‘Fo-foto KTP!’ Benak Ziandra berteriak mengulang ucapan si Bos maniak.Ziandra melongo, tak tahu harus menjawab apa. Dia memotret dirinya seperti itu saja sudah merupakan beban tersendiri baginya. Dan sekarang si Bos masih protes mengenai gaya?‘Tidak bisakah dia memahami sedikit saja mengenai kegugupanku, karena itu bukan hal yang biasa aku lakukan!’ Ingin dia menjerit keras-keras.Dia kesal. Bukannya berterima kasih, Aldric malah sibuk meributkan mengenai gaya dan pose.‘Kalau ingin yang pintar bergaya, cari saja foto model terkenal, sana!’ jerit Ziandra dalam hati, penuh kekesalan.“Zia, apakah kamu ingin mendapatkan hukuman tambahan?” ancam Aldric.Pria ini! Geram sekali Ziandra. Beruntung saja Aldric adalah bosnya, atau dia sudah melayangkan tinjunya ke wajah pria itu jika bertemu.Sambil menahan kegeraman di hatinya, Ziandra menyahut dengan nada rendah penuh penekanan, “Bapak, maaf kalau foto saya mirip foto KTP, tapi itu dikarenakan saya melakukannya dengan kegugupan luar bias
“Kenapa, Zia?” tanya beberapa rekan kerjanya yang berdiri di dekatnya.Ziandra seketika gugup. Tentunya dia tak mungkin mengungkapkan k semua orang bahwa pantatnya baru saja diremas seseorang di belakangnya, dan dia 1000 persen yakin oknumnya adalah Aldric.“I-itu tadi… tadi…” Ziandra gelagapan, tidak menemukan kalimat alasan yang tepat.Kemampuan barunya, berdusta mencari alasan, mendadak saja tidak berfungsi.“Tadi kaki Zia tak sengaja menginjak ujung sepatuku. Makanya dia kaget.” Tiba-tiba, Aldric yang ada di belakangnya, berbicara.Dengan cepat, perhatian semua orang di lift tertuju ke Ziandra, seakan dia adalah pelaku kriminal paling berdosa di muka bumi ini.Ziandra terkejut. Dia tak tahu, apakah ucapan dari bosnya itu hendak menyelamatkannya atau justru ingin dia dimusuhi karyawan lainnya karena Aldric merupakan sosok yang sangat dipuja dan dipuji sebagian besar karyawan?‘Dasar Bos maniak cabul!’ maki Ziandra dalam hati. ‘Mencarikan alasan untukku sih memang baik, tapi tak per
‘Si brengsek cabul bermuka dua itu!’ geram Ziandra ketika membaca e-mail dari Aldric.Pesan itu membuat dadanya berdesir antara marah dan tak berdaya. Aldric jelas-jelas memanfaatkan posisinya untuk bermain-main dengannya. Pria itu sangat mengerti bagaimana memaksimalkan perjanjiannya.Dengan emosi yang memuncak, Ziandra hampir saja mengetik balasan penuh amarah, tapi dia berhenti.‘Aku sudah terikat perjanjian. Percuma aku marah. Tapi kalau dia semakin keterlaluan, bukankah hubungan kami akan tercium orang di sini?’ pikir Ziandra.Dia memutuskan untuk mengabaikan saja pesan itu, dan mulai berkonsentrasi pada pekerjaannya. Setelah itu, dia membuka dokumen kerja, berusaha mengabaikan segalanya.Namun, jauh di lubuk hatinya, Ziandra tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Dia harus memikirkan cara melindungi dirinya dari bahan gosip di kantor, sebelum Aldric melangkah lebih jauh di depan orang-orang.“Zia, berikan file ini ke Bos, sana!” Elvina sambil menaruh satu
“Pe-peluk?” Ziandra terkejut dengan permintaan Aldric.Pria itu biasanya yang membuat gerakan lebih dahulu, bukan meminta sesuatu untuk dia lakukan.Maka, Ziandra pun melakukan apa yang diperintahkan Aldric padanya. Dia melingkarkan kedua lengan ke leher Aldric dengan sikap gugup.“Yah, begitu saja. Diamlah untuk beberapa saat.” Aldric memberikan perintah berikutnya.Maka, Ziandra tidak berani bergerak dan hanya memeluk saja. Hanya saja, dia agak berjengit kaget ketika Aldric membalas pelukannya.Tak hanya itu, pria itu menaruh kepalanya di bahu Ziandra, seakan memasrahkan dirinya.Kini, mereka justru mirip seperti sepasang kekasih yang sedang melepaskan kerinduan. Agak membuat Ziandra berdebar-debar.Satu menit….Tiga menit….‘Kenapa dia hanya diam saja, yah?’ Ziandra sedikit kebingungan. Ini seperti bukan Aldric yang sering terlihat cabul mesum yang dia tahu.‘Ta-tapi bukan berarti aku menginginkan dia bertingkah cabul seperti biasanya, sih! Hanya… heran saja. Ya, cuma heran.’ Ziand
“Haahh~” Ziandra menghela napas panjang, pelan.Di tengah kegilaan hidupnya yang jungkir balik karena Aldric, dia tidak menyangka dirinya mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu. Bahkan, entah bagaimana, dia merasa nyaman berada di dekatnya.Tentu saja, dia tidak bisa menyangkal bahwa Aldric sering membuatnya kesal dengan permintaan-permintaan aneh.‘Tapi… di balik semua itu, seperti ada sisi lain dari Pak Aldric yang malah membuatku merasa kasihan sekaligus… entahlah!’Dia menatap Aldric yang masih tertidur lelap. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari citra pria keras kepala yang dia kenal. Bibir pria itu sedikit terbuka, dan helai-helai rambut gelapnya jatuh ke dahi.Ziandra nyaris tersenyum melihatnya. Rasanya aneh, melihat Aldric yang biasanya penuh energi cabul, kini tampak begitu polos.‘Dia pasti sangat kelelahan,’ pikirnya.Pikirannya kembali pada rutinitas Aldric yang penuh tekanan. Memimpin perusahaan sebesar Zigma, menghadapi rapat tanpa henti, dan mengelola berbagai p
‘Me-memikat?!’ Ziandra terkejut dengan ucapan Aldric.Dia semakin tidak paham dengan beberapa perkataan Aldric yang terkadang di luar perkiraan nalarnya.Kata-kata itu membuat Ziandra terdiam, tentu saja. Dia tidak tahu apakah Aldric benar-benar serius atau hanya melanjutkan godaannya.Namun, sesuatu dalam nada suara pria itu terasa tulus, dan itu cukup untuk membuat Ziandra merasa salah tingkah.Sebelum suasana semakin aneh, sebuah ketukan di pintu memecah keheningan. “Pak Aldric?” suara asisten Aldric terdengar dari luar.Mau tak mau, Ziandra bangkit dari pangkuan Aldric.Aldric mendesah sambil bangkit dari sofa, tetapi tidak sebelum menoleh ke arah Ziandra dengan tatapan iseng. “Kita lanjutkan lagi nanti, ya? Kamu bisa bersabar, kan?”Ziandra menunduk saat Aldric berjalan mendekati pintu untuk membuka, tetapi jantungnya masih berdetak kencang. Entah kenapa, tatapan dan kata-kata pria itu tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya. “Kita lanjutkan lagi nanti, ya? Kamu bisa bersabar, k
Ziandra memutar bola matanya. “Bapak terlalu percaya diri.”“Oh, aku tidak percaya diri. Aku hanya realistis,” balas Aldric, matanya berkilat nakal. “Buktinya, kau tidak meninggalkanku saat aku tertidur tadi. Itu cukup membuktikan bahwa kau peduli.”“Saya tidak meninggalkan karena… itu tidak sopan!” Ziandra berusaha membela diri, tapi dia tahu argumennya terdengar lemah. Pipinya kembali memerah, dan Aldric tampak menikmatinya.“Baiklah, baiklah,” Aldric mengangkat tangan lagi. “Aku tidak akan mendesakmu. Tapi aku tahu suatu saat nanti, kamu akan mengakuinya.”Ziandra menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan Aldric yang tertawa kecil. Meski dia tidak ingin mengakuinya, ada sesuatu tentang pria itu yang perlahan meluluhkan benteng pertahanannya. Dan itu membuatnya merasa lebih bingung dari sebelumnya.“Kalau begitu, saya kembali ke ruangan saya,” ujar Ziandra, mencoba mengakhiri percakapan ini.“Silakan,” kata Aldric santai. Tapi sebelum dia melangkah keluar, Aldric menambahkan dengan
“Ba-bagaimana Bapak bisa mengetahui bahwa saya memiliki anak?” tanya Ziandra dengan nada heran kepada sang Bos di handphone.Aldric tertawa, kekehannya terdengar jelas di telinga Ziandra.“Tentu, Zia. Menurutmu kenapa aku bisa menjadi pengusaha besar di Sangria? Itu karena aku memiliki banyak mata dan telinga yang tersebar di mana pun. Tak ada yang lolos dari pengamatanku, termasuk kamu.” Aldric menjabarkan dengan sikap arogan yang menyebalkan di mata Ziandra.Tapi mau bagaimanapun, Aldric memang pantas untuk arogan dan menyombongkan kemampuannya di dunia bisnis. Perusahaan besarnya yang menggurita tidak bisa diabaikan.Ziandra tidak bisa memikirkan dugaan lain mengenai Aldric tahu dia memiliki putri.“Maaf, Pak, saya tidak bermaksud menyembunyikan perihal putri saya, Clara.” Ziandra menggenggam erat handphone-nya sembari berharap Aldric tidak memberikan hukuman padanya.“Oh! Tak masalah mengenai itu, Zia. Aku bukan orang kolot yang meributkan mengenai anak.” Aldric menjawab.Pria ber
Aurelind mengetuk meja dengan jari-jarinya, menatap putranya dengan ekspresi serius. "Karena dia wanita bersuami."Kenzo tersenyum tipis. "Yang mana suaminya?"Aurelind terdiam sejenak sebelum mendesah. "Dion Pradipta, pria itu masih berstatus sebagai suaminya."Tentu saja demi putranya, Aurelind akan mengerahkan semua sumber dayanya untuk mendapatkan informasi mengenai Ziandra."Tapi itu bukan merupakan sebuah alasan valid untuk melarangku berteman dengannya, Ma." Kenzo menyesap kopinya dengan santai. "Dan aku tidak memilah teman dari status pernikahannya."Aurelind menggeleng, ekspresinya semakin tak senang. "Kenzo, dengarkan aku baik-baik. Aku ibumu, dan aku tahu wanita seperti dia bukan tipe yang baik untukmu. Dia sedang menggoda Aldric, dan kamu tau itu!"Kenzo menatap ibunya dengan mata penuh ketertarikan. "Jadi? Aku justru penasaran siapa yang akan dia pilih pada akhirnya."Aurelind menghela napas, kesal dengan sikap santai putranya. "Dengar, sayang… Aku tidak akan membiarkanmu
Ziandra menegang di tempatnya, tetapi Kenzo tetap tenang seperti biasa. Bahkan, pemuda itu hanya mengangkat alis dan menyeringai santai."Ah, Papa!" kata Kenzo ringan. "Kebetulan sekali kita bertemu. Kamu mau ikut duduk dan makan siang bersama kami?"Aldric tidak menjawab. Matanya yang tajam langsung mengarah ke Ziandra, seolah menuntut jawaban.Sementara itu, Aurelind melipat tangan di depan dadanya dan menatap tajam ke arah Ziandra. "Aku seharusnya sudah menduga," gumamnya. "Kamu benar-benar cepat bergerak, yah?"Ziandra menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdebar. "Saya hanya makan siang, Bu Aurelind," jawabnya pelan.Namun, Aurelind tertawa kecil—bukan tawa yang ramah, melainkan sinis. "Makan siang, yah? Dengan putranya Aldric?" Dia menatap tajam ke arah Kenzo sebelum kembali ke Ziandra. "Apa kamu sekarang mencoba mendekati keluarganya satu per satu?"Ziandra terkejut. "Apa maksud Anda?"Aurelind melangkah lebih dekat, ekspresinya tajam. "Kamu pikir aku tidak tau
"Kenapa Bu Aurelind menolak lamaran Pak Aldric?" tanya Ziandra dengan hati berdebar-debar.Aurelind tersenyum kecil, tetapi bukan senyum bahagia. "Karena aku tau dia tidak akan pernah bisa setia. Aku tidak mau menghabiskan hidupku dengan lelaki yang terus mencari sesuatu yang lebih... dan lebih lagi."Ziandra mencoba memproses semua yang baru saja dia dengar.Sisi gelap Aldric.Kebiasaannya yang tidak bisa hanya dengan satu wanita.Lamaran yang ditolak Aurelind karena dia tau Aldric tak akan pernah puas.Aurelind melihat perubahan di wajah Ziandra dan tersenyum tipis. "Jadi, jika kamu berpikir bahwa Aldric bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar atasan, aku sarankan kamu berpikir ulang," katanya pelan. "Dia mungkin bisa membuatmu merasa istimewa sekarang, tapi cepat atau lambat, kamu hanya akan menjadi salah satu koleksi lamanya."Ziandra menarik napas dalam, menekan gelombang emosi yang mulai mengoyaknya."Terima kasih atas peringatannya, Bu Aurelind," katanya dengan suara yang
Matahari pagi menyinari kota Mauva dengan kehangatan yang lembut. Dari balkon kamar hotelnya, Ziandra bisa melihat kehidupan kota mulai menggeliat—orang-orang yang berlalu-lalang, suara klakson mobil, dan aroma kopi yang samar-samar tercium dari kedai-kedai di bawah.Namun, tidak ada kehangatan yang menyentuh dirinya pagi ini.Sejak Aldric pergi tadi malam, pikirannya tak henti-henti bergemuruh. Wajahnya masih bisa merasakan sentuhan ringan pria itu di pelipisnya, kata-katanya terus terngiang di benaknya."Karena saat kau akhirnya menyerah... aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Ziandra menggeleng pelan, menegakkan bahu, mencoba mengusir bayang-bayang Aldric yang terus menghantuinya.“Aku tidak bisa membiarkan pikiranku dikendalikan lelaki itu. Aku harus tetap fokus pada pekerjaanku, bukan emosiku.”Namun, ketenangan pagi itu tidak bertahan lama.Ketukan di pintu mengusiknya dari lamunannya.Ziandra menoleh dan melangkah ke pintu, membuka sedikit celah untuk melihat siapa
"Sejak awal, kamu selalu membangun dinding di sekitarmu," lanjut Aldric, suaranya serak di udara. "Menjaga jarak, seolah-olah kamu takut... takut kalau aku akan menarikmu ke dalam sesuatu yang lebih dalam."Jantung Ziandra berdetak semakin keras.Sesuatu yang lebih dalam.Bukan hanya hubungan transaksional, bukan hanya permainan kekuasaan di balik meja perjanjian. Tetapi sesuatu yang benar-benar bisa mengubah segalanya.Dan itulah yang selama ini dia takuti.Dia bisa mengendalikan segala hal—kehidupannya, pekerjaannya, bahkan hubungannya dengan Aldric. Namun, dia tidak yakin bisa mengendalikan perasaannya sendiri.Tangan bebas Aldric menyentuh dagunya dengan jemari hangat, lalu perlahan memutar wajah Ziandra lebih intens hingga mereka bertemu pandang. Mata abu-abu pria itu begitu pekat, seperti lautan yang bisa menyeret siapa pun ke dalam pusarannya."Jika aku menciummu sekarang," bisik Aldric, "apakah kamu akan menolakku?"Dada Ziandra naik turun. Dia tidak menjawab.Tangan Aldric be
“Nhh… Pak….” Ziandra berjuang menahan suaranya.Ziandra menggigit bibirnya, menekan napas yang tersendat di tenggorokannya. Sentuhan Aldric begitu mendominasi, mengunci dirinya dalam pusaran sensasi yang sulit dia lawan. Tubuhnya terperangkap di antara dada pria itu dan dinding dingin yang terasa kontras dengan hangatnya kehadiran Aldric. "Kenapa hanya berbisik?" suara pria itu rendah, hampir seperti geraman samar di telinganya. "Bukankah biasanya kamu selalu punya jawaban untuk mendebatku seperti tadi?" Ziandra berusaha mengatur pikirannya yang berantakan, namun sulit ketika jemari Aldric bergerak seperti angin, menyentuhnya dengan cara yang nyaris membuatnya kehilangan kendali atas diri sendiri. "Pa-Pak Aldric...." suaranya terdengar goyah. Aldric hanya tertawa pelan, suaranya dalam dan bergetar di udara. "Aku menyukaimu seperti ini, Zia. Terdiam, hanya fokus padaku." Panas merambati kulitnya. Ziandra bukan gadis lugu yang tak memahami apa yang sedang terjadi, tetapi dia juga b
"Hmh!" Ziandra mendenguskan napasnya, cukup jelas. "Anggap ini sebagai sikap baik saya pada putra Bos saya."Ziandra tidak ingin berdebat lebih lama. Jadi, dia hanya berjalan masuk ke hotel dengan Kenzo yang tetap membuntutinya.Mereka menaiki lift bersama dalam keheningan. Kenzo, tentu saja, sesekali mencuri pandang ke arahnya, senyum jahilnya masih bertahan di wajahnya."Kakak Cantik, kamu begitu cantik menawan. Bahkan kurasa kamu lebih cantik ketimbang para model yang kukenal." Kenzo masih sempat melontarkan rayuannya.Ziandra bertahan dalam diam dan tidak ingin menanggapi. Pemuda itu semakin tidak bisa dibungkam jika ditanggapi.Begitu lift sampai di lantai tempat Ziandra menginap, dia segera keluar dengan langkah cepat. Kenzo masih mengikutinya sampai mereka berhenti di depan pintu kamarnya.Ziandra menoleh dan menatap Kenzo dengan ekspresi tegas. "Terima kasih sudah mengantar, Tuan Muda. Sekarang, kembalilah ke kamar Anda."Kenz
Kenzo terkekeh. "Selalu kembali ke 'Tuan Muda' ya? Kamu tau, panggilan itu membuatku terdengar jauh lebih tua dari usiaku.""Tapi memang itu kenyataannya," balas Ziandra cepat."Bagaimana kalau aku menyuruhmu memanggil namaku?" tantang Kenzo.Ziandra mendengus pelan. "Saya tidak akan melakukannya.""Oh?" Kenzo mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya hanya beberapa inci dari Ziandra. "Kalau aku terus menggodamu, akankah kamu akhirnya menyerah?"Ziandra menahan napas, tapi sebelum dia bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara lonceng kecil dari toko di dekat mereka yang menandakan ada pelanggan masuk.Momen itu buyar, dan Ziandra segera menarik tangannya sebelum Kenzo bisa menggodanya lebih jauh. Dia melangkah mundur dan menatap Kenzo dengan tatapan peringatan."Kalau Anda ingin berjalan-jalan, maka berjalanlah," ucap Ziandra, nadanya lebih tegas dari sebelumnya. "Jangan bermain-main dengan saya."Kenzo mengangkat kedua tangan de
‘Tidak! Aku tak boleh lengah!’ seru Ziandra dalam batin. 'Aku sudah cukup dipermainkan ayahnya, maka jangan sampai itu terjadi pula dengan anaknya.'Dengan satu tarikan halus, Ziandra berhasil melepaskan tangannya. Dia melirik Kenzo dengan tatapan peringatan. “Jangan begini, Tuan Muda.”Kenzo tertawa kecil, lalu mengangkat kedua tangan lagi. “Baiklah, baiklah. Aku akan bersikap manis.” Namun, matanya tetap penuh kilatan jahil yang berbahaya.Ziandra sadar, ini belum selesai. Malam masih panjang, dan Kenzo belum menunjukkan tanda-tanda akan menyerah.‘Pemuda ini… sama berbahayanya seperti ayahnya,’ bisik batin Ziandra.Ziandra menarik napas dalam, berusaha menetralisir sensasi aneh yang muncul akibat interaksi barusan.‘Tuan Muda Kenzo terlalu… mengganggu,’ batinnya.Dengan cara yang sulit dijelaskan, pemuda itu membuat udara terasa lebih panas meskipun angin malam bertiup sejuk.Mereka berjalan berdampingan di sepanjang trotoar kota yang dipenuhi lampu-lampu cantik, bayangan mereka me