“Astaga!” pekik tertahan Ziandra ketika menatap pantulan bayangannya di cermin besar kamar mandi mewah itu.
Dia bisa melihat gaun tersebut begitu mini dan minim. Dia yakin kalau merunduk sedikit saja, maka akan langsung terlihat bokongnya. Belum lagi bagian dada yang banyak diekspos.
Itu benar-benar kostum perawat seksi yang biasa digunakan untuk menaikkan gairah bercinta pasangan.
“Da-dasar maniak! Gila! Cowok cabul! Mesum! Apa fetishnya perawat? Menjijikkan!” Sumpah serapah pelan Ziandra mengalir lancar ketika menyadari kemauan Aldric.
Seumur-umur pernikahannya dengan Dion saja, suaminya tidak pernah minta macam-macam ketika mereka hendak bercinta.
Tapi ini Aldric, seorang bujangan ….
Ziandra tidak bisa tidak berasumsi liar bahwa bosnya sudah terbiasa memperlakukan wanita sedemikian rupa. Pikirannya gelap mengenai apa mungkin Aldric yang terlihat baik dan dermawan itu sejatinya suka merendahkan wanita?
“Hei! Kenapa belum keluar? Jangan katakan kalau kamu ingin aku masuk dan membopong kamu ala pengantin?!” Suara berat Aldric sudah sampai di pendengaran Ziandra meski pria itu masih ada di luar kamar mandi.
Maka, Ziandra terpaksa keluar.
“I-ini … bajunya ….” Suaranya tersendat-sendat karena malu.
Dia tak menyangka akan disuruh memakai pakaian semacam itu. Bisa-bisanya dia diharuskan memenuhi fetish cabul Aldric!
“Hm, ternyata kostumnya sangat pas di badanmu! Benar-benar tidak mengecewakan!” Tatapan Aldric seperti sedang memindai Ziandra dari atas sampai bawah. Lalu dengan senyum cabulnya, dia berkata, “Badanmu memang bagus, makanya cocok memakai baju dinas seperti itu.”
Heh? Apa maksud pria itu? Sayangnya, Ziandra tak sempat mengatakan apa pun karena sudah lebih dulu ditarik dan mulai dikuasai Aldric.
Secara beringas, Aldric meluapkan hasratnya, terlebih ketika melihat kostum seksi yang dikenakan Ziandra.
“Angh! Pak! Tolong pelan-pelan saja ….” Dia memohon.
Tapi sahutan dari Aldric justru membuatnya terkejut, “Kamu pikir kamu punya posisi tawar-menawar denganku?” Lalu dia terkekeh dan melanjutkan, “Lagipula, untuk apa pelan-pelan? Bukannya kamu sudah punya suami?!”
Mata Ziandra memejam erat ketika Aldric menyebut statusnya sebagai seorang wanita bersuami. Itu sama saja menabur garam di luka. Sekali lagi, dia merasa dirinya sangat kotor dan penuh dosa.
“Heheh! Dasar perempuan matre! Sudah ada suami, tapi masih belum puas juga! Mencari kepuasan uang dan kepuasan tubuh dari pria lain!” Aldric seperti sedang menguliti Ziandra dengan cara sangat menyakitkan.
Hati Ziandra semakin pedih mendengar tuduhan itu. Kalau bukan karena terdesak masalah keuangan, mana sudi dia disentuh pria lain selain Dion?
“Tapi tidak mengapa, tak masalah!” lanjut Aldric sambil terus mengentak tubuh Ziandra. “Kalau kamu sangat menyukai uang, maka aku hanya perlu memberi apa yang kamu suka, yaitu uang!”
Dua jam berikutnya, Ziandra sudah terkapar lemas di atas ranjang besar itu. Aldric sudah tak ada, entah pergi ke mana. Sedangkan kostum perawat seksi, tak jelas keberadaannya di mana setelah dirobek-robek ganas oleh Aldric.
‘Hina sekali aku ini,’ batin Ziandra sambil terisak penuh nelangsa.
Dia meringkukkan tubuhnya, mirip udang, dan menuntaskan tangisan lirihnya.
Dikarenakan lelah luar biasa karena bergadang semalaman menunggui putrinya, dan pagi ini sudah dijadikan mainan oleh Aldric, maka dia pun jatuh tertidur ketika ingin memejamkan mata sejenak.
“Hah!” Dia terbangun dengan kaget sambil menegakkan punggung di kasur. “Jam berapa sekarang?”
Matanya mencari-cari jam dinding dan menemukan jam digital di atas meja nakas.
“Ya ampun! Sudah jam 3 siang! Lama sekali aku tertidur!” Dia bergegas turun dari ranjang dan mencari pakaiannya.
Kembali ke rumah sakit, dia tergopoh-gopoh ke ruang ICU. Di sana dia melihat adiknya duduk di bangku panjang depan ICU sambil berkutat dengan ponselnya.
“Mila,” sapanya.
Namila mengalihkan pandangan dari ponsel ke kakaknya yang baru tiba. Dia tampak kesal.
“Mbak ini bagaimana? Lama sekali meninggalkan mama dan anakmu! Katanya hendak mencari makan pagi?” Namila tidak menyembunyikan suara kesalnya.
“Iya, iya, maaf. Mbak tadi selain mencari sarapan, juga pergi ke teman-teman Mbak untuk mencari uang tambahan.” Ziandra terpaksa memakai alasan itu.
Astaga, semenjak dia melayani Aldric, dia sudah mengembangkan kemampuan tak hanya sebagai pendosa, tapi juga pendusta!
“Mama baru saja pulang sebentar untuk berganti baju.” Namila seolah kesal karena harus menunggui keponakannya. “Apakah Mbak mendapatkan uang tambahannya?”
Secara mendadak, raut wajah Namila berubah lebih lembut dan tak terlihat cemberut seperti sebelumnya..
“I-iya, Mbak mendapatkannya.” Ziandra agak tak rela mengucapkannya.
Seketika, wajah Namila berubah lebih cerah lagi. Apakah ini efek dari uang?
“Mbak, minta uangnya sedikit, please! Hanya Rp2 juta saja, sumpah!” Namila langsung merayu.
Sampai-sampai dia memegangi lengan Ziandra dan menggoyang-goyangkannya untuk membujuk sang kakak.
“Lho, Mil, bukannya Mbak sudah memberikan uang bulanan ke kamu seminggu yang lalu?” Ziandra tak habis pikir dengan adiknya.
Bisa-bisanya sang adik meminta uang, padahal Namila mengetahui persis bahwa dia sedang pontang-panting mencari uang untuk pengobatan Clara.
“Ya ampun, Mbak! Uang yang kemarin itu sudah habis gara-gara ada ulang tahun dadakan dari geng Tik Tak aku. Rasanya kurang pantas kalau tidak memberikan kado yang bagus, ya kan? Ayolah, Mbak … kali ini jangan pelit. Please!” Namila terus membujuk.
Paham adiknya takkan berhenti merongrong sebelum mendapatkan keinginannya, maka Ziandra terpaksa menyetujui.
“Ya sudah kalau begitu, tapi ini yang terakhir untuk bulan ini, mengerti? Gunakan dengan sebijak mungkin, Mila! Jangan mementingkan temenmu saja! Mbak juga membutuhkan uang untuk keponakanmu.” Meski tak rela, Ziandra tetap memberikan uang yang diminta adiknya.
“Iya, iya! Aku paham, Mbak!” Namila tak sabar. “Lekas ditransfer ke aku, ya Mbak! Aku pulang dulu, bye!”
Namila melambaikan tangan dengan wajah gembira sambil berlari menjauh dari Ziandra.
“Huh! Memang susah dinasehati.” Ziandra menghela napas sambil mentransfer Rp2 juta dari rekening baru ke rekening yang biasa dia gunakan. “Keluargaku tidak boleh mengetahui rekening baruku ini, karena isinya uang dari Pak Aldric.”
‘Rekening baruku ini aku buka satu bulan lalu. Ini agar uangku tidak cepat habis,’ batin Ziandra.Setelah itu, dia mandi dan mulai menunggui anaknya.Sambil memegangi tangan putrinya yang ditempelkan ke pipinya, dia mulai menyapa, “Rara, sayangnya Bunda, bangun, Nak! Bunda kangen Rara!”Kemudian, dia mulai teringat dengan ‘dosanya’.Dengan nada pelan, dia berucap, “Rara, maafkan Bunda. Bunda mengobati Rara dengan uang hasil …. hasil Bunda ….”“Hasil kamu apa?” Mendadak saja terdengar suara Dion di belakang Ziandra.Terkejut dengan kemunculan suaminya, Ziandra lekas menoleh dan memang suaminya sudah ada di belakangnya, mengenakan baju khusus untuk masuk ke ICU.Ada rasa gembira, akhirnya suaminya bersedia menjenguk putrinya! Tapi, tadi suaminya bertanya …..“Ah, oh, itu … maksudku … itu … uang dari hasil … berutang sana-sini.” Meski gugup, dia berhasil juga memberikan jawaban yang sangat masuk akal. “Mas Dion tumben ke sini. Rara—““Aku ingin membawa motormu. Mana kuncinya?” potong Dio
“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu._ _ _‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, samb
“Kamu berani menolak?” Ada suara geraman rendah saat Aldric mengucapkan itu.Mendadak, nyali Ziandra menciut. Langsung saja dia khawatir mengenai uang untuk biaya Qiana.‘Duh! Harusnya aku tidak langsung menolak! Kalau dia marah, lalu tak mau memberi uang lagi, aku harus cari uang di mana? Tak mungkin aku nekat merayu pria lain lagi. Akan jadi apa aku nanti kalau pakai cara itu terus?’ Dia panik.Sambil menggenggam erat ponselnya, Ziandra melembutkan suaranya untuk bicara ke Aldric, “Maaf, Pak, bukan maksud saya menolak perintah Bapak, tapi … luar negeri terlalu jauh dan pasti butuh waktu cukup lama untuk meninggalkan rumah.”Dia berharap, Aldric bisa mengerti posisinya sebagai wanita bersuami.Kemudian, ada tawa di seberang sambungan, tawa sumbang Aldric. “Hahaha! Kamu merasa tak enak pada suami kamu, begitu? Rupanya kamu masih punya cinta ke dia, yah? Cih! Cinta, tapi tubuhmu kamu jajakan ke pria lain sepertiku. Wah, wah, uang memang membutakan kamu, yah!”Geraham Ziandra terkatup e
‘Gawat! Bagaimana kalau aku sampai diangkut paksa dan dibawa ke luar negeri? Rara! Aku tak bisa pergi! Rara butuh aku! Rara menungguku!’ Batin Ziandra terus berteriak.Selain itu, dia berusaha memberontak dari cengkeraman Aldric, hingga akhirnya terhempas di lantai. Isakan tangis tak tertahankan. Dia tak mau dibawa paksa sejauh itu dari putrinya!Aldric pun melepaskan genggaman tangan kokohnya pada lengan ramping Ziandra dan menatap wanita yang sedang terisak sembari duduk tak berdaya di lantai.“Pak … hiks! Saya mohon jangan paksa saya begini … saya mohon, Pak!” Ziandra tetap mengiba tanpa berani menatap sang Bos.Dengan kepala tertunduk, dia melihat kedua kaki Aldric mendekat ke dirinya. Setelah itu, dagunya dicengkeram dan diangkat sehingga mau tak mau, mereka saling bertemu tatap.“Kamu membantahku, Ziandra. Padahal kamu sudah sangat jelas dengan setiap butir pasal di perjanjian kita, perjanjian yang sudah kamu tanda tangani.” Suara rendah dan berat milik Aldric semakin terasa men
“Mas Dion sebenarnya ke mana, sih?” heran Ziandra.Akhirnya dia terpaksa menelepon Susan.“Ma, Mas Dion ada di rumah?” tanyanya.“Enggak, Zia. Dia pergi dari kemarin. Katanya ada kerjaan bersama temannya di luar kota.” Susan menyahut. “Ini juga Mila pergi dari kemarin, katanya diajak temennya cari baju untuk dagangan di kota Ebon.”Susan menyebutkan nama kota industri, 270 km ke timur dari kota Sangria.Ziandra menghela napas. Pasti besok dia harus menggunakan ojek untuk ke kantor.“Padahal aku harus ambil pakaian kerjaku untuk besok. Hgh! Mas Dion egois!” rutuknya pelan.Terpaksa dia pulang sebentar menggunakan angkot yang lebih murah untuk mengambil pakaian kerjanya.“Apa tak apa kalau Rara kamu tinggal begini, Zia?” tanya Susan ketika melihat kedatangan putri sulungnya di rumah.“Ini aku buru-buru, kok Ma.” Dia bergegas mengemasi pakaian untuk Senin besok, memasukkannya serapi mungkin ke tas travel yang agak besar dan segera kembali ke rumah sakit usai mencium tangan Susan.Untung
“Itu … silakan Pak Binar bicara dengan Pak Aldric. Saya permisi.” Ziandra bergegas melarikan diri dari ruangan itu.Dia begitu gugup ketika ditatap Binar yang memicingkan mata dengan curiga saat mempertanyakan hal tadi.‘Semoga saja bajuku sudah rapi, tak ada kancing yang meleset!’ Ziandra sambil melihat blusnya, berharap tak ada satu pun hal mencurigakan di sana, seperti … bau Aldric?Hari ini terasa sangat panjang bagi Ziandra yang sedang menanti waktu pulang kerja agar bisa secepatnya bertemu dengan Clara.Ketika sore tiba, semangat padam Ziandra mulai bangkit. Matanya berbinar, membayangkan Clara akan tersenyum kalau dia membawakan roti krim kesukaan bocah itu.Sayangnya ….“Ikut aku menemui salah satu klien. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Kamu hanya perlu ikut aku sekarang juga dan bisa pulang jam 11 nanti.” Aldric langsung saja menjatuhkan bom padanya.Aldric dan kemauannya selalu saja mengagetkan Ziandra meski dia sudah belajar untuk terbiasa dengan sikap bossy dan berbeda
‘O-orang ini gila! Dia maniak sialan! Maniak cabul!’ Ziandra terus mengumpat dan memaki Aldric di benak.Hukuman macam apa pula itu?!“Berani kamu menolak hukuman itu, aku bisa menambah durasi masa pelayananmu sebanyak 60 kali lagi,” imbuh Aldric sambil berbalik badan menghadap Ziandra.Betapa geramnya Ziandra mendengar kesewenang-wenangan si Bos. Apakah semua Bos sebrengsek dia? Citra positif dan bagaikan malaikat tak bersayap? Omong kosong!“Kamu harus ingat di salah satu pasal perjanjian kita, ada tertulis bahwa hukuman harus dilaksanakan oleh pihak kedua, yaitu kamu. Dan kalau kamu tidak melaksanakannya, maka kamu akan dibebani 60 kali pelayanan padaku atau keluargamu mengetahui perjanjian kita.” Aldric menaikkan dagu sambil mengucapkannya.Hrrgh! Ingin sekali Ziandra mencakar-cakar muka arogan Aldric yang menampilkan kesombongan sebagai penguasa yang selalu menang.Ziandra menarik napas dalam-dalam, berusaha memperluas lautan kesabarannya. Kemudian berkata, “Bapak, Anda meminta s
“Ah!” Ziandra ikut memekik akibat kaget.Tidak disangka, ada perawat masuk ke kamar mandi.“Wah, maaf, Ibu. Saya tidak tahu kalau di dalam ada orang, karena tidak ada suara air.” Perawat itu memberikan alasan masuk akal.Untung saja itu perawat perempuan, tapi tetap saja Ziandra merasa sangat malu!“Ini … saya ….” Ziandra gelagapan menjawab.“Oh, Ibu sedang memeriksa payudara sendiri, kah?” tanya si perawat.Mendadak, Ziandra termangu mendengar ucapan perawat itu. Memeriksa payudara sendiri? Oh!“Ah, be-benar! Benar, Sus.” Ziandra lebih baik ikuti saja jawaban yang diberikan perawat itu.Perawat itu mendekat sembari Ziandra menutupi dadanya dengan handuk.“Kita sebagai wanita memang harus selalu aware dengan tubuh kita sendiri, Ibu. Salah satunya memang dengan perawatan payudara agar bisa lekas ditangani apabila ada keanehan yang tidak lazim di sana.” Perawat itu tersenyum.Sehingga, Ziandra ikut tersenyum.“Kalau Ibu membutuhkan pemeriksaan mammogram, Ibu bisa segera menjadwalkannya
“Um… Pak?” Ziandra agak ragu ketika membuka pintu tersebut.Dia melongok ke dalam, tapi kenapa tidak ada siapa pun di sana? Bahkan ranjang besar yang terlihat begitu pintu dibuka pun tidak menampilkan sosok Aldric di sana.Alih-alih mengurungkan diri masuk karena si empunya tidak terlihat di kamar itu, kaki Ziandra justru melangkah masuk. Penasaran?“Pak—arghh!” Dia memekik ketika secara tiba-tiba ada tangan yang merengkuh pinggangnya dan menarik dia ke belakang.Pintu juga secara mendadak tertutup.Ketika dia menoleh, sudah ada Aldric dengan senyum seringai iblis di wajahnya.“Bagaimana yang sudah berbulan madu semalaman dengan suami tercinta, hm?” Aldric memenjarakan tubuh Ziandra dalam pelukan dua lengannya. “Pasti sangat menyenangkan, bukan?”Sindiran!Ziandra yakin bahwa sang Bos saat ini sedang menyindir dirinya. Tapi dia juga merasakan aroma satu lagi dari kalimat Aldric.Cemburu!Cemburu? Aldric? Pria mapan yang bisa memanggil wanita dengan hanya menjentikkan jari secara santa
Ziandra terkejut mendengar kata-kata itu. "Pak Aldric, saya bukan milik siapa pun. Saya istri Mas Dion."Aldric mendekat lebih jauh, membuat Ziandra hampir mundur jika saja dia tidak menahan dirinya. "Kamu benar. Secara hukum, kamu istri Dion. Tapi Zia… aku tahu apa yang ada di pikiranmu tadi malam." Aldric menatapnya tajam, seolah ingin menembus pertahanannya.Ziandra tercekat. Bagaimana Aldric bisa tahu? Pria itu tahu kalau dia memikirkannya sepanjang dia melayani suaminya? Benar begitukah? Atau sang Bos hanya menebak?"Apa maksud Anda?" tanya Ziandra lemah, suaranya nyaris tenggelam.Aldric tertawa kecil, sebuah suara rendah yang penuh percaya diri. "Aku tidak perlu menjelaskan, kan? Kamu sudah tahu jawabannya.""Pak Aldric," Ziandra mencoba membela diri. "Ini tidak adil. Anda tidak berhak mengontrol kehidupan pribadi saya."Meskipun demikian, Ziandra masih ingin memiliki kendali atas dirinya sendiri.Aldric menyentuh dagunya, membuat Ziandra terdiam. Sentuhan itu lembut, tetapi pe
Keesokan harinya, suasana kantor tampak seperti biasa. Namun bagi Ziandra, tidak ada yang terasa normal. Pikiran-pikirannya terus melayang ke percakapan semalam dengan Aldric—dan tentu saja kejadian tidak terduga bersama Dion.“Ya ampun, aku merasa ini aneh dan kacau.” Ziandra menggumamkannya dalam hati.Seolah semua hal campur aduk dalam benaknya, membuatnya lebih gugup dari biasanya.Dia merasa seakan-akan semua orang di kantor tahu apa yang terjadi, meskipun tentu saja itu hanya paranoia.“Eh?”Sebelum dia bisa melarikan diri ke meja kerjanya, telepon di tasnya bergetar. Nama Aldric muncul di layar, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.“Masuk ke ruanganku sekarang,” perintah suara Aldric, dingin dan tajam, tanpa basa-basi.Ziandra menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju ruangan presiden direktur.Setibanya di sana, Aldric sudah berdiri di balik meja kerjanya, menatap keluar jendela. Tangannya di sakunya, posturnya memancarkan aura otoritas.“Duduk,” katanya singkat tanpa
‘Memegang kendali?’ Ziandra terheran-heran dengan kalimat dari Aldric dan dengan cepat memikirkannya di benak.Maksud Aldric apa? Bukankah seharusnya dia berhak melakukan keintiman dengan Dion, suaminya sendiri?‘Kalau dipikir-pikir, bukannya Bos Aldric aneh jika marah dan kesal kalau aku bermesraan dengan suamiku?’Ziandra masih bertanya-tanya dengan sikap tak wajar yang diberikan Aldric sehubungan dengan dia dan Dion bermesraan.‘Apa hak Bos Aldric, selain hanya berkaitan dengan perjanjian antara kita saja? Aneh!’ Ziandra masih saja tak paham dengan perilaku Aldric.Dia tak bisa memahami kecemburuan Aldric.“Jangan lupa kalau aku memegang penuh kendali atas kamu, Zia.” Terdengar suara berat memesona milik Aldric di telinga Ziandra.Semoga saja Dion tidak bisa ikut dengar atas ucapan Aldric baru saja.Tapi bagaimana Dion bisa dengar kalau pria itu masih sibuk merayu Ziandra di telinga satunya?“Ayo, sayang… sebentar saja, yuk! Tutup dulu telepon dari bosmu,” bisik Dion di telinga lai
‘Ternyata itu Pak Aldric! Dia! Dia yang memindahkan Rara ke rumah sakit yang lebih baik dan sudah melunasi semua biayanya!’ Ziandra berteriak dalam hatinya, perasaan campur aduk memenuhi dadanya.Dengan Clara kini ditempatkan di ruang VIP khusus untuk penderita kanker, suasana menjadi jauh lebih nyaman.Clara mendapatkan perawatan intensif yang sesuai dengan kebutuhannya, termasuk kehadiran perawat khusus yang siap membantu kapan saja.‘Aku bersyukur melihat kenyamanan ini. Bahkan mama yang kerap merasa tidak nyaman saat menjaga Rara di rumah sakit sebelumnya, sekarang bisa lebih santai karena ada tempat tidur khusus untuk penunggu pasien.’Ziandra tersenyum akan itu.Clara sendiri terlihat lebih ceria, meski sesekali masih merasakan lemas akibat pengobatannya.Ziandra merasa sedikit lega bahwa setidaknya putrinya dapat menjalani perawatan dengan lebih baik.Di kantor, Ziandra memutuskan untuk segera menghadap Aldric di ruangan si Bos. Dia harus mengucapkan terima kasih secara langsun
“Dokter, maksudnya bagaimana?” Ziandra masih belum paham.Tiba-tiba saja mereka datang dan menyampaikan perpindahan rumah sakit yang sangat mendadak.Memang boleh setiba-tiba ini?“Begini, Bu.” Kali ini perawat yang berbicara untuk menjelaskan. “Kami menerima telepon dari kerabat Bu Ziandra yang meminta pasien Clara berpindah ke rumah sakit Serenia untuk memaksimalkan pengobatan bagi anak ibu. Beliau sudah memesan ruang khusus di sana dan putri Ibu bisa langsung masuk saja.”Mata Ziandra bergerak-gerak melirik dokter dan perawat secara bergantian. Ada kerabatnya yang sudah menangani itu semua? Kerabat yang mana? Baik sekali! Apakah kerabat jauh yang belum pernah dia temui?Karena kerabat yang dia ketahui, mereka semua bukannya membantu tapi justru meminta ini dan itu.“Ah, begitu.” Ziandra masih bingung. “Lalu, kapan pindahnya?”“Sekarang juga tidak apa jika Ibu dan pasien Clara sudah siap.” Perawat menjawab.Dokter di sampingnya mengangguk.Maka, karena ada kerabat yang bersedia sede
“Wah! Mbak Zia!” Ruri, salah satu tetangga kompleks rumah orang tua Ziandra, orangnya paling senang mencari bahan gibah untuk dibahas dengan ibu-ibu lainnya.Dia memandang kaget pada Ziandra yang tadi baru turun dari mobil mewah. Kini mobil itu sudah melaju meninggalkan area tersebut.“Itu tadi… mobil kantor, saya… saya diantarkan karena baru selesai… selesai menemani atasan menemui klien.” Ziandra berjuang mengendalikan kegugupannya.Akan gawat apabila dia dijadikan bahan gibah Ruri nantinya di kompleks hanya gara-gara diantarkan bos besar.“Ooo….” Ruri tidak berusaha memperpanjang pertanyaan dan tersenyum kecil.“Saya… saya masuk dulu ke bangsal Rara. Apakah Jeng Ruri menjenguk kerabat di sini?” tanya Ziandra dengan nada suara lebih santai.Sepertinya pengembangan kemampuan berdustanya belum sampai ke tahap ahli. Dia masih gelagapan dan cukup gugup ketika menyembunyikan sesuatu.“Oh, aku jenguk anaknya Mbak Zia, kok! Ini sedang menunggu suamiku datang untuk jemput saja karena mau pe
“K-ke tempat Bapak?”Ziandra terkejut, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Pergi ke hunian Aldric sama artinya dengan dia… harus melayani napsu sang Bos.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah mansion megah yang berdiri di atas lahan luas dengan taman yang terawat sempurna. Ziandra hanya bisa tertegun melihat kemewahannya setiap datang ke sana."Turun!" perintah Aldric.Tanpa banyak bicara, Ziandra mengikutinya masuk ke dalam mansion.Di dalam, interiornya tak kalah menakjubkan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal, lantai marmer, dan perabotan mahal membuat Ziandra merasa seperti memasuki dunia lain.Tapi dia tidak sempat menikmati pemandangan itu karena Aldric tiba-tiba menarik tangannya, membawanya ke sebuah ruangan besar yang tampaknya adalah kamar pribadinya."Pak Aldric, apa yang Anda—"Aldric menghentikannya dengan menatapnya tajam. "Aku kesal, Zia. Dan kamu tahu bagaimana cara menenangkanku, bukan?"Wajah Ziandra memerah, tapi dia tidak bisa berkat
“P-Pak Aldric.”Ucapan itu membuat wajah Ziandra langsung memanas. Dia menundukkan kepala, tidak berani menatap Aldric. Pipinya terasa membara, sementara tangannya meremas gaun yang dia pegang. "Pak Aldric, Anda keterlaluan," gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Aldric hanya terkekeh. "Oh, Zia. Kau tahu ini bagian dari kesepakatan kita. Tidak usah pura-pura malu. Sekarang, cepat ganti pakaian. Aku tidak punya banyak waktu."Ziandra hanya bisa mengangguk kecil, kemudian masuk ke ruang ganti. Di dalam, dia menatap pantulan dirinya di cermin sambil mengenakan salah satu setelan yang dipilih Aldric.Gaun blazer biru tua itu pas di tubuhnya, memberikan kesan anggun dan berwibawa.Namun, ada perasaan canggung yang terus menghantui pikirannya. Apakah semua ini benar-benar perlu? Apakah dia sudah melangkah terlalu jauh?Ketika dia keluar, Aldric sedang duduk di sofa butik, sibuk melihat jam tangannya.Namun, begitu melihat Ziandra, tatapannya berubah. Dia mengangguk puas. "Perfe