Maaf yah Mel lama tidak apdet cerita ini. Mel bingung, mo nulis yg anuh2, kok masih bulan puasa, jd tak enak sendiri ^^ Akhirnya Mel putuskan nunggu Ramadhan selesai utk lanjutkan ini. Oh ya, utk kalian teman muslim... Selamat Idul Fitri, Mel mohon maaf lahir batin.
“A-Aldric?” Sekali lagi Ziandra memanggil si Bos.Namun, senyap, seakan hanya dia sendirian saja di ruangan itu.Sret! Sret!Tiba-tiba dia dikejutkan dengan terurainya belenggu di pergelangan tangannya.“Pakai pakaianmu, Zia. Cepat!” Suara Aldric kembali terdengar.Ziandra merenggut kain penutup di matanya dan mendapati Aldric ada di depannya, berdiri dengan wajah tegang. Kenapa dengan pria itu? Marah?Tapi Ziandra tak ingin membuang waktu dan segera memakai pakaian yang sudah cukup rusak di beberapa bagian.“Pakai ini!” Aldric berkata sambil melemparkan jasnya ke Ziandra.Tanpa pikir panjang, Ziandra bergegas mengenakan jas yang kebesaran di tubuhnya untuk menutupi baju rusaknya di bagian atas.Kemudian, dengan digamit pada pinggangnya, Ziandra keluar dari tempat itu bersama Aldric, langsung masuk ke mobil si Bos.“Ini… kita ke mana? Kok bukan arah hotel?” tanya Ziandra saat dia mengamati jalanan yang dilalui.Dia masih ingat meski samar arah-arah ke hotelnya. Dan saat ini mobil just
‘Astaga, bagaimana aku menjelaskannya pada Rara? Apa aku beli dulu di kota setelah mendarat?’Ziandra bersandar di kursi penumpang jet pribadi Aldric, masih mencoba menenangkan pikirannya setelah semua yang terjadi.Langit luar jendela tampak gelap, malam menutupi seluruh pandangan, seakan menyembunyikan segala kenangan dan rahasia yang tertinggal di Maldavis.Dia menghela napas panjang, memeluk tubuhnya sendiri. Terlalu banyak hal yang belum bisa dia cerna. Aldric, Hanz, Kenzo—semuanya berputar di kepalanya seperti kabut yang tak kunjung reda.“Lusa seharusnya kita kembali,” gumamnya sendiri.Tapi Aldric, seperti biasa, mengambil keputusan sepihak. Mendadak, tak terbantahkan, dan tanpa penjelasan panjang. Sikapnya tetap sama—dingin, tegas, tak memberi ruang untuk perdebatan.Bahkan saat menyelamatkan Ziandra dari bahaya malam itu, dia melakukannya dengan ekspresi tajam dan diam, seolah bukan karena peduli, melainkan karena harga diri.Ziandra sempat menatapnya saat berada di kabin pe
Ziandra memandang Dion dengan dahi mengernyit, hatinya seketika terasa aneh. “Apa maksudmu kita pindah rumah?” tanyanya, menjaga nada suaranya tetap rendah agar tidak membangunkan Clara.Dion tersenyum, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak membuat Ziandra nyaman. “Aku dapat kerjaan di kota sebelah. Gaji bagus. Aku pikir ini bisa jadi awal yang baru buat kita. Kamu, aku, Clara. Kita tinggalkan semua masalah di sini.”“Kamu tiba-tiba sekali,” sahut Ziandra, pelan. “Kenapa tidak bicara dulu? Kenapa putuskan sendiri, Mas?”Dion mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya menyentuh tangan Ziandra dengan lembut, lalu turun ke pahanya. “Zia… kamu tahu aku cuma ingin yang terbaik buat keluarga kita. Aku tahu akhir-akhir ini kita… renggang. Tapi kita bisa perbaiki itu, kan?”Ziandra menegakkan punggungnya, merasa canggung. Dia bisa mencium napas Dion yang makin dekat.Laki-laki itu mengusap bahunya, lalu dengan perlahan menunduk, mencium sisi lehernya.“Dion, jangan,” ucapnya cepat, me
"Anak saya mengidap leukemia, Dok? Kok bisa?"Ziandra Askara nyaris pingsan saat dokter spesialis anak memberitahu penyakit Clara, anaknya yang masih berusia 5 tahun. Dia sedang berada di dalam ruang dokter anak rumah sakit Mayapada.Dokter menjelaskan. "Berdasarkan hasil pemeriksaan, Clara mengidap Acute Lymphoblastic Leukemia atau ALL. Yaitu jenis leukemia akut yang biasa terjadi pada anak-anak."Di tangan Ziandra, terdapat dua kertas. Yaitu hasil pemeriksaan medis dari dokter Ilham dan satu lagi tagihan biaya rumah sakit Clara dari kasir. Dia mengerutkan kening saat membaca keduanya.Ziandra menatap dokter yang menangani anaknya. "Lalu, kenapa dia bisa pingsan, Dok?"Saat hendak pergi bekerja tadi, Clara jatuh pingsan. Dia panik dan membawanya ke rumah sakit dibantu ibu dan adiknya. Sedangkan Dionーsuaminya, tidak peduli.Dion kecanduan judi online selama satu tahun belakangan ini. Utang pinjaman online Dion menggunung. Tidak terasa, Ziandra mulai menangis. Hatinya benar-benar hancu
“Tolong … pinjami saya uang, Pak!” Ziandra mengulangi permohonannya karena tak juga dia mendengar sahutan dari Aldric. “Sa-satu miliar rupiah ….” Suaranya seperti mencicit karena gugup, malu, dan ragu ketika mengatakannya.Awalnya dia hendak meminjam Rp100 juta, tapi mendadak dia berubah pikiran dan menyatakan nominal Rp1 miliar ke Aldric. Dia pikir, uang sebanyak itu bisa mencukupi seluruh biaya pengobatan anaknya.‘Aku tak peduli dianggap terlalu serakah. Ini semua demi Clara!’ seru batinnya.Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban bosnya. Dia tahu, permintaannya sangat keterlaluan. Mana ada karyawan meminjam sebanyak itu? Terlebih lagi, dia bukan jajaran eksekutif. Apakah dia akan menerima semburan marah bosnya? Ziandra ingin menangis. “Kenapa jumlahnya sebesar itu?” Suara Aldric meninggi tanpa berteriak. Tentu saja dia sangat terkejut mendengar nominal yang disebutkan kepala sekretarisnya. Mana ada bawahannya yang berani meminjam sebanyak itu?Ziandra meremas erat tangannya
‘Uff! Lelahnya! Bos sialan! Satu jam lebih dia mengerjai aku!’ rutuk Ziandra di hatinya sambil berjalan lunglai di lorong rumah sakit.Masih teringat jelas bagaimana Aldric sangat buas dan agresif ketika menyetubuhinya. Badannya terasa remuk akibat kegilaan sang Bos. Tadi mengendarai motor pun, nyaris menabrak beberapa kali.Dia kembali ke rumah sakit hanya untuk memastikan anaknya masuk ke ruang operasi dan kemudian pulang ke rumah untuk mandi. Untung saja Susan dan Namila mau menunggui Clara menjalani operasi.“Aku harus mandi … aku butuh mandi!” tegasnya, berbisik sambil mengemudikan motor ke rumah.Selama ini, dia masih menempati rumah orang tuanya bersama Dion dan Clara. Mereka belum memiliki rumah sendiri. Dulu dia hendak mengontrak sebuah rumah kecil agar mandiri, tapi Dion tak setuju. Dion lebih suka tinggal di rumah mertua yang cukup lapang dan nyaman.Tiba di rumah, dia melihat suaminya masih asyik bermain game online di sofa.Dia harus bersikap senormal mungkin di depan sua
‘Satu hal yang aku pelajari sekarang … jangan terburu-buru menilai seorang pria dari sikap baik yang ditampilkan di publik.’ Ziandra membatin, merasa tertipu.Dia berjalan gontai di lorong rumah sakit. Setiap selesai melayani Aldric, dia selalu merasa dirinya tak pantas ada di dunia ini. Malu kepada suami dan juga keluarga.Hanya karena tekad besar menyembuhkan anaknya yang membuat dia terus bertahan menjalani kegilaan yang sama sekali belum pernah dia rambah.“Kamu kenapa, Zia?” tanya Susan ketika putri sulungnya sudah tiba di depan ruang tunggu operasi. “Mukamu pucat begitu. Kamu sudah makan?”Ziandra lekas duduk di bangku panjang dan menjawab, “Sudah, Ma. Mukaku pucat … mungkin karena lelah, Ma.”Ya, dia lelah karena kegilaan Aldric.“Mila di mana?” tanya Ziandra ketika tidak melihat adiknya menemani Susan.“Dia baru saja pergi, katanya mau live di Tik Tak, makanya pulang lebih dulu.” Susan menyahut.Ziandra menghela napas. Tak habis pikir dengan kelakuan adiknya.“Bocah itu … dulu
“Astaga!” pekik tertahan Ziandra ketika menatap pantulan bayangannya di cermin besar kamar mandi mewah itu.Dia bisa melihat gaun tersebut begitu mini dan minim. Dia yakin kalau merunduk sedikit saja, maka akan langsung terlihat bokongnya. Belum lagi bagian dada yang banyak diekspos.Itu benar-benar kostum perawat seksi yang biasa digunakan untuk menaikkan gairah bercinta pasangan.“Da-dasar maniak! Gila! Cowok cabul! Mesum! Apa fetishnya perawat? Menjijikkan!” Sumpah serapah pelan Ziandra mengalir lancar ketika menyadari kemauan Aldric.Seumur-umur pernikahannya dengan Dion saja, suaminya tidak pernah minta macam-macam ketika mereka hendak bercinta.Tapi ini Aldric, seorang bujangan ….Ziandra tidak bisa tidak berasumsi liar bahwa bosnya sudah terbiasa memperlakukan wanita sedemikian rupa. Pikirannya gelap mengenai apa mungkin Aldric yang terlihat baik dan dermawan itu sejatinya suka merendahkan wanita?“Hei! Kenapa belum keluar? Jangan katakan kalau kamu ingin aku masuk dan membopon
Ziandra memandang Dion dengan dahi mengernyit, hatinya seketika terasa aneh. “Apa maksudmu kita pindah rumah?” tanyanya, menjaga nada suaranya tetap rendah agar tidak membangunkan Clara.Dion tersenyum, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak membuat Ziandra nyaman. “Aku dapat kerjaan di kota sebelah. Gaji bagus. Aku pikir ini bisa jadi awal yang baru buat kita. Kamu, aku, Clara. Kita tinggalkan semua masalah di sini.”“Kamu tiba-tiba sekali,” sahut Ziandra, pelan. “Kenapa tidak bicara dulu? Kenapa putuskan sendiri, Mas?”Dion mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya menyentuh tangan Ziandra dengan lembut, lalu turun ke pahanya. “Zia… kamu tahu aku cuma ingin yang terbaik buat keluarga kita. Aku tahu akhir-akhir ini kita… renggang. Tapi kita bisa perbaiki itu, kan?”Ziandra menegakkan punggungnya, merasa canggung. Dia bisa mencium napas Dion yang makin dekat.Laki-laki itu mengusap bahunya, lalu dengan perlahan menunduk, mencium sisi lehernya.“Dion, jangan,” ucapnya cepat, me
‘Astaga, bagaimana aku menjelaskannya pada Rara? Apa aku beli dulu di kota setelah mendarat?’Ziandra bersandar di kursi penumpang jet pribadi Aldric, masih mencoba menenangkan pikirannya setelah semua yang terjadi.Langit luar jendela tampak gelap, malam menutupi seluruh pandangan, seakan menyembunyikan segala kenangan dan rahasia yang tertinggal di Maldavis.Dia menghela napas panjang, memeluk tubuhnya sendiri. Terlalu banyak hal yang belum bisa dia cerna. Aldric, Hanz, Kenzo—semuanya berputar di kepalanya seperti kabut yang tak kunjung reda.“Lusa seharusnya kita kembali,” gumamnya sendiri.Tapi Aldric, seperti biasa, mengambil keputusan sepihak. Mendadak, tak terbantahkan, dan tanpa penjelasan panjang. Sikapnya tetap sama—dingin, tegas, tak memberi ruang untuk perdebatan.Bahkan saat menyelamatkan Ziandra dari bahaya malam itu, dia melakukannya dengan ekspresi tajam dan diam, seolah bukan karena peduli, melainkan karena harga diri.Ziandra sempat menatapnya saat berada di kabin pe
“A-Aldric?” Sekali lagi Ziandra memanggil si Bos.Namun, senyap, seakan hanya dia sendirian saja di ruangan itu.Sret! Sret!Tiba-tiba dia dikejutkan dengan terurainya belenggu di pergelangan tangannya.“Pakai pakaianmu, Zia. Cepat!” Suara Aldric kembali terdengar.Ziandra merenggut kain penutup di matanya dan mendapati Aldric ada di depannya, berdiri dengan wajah tegang. Kenapa dengan pria itu? Marah?Tapi Ziandra tak ingin membuang waktu dan segera memakai pakaian yang sudah cukup rusak di beberapa bagian.“Pakai ini!” Aldric berkata sambil melemparkan jasnya ke Ziandra.Tanpa pikir panjang, Ziandra bergegas mengenakan jas yang kebesaran di tubuhnya untuk menutupi baju rusaknya di bagian atas.Kemudian, dengan digamit pada pinggangnya, Ziandra keluar dari tempat itu bersama Aldric, langsung masuk ke mobil si Bos.“Ini… kita ke mana? Kok bukan arah hotel?” tanya Ziandra saat dia mengamati jalanan yang dilalui.Dia masih ingat meski samar arah-arah ke hotelnya. Dan saat ini mobil just
“A-apa maksudmu, Aldric?” Ziandra mulai dihinggapi rasa takut serta khawatir.Terlebih ketika dia melihat senyum seringai di wajah Aldric.“Aldric, lepaskan dulu ikatanku. Aku… aku akan melayanimu seperti biasanya.” Ziandra membujuk.Tangannya yang terbelenggu digerakkan dengan maksud meminta pria itu segera membebaskannya.Tapi Aldric justru menggeleng.“Bukankah aku sudah bilang kalau kamu menarik dalam kondisi seperti itu, Zia?” Aldric mengusap bibir menggunakan ibu jarinya.Setelah itu, dia menatap sekeliling, ada beberapa peralatan BDSM di sana, dan tangannya mengambil salah satu.“Aldric!” Ziandra terkejut saat kedua matanya seketika tertutup sesuatu berwarna hitam yang dipakaian Aldric padanya.Sebuah blindfold, penutup mata.“Sshhh… jangan terlalu tegang, Zia. Aku takkan menyakitimu. Aku justru akan membuatmu… melayang.” Aldric membisikkannya di dekat telinga Ziandra.Ziandra hendak menyahut, ketika dia bergiding merinding saat telinga yang baru saja menerima bisikan itu sudah
“Tidak! Aku tidak mau!” Ziandra memejamkan mata ketika dada polosnya masih saja diremas dan dipermainkan tangan agresif Hanz sambil pria itu sesekali akan mendekatkan ponselnya ke dia.Terkadang mengarahkan kamera ke wajahnya, kadang pula ke dadanya yang sudah tidak ditutupi apa pun.Isak tangis Ziandra tidak menimbulkan iba pada Hanz, seakan sudah tak ada rasa kemanusiaan sedikit pun pada pria itu.“Aldric… Aldric, tolong! Aldric… huhuhuuu….” Dengan mata terpejam erat, Ziandra tanpa sadar menyeru nama pria itu keras-keras saking kalutnya.CKLAAKK!Suara pintu yang dibuka kasar terdengar.Hanz tersentak, kepalanya menoleh dengan ekspresi terkejut.Ziandra juga membelalakkan mata, napasnya tersengal. Masih ada sisa air mata di pelupuk matanya.Di ambang pintu yang kini terbuka lebar, seorang pria berdiri dengan ekspresi penuh amarah.Tatapan matanya gelap, tajam seperti elang yang siap menerkam. Tangannya mengepal di sisinya, rahangnya mengeras seolah menahan diri agar tidak langsung
“Apa ini? Mau apa kau?”Ziandra tersentak saat kesadarannya kembali, napasnya tersengal. Rasa berat dan sesak menyerang tubuhnya, dan begitu matanya terbuka lebar, dia tersentak panik.“Tanganku!”Dua tangannya terikat di atas kepalanya, dibelenggu dengan kain kuat yang diikat ke kepala ranjang. Pergelangan kakinya juga mengalami nasib yang sama, terikat.Dia terbaring di atas tempat tidur empuk, tetapi rasa nyaman itu sama sekali tak berarti ketika dia menyadari situasinya.“Lepaskan aku! Lepaskan tali ini! Kumohon….”Dia panik saat menyadari bahwa dia sudah tak bisa berkutik. Namun, tetap saja dia berjuang melepaskan diri.“Kamu… kenapa kamu melakukan ini? Ini salah! Ini sudah melanggar hukum! Tolong lepaskan aku, dan aku berjanji takkan melaporkanmu. Aku akan langsung pulang dan tidak akan berkata apa-apa mengenai ini pada siapa pun.”Dengan nada memelas, dia membujuk Hanz agar melepaskannya. Dua tangan yang terbelenggu terus digerakkan, berharap bisa melonggarkan ikatannya.Tapi,
“Orang-orang yang tidak menghargainya, yah?” Suara Aldric terdengar berat dan sinis.Mata Aldric melirik setajam belati ke putranya. Kenzo sedang menyindir dia atau bagaimana?Ziandra menatapnya dengan bingung. Pemuda itu mengetahui seluk-beluk kehidupannya? Bahkan tentang Clara?Hal ini semakin membuat Ziandra tak tenang. "Kenzo, kamu baru mengenalku. Kamu tidak tahu—""Aku tahu cukup banyak untuk menyadari bahwa kamu pantas mendapatkan kebahagiaan," potong Kenzo.Aldric tiba-tiba menarik tangan Ziandra dengan kasar, wajahnya semakin gelap. "Sudah cukup, Kenzo. Ziandra bukan milikmu untuk direncanakan sesuka hati."Kenzo, bukannya takut, malah menahan tangan Ziandra yang satunya. "Tapi dia juga bukan milikmu, Ayah. Kamu sendiri yang selalu menolak konsep kepemilikan dalam hubungan, bukan? Lalu kenapa sekarang kamu terdengar begitu posesif?"Ziandra semakin merasa tak nyaman. Tatapan para tamu restoran semakin banyak yang mengarah ke mereka."Cukup! Aku tidak ingin menjadi pusat perha
"Hah? Argh!"Ziandra termangu mendengar ucapan sang Bos, tapi dia sudah langsung dihentak kuat-kuat dari bawah, sehingga dia tak sempat berpikir lebih."Ayo, Zia! Fokus saja padaku dan tinggalkan suamimu payahmu itu, ergh!" Aldric berucap disela-sela hentakannya."Tu-tunggu, Al—ahh!” Dia tak sempat mendebat Aldric karena pria itu sudah terus bergerak di bawahnya secara beringas.Ruang mobil yang terbatas menjadi semakin terasa sesak dan tak sanggup menampung pergolakan dua orang di dalamnya.“Kamu milikku, Zia!” geram Aldric seraya terus mengentak tubuh pasrah Ziandra.“Hah? Argh!” Ziandra tak mengerti maksud Aldric? Dia dinyatakan sebagai milik pria itu dikarenakan sudah dibeli oleh perjanjian laknat mereka?Bahkan ketika mereka sudah kembali ke hotel dan Aldric melanjutkan permainan panas mereka di kamarnya, pria itu mengulangi ucapannya.“Ja-jangan bicara be-begitu, Al…Aldric… mmhh….” Ziandra tergagap saat dia terengah dalam kuasa Aldric yang menindihnya dari belakang punggungnya.
“Pak….” Ziandra mendesah ketika tangannya ditarik secara lembut oleh Aldric dan dibawa ke dalam pelukan pria itu.“Jangan panggil aku seperti itu.” Suara Aldric melirih.Ziandra bisa merasakan debaran jantungnya sendiri yang berpacu dengan debaran milik Aldric.‘Sepertinya Pak Aldric sedang dalam kondisi yang cukup rapuh.’ Dia berpikir.Sementara, tanpa dia ketahui, Kenzo melihat adegan tersebut dan tetap diam di tempatnya, tidak mengganggu seperti biasa.Sret!Ketika Ziandra merasa iba akan rapuhnya Aldric saat ini, mendadak saja dia sudah ditarik pergi.‘Pasti Pak Aldric merasa hancur melihat kenekatan Bu Aurelind.’ Dia berspekulasi sembarangan saja di kepalanya. ‘Yah, wajar saja karena mereka memiliki anak dan tentu ada kisah sebelum ini.’Lagi dan lagi, Ziandra mencoba berempati atas hubungan rumit yang terjadi antara Aldric dan Aurelind.“Heh?&