‘Me-memikat?!’ Ziandra terkejut dengan ucapan Aldric.Dia semakin tidak paham dengan beberapa perkataan Aldric yang terkadang di luar perkiraan nalarnya.Kata-kata itu membuat Ziandra terdiam, tentu saja. Dia tidak tahu apakah Aldric benar-benar serius atau hanya melanjutkan godaannya.Namun, sesuatu dalam nada suara pria itu terasa tulus, dan itu cukup untuk membuat Ziandra merasa salah tingkah.Sebelum suasana semakin aneh, sebuah ketukan di pintu memecah keheningan. “Pak Aldric?” suara asisten Aldric terdengar dari luar.Mau tak mau, Ziandra bangkit dari pangkuan Aldric.Aldric mendesah sambil bangkit dari sofa, tetapi tidak sebelum menoleh ke arah Ziandra dengan tatapan iseng. “Kita lanjutkan lagi nanti, ya? Kamu bisa bersabar, kan?”Ziandra menunduk saat Aldric berjalan mendekati pintu untuk membuka, tetapi jantungnya masih berdetak kencang. Entah kenapa, tatapan dan kata-kata pria itu tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya. “Kita lanjutkan lagi nanti, ya? Kamu bisa bersabar, k
Ziandra memutar bola matanya. “Bapak terlalu percaya diri.”“Oh, aku tidak percaya diri. Aku hanya realistis,” balas Aldric, matanya berkilat nakal. “Buktinya, kau tidak meninggalkanku saat aku tertidur tadi. Itu cukup membuktikan bahwa kau peduli.”“Saya tidak meninggalkan karena… itu tidak sopan!” Ziandra berusaha membela diri, tapi dia tahu argumennya terdengar lemah. Pipinya kembali memerah, dan Aldric tampak menikmatinya.“Baiklah, baiklah,” Aldric mengangkat tangan lagi. “Aku tidak akan mendesakmu. Tapi aku tahu suatu saat nanti, kamu akan mengakuinya.”Ziandra menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan Aldric yang tertawa kecil. Meski dia tidak ingin mengakuinya, ada sesuatu tentang pria itu yang perlahan meluluhkan benteng pertahanannya. Dan itu membuatnya merasa lebih bingung dari sebelumnya.“Kalau begitu, saya kembali ke ruangan saya,” ujar Ziandra, mencoba mengakhiri percakapan ini.“Silakan,” kata Aldric santai. Tapi sebelum dia melangkah keluar, Aldric menambahkan dengan
“Ba-bagaimana Bapak bisa mengetahui bahwa saya memiliki anak?” tanya Ziandra dengan nada heran kepada sang Bos di handphone.Aldric tertawa, kekehannya terdengar jelas di telinga Ziandra.“Tentu, Zia. Menurutmu kenapa aku bisa menjadi pengusaha besar di Sangria? Itu karena aku memiliki banyak mata dan telinga yang tersebar di mana pun. Tak ada yang lolos dari pengamatanku, termasuk kamu.” Aldric menjabarkan dengan sikap arogan yang menyebalkan di mata Ziandra.Tapi mau bagaimanapun, Aldric memang pantas untuk arogan dan menyombongkan kemampuannya di dunia bisnis. Perusahaan besarnya yang menggurita tidak bisa diabaikan.Ziandra tidak bisa memikirkan dugaan lain mengenai Aldric tahu dia memiliki putri.“Maaf, Pak, saya tidak bermaksud menyembunyikan perihal putri saya, Clara.” Ziandra menggenggam erat handphone-nya sembari berharap Aldric tidak memberikan hukuman padanya.“Oh! Tak masalah mengenai itu, Zia. Aku bukan orang kolot yang meributkan mengenai anak.” Aldric menjawab.Pria ber
Ziandra menahan napas sejenak. “Saya akan melakukan yang terbaik, Pak.”Aldric menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Oh, aku yakin kau bisa. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu secara pribadi.”Kata-kata itu terdengar seperti godaan terselubung di telinga Ziandra. Meski begitu, dia tahu bahwa pekerjaan ini bukan hanya tentang dirinya.Ini adalah harga yang harus dia bayar untuk memastikan masa depan Clara tetap aman. Apa pun yang Aldric rencanakan, dia harus siap menghadapi semuanya.“Ikut aku menemui klien, Zia.” Aldric mulai mengemasi barang-barangnya di atas meja.Karena ini merupakan tugas pertama dia sebagai asisten pribadi Aldric yang harus mendampinginya ke beberapa agenda Aldric, maka Ziandra ingin melakukan yang terbaik agar tidak memalukan.Apalagi, pengangkatan dia sebagai asisten pribadi cukup membuat beberapa rekan kerjanya terkejut. Maka dari itu, Ziandra harus membuktikan pada mereka bahwa dia layak dengan jabatan barunya.“Baik, Pak.” Ziandra memulai debu
“P-Pak Aldric.”Ucapan itu membuat wajah Ziandra langsung memanas. Dia menundukkan kepala, tidak berani menatap Aldric. Pipinya terasa membara, sementara tangannya meremas gaun yang dia pegang. "Pak Aldric, Anda keterlaluan," gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Aldric hanya terkekeh. "Oh, Zia. Kau tahu ini bagian dari kesepakatan kita. Tidak usah pura-pura malu. Sekarang, cepat ganti pakaian. Aku tidak punya banyak waktu."Ziandra hanya bisa mengangguk kecil, kemudian masuk ke ruang ganti. Di dalam, dia menatap pantulan dirinya di cermin sambil mengenakan salah satu setelan yang dipilih Aldric.Gaun blazer biru tua itu pas di tubuhnya, memberikan kesan anggun dan berwibawa.Namun, ada perasaan canggung yang terus menghantui pikirannya. Apakah semua ini benar-benar perlu? Apakah dia sudah melangkah terlalu jauh?Ketika dia keluar, Aldric sedang duduk di sofa butik, sibuk melihat jam tangannya.Namun, begitu melihat Ziandra, tatapannya berubah. Dia mengangguk puas. "Perfe
“K-ke tempat Bapak?”Ziandra terkejut, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Pergi ke hunian Aldric sama artinya dengan dia… harus melayani napsu sang Bos.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah mansion megah yang berdiri di atas lahan luas dengan taman yang terawat sempurna. Ziandra hanya bisa tertegun melihat kemewahannya setiap datang ke sana."Turun!" perintah Aldric.Tanpa banyak bicara, Ziandra mengikutinya masuk ke dalam mansion.Di dalam, interiornya tak kalah menakjubkan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal, lantai marmer, dan perabotan mahal membuat Ziandra merasa seperti memasuki dunia lain.Tapi dia tidak sempat menikmati pemandangan itu karena Aldric tiba-tiba menarik tangannya, membawanya ke sebuah ruangan besar yang tampaknya adalah kamar pribadinya."Pak Aldric, apa yang Anda—"Aldric menghentikannya dengan menatapnya tajam. "Aku kesal, Zia. Dan kamu tahu bagaimana cara menenangkanku, bukan?"Wajah Ziandra memerah, tapi dia tidak bisa berkat
“Wah! Mbak Zia!” Ruri, salah satu tetangga kompleks rumah orang tua Ziandra, orangnya paling senang mencari bahan gibah untuk dibahas dengan ibu-ibu lainnya.Dia memandang kaget pada Ziandra yang tadi baru turun dari mobil mewah. Kini mobil itu sudah melaju meninggalkan area tersebut.“Itu tadi… mobil kantor, saya… saya diantarkan karena baru selesai… selesai menemani atasan menemui klien.” Ziandra berjuang mengendalikan kegugupannya.Akan gawat apabila dia dijadikan bahan gibah Ruri nantinya di kompleks hanya gara-gara diantarkan bos besar.“Ooo….” Ruri tidak berusaha memperpanjang pertanyaan dan tersenyum kecil.“Saya… saya masuk dulu ke bangsal Rara. Apakah Jeng Ruri menjenguk kerabat di sini?” tanya Ziandra dengan nada suara lebih santai.Sepertinya pengembangan kemampuan berdustanya belum sampai ke tahap ahli. Dia masih gelagapan dan cukup gugup ketika menyembunyikan sesuatu.“Oh, aku jenguk anaknya Mbak Zia, kok! Ini sedang menunggu suamiku datang untuk jemput saja karena mau pe
“Dokter, maksudnya bagaimana?” Ziandra masih belum paham.Tiba-tiba saja mereka datang dan menyampaikan perpindahan rumah sakit yang sangat mendadak.Memang boleh setiba-tiba ini?“Begini, Bu.” Kali ini perawat yang berbicara untuk menjelaskan. “Kami menerima telepon dari kerabat Bu Ziandra yang meminta pasien Clara berpindah ke rumah sakit Serenia untuk memaksimalkan pengobatan bagi anak ibu. Beliau sudah memesan ruang khusus di sana dan putri Ibu bisa langsung masuk saja.”Mata Ziandra bergerak-gerak melirik dokter dan perawat secara bergantian. Ada kerabatnya yang sudah menangani itu semua? Kerabat yang mana? Baik sekali! Apakah kerabat jauh yang belum pernah dia temui?Karena kerabat yang dia ketahui, mereka semua bukannya membantu tapi justru meminta ini dan itu.“Ah, begitu.” Ziandra masih bingung. “Lalu, kapan pindahnya?”“Sekarang juga tidak apa jika Ibu dan pasien Clara sudah siap.” Perawat menjawab.Dokter di sampingnya mengangguk.Maka, karena ada kerabat yang bersedia sede
Aurelind mengetuk meja dengan jari-jarinya, menatap putranya dengan ekspresi serius. "Karena dia wanita bersuami."Kenzo tersenyum tipis. "Yang mana suaminya?"Aurelind terdiam sejenak sebelum mendesah. "Dion Pradipta, pria itu masih berstatus sebagai suaminya."Tentu saja demi putranya, Aurelind akan mengerahkan semua sumber dayanya untuk mendapatkan informasi mengenai Ziandra."Tapi itu bukan merupakan sebuah alasan valid untuk melarangku berteman dengannya, Ma." Kenzo menyesap kopinya dengan santai. "Dan aku tidak memilah teman dari status pernikahannya."Aurelind menggeleng, ekspresinya semakin tak senang. "Kenzo, dengarkan aku baik-baik. Aku ibumu, dan aku tahu wanita seperti dia bukan tipe yang baik untukmu. Dia sedang menggoda Aldric, dan kamu tau itu!"Kenzo menatap ibunya dengan mata penuh ketertarikan. "Jadi? Aku justru penasaran siapa yang akan dia pilih pada akhirnya."Aurelind menghela napas, kesal dengan sikap santai putranya. "Dengar, sayang… Aku tidak akan membiarkanmu
Ziandra menegang di tempatnya, tetapi Kenzo tetap tenang seperti biasa. Bahkan, pemuda itu hanya mengangkat alis dan menyeringai santai."Ah, Papa!" kata Kenzo ringan. "Kebetulan sekali kita bertemu. Kamu mau ikut duduk dan makan siang bersama kami?"Aldric tidak menjawab. Matanya yang tajam langsung mengarah ke Ziandra, seolah menuntut jawaban.Sementara itu, Aurelind melipat tangan di depan dadanya dan menatap tajam ke arah Ziandra. "Aku seharusnya sudah menduga," gumamnya. "Kamu benar-benar cepat bergerak, yah?"Ziandra menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdebar. "Saya hanya makan siang, Bu Aurelind," jawabnya pelan.Namun, Aurelind tertawa kecil—bukan tawa yang ramah, melainkan sinis. "Makan siang, yah? Dengan putranya Aldric?" Dia menatap tajam ke arah Kenzo sebelum kembali ke Ziandra. "Apa kamu sekarang mencoba mendekati keluarganya satu per satu?"Ziandra terkejut. "Apa maksud Anda?"Aurelind melangkah lebih dekat, ekspresinya tajam. "Kamu pikir aku tidak tau
"Kenapa Bu Aurelind menolak lamaran Pak Aldric?" tanya Ziandra dengan hati berdebar-debar.Aurelind tersenyum kecil, tetapi bukan senyum bahagia. "Karena aku tau dia tidak akan pernah bisa setia. Aku tidak mau menghabiskan hidupku dengan lelaki yang terus mencari sesuatu yang lebih... dan lebih lagi."Ziandra mencoba memproses semua yang baru saja dia dengar.Sisi gelap Aldric.Kebiasaannya yang tidak bisa hanya dengan satu wanita.Lamaran yang ditolak Aurelind karena dia tau Aldric tak akan pernah puas.Aurelind melihat perubahan di wajah Ziandra dan tersenyum tipis. "Jadi, jika kamu berpikir bahwa Aldric bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar atasan, aku sarankan kamu berpikir ulang," katanya pelan. "Dia mungkin bisa membuatmu merasa istimewa sekarang, tapi cepat atau lambat, kamu hanya akan menjadi salah satu koleksi lamanya."Ziandra menarik napas dalam, menekan gelombang emosi yang mulai mengoyaknya."Terima kasih atas peringatannya, Bu Aurelind," katanya dengan suara yang
Matahari pagi menyinari kota Mauva dengan kehangatan yang lembut. Dari balkon kamar hotelnya, Ziandra bisa melihat kehidupan kota mulai menggeliat—orang-orang yang berlalu-lalang, suara klakson mobil, dan aroma kopi yang samar-samar tercium dari kedai-kedai di bawah.Namun, tidak ada kehangatan yang menyentuh dirinya pagi ini.Sejak Aldric pergi tadi malam, pikirannya tak henti-henti bergemuruh. Wajahnya masih bisa merasakan sentuhan ringan pria itu di pelipisnya, kata-katanya terus terngiang di benaknya."Karena saat kau akhirnya menyerah... aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Ziandra menggeleng pelan, menegakkan bahu, mencoba mengusir bayang-bayang Aldric yang terus menghantuinya.“Aku tidak bisa membiarkan pikiranku dikendalikan lelaki itu. Aku harus tetap fokus pada pekerjaanku, bukan emosiku.”Namun, ketenangan pagi itu tidak bertahan lama.Ketukan di pintu mengusiknya dari lamunannya.Ziandra menoleh dan melangkah ke pintu, membuka sedikit celah untuk melihat siapa
"Sejak awal, kamu selalu membangun dinding di sekitarmu," lanjut Aldric, suaranya serak di udara. "Menjaga jarak, seolah-olah kamu takut... takut kalau aku akan menarikmu ke dalam sesuatu yang lebih dalam."Jantung Ziandra berdetak semakin keras.Sesuatu yang lebih dalam.Bukan hanya hubungan transaksional, bukan hanya permainan kekuasaan di balik meja perjanjian. Tetapi sesuatu yang benar-benar bisa mengubah segalanya.Dan itulah yang selama ini dia takuti.Dia bisa mengendalikan segala hal—kehidupannya, pekerjaannya, bahkan hubungannya dengan Aldric. Namun, dia tidak yakin bisa mengendalikan perasaannya sendiri.Tangan bebas Aldric menyentuh dagunya dengan jemari hangat, lalu perlahan memutar wajah Ziandra lebih intens hingga mereka bertemu pandang. Mata abu-abu pria itu begitu pekat, seperti lautan yang bisa menyeret siapa pun ke dalam pusarannya."Jika aku menciummu sekarang," bisik Aldric, "apakah kamu akan menolakku?"Dada Ziandra naik turun. Dia tidak menjawab.Tangan Aldric be
“Nhh… Pak….” Ziandra berjuang menahan suaranya.Ziandra menggigit bibirnya, menekan napas yang tersendat di tenggorokannya. Sentuhan Aldric begitu mendominasi, mengunci dirinya dalam pusaran sensasi yang sulit dia lawan. Tubuhnya terperangkap di antara dada pria itu dan dinding dingin yang terasa kontras dengan hangatnya kehadiran Aldric. "Kenapa hanya berbisik?" suara pria itu rendah, hampir seperti geraman samar di telinganya. "Bukankah biasanya kamu selalu punya jawaban untuk mendebatku seperti tadi?" Ziandra berusaha mengatur pikirannya yang berantakan, namun sulit ketika jemari Aldric bergerak seperti angin, menyentuhnya dengan cara yang nyaris membuatnya kehilangan kendali atas diri sendiri. "Pa-Pak Aldric...." suaranya terdengar goyah. Aldric hanya tertawa pelan, suaranya dalam dan bergetar di udara. "Aku menyukaimu seperti ini, Zia. Terdiam, hanya fokus padaku." Panas merambati kulitnya. Ziandra bukan gadis lugu yang tak memahami apa yang sedang terjadi, tetapi dia juga b
"Hmh!" Ziandra mendenguskan napasnya, cukup jelas. "Anggap ini sebagai sikap baik saya pada putra Bos saya."Ziandra tidak ingin berdebat lebih lama. Jadi, dia hanya berjalan masuk ke hotel dengan Kenzo yang tetap membuntutinya.Mereka menaiki lift bersama dalam keheningan. Kenzo, tentu saja, sesekali mencuri pandang ke arahnya, senyum jahilnya masih bertahan di wajahnya."Kakak Cantik, kamu begitu cantik menawan. Bahkan kurasa kamu lebih cantik ketimbang para model yang kukenal." Kenzo masih sempat melontarkan rayuannya.Ziandra bertahan dalam diam dan tidak ingin menanggapi. Pemuda itu semakin tidak bisa dibungkam jika ditanggapi.Begitu lift sampai di lantai tempat Ziandra menginap, dia segera keluar dengan langkah cepat. Kenzo masih mengikutinya sampai mereka berhenti di depan pintu kamarnya.Ziandra menoleh dan menatap Kenzo dengan ekspresi tegas. "Terima kasih sudah mengantar, Tuan Muda. Sekarang, kembalilah ke kamar Anda."Kenz
Kenzo terkekeh. "Selalu kembali ke 'Tuan Muda' ya? Kamu tau, panggilan itu membuatku terdengar jauh lebih tua dari usiaku.""Tapi memang itu kenyataannya," balas Ziandra cepat."Bagaimana kalau aku menyuruhmu memanggil namaku?" tantang Kenzo.Ziandra mendengus pelan. "Saya tidak akan melakukannya.""Oh?" Kenzo mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya hanya beberapa inci dari Ziandra. "Kalau aku terus menggodamu, akankah kamu akhirnya menyerah?"Ziandra menahan napas, tapi sebelum dia bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara lonceng kecil dari toko di dekat mereka yang menandakan ada pelanggan masuk.Momen itu buyar, dan Ziandra segera menarik tangannya sebelum Kenzo bisa menggodanya lebih jauh. Dia melangkah mundur dan menatap Kenzo dengan tatapan peringatan."Kalau Anda ingin berjalan-jalan, maka berjalanlah," ucap Ziandra, nadanya lebih tegas dari sebelumnya. "Jangan bermain-main dengan saya."Kenzo mengangkat kedua tangan de
‘Tidak! Aku tak boleh lengah!’ seru Ziandra dalam batin. 'Aku sudah cukup dipermainkan ayahnya, maka jangan sampai itu terjadi pula dengan anaknya.'Dengan satu tarikan halus, Ziandra berhasil melepaskan tangannya. Dia melirik Kenzo dengan tatapan peringatan. “Jangan begini, Tuan Muda.”Kenzo tertawa kecil, lalu mengangkat kedua tangan lagi. “Baiklah, baiklah. Aku akan bersikap manis.” Namun, matanya tetap penuh kilatan jahil yang berbahaya.Ziandra sadar, ini belum selesai. Malam masih panjang, dan Kenzo belum menunjukkan tanda-tanda akan menyerah.‘Pemuda ini… sama berbahayanya seperti ayahnya,’ bisik batin Ziandra.Ziandra menarik napas dalam, berusaha menetralisir sensasi aneh yang muncul akibat interaksi barusan.‘Tuan Muda Kenzo terlalu… mengganggu,’ batinnya.Dengan cara yang sulit dijelaskan, pemuda itu membuat udara terasa lebih panas meskipun angin malam bertiup sejuk.Mereka berjalan berdampingan di sepanjang trotoar kota yang dipenuhi lampu-lampu cantik, bayangan mereka me