“Kenapa, Zia?” tanya beberapa rekan kerjanya yang berdiri di dekatnya.Ziandra seketika gugup. Tentunya dia tak mungkin mengungkapkan k semua orang bahwa pantatnya baru saja diremas seseorang di belakangnya, dan dia 1000 persen yakin oknumnya adalah Aldric.“I-itu tadi… tadi…” Ziandra gelagapan, tidak menemukan kalimat alasan yang tepat.Kemampuan barunya, berdusta mencari alasan, mendadak saja tidak berfungsi.“Tadi kaki Zia tak sengaja menginjak ujung sepatuku. Makanya dia kaget.” Tiba-tiba, Aldric yang ada di belakangnya, berbicara.Dengan cepat, perhatian semua orang di lift tertuju ke Ziandra, seakan dia adalah pelaku kriminal paling berdosa di muka bumi ini.Ziandra terkejut. Dia tak tahu, apakah ucapan dari bosnya itu hendak menyelamatkannya atau justru ingin dia dimusuhi karyawan lainnya karena Aldric merupakan sosok yang sangat dipuja dan dipuji sebagian besar karyawan?‘Dasar Bos maniak cabul!’ maki Ziandra dalam hati. ‘Mencarikan alasan untukku sih memang baik, tapi tak per
‘Si brengsek cabul bermuka dua itu!’ geram Ziandra ketika membaca e-mail dari Aldric.Pesan itu membuat dadanya berdesir antara marah dan tak berdaya. Aldric jelas-jelas memanfaatkan posisinya untuk bermain-main dengannya. Pria itu sangat mengerti bagaimana memaksimalkan perjanjiannya.Dengan emosi yang memuncak, Ziandra hampir saja mengetik balasan penuh amarah, tapi dia berhenti.‘Aku sudah terikat perjanjian. Percuma aku marah. Tapi kalau dia semakin keterlaluan, bukankah hubungan kami akan tercium orang di sini?’ pikir Ziandra.Dia memutuskan untuk mengabaikan saja pesan itu, dan mulai berkonsentrasi pada pekerjaannya. Setelah itu, dia membuka dokumen kerja, berusaha mengabaikan segalanya.Namun, jauh di lubuk hatinya, Ziandra tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Dia harus memikirkan cara melindungi dirinya dari bahan gosip di kantor, sebelum Aldric melangkah lebih jauh di depan orang-orang.“Zia, berikan file ini ke Bos, sana!” Elvina sambil menaruh satu
“Pe-peluk?” Ziandra terkejut dengan permintaan Aldric.Pria itu biasanya yang membuat gerakan lebih dahulu, bukan meminta sesuatu untuk dia lakukan.Maka, Ziandra pun melakukan apa yang diperintahkan Aldric padanya. Dia melingkarkan kedua lengan ke leher Aldric dengan sikap gugup.“Yah, begitu saja. Diamlah untuk beberapa saat.” Aldric memberikan perintah berikutnya.Maka, Ziandra tidak berani bergerak dan hanya memeluk saja. Hanya saja, dia agak berjengit kaget ketika Aldric membalas pelukannya.Tak hanya itu, pria itu menaruh kepalanya di bahu Ziandra, seakan memasrahkan dirinya.Kini, mereka justru mirip seperti sepasang kekasih yang sedang melepaskan kerinduan. Agak membuat Ziandra berdebar-debar.Satu menit….Tiga menit….‘Kenapa dia hanya diam saja, yah?’ Ziandra sedikit kebingungan. Ini seperti bukan Aldric yang sering terlihat cabul mesum yang dia tahu.‘Ta-tapi bukan berarti aku menginginkan dia bertingkah cabul seperti biasanya, sih! Hanya… heran saja. Ya, cuma heran.’ Ziand
“Haahh~” Ziandra menghela napas panjang, pelan.Di tengah kegilaan hidupnya yang jungkir balik karena Aldric, dia tidak menyangka dirinya mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu. Bahkan, entah bagaimana, dia merasa nyaman berada di dekatnya.Tentu saja, dia tidak bisa menyangkal bahwa Aldric sering membuatnya kesal dengan permintaan-permintaan aneh.‘Tapi… di balik semua itu, seperti ada sisi lain dari Pak Aldric yang malah membuatku merasa kasihan sekaligus… entahlah!’Dia menatap Aldric yang masih tertidur lelap. Wajahnya terlihat begitu damai, jauh dari citra pria keras kepala yang dia kenal. Bibir pria itu sedikit terbuka, dan helai-helai rambut gelapnya jatuh ke dahi.Ziandra nyaris tersenyum melihatnya. Rasanya aneh, melihat Aldric yang biasanya penuh energi cabul, kini tampak begitu polos.‘Dia pasti sangat kelelahan,’ pikirnya.Pikirannya kembali pada rutinitas Aldric yang penuh tekanan. Memimpin perusahaan sebesar Zigma, menghadapi rapat tanpa henti, dan mengelola berbagai p
‘Me-memikat?!’ Ziandra terkejut dengan ucapan Aldric.Dia semakin tidak paham dengan beberapa perkataan Aldric yang terkadang di luar perkiraan nalarnya.Kata-kata itu membuat Ziandra terdiam, tentu saja. Dia tidak tahu apakah Aldric benar-benar serius atau hanya melanjutkan godaannya.Namun, sesuatu dalam nada suara pria itu terasa tulus, dan itu cukup untuk membuat Ziandra merasa salah tingkah.Sebelum suasana semakin aneh, sebuah ketukan di pintu memecah keheningan. “Pak Aldric?” suara asisten Aldric terdengar dari luar.Mau tak mau, Ziandra bangkit dari pangkuan Aldric.Aldric mendesah sambil bangkit dari sofa, tetapi tidak sebelum menoleh ke arah Ziandra dengan tatapan iseng. “Kita lanjutkan lagi nanti, ya? Kamu bisa bersabar, kan?”Ziandra menunduk saat Aldric berjalan mendekati pintu untuk membuka, tetapi jantungnya masih berdetak kencang. Entah kenapa, tatapan dan kata-kata pria itu tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya. “Kita lanjutkan lagi nanti, ya? Kamu bisa bersabar, k
Ziandra memutar bola matanya. “Bapak terlalu percaya diri.”“Oh, aku tidak percaya diri. Aku hanya realistis,” balas Aldric, matanya berkilat nakal. “Buktinya, kau tidak meninggalkanku saat aku tertidur tadi. Itu cukup membuktikan bahwa kau peduli.”“Saya tidak meninggalkan karena… itu tidak sopan!” Ziandra berusaha membela diri, tapi dia tahu argumennya terdengar lemah. Pipinya kembali memerah, dan Aldric tampak menikmatinya.“Baiklah, baiklah,” Aldric mengangkat tangan lagi. “Aku tidak akan mendesakmu. Tapi aku tahu suatu saat nanti, kamu akan mengakuinya.”Ziandra menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan Aldric yang tertawa kecil. Meski dia tidak ingin mengakuinya, ada sesuatu tentang pria itu yang perlahan meluluhkan benteng pertahanannya. Dan itu membuatnya merasa lebih bingung dari sebelumnya.“Kalau begitu, saya kembali ke ruangan saya,” ujar Ziandra, mencoba mengakhiri percakapan ini.“Silakan,” kata Aldric santai. Tapi sebelum dia melangkah keluar, Aldric menambahkan dengan
“Ba-bagaimana Bapak bisa mengetahui bahwa saya memiliki anak?” tanya Ziandra dengan nada heran kepada sang Bos di handphone.Aldric tertawa, kekehannya terdengar jelas di telinga Ziandra.“Tentu, Zia. Menurutmu kenapa aku bisa menjadi pengusaha besar di Sangria? Itu karena aku memiliki banyak mata dan telinga yang tersebar di mana pun. Tak ada yang lolos dari pengamatanku, termasuk kamu.” Aldric menjabarkan dengan sikap arogan yang menyebalkan di mata Ziandra.Tapi mau bagaimanapun, Aldric memang pantas untuk arogan dan menyombongkan kemampuannya di dunia bisnis. Perusahaan besarnya yang menggurita tidak bisa diabaikan.Ziandra tidak bisa memikirkan dugaan lain mengenai Aldric tahu dia memiliki putri.“Maaf, Pak, saya tidak bermaksud menyembunyikan perihal putri saya, Clara.” Ziandra menggenggam erat handphone-nya sembari berharap Aldric tidak memberikan hukuman padanya.“Oh! Tak masalah mengenai itu, Zia. Aku bukan orang kolot yang meributkan mengenai anak.” Aldric menjawab.Pria ber
Ziandra menahan napas sejenak. “Saya akan melakukan yang terbaik, Pak.”Aldric menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Oh, aku yakin kau bisa. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu secara pribadi.”Kata-kata itu terdengar seperti godaan terselubung di telinga Ziandra. Meski begitu, dia tahu bahwa pekerjaan ini bukan hanya tentang dirinya.Ini adalah harga yang harus dia bayar untuk memastikan masa depan Clara tetap aman. Apa pun yang Aldric rencanakan, dia harus siap menghadapi semuanya.“Ikut aku menemui klien, Zia.” Aldric mulai mengemasi barang-barangnya di atas meja.Karena ini merupakan tugas pertama dia sebagai asisten pribadi Aldric yang harus mendampinginya ke beberapa agenda Aldric, maka Ziandra ingin melakukan yang terbaik agar tidak memalukan.Apalagi, pengangkatan dia sebagai asisten pribadi cukup membuat beberapa rekan kerjanya terkejut. Maka dari itu, Ziandra harus membuktikan pada mereka bahwa dia layak dengan jabatan barunya.“Baik, Pak.” Ziandra memulai debu
“Bu Aurelind masuk rumah sakit!” desah Ziandra ketika mendengar itu dari Aldric.Namun, dia tak bisa banyak bertanya detail mengenai itu karena Aldric sudah lebih dulu menarik tangannya dan pria itu bungkam dengan rahang terkatup rapat saat mengemudikan mobil ke rumah sakit.Rumah Sakit St. Mavena – Kamar VIP‘Aduh… kenapa juga aku ikut?’ batinnya. ‘Tapi aku kan yang diseret ke sini, bukan kemauanku juga.’Ziandra berdiri canggung di sudut ruangan, memperhatikan Aurelind yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat. Aldric duduk di sisi ranjang, ekspresinya kaku dan tanpa emosi, sementara Kenzo berdiri tak jauh dari ibunya.Suasana ruangan terasa berat, diisi ketegangan yang hampir tak tertahankan.‘Lebih baik aku jaga jarak aman.’ Ziandra berusaha beringsut menyingkir lebih jauh dari mereka, meski hatinya gelisah melihat bagaimana Aldric bersikap begitu dingin.“Aku baik-baik saja,” suara Aurelind terdengar pelan tapi cukup jelas. Matanya yang sayu menatap Aldric. “Aku cuma kelelahan
Ziandra menelan ludah. “Kenzo hanya anak muda yang… suka bercanda. Aku yakin dia tak benar-benar serius.”“Aku tahu Kenzo, Zia,” Aldric menghela napas, lalu menatapnya lekat-lekat. “Dia mungkin bercanda, tapi dia juga tahu apa yang dia inginkan. Dan aku tidak suka kalau kamu menjadi bagian dari itu.”Ziandra mendadak merasa panas di wajahnya. Aldric menarik tangannya perlahan, mengapit jari-jarinya di dalam genggamannya yang hangat dan kuat.“Aldric…” Suaranya gemetar. Dia mencoba menarik tangannya, tapi Aldric tidak melepaskannya. Sebaliknya, pria itu justru mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin menipis.“Kenapa kamu selalu menjauh?” Aldric berbisik pelan, nadanya lembut tapi mengandung ketegasan. “Padahal aku tahu kamu juga merasakannya, Zia. Sama seperti aku.”Hati Ziandra berdentum keras. “Aku… aku tidak tahu maksud Anda…”Aldric tersenyum kecil, seakan menikmati cara Ziandra menjadi gugup. “Lihat? Kamu bahkan mulai memanggilku ‘Anda’ lagi saat kamu canggung.”Ziandra s
Ziandra terbelalak kaget. Ketegangan yang tadi sempat reda mendadak kembali menguat dengan cepat.Aldric dan Kenzo saling berhadapan, dan meskipun ekspresi keduanya tampak tenang, ada ketegangan samar yang terasa begitu kuat di antara mereka."Pa, kenapa sih?" Kenzo menarik tangannya dengan pelan, tapi ekspresi santainya tetap terjaga. "Aku cuma ajak Kakak Cantik beli oleh-oleh. Bukan mau menculiknya, kok."Ziandra merasa panas di wajahnya mendengar sebutan itu. Dia melirik Aldric yang wajahnya langsung mengeras."Dia bukan Kakak Cantikmu," tukas Aldric cepat. Nadanya ketus, hampir seperti geraman yang tertahan.Kenzo mengangkat alis, seakan terhibur melihat reaksi ayahnya. "Lho, kenapa enggak? Dia memang cantik, kan? Dan dia baik. Aku suka sama dia."Ziandra benar-benar ingin menghilang saat ini juga. "Kenzo—""Sudah cukup!" potong Aldric tajam, membuat Kenzo terdiam. "Ziandra bersamaku. Kalau kamu ingin beli oleh-oleh, lakukan sendiri."Kenzo terkekeh pelan, tapi tatapannya tetap pe
Ziandra menegang. Tatapan tajam Aurelind menusuknya seperti belati dingin yang menyerang tanpa peringatan.Mereka berdiri di sudut lounge hotel yang cukup sepi, tempat Aurelind tiba-tiba menghadangnya saat dia baru saja kembali dari berjalan-jalan dengan Aldric. Wajah wanita itu datar, tapi ada ketidaksenangan yang jelas tergambar di sana."Bukankah sudah aku katakan sebelumnya seperti apa Aldric itu?" Aurelind melipat tangan di depan dada. "Tapi kulihat Anda malah semakin lengket dengannya."Ziandra tetap berusaha tenang, meskipun ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya. "Saya tidak merasa seperti itu, Anda mungkin salah paham."Aurelind menyeringai kecil, jelas tidak percaya. "Oh, ayolah. Aku melihat bagaimana dia menatapmu, bagaimana kamu membiarkan dia menyentuhmu. Jangan bilang kau benar-benar berpikir dia mencintaimu?"Ziandra menggigit bibirnya. Apakah dia berpikir seperti itu? Dia tidak tahu. Yang jelas, setiap perhatian Aldric semakin membuatnya goyah."Aldric memang selalu se
DEG! DEG! DEG!Detak jantung Ziandra seolah berpacu lebih cepat. Ucapan Aldric menelusup ke relung hatinya yang rapuh.Perhatian pria itu selama ini, sentuhan lembut di saat-saat mereka bersama, dan kini pengakuan jujurnya—semua itu perlahan meruntuhkan benteng pertahanan Ziandra.“Pak Aldric...” Suaranya nyaris bergetar.“Sstt...” Aldric meletakkan jari telunjuk di bibir Ziandra, lalu menggenggam kedua tangan wanita itu. “Kamu boleh marah. Boleh benci aku. Tapi aku tidak bisa abai lagi. Aku ingin kamu merasa aman... di sisiku.”Ziandra menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam pernikahan dingin dengan Dion, dia nyaris lupa bagaimana rasanya diperhatikan dengan tulus.“Aku... Saya takut, Pak,” ucapnya pelan. “Ini… ini salah.”Aldric mendekat, begitu dekat hingga Ziandra bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya.“Kalau kamu takut, aku akan pegang tanganmu. Kita hadapi bersama,” bisiknya.Ziandra tak mampu berkata-kata. Sorot mata Ald
Ziandra terkejut ketika tangan Aldric menggenggam erat pergelangannya, menariknya menjauh dari Kenzo yang hanya bisa menatap dengan wajah yang susah ditebak.“Pak—” Ziandra mencoba protes, namun Aldric tak menghiraukan.Pria itu berjalan cepat, membawanya ke sebuah sudut di taman hotel yang sepi. Pepohonan rindang dan gemericik air mancur kecil menciptakan suasana tenang, namun jantung Ziandra justru berdegup kencang.“Apa-apaan ini, Pak?” bisik Ziandra, berusaha menahan ketegangan.Aldric berbalik, berdiri di hadapannya. Mata pria itu menyorot tajam.“Kamu benar-benar membuatku kesal hari ini,” kata Aldric sambil memperkecil jarak antara mereka.Mata mereka bertemu dengan intens.Hal itu membuat napas Ziandra memburu, antara takut dilihat orang dan terdominasi oleh sikap Aldric.Ziandra menarik napas dalam. “Maaf, Pak. Saya hanya—”“Kenzo.” Aldric memotong. “Selalu Kenzo. Kamu tahu, aku bukan pria yang suka berbagi.”Ziandra menunduk, merasa terjepit di antara ayah dan anak. “Kami han
Siang itu, Kota Mauva diselimuti angin sejuk yang berembus lembut, mengurangi terik matahari yang bersinar cerah.Ziandra berjalan di samping Kenzo menuju kedai es krim yang dia ceritakan tadi. Mereka menyusuri trotoar yang bersih, dengan deretan bangunan klasik yang menambah nuansa hangat di kota itu.“Kakak suka es krim rasa apa?” Kenzo membuka percakapan dengan nada ringan.Ziandra tersenyum tipis. “Aku suka rasa stroberi.”Kenzo mengangguk-angguk. “Manis dan segar, kayak Kakak.”Ziandra menoleh sambil mengernyit, namun dia tahu ini bagian dari gaya godaan Kenzo yang sudah terbiasa dia dengar. Dia memilih untuk tidak terpancing.Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah kedai es krim kecil di pojokan taman kota.Bangunannya sederhana, tapi penuh warna, dengan bangku-bangku kayu di terasnya.Aroma wafel segar menyeruak dari dalam, bercampur dengan wangi vanilla yang membuat perut Ziandra langsung terasa lapar.“Selamat datang!” sapa seorang wanita tua pemilik kedai de
“Astaga!” Ziandra sampai tak sadar memekik tertahan ketika dia mendengar suara Kenzo yang seriang matahari.Lekas saja dia mendorong Aldric.“Omak!” Aldric sampai menjerit tertahan.Bruk!Tubuh Aldric meluncur terjengkang ke lantai, sangat tidak elegan.“Kenapa ditendang, Zia?” Aldric mengusap-usap pantatnya sambil bangkit berdiri.Ziandra tak menggubis ucapan Aldric dan memilih untuk lari ke kamar mandi. Terlebih ketika bel pintu kamar suite Aldric terus berbunyi.Klak!“Apa maumu?” tanya Aldric pada putranya setelah pintu dibuka.Sedangkan di depan pintu, Kenzo menampilkan wajah jenaka sambil mengerling nakal ke ayahnya.“Pasti ada Kakak Cantik di dalam, iya kan?” tanya Kenzo.“Apa pedulimu? Sana kembali ke mamamu!” Wajah Aldric cemberut.Ketika dia sudah nyaris mendapatkan limitnya, tiba-tiba saja gangguan datang.Tak peduli hadangan ayahnya, Kenzo tetap merangsek masuk ke dalam kamar dan melongok ke kanan serta ke kiri, seakan mencari sesuatu.“Kakak Cantik? Yuhu, Kakak? Ziandra,
Aldric menghela napas, mencoba menenangkan anaknya. “Kenzo, ini urusan bisnis. Ziandra adalah asisten pribadiku.”Kenzo tidak percaya. “Bisnis? Pa, aku bukan bocah 10 tahun lalu yang mudah kamu perdaya. Aku tahu ada sesuatu yang lebih dari itu.”Aldric menatap Ziandra, matanya penuh arti. “Kenzo, kita akan membicarakan ini nanti. Sekarang, fokuslah pada pekerjaanmu yang aku berikan.”Setelah menutup ponsel, Aldric menatap Ziandra dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kenzo mulai curiga.”Tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Aurelind pun sudah sejak awal mencurigai hubungan aneh mereka.Apakah memang terlalu kentara?Ziandra merasa tidak nyaman. “Mungkin kita harus menjaga jarak, Aldric. Saya tidak ingin menjadi masalah antara kalian.”Dia sudah hendak melepaskan diri dari rengkuhan Aldric, tapi pria itu semakin menariknya ke dekapan tanpa dia bisa melawan.Aldric menggeleng. “Tidak, Zia. Tidak akan ada satu pun orang yang bisa mengendalikanku kecuali diriku sendiri. Akan kupastikan Kenzo