“Wah! Mbak Zia!” Ruri, salah satu tetangga kompleks rumah orang tua Ziandra, orangnya paling senang mencari bahan gibah untuk dibahas dengan ibu-ibu lainnya.Dia memandang kaget pada Ziandra yang tadi baru turun dari mobil mewah. Kini mobil itu sudah melaju meninggalkan area tersebut.“Itu tadi… mobil kantor, saya… saya diantarkan karena baru selesai… selesai menemani atasan menemui klien.” Ziandra berjuang mengendalikan kegugupannya.Akan gawat apabila dia dijadikan bahan gibah Ruri nantinya di kompleks hanya gara-gara diantarkan bos besar.“Ooo….” Ruri tidak berusaha memperpanjang pertanyaan dan tersenyum kecil.“Saya… saya masuk dulu ke bangsal Rara. Apakah Jeng Ruri menjenguk kerabat di sini?” tanya Ziandra dengan nada suara lebih santai.Sepertinya pengembangan kemampuan berdustanya belum sampai ke tahap ahli. Dia masih gelagapan dan cukup gugup ketika menyembunyikan sesuatu.“Oh, aku jenguk anaknya Mbak Zia, kok! Ini sedang menunggu suamiku datang untuk jemput saja karena mau pe
“Dokter, maksudnya bagaimana?” Ziandra masih belum paham.Tiba-tiba saja mereka datang dan menyampaikan perpindahan rumah sakit yang sangat mendadak.Memang boleh setiba-tiba ini?“Begini, Bu.” Kali ini perawat yang berbicara untuk menjelaskan. “Kami menerima telepon dari kerabat Bu Ziandra yang meminta pasien Clara berpindah ke rumah sakit Serenia untuk memaksimalkan pengobatan bagi anak ibu. Beliau sudah memesan ruang khusus di sana dan putri Ibu bisa langsung masuk saja.”Mata Ziandra bergerak-gerak melirik dokter dan perawat secara bergantian. Ada kerabatnya yang sudah menangani itu semua? Kerabat yang mana? Baik sekali! Apakah kerabat jauh yang belum pernah dia temui?Karena kerabat yang dia ketahui, mereka semua bukannya membantu tapi justru meminta ini dan itu.“Ah, begitu.” Ziandra masih bingung. “Lalu, kapan pindahnya?”“Sekarang juga tidak apa jika Ibu dan pasien Clara sudah siap.” Perawat menjawab.Dokter di sampingnya mengangguk.Maka, karena ada kerabat yang bersedia sede
‘Ternyata itu Pak Aldric! Dia! Dia yang memindahkan Rara ke rumah sakit yang lebih baik dan sudah melunasi semua biayanya!’ Ziandra berteriak dalam hatinya, perasaan campur aduk memenuhi dadanya.Dengan Clara kini ditempatkan di ruang VIP khusus untuk penderita kanker, suasana menjadi jauh lebih nyaman.Clara mendapatkan perawatan intensif yang sesuai dengan kebutuhannya, termasuk kehadiran perawat khusus yang siap membantu kapan saja.‘Aku bersyukur melihat kenyamanan ini. Bahkan mama yang kerap merasa tidak nyaman saat menjaga Rara di rumah sakit sebelumnya, sekarang bisa lebih santai karena ada tempat tidur khusus untuk penunggu pasien.’Ziandra tersenyum akan itu.Clara sendiri terlihat lebih ceria, meski sesekali masih merasakan lemas akibat pengobatannya.Ziandra merasa sedikit lega bahwa setidaknya putrinya dapat menjalani perawatan dengan lebih baik.Di kantor, Ziandra memutuskan untuk segera menghadap Aldric di ruangan si Bos. Dia harus mengucapkan terima kasih secara langsun
‘Memegang kendali?’ Ziandra terheran-heran dengan kalimat dari Aldric dan dengan cepat memikirkannya di benak.Maksud Aldric apa? Bukankah seharusnya dia berhak melakukan keintiman dengan Dion, suaminya sendiri?‘Kalau dipikir-pikir, bukannya Bos Aldric aneh jika marah dan kesal kalau aku bermesraan dengan suamiku?’Ziandra masih bertanya-tanya dengan sikap tak wajar yang diberikan Aldric sehubungan dengan dia dan Dion bermesraan.‘Apa hak Bos Aldric, selain hanya berkaitan dengan perjanjian antara kita saja? Aneh!’ Ziandra masih saja tak paham dengan perilaku Aldric.Dia tak bisa memahami kecemburuan Aldric.“Jangan lupa kalau aku memegang penuh kendali atas kamu, Zia.” Terdengar suara berat memesona milik Aldric di telinga Ziandra.Semoga saja Dion tidak bisa ikut dengar atas ucapan Aldric baru saja.Tapi bagaimana Dion bisa dengar kalau pria itu masih sibuk merayu Ziandra di telinga satunya?“Ayo, sayang… sebentar saja, yuk! Tutup dulu telepon dari bosmu,” bisik Dion di telinga lai
Keesokan harinya, suasana kantor tampak seperti biasa. Namun bagi Ziandra, tidak ada yang terasa normal. Pikiran-pikirannya terus melayang ke percakapan semalam dengan Aldric—dan tentu saja kejadian tidak terduga bersama Dion.“Ya ampun, aku merasa ini aneh dan kacau.” Ziandra menggumamkannya dalam hati.Seolah semua hal campur aduk dalam benaknya, membuatnya lebih gugup dari biasanya.Dia merasa seakan-akan semua orang di kantor tahu apa yang terjadi, meskipun tentu saja itu hanya paranoia.“Eh?”Sebelum dia bisa melarikan diri ke meja kerjanya, telepon di tasnya bergetar. Nama Aldric muncul di layar, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.“Masuk ke ruanganku sekarang,” perintah suara Aldric, dingin dan tajam, tanpa basa-basi.Ziandra menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju ruangan presiden direktur.Setibanya di sana, Aldric sudah berdiri di balik meja kerjanya, menatap keluar jendela. Tangannya di sakunya, posturnya memancarkan aura otoritas.“Duduk,” katanya singkat tanpa
Ziandra terkejut mendengar kata-kata itu. "Pak Aldric, saya bukan milik siapa pun. Saya istri Mas Dion."Aldric mendekat lebih jauh, membuat Ziandra hampir mundur jika saja dia tidak menahan dirinya. "Kamu benar. Secara hukum, kamu istri Dion. Tapi Zia… aku tahu apa yang ada di pikiranmu tadi malam." Aldric menatapnya tajam, seolah ingin menembus pertahanannya.Ziandra tercekat. Bagaimana Aldric bisa tahu? Pria itu tahu kalau dia memikirkannya sepanjang dia melayani suaminya? Benar begitukah? Atau sang Bos hanya menebak?"Apa maksud Anda?" tanya Ziandra lemah, suaranya nyaris tenggelam.Aldric tertawa kecil, sebuah suara rendah yang penuh percaya diri. "Aku tidak perlu menjelaskan, kan? Kamu sudah tahu jawabannya.""Pak Aldric," Ziandra mencoba membela diri. "Ini tidak adil. Anda tidak berhak mengontrol kehidupan pribadi saya."Meskipun demikian, Ziandra masih ingin memiliki kendali atas dirinya sendiri.Aldric menyentuh dagunya, membuat Ziandra terdiam. Sentuhan itu lembut, tetapi pe
“Um… Pak?” Ziandra agak ragu ketika membuka pintu tersebut.Dia melongok ke dalam, tapi kenapa tidak ada siapa pun di sana? Bahkan ranjang besar yang terlihat begitu pintu dibuka pun tidak menampilkan sosok Aldric di sana.Alih-alih mengurungkan diri masuk karena si empunya tidak terlihat di kamar itu, kaki Ziandra justru melangkah masuk. Penasaran?“Pak—arghh!” Dia memekik ketika secara tiba-tiba ada tangan yang merengkuh pinggangnya dan menarik dia ke belakang.Pintu juga secara mendadak tertutup.Ketika dia menoleh, sudah ada Aldric dengan senyum seringai iblis di wajahnya.“Bagaimana yang sudah berbulan madu semalaman dengan suami tercinta, hm?” Aldric memenjarakan tubuh Ziandra dalam pelukan dua lengannya. “Pasti sangat menyenangkan, bukan?”Sindiran!Ziandra yakin bahwa sang Bos saat ini sedang menyindir dirinya. Tapi dia juga merasakan aroma satu lagi dari kalimat Aldric.Cemburu!Cemburu? Aldric? Pria mapan yang bisa memanggil wanita dengan hanya menjentikkan jari secara santa
Pada dua jam berikutnya, akhirnya Ziandra benar-benar terbebas dari kuasa Aldric.‘Bos sialan! Maniak! Hyper gila!’ Ziandra melepaskan umpatan kekesalan dia ke Aldric sambil dia turun dari tempat tidur.Jalannya sedikit sempoyongan akibat kegilaan Aldric hanya karena pria itu merasa cemburu terhadap suami Ziandra.Hingga akhirnya, dia bisa tentram menjalani perjalanan di udara.“Ayo, Zia.” Aldric mengulurkan tangannya ke Ziandra ketika mereka telah tiba di negara Maldavis, di kota metropolitan Mauva, dan hendak turun dari pesawat pribadi milik pria itu.Tidak memiliki pilihan lain, Ziandra menyambut tangan Aldric dan membiarkan pria itu menggenggamnya sambil mereka menuruni tangga yang disediakan pihak bandara.Mobil sudah siap menjemput dan membawa mereka ke sebuah hotel bintang lima di kota Mauva.“Nanti malam kita akan menemui calon klien.” Aldric berbicara ketika sudah berada di dalam mobil. “Karena ini masih siang, masih ada waktu untuk mencari baju buat kamu.”Ziandra melebarkan
“Bu Aurelind masuk rumah sakit!” desah Ziandra ketika mendengar itu dari Aldric.Namun, dia tak bisa banyak bertanya detail mengenai itu karena Aldric sudah lebih dulu menarik tangannya dan pria itu bungkam dengan rahang terkatup rapat saat mengemudikan mobil ke rumah sakit.Rumah Sakit St. Mavena – Kamar VIP‘Aduh… kenapa juga aku ikut?’ batinnya. ‘Tapi aku kan yang diseret ke sini, bukan kemauanku juga.’Ziandra berdiri canggung di sudut ruangan, memperhatikan Aurelind yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat. Aldric duduk di sisi ranjang, ekspresinya kaku dan tanpa emosi, sementara Kenzo berdiri tak jauh dari ibunya.Suasana ruangan terasa berat, diisi ketegangan yang hampir tak tertahankan.‘Lebih baik aku jaga jarak aman.’ Ziandra berusaha beringsut menyingkir lebih jauh dari mereka, meski hatinya gelisah melihat bagaimana Aldric bersikap begitu dingin.“Aku baik-baik saja,” suara Aurelind terdengar pelan tapi cukup jelas. Matanya yang sayu menatap Aldric. “Aku cuma kelelahan
Ziandra menelan ludah. “Kenzo hanya anak muda yang… suka bercanda. Aku yakin dia tak benar-benar serius.”“Aku tahu Kenzo, Zia,” Aldric menghela napas, lalu menatapnya lekat-lekat. “Dia mungkin bercanda, tapi dia juga tahu apa yang dia inginkan. Dan aku tidak suka kalau kamu menjadi bagian dari itu.”Ziandra mendadak merasa panas di wajahnya. Aldric menarik tangannya perlahan, mengapit jari-jarinya di dalam genggamannya yang hangat dan kuat.“Aldric…” Suaranya gemetar. Dia mencoba menarik tangannya, tapi Aldric tidak melepaskannya. Sebaliknya, pria itu justru mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin menipis.“Kenapa kamu selalu menjauh?” Aldric berbisik pelan, nadanya lembut tapi mengandung ketegasan. “Padahal aku tahu kamu juga merasakannya, Zia. Sama seperti aku.”Hati Ziandra berdentum keras. “Aku… aku tidak tahu maksud Anda…”Aldric tersenyum kecil, seakan menikmati cara Ziandra menjadi gugup. “Lihat? Kamu bahkan mulai memanggilku ‘Anda’ lagi saat kamu canggung.”Ziandra s
Ziandra terbelalak kaget. Ketegangan yang tadi sempat reda mendadak kembali menguat dengan cepat.Aldric dan Kenzo saling berhadapan, dan meskipun ekspresi keduanya tampak tenang, ada ketegangan samar yang terasa begitu kuat di antara mereka."Pa, kenapa sih?" Kenzo menarik tangannya dengan pelan, tapi ekspresi santainya tetap terjaga. "Aku cuma ajak Kakak Cantik beli oleh-oleh. Bukan mau menculiknya, kok."Ziandra merasa panas di wajahnya mendengar sebutan itu. Dia melirik Aldric yang wajahnya langsung mengeras."Dia bukan Kakak Cantikmu," tukas Aldric cepat. Nadanya ketus, hampir seperti geraman yang tertahan.Kenzo mengangkat alis, seakan terhibur melihat reaksi ayahnya. "Lho, kenapa enggak? Dia memang cantik, kan? Dan dia baik. Aku suka sama dia."Ziandra benar-benar ingin menghilang saat ini juga. "Kenzo—""Sudah cukup!" potong Aldric tajam, membuat Kenzo terdiam. "Ziandra bersamaku. Kalau kamu ingin beli oleh-oleh, lakukan sendiri."Kenzo terkekeh pelan, tapi tatapannya tetap pe
Ziandra menegang. Tatapan tajam Aurelind menusuknya seperti belati dingin yang menyerang tanpa peringatan.Mereka berdiri di sudut lounge hotel yang cukup sepi, tempat Aurelind tiba-tiba menghadangnya saat dia baru saja kembali dari berjalan-jalan dengan Aldric. Wajah wanita itu datar, tapi ada ketidaksenangan yang jelas tergambar di sana."Bukankah sudah aku katakan sebelumnya seperti apa Aldric itu?" Aurelind melipat tangan di depan dada. "Tapi kulihat Anda malah semakin lengket dengannya."Ziandra tetap berusaha tenang, meskipun ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya. "Saya tidak merasa seperti itu, Anda mungkin salah paham."Aurelind menyeringai kecil, jelas tidak percaya. "Oh, ayolah. Aku melihat bagaimana dia menatapmu, bagaimana kamu membiarkan dia menyentuhmu. Jangan bilang kau benar-benar berpikir dia mencintaimu?"Ziandra menggigit bibirnya. Apakah dia berpikir seperti itu? Dia tidak tahu. Yang jelas, setiap perhatian Aldric semakin membuatnya goyah."Aldric memang selalu se
DEG! DEG! DEG!Detak jantung Ziandra seolah berpacu lebih cepat. Ucapan Aldric menelusup ke relung hatinya yang rapuh.Perhatian pria itu selama ini, sentuhan lembut di saat-saat mereka bersama, dan kini pengakuan jujurnya—semua itu perlahan meruntuhkan benteng pertahanan Ziandra.“Pak Aldric...” Suaranya nyaris bergetar.“Sstt...” Aldric meletakkan jari telunjuk di bibir Ziandra, lalu menggenggam kedua tangan wanita itu. “Kamu boleh marah. Boleh benci aku. Tapi aku tidak bisa abai lagi. Aku ingin kamu merasa aman... di sisiku.”Ziandra menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam pernikahan dingin dengan Dion, dia nyaris lupa bagaimana rasanya diperhatikan dengan tulus.“Aku... Saya takut, Pak,” ucapnya pelan. “Ini… ini salah.”Aldric mendekat, begitu dekat hingga Ziandra bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya.“Kalau kamu takut, aku akan pegang tanganmu. Kita hadapi bersama,” bisiknya.Ziandra tak mampu berkata-kata. Sorot mata Ald
Ziandra terkejut ketika tangan Aldric menggenggam erat pergelangannya, menariknya menjauh dari Kenzo yang hanya bisa menatap dengan wajah yang susah ditebak.“Pak—” Ziandra mencoba protes, namun Aldric tak menghiraukan.Pria itu berjalan cepat, membawanya ke sebuah sudut di taman hotel yang sepi. Pepohonan rindang dan gemericik air mancur kecil menciptakan suasana tenang, namun jantung Ziandra justru berdegup kencang.“Apa-apaan ini, Pak?” bisik Ziandra, berusaha menahan ketegangan.Aldric berbalik, berdiri di hadapannya. Mata pria itu menyorot tajam.“Kamu benar-benar membuatku kesal hari ini,” kata Aldric sambil memperkecil jarak antara mereka.Mata mereka bertemu dengan intens.Hal itu membuat napas Ziandra memburu, antara takut dilihat orang dan terdominasi oleh sikap Aldric.Ziandra menarik napas dalam. “Maaf, Pak. Saya hanya—”“Kenzo.” Aldric memotong. “Selalu Kenzo. Kamu tahu, aku bukan pria yang suka berbagi.”Ziandra menunduk, merasa terjepit di antara ayah dan anak. “Kami han
Siang itu, Kota Mauva diselimuti angin sejuk yang berembus lembut, mengurangi terik matahari yang bersinar cerah.Ziandra berjalan di samping Kenzo menuju kedai es krim yang dia ceritakan tadi. Mereka menyusuri trotoar yang bersih, dengan deretan bangunan klasik yang menambah nuansa hangat di kota itu.“Kakak suka es krim rasa apa?” Kenzo membuka percakapan dengan nada ringan.Ziandra tersenyum tipis. “Aku suka rasa stroberi.”Kenzo mengangguk-angguk. “Manis dan segar, kayak Kakak.”Ziandra menoleh sambil mengernyit, namun dia tahu ini bagian dari gaya godaan Kenzo yang sudah terbiasa dia dengar. Dia memilih untuk tidak terpancing.Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah kedai es krim kecil di pojokan taman kota.Bangunannya sederhana, tapi penuh warna, dengan bangku-bangku kayu di terasnya.Aroma wafel segar menyeruak dari dalam, bercampur dengan wangi vanilla yang membuat perut Ziandra langsung terasa lapar.“Selamat datang!” sapa seorang wanita tua pemilik kedai de
“Astaga!” Ziandra sampai tak sadar memekik tertahan ketika dia mendengar suara Kenzo yang seriang matahari.Lekas saja dia mendorong Aldric.“Omak!” Aldric sampai menjerit tertahan.Bruk!Tubuh Aldric meluncur terjengkang ke lantai, sangat tidak elegan.“Kenapa ditendang, Zia?” Aldric mengusap-usap pantatnya sambil bangkit berdiri.Ziandra tak menggubis ucapan Aldric dan memilih untuk lari ke kamar mandi. Terlebih ketika bel pintu kamar suite Aldric terus berbunyi.Klak!“Apa maumu?” tanya Aldric pada putranya setelah pintu dibuka.Sedangkan di depan pintu, Kenzo menampilkan wajah jenaka sambil mengerling nakal ke ayahnya.“Pasti ada Kakak Cantik di dalam, iya kan?” tanya Kenzo.“Apa pedulimu? Sana kembali ke mamamu!” Wajah Aldric cemberut.Ketika dia sudah nyaris mendapatkan limitnya, tiba-tiba saja gangguan datang.Tak peduli hadangan ayahnya, Kenzo tetap merangsek masuk ke dalam kamar dan melongok ke kanan serta ke kiri, seakan mencari sesuatu.“Kakak Cantik? Yuhu, Kakak? Ziandra,
Aldric menghela napas, mencoba menenangkan anaknya. “Kenzo, ini urusan bisnis. Ziandra adalah asisten pribadiku.”Kenzo tidak percaya. “Bisnis? Pa, aku bukan bocah 10 tahun lalu yang mudah kamu perdaya. Aku tahu ada sesuatu yang lebih dari itu.”Aldric menatap Ziandra, matanya penuh arti. “Kenzo, kita akan membicarakan ini nanti. Sekarang, fokuslah pada pekerjaanmu yang aku berikan.”Setelah menutup ponsel, Aldric menatap Ziandra dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kenzo mulai curiga.”Tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Aurelind pun sudah sejak awal mencurigai hubungan aneh mereka.Apakah memang terlalu kentara?Ziandra merasa tidak nyaman. “Mungkin kita harus menjaga jarak, Aldric. Saya tidak ingin menjadi masalah antara kalian.”Dia sudah hendak melepaskan diri dari rengkuhan Aldric, tapi pria itu semakin menariknya ke dekapan tanpa dia bisa melawan.Aldric menggeleng. “Tidak, Zia. Tidak akan ada satu pun orang yang bisa mengendalikanku kecuali diriku sendiri. Akan kupastikan Kenzo