaminya masih asyik bermain game online di sofa.Dia harus bersikap senormal mungkin di depan sua
‘Satu hal yang aku pelajari sekarang … jangan terburu-buru menilai seorang pria dari sikap baik yang ditampilkan di publik.’ Ziandra membatin, merasa tertipu.Dia berjalan gontai di lorong rumah sakit. Setiap selesai melayani Aldric, dia selalu merasa dirinya tak pantas ada di dunia ini. Malu kepada suami dan juga keluarga.Hanya karena tekad besar menyembuhkan anaknya yang membuat dia terus bertahan menjalani kegilaan yang sama sekali belum pernah dia rambah.“Kamu kenapa, Zia?” tanya Susan ketika putri sulungnya sudah tiba di depan ruang tunggu operasi. “Mukamu pucat begitu. Kamu sudah makan?”Ziandra lekas duduk di bangku panjang dan menjawab, “Sudah, Ma. Mukaku pucat … mungkin karena lelah, Ma.”Ya, dia lelah karena kegilaan Aldric.“Mila di mana?” tanya Ziandra ketika tidak melihat adiknya menemani Susan.“Dia baru saja pergi, katanya mau live di Tik Tak, makanya pulang lebih dulu.” Susan menyahut.Ziandra menghela napas. Tak habis pikir dengan kelakuan adiknya.“Bocah itu … dulu
“Gila kamu, yah!” Ziandra sampai mendelik sambil menahan seruan suaranya.Tapi Namila justru terkikik seakan reaksi kakaknya merupakan hal lucu.“Ayolah, Kak. Cuma Rp50 juta pasti kecil buat kamu. Apalagi untuk pacar barumu. Ya kan?”Tangan Ziandra terkepal erat di samping tubuhnya. Dia sibuk membuat pertimbangan di kepalanya mengenai permintaan keterlaluan adiknya.Kenapa sekarang dia justru jadi korban pemerasan orang-orang yang katanya adalah keluarga?“Hgh!” dengus kesal Ziandra sambil mengambil ponsel di dalam tasnya.Tak berapa lama, dia mengetik ini dan itu pada layarnya dan kemudian menatap Namila yang menunggu dengan senyum terkulum lebar.“Sudah!” Ziandra menyimpan kembali ponselnya.Wajahnya berubah masam dan keruh. Apakah dia tidak pernah dipandang sebagai manusia sejak dulu?“Haha! Nah gitu, dong Kak! Itu baru namanya kakak sayang adik!” Namila memeriksa rekening bank di ponselnya.Raut mukanya langsung cerah saat melihat deretan nominal yang baru masuk di sana.“Sana per
“Hmmm….”Aldric menatap layar ponsel itu lama. Layarnya terkunci, tapi pemberitahuan terakhir masih terpampang jelas:Dion: “Aku ingin 50 juta ditransfer malam ini. Jangan coba-coba menghindar, Zia.”Tangan Aldric mengepal. Rahangnya mengeras. Tapi dia tidak membuka pesan itu lebih jauh, tidak membongkar isi ponsel secara langsung.Sebaliknya, dia mengembalikan ponsel itu ke tempat semula dan menutup tas Ziandra pelan. Napasnya panjang, berat, dan dalam matanya terpancar gelombang kekecewaan yang ditahan.Beberapa saat kemudian, Ziandra keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, kulitnya yang bersih bersinar lembut di bawah cahaya temaram kamar. Tapi sorot matanya tetap sama—lelah, kosong, dan penuh tekanan.Aldric hanya menatapnya sebentar. Tak ada pertanyaan. Tak ada kecurigaan yang dilontarkan.“Masih mengantuk?” tanya Aldric, duduk di tepi ranjang, memandangi Ziandra seperti biasa.Ziandra mengangguk. “Sedikit.”“Kalau begitu, kita tidur.”Dia mengangguk lagi dan masuk ke dal
Aldric menggenggam jemarinya. “Kamu tidak sendiri, Zia. Sekarang dan seterusnya.”Ziandra hanya bisa mengangguk.Namun dalam dadanya, badai telah terlanjur bertiup. Dan dia tahu… tidak selamanya dia bisa menyembunyikannya.“Aku mandi dulu.” Aldric beranjak turun dari tempat tidur.Tak lupa dia mengecup kening Ziandra sebelum melangkah ke kamar mandi.Setelah yakin Aldric masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran shower di dalam sana, Ziandra lekas meraih ponselnya kembali. Dia menekan nomor suaminya.Jantung Ziandra berdetak lebih kencang ketika sambungan tersambung. Dia menengok cepat ke arah kamar mandi—suara shower masih terdengar deras, menandakan Aldric belum selesai. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat.“Cepat katakan apa yang kamu mau, Dion,” desis Ziandra pelan, menahan suaranya agar tak terdengar.Suara Dion di seberang langsung terdengar sinis, seolah sudah menunggu dengan segelas kopi dan senyum licik di wajah.“Akhirnya kamu angkat juga, Zia sayang. Aku hampir mengira k
“Aku di sini, Zia,” jawab Aldric sambil mengecup pipinya yang basah. “Dan aku akan tetap bersamamu, Zia. Selalu.”Malam terus bergulir, membawa mereka ke dunia tanpa batas, di mana waktu tak berarti dan dunia luar tak lagi penting. Yang ada hanyalah mereka, saling menemukan, saling melepaskan, saling menyembuhkan.Keintiman itu bukan semata-mata pertemuan raga, melainkan pengakuan batin yang akhirnya menemukan suara.“Aaahhh!”Ketika semuanya mereda, dan napas mereka mulai menyatu dalam ketenangan, Aldric menarik Ziandra ke dadanya. Dia membelai rambutnya perlahan, seakan membungkusnya dalam doa panjang.Ziandra mendekapnya erat, membenamkan wajah di leher pria itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa… tidak sendirian. Tak lagi takut. Tak lagi ragu.“Aku mencintaimu,” bisiknya dalam diam. Mungkin belum siap mengatakannya keras-keras. Tapi dia tahu, pria itu mendengarnya—melalui detak jantung, pelukan, dan cara Aldric membalas dekapannya dengan begitu sabar dan past
“Aku… aku….” Dengan mata basahnya, Ziandra berucap.Haruskah dia mengatakan hal ITU? Bukankah dia sudah cukup menunjukkannya melalui tindakan yang tak biasa? Kurang apa lagi?“Kamu apa, Zia? Bicara yang jelas,” desak Aldric tanpa mengalihkan pandangan dari wanita di bawah kungkungan tubuhnya.Ziandra ragu-ragu. Dia merutuki pria itu. Alangkah kejamnya Aldric memaksanya menyebutkan sesuatu yang akan membuatnya malu.Sambil menggigit bibirnya dengan tubuh terhentak di bawah Aldric, Ziandra memalingkan pandangan ke arah lain, seakan-akan itu lebih menarik dibandingkan pria itu.“Masih mau bungkam, Zia? Baiklah, kalau begitu, aku lebih baik pergi saja.”Aldric menghentikan gerakannya dan bersiap untuk beranjak dari tempat tidur.Seketika Ziandra panik. Dia lekas rengkuh leher Aldric dan membelitnya erat-erat. Khawatir pria itu benar-benar pergi.“Jangan pergi! Aldric, aku… aku menginginkan kamu. Aku menginginkanmu!” Ziandra menoleh, menyatukan tatapannya ke mata Aldric.Dia sudah menyerah
“Um….” Ziandra terbangun pada tengah malam.Matanya beredar mencari sosok pria yang dia inginkan di ruangan tersebut.Tak ada. Pria itu tak ada.“Aldric? Aldric kamu di mana?”Dengan suara parau, Ziandra bertanya. Dia melangkah turun dari tempat tidur untuk mencari Aldric.Namun, tidak juga ditemukan di semua ruangan di kamar suite yang luas tersbut.“Apa dia… dia meninggalkanku? Dia bosan padaku?”Dalam gumaman lirih, Ziandra menduga-duga. Ada rasa menyengat di matanya ketika dia membayangkan Aldric tak lagi menginginkannya.Serasa ada tangan berduri yang meremas jantungnya saat imajinasi liar dia muncul. Yaitu jika Aldric bosan padanya dan memiliki wanita lain untuk ditaklukkan.Mata Ziandra semakin terasa panas dengan pikiran kacau yang terasa kusut. Hatinya sesak oleh rasa cemburu yang asing.Meski sekuat apa pun dia ingin menyangkal apa yang sedang bercokol di sanubarinya, tapi batinnya semakin menjerit kalut.Dengan air mata berjatuhan tanpa bisa dicegah, dia membatin pilu, ‘Aku
"Tapi... benarkah begitu?" Justru dia sendiri yang meragukan hatinya.Namun, dorongan itu terus mendesak dan semakin membuatnya gelisah.Ting tung!Ziandra terlonjak saat melihat pintu terbuka di depannya usai dia menekan bel.Di sana, berdiri Aldric, mengenakan kemeja hitam yang dilipat di lengan, rambutnya sedikit berantakan seperti habis berkutat dengan pikiran yang tak menentu. Mata pria itu langsung mengunci matanya—dalam, teduh, dan... menahan sesuatu."Ziandra..." gumam Aldric.Namun, Ziandra tak memberinya kesempatan berkata apa-apa lagi.Tanpa sadar, gadis itu melangkah maju, melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Aldric, memeluknya erat seolah hidupnya bergantung padanya.Seolah... Aldric adalah satu-satunya jangkar dalam badai hatinya.Aldric tersentak sedikit, kaget, namun segera menahan tubuhnya. Tangannya refleks memeluk Ziandra erat, seperti menahan sesuatu yang rapuh agar tak pecah.Ziandra menggigil dalam pelukan itu."Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi padaku..."
‘Perjalanan ke Kantata terasa lebih sunyi dari yang aku bayangkan.’ Ziandra membatin saat dia sudah berada di dalam mobil bersama Aldric.Hanya suara deru mobil dan sesekali Aldric menjawab telepon dari anak buahnya.Sepanjang jalan, Aldric tetap menjaga jarak, namun ada kalanya, diam-diam, Ziandra menangkap sorot matanya yang teduh memandanginya dari sudut kaca spion.Di hotel tempat mereka menginap, Aldric memilih suite dua kamar. Tidak satu kamar.‘Apakah dia kecewa padaku? Tapi aku tak mungkin begitu saja bercerai dari Mas Dion. Tidak segampang itu, kan?’ batinnya.Bahkan keputusan kecil semacam pisah kamar, tanpa banyak penjelasan, sudah membuat Ziandra serasa dilemparkan ke lautan ketidakpastian lagi.Setelah rapat yang cukup melelahkan di kantor cabang Kantata, Aldric dan Ziandra kembali ke hotel menjelang malam. Langit mulai gelap, dengan rintik hujan membasahi jalanan.Ziandra menatap bayangan Aldric di kaca lift sambil membatin, ‘Dia tampak begitu jauh, begitu tak terjangkau
‘Tidak… tidak akan memintaku menikahinya lagi?’Napas Ziandra tercekat saat membatin, mengulangi ucapan Aldric di hatinya.Ada gelenyar rasa sesak di hatinya ketika dia merenungi sejenak ucapan Aldric. Seakan jantungnya diremas secara tak nyaman oleh tangan berduri.‘Apakah dia marah?’ Ziandra hanya bisa berasumsi demikian di hatinya.Setelah itu, selama beberapa hari berikutnya, sikap Aldric kian dingin dan pria itu seolah menjauh dari Ziandra. Meski tetap saja jika Aldric menginginkannya di ranjang, dia tak bisa menolak.‘Dia sudah tidak seperti biasanya.’Pikiran Ziandra semakin berkeliaran tak terkendali. Baru saja dia melayani Aldric di ranjang, tapi pria itu memperlakukannya seperti dia hanyalah batang pohon pisang semata.‘Dingin, dia dingin.’ Ada rasa sedih menyusup di sanubari Ziandra melihat perubahan pada sikap Aldric. ‘Pasti dia marah karena penolakanku.’Selanjutnya, hari-hari terasa kosong bagi Ziandra. Hanya celoteh Clara yang membuatnya berseri.Pagi itu, Ziandra menge