‘Rekening baruku ini aku buka satu bulan lalu. Ini agar uangku tidak cepat habis,’ batin Ziandra.
Setelah itu, dia mandi dan mulai menunggui anaknya.
Sambil memegangi tangan putrinya yang ditempelkan ke pipinya, dia mulai menyapa, “Rara, sayangnya Bunda, bangun, Nak! Bunda kangen Rara!”
Kemudian, dia mulai teringat dengan ‘dosanya’.
Dengan nada pelan, dia berucap, “Rara, maafkan Bunda. Bunda mengobati Rara dengan uang hasil …. hasil Bunda ….”
“Hasil kamu apa?” Mendadak saja terdengar suara Dion di belakang Ziandra.
Terkejut dengan kemunculan suaminya, Ziandra lekas menoleh dan memang suaminya sudah ada di belakangnya, mengenakan baju khusus untuk masuk ke ICU.
Ada rasa gembira, akhirnya suaminya bersedia menjenguk putrinya! Tapi, tadi suaminya bertanya …..
“Ah, oh, itu … maksudku … itu … uang dari hasil … berutang sana-sini.” Meski gugup, dia berhasil juga memberikan jawaban yang sangat masuk akal. “Mas Dion tumben ke sini. Rara—“
“Aku ingin membawa motormu. Mana kuncinya?” potong Dion sambil mengulurkan tangan.
Seketika senyuman di wajah Ziandra luntur, berganti kesedihan. Ternyata bukan untuk menjenguk putri mereka. Dia pun menyerahkan kunci motor ke Dion.
“Mas, hari Minggu kembalikan motornya ke aku, yah! Biar Seninnya bisa kupakai ke kantor.” Dia mengingatkan Dion sebelum pria itu berlalu dari hadapannya.
“Tsk! Entahlah! Kalau Minggu belum pulang, pakai saja ojek ke kantor!” Dion terdengar acuh tak acuh dan pergi.
Ziandra sedih. Meski suaminya menyebalkan semenjak beberapa tahun ini, dia tetap berharap suaminya kembali manis seperti dulu.
Sampai sore, ibunya tidak juga datang, hingga kemudian dia menerima telepon dari Susan yang mengabarkan ibunya masuk angin dan tak bisa ke rumah sakit untuk sementara waktu.
Mau bagaimana lagi? Dia tak mungkin memaksa ibunya.
“Iya, Ma, tak apa. Mama istirahat saja di rumah.” Ziandra menatap jam dinding di ruang ICU. Sudah jam 5 sore.
Maka, malam Minggu ini, dia sendirian saja menunggui putrinya. Clara masih belum sadar.
Ziandra berharap ketika putrinya sadar, dia ada di samping sang putri.
Kemudian handphone-nya bergetar di saku. Ketika diangkat, itu dari teman yang memberinya piutang.
“Maaf, Zia, bukannya aku pelit, tapi apa boleh uangku kembali besok Senin? Aku butuh mendadak, Zia.” Si teman menagih uangnya.
“Iya, tak apa. Senin pasti aku kembalikan, jangan khawatir.” Ziandra membalas dan panggilan pun diakhiri.
Setelah itu, dia mendongakkan kepala, menatap langit-langit. Semenjak ayahnya meninggal, semua terasa berat untuknya.
Dia duduk berdiam diri di samping putrinya hingga malam datang dan dia dikejutkan oleh kejang-kejang dari Clara. Panik, dia lekas menekan tombol agar perawat lekas datang.
“Suster, Dokter mana? Dokter mana?! Anak saya kejang! Tolong anak saya! Anak saya kenapa?” paniknya saat melihat dua perawat datang mendekat ke Clara.
“Sebentar, Ibu. Harap Ibu keluar dulu! Sebentar lagi dokter datang untuk memeriksa.” Perawat mengusir halus sebelum menarik tirai pemisah bilik.
Ziandra paham dan bergegas keluar, tapi dia tetap mondar-mandir panik di depan ruang ICU. Kejang-kejang bukankah pertanda gawat?
Ketika dia menghubungi suaminya, Dion tidak merespon. Lalu dia dilema, apakah perlu menghubungi ibunya? Tapi Susan sedang tak enak badan. Bukankah dia akan mengganggu ibunya?
Drrttt!
Mendadak, ponsel di tangannya bergetar. Nyaris saja dia menjatuhkan gadgetnya akibat terkejut.
Namun, ketika dia melihat siapa yang menghubunginya, dia memekik tertahan, “Ya ampun! Apa tidak bisa kalau tidak mengganggu dulu di saat-saat seperti ini?!”
Dia memandangi nama Aldric di layar ponselnya, seakan sebaris nama itu sedang meneriaki dia untuk lekas datang, berulang kali.
“Tidak! Tidak bisa! Aku tak mungkin pergi ke dia malam ini! Clara sedang dalam kondisi gawat! Aku akan menyesal seumur hidup jika aku meninggalkan Rara dan ternyata ada hal buruk terjadi ke Rara!”
Terjadi pergulatan hebat di benaknya. Mana yang harus dia beratkan? Anaknya? Atau Aldric dengan segala kuasa dan kekuatan finansialnya?
“Tapi bagaimana kalau Bos maniak itu marah karena aku menolak datang? Apakah aku akan dituntut? Dibawa ke polisi? Ya ampun, ini bagaimana?” bingungnya.
Sungguh sebuah dilema yang sangat sulit dipilih salah satunya. Kedua hal itu sama penting baginya dan dia tak bisa mengabaikan satu dari lainnya.
“Pak! Saya mohon, Pak! Untuk kali ini saja, saya tak bisa. Saya sungguh meminta maaf, malam ini benar-benar tidak bisa, Pak!” ucap Ziandra begitu mengangkat panggilan keempat dari Aldric.
Tentu saja dia bisa memperkirakan semarah apa Aldric saat ini mendengar penolakannya. Pria itu memiliki kepribadian buruk dan terlalu bossy. Semua keinginannya harus tercapai, tak boleh ada halangan dan penolakan!
“Kamu! Sudah berani melawanku? Apa kamu lupa kalau kamu sudah menandatangani perjanjian! Oh! Aku yakin saat ini kamu disuruh melayani suamimu di sana, benar? Dengar, Zia, aku tidak peduli! Kalau aku minta sekarang, ya sekarang! Terserah apa alasan yang kamu berikan ke suamimu!” tegas Aldric.
Rasanya Ziandra ingin menjerit keras-keras. Anaknya sedang gawat begini dan Aldric malah menginginkan tubuhnya? Yah, dia memang tak bisa menyalahkan bosnya karena Aldric tidak tahu-menahu mengenai sakitnya Clara.
Tidak! Dia tak mungkin meninggalkan Clara ketika putrinya sedang dalam kondisi darurat!
Dia pun menangis tersedu-sedu saking bingungnya. “Huhuu … saya mohon, Pak … malam ini saja saya tidak melayani Bapak. Huhuuu … saya benar-benar tidak bisa malam ini, Pak ….”
“Siap-siap saja menerima hukuman berat dariku!” ancam Aldric.
“Iya, Pak, saya siap dihukum! Hiks!” Ziandra sudah tak peduli lagi jika dia harus dijebloskan ke penjara sekali pun, yang penting dia sudah menyetorkan uang untuk perawatan anaknya.
“Nyonya Pradipta, bisa ke ruangan saya sebentar?” Suara dokter perempuan memecah konsentrasinya ke Aldric, sehingga secara refleks, dia menekan tombol merah di layar handphone.
“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu._ _ _‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, samb
“Kamu berani menolak?” Ada suara geraman rendah saat Aldric mengucapkan itu.Mendadak, nyali Ziandra menciut. Langsung saja dia khawatir mengenai uang untuk biaya Qiana.‘Duh! Harusnya aku tidak langsung menolak! Kalau dia marah, lalu tak mau memberi uang lagi, aku harus cari uang di mana? Tak mungkin aku nekat merayu pria lain lagi. Akan jadi apa aku nanti kalau pakai cara itu terus?’ Dia panik.Sambil menggenggam erat ponselnya, Ziandra melembutkan suaranya untuk bicara ke Aldric, “Maaf, Pak, bukan maksud saya menolak perintah Bapak, tapi … luar negeri terlalu jauh dan pasti butuh waktu cukup lama untuk meninggalkan rumah.”Dia berharap, Aldric bisa mengerti posisinya sebagai wanita bersuami.Kemudian, ada tawa di seberang sambungan, tawa sumbang Aldric. “Hahaha! Kamu merasa tak enak pada suami kamu, begitu? Rupanya kamu masih punya cinta ke dia, yah? Cih! Cinta, tapi tubuhmu kamu jajakan ke pria lain sepertiku. Wah, wah, uang memang membutakan kamu, yah!”Geraham Ziandra terkatup e
‘Gawat! Bagaimana kalau aku sampai diangkut paksa dan dibawa ke luar negeri? Rara! Aku tak bisa pergi! Rara butuh aku! Rara menungguku!’ Batin Ziandra terus berteriak.Selain itu, dia berusaha memberontak dari cengkeraman Aldric, hingga akhirnya terhempas di lantai. Isakan tangis tak tertahankan. Dia tak mau dibawa paksa sejauh itu dari putrinya!Aldric pun melepaskan genggaman tangan kokohnya pada lengan ramping Ziandra dan menatap wanita yang sedang terisak sembari duduk tak berdaya di lantai.“Pak … hiks! Saya mohon jangan paksa saya begini … saya mohon, Pak!” Ziandra tetap mengiba tanpa berani menatap sang Bos.Dengan kepala tertunduk, dia melihat kedua kaki Aldric mendekat ke dirinya. Setelah itu, dagunya dicengkeram dan diangkat sehingga mau tak mau, mereka saling bertemu tatap.“Kamu membantahku, Ziandra. Padahal kamu sudah sangat jelas dengan setiap butir pasal di perjanjian kita, perjanjian yang sudah kamu tanda tangani.” Suara rendah dan berat milik Aldric semakin terasa men
“Mas Dion sebenarnya ke mana, sih?” heran Ziandra.Akhirnya dia terpaksa menelepon Susan.“Ma, Mas Dion ada di rumah?” tanyanya.“Enggak, Zia. Dia pergi dari kemarin. Katanya ada kerjaan bersama temannya di luar kota.” Susan menyahut. “Ini juga Mila pergi dari kemarin, katanya diajak temennya cari baju untuk dagangan di kota Ebon.”Susan menyebutkan nama kota industri, 270 km ke timur dari kota Sangria.Ziandra menghela napas. Pasti besok dia harus menggunakan ojek untuk ke kantor.“Padahal aku harus ambil pakaian kerjaku untuk besok. Hgh! Mas Dion egois!” rutuknya pelan.Terpaksa dia pulang sebentar menggunakan angkot yang lebih murah untuk mengambil pakaian kerjanya.“Apa tak apa kalau Rara kamu tinggal begini, Zia?” tanya Susan ketika melihat kedatangan putri sulungnya di rumah.“Ini aku buru-buru, kok Ma.” Dia bergegas mengemasi pakaian untuk Senin besok, memasukkannya serapi mungkin ke tas travel yang agak besar dan segera kembali ke rumah sakit usai mencium tangan Susan.Untung
“Itu … silakan Pak Binar bicara dengan Pak Aldric. Saya permisi.” Ziandra bergegas melarikan diri dari ruangan itu.Dia begitu gugup ketika ditatap Binar yang memicingkan mata dengan curiga saat mempertanyakan hal tadi.‘Semoga saja bajuku sudah rapi, tak ada kancing yang meleset!’ Ziandra sambil melihat blusnya, berharap tak ada satu pun hal mencurigakan di sana, seperti … bau Aldric?Hari ini terasa sangat panjang bagi Ziandra yang sedang menanti waktu pulang kerja agar bisa secepatnya bertemu dengan Clara.Ketika sore tiba, semangat padam Ziandra mulai bangkit. Matanya berbinar, membayangkan Clara akan tersenyum kalau dia membawakan roti krim kesukaan bocah itu.Sayangnya ….“Ikut aku menemui salah satu klien. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Kamu hanya perlu ikut aku sekarang juga dan bisa pulang jam 11 nanti.” Aldric langsung saja menjatuhkan bom padanya.Aldric dan kemauannya selalu saja mengagetkan Ziandra meski dia sudah belajar untuk terbiasa dengan sikap bossy dan berbeda
‘O-orang ini gila! Dia maniak sialan! Maniak cabul!’ Ziandra terus mengumpat dan memaki Aldric di benak.Hukuman macam apa pula itu?!“Berani kamu menolak hukuman itu, aku bisa menambah durasi masa pelayananmu sebanyak 60 kali lagi,” imbuh Aldric sambil berbalik badan menghadap Ziandra.Betapa geramnya Ziandra mendengar kesewenang-wenangan si Bos. Apakah semua Bos sebrengsek dia? Citra positif dan bagaikan malaikat tak bersayap? Omong kosong!“Kamu harus ingat di salah satu pasal perjanjian kita, ada tertulis bahwa hukuman harus dilaksanakan oleh pihak kedua, yaitu kamu. Dan kalau kamu tidak melaksanakannya, maka kamu akan dibebani 60 kali pelayanan padaku atau keluargamu mengetahui perjanjian kita.” Aldric menaikkan dagu sambil mengucapkannya.Hrrgh! Ingin sekali Ziandra mencakar-cakar muka arogan Aldric yang menampilkan kesombongan sebagai penguasa yang selalu menang.Ziandra menarik napas dalam-dalam, berusaha memperluas lautan kesabarannya. Kemudian berkata, “Bapak, Anda meminta s
“Ah!” Ziandra ikut memekik akibat kaget.Tidak disangka, ada perawat masuk ke kamar mandi.“Wah, maaf, Ibu. Saya tidak tahu kalau di dalam ada orang, karena tidak ada suara air.” Perawat itu memberikan alasan masuk akal.Untung saja itu perawat perempuan, tapi tetap saja Ziandra merasa sangat malu!“Ini … saya ….” Ziandra gelagapan menjawab.“Oh, Ibu sedang memeriksa payudara sendiri, kah?” tanya si perawat.Mendadak, Ziandra termangu mendengar ucapan perawat itu. Memeriksa payudara sendiri? Oh!“Ah, be-benar! Benar, Sus.” Ziandra lebih baik ikuti saja jawaban yang diberikan perawat itu.Perawat itu mendekat sembari Ziandra menutupi dadanya dengan handuk.“Kita sebagai wanita memang harus selalu aware dengan tubuh kita sendiri, Ibu. Salah satunya memang dengan perawatan payudara agar bisa lekas ditangani apabila ada keanehan yang tidak lazim di sana.” Perawat itu tersenyum.Sehingga, Ziandra ikut tersenyum.“Kalau Ibu membutuhkan pemeriksaan mammogram, Ibu bisa segera menjadwalkannya
‘Fo-foto KTP!’ Benak Ziandra berteriak mengulang ucapan si Bos maniak.Ziandra melongo, tak tahu harus menjawab apa. Dia memotret dirinya seperti itu saja sudah merupakan beban tersendiri baginya. Dan sekarang si Bos masih protes mengenai gaya?‘Tidak bisakah dia memahami sedikit saja mengenai kegugupanku, karena itu bukan hal yang biasa aku lakukan!’ Ingin dia menjerit keras-keras.Dia kesal. Bukannya berterima kasih, Aldric malah sibuk meributkan mengenai gaya dan pose.‘Kalau ingin yang pintar bergaya, cari saja foto model terkenal, sana!’ jerit Ziandra dalam hati, penuh kekesalan.“Zia, apakah kamu ingin mendapatkan hukuman tambahan?” ancam Aldric.Pria ini! Geram sekali Ziandra. Beruntung saja Aldric adalah bosnya, atau dia sudah melayangkan tinjunya ke wajah pria itu jika bertemu.Sambil menahan kegeraman di hatinya, Ziandra menyahut dengan nada rendah penuh penekanan, “Bapak, maaf kalau foto saya mirip foto KTP, tapi itu dikarenakan saya melakukannya dengan kegugupan luar bias
“P-Pak….”Ziandra menahan napas saat wajah Aldric semakin mendekat. Matanya melebar, jantungnya berdebar kencang, dan dalam sepersekian detik, dia menyadari sesuatu—dia tidak boleh membiarkan ini terjadi.Tidak peduli seberapa intens tatapan Aldric, seberapa dalam nada suaranya menyelubungi pikirannya, atau seberapa banyak emosinya berkecamuk di dalam hati—ini semua harus tetap berada dalam jalur yang telah mereka sepakati. Hanya sekadar perjanjian.“Pak Aldric, jangan,” bisiknya buru-buru, tangannya reflek terangkat, menahan dadanya agar tidak semakin mendekat.Aldric terhenti sejenak, alisnya berkerut, tetapi tatapannya tetap terkunci pada Ziandra.Dia bisa merasakan hangatnya napas pria itu begitu dekat, membuat udara di ruangan terasa semakin tipis.“Kenapa?” suara Aldric terdengar lebih dalam, hampir seperti bisikan yang menggetarkan.Ziandra menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjauh. “Karena… kita tidak seharusnya melakukan ini. Saya hanya asisten Anda… dan
Ziandra merasa seperti berada di tengah badai yang tidak diprediksi. Penjelasan Kenzo tentang hubungan Aldric dan Aurelind membuat pikirannya kalut. Dia mencoba menenangkan diri, tetapi suasana di meja makan ini terlalu penuh ketegangan.“Papa selalu begitu,” Kenzo terkekeh, tetapi ada nada sarkastik dalam tawanya. “Menggunakan saham dan bisnis sebagai alat untuk mengontrol orang lain. Memangnya aku peduli dengan saham perusahaanmu, Pa?”Mata Aldric menyipit, bibirnya menipis seolah menahan diri untuk tidak beradu argumen dengan putranya sendiri.Sementara itu, Aurelind hanya menyilangkan tangan di dadanya, tampak tidak terpengaruh.Ziandra menelan ludah. Rasanya seperti duduk di antara sekelompok harimau yang siap menerkam satu sama lain.“Kalau tidak peduli, jangan datang menemuiku,” jawab Aldric dingin.“Aku tidak datang untukmu, Pa. Aku datang karena ingin bertemu Kakak Asisten Cantik.” Kenzo berbalik menatap Ziandra dengan senyum lebar yang membuatnya semakin gugup.Ziandra terse
“Pa-Papa?” Ziandra menoleh dengan ekspresi kaget ke Aldric. “Mama?” Kali ini dia menoleh ke Aurelind.Sama sekali tak ada gambaran di kepalanya mengenai Kenzo yang merupakan anak dari Aldric dan wanita dingin yang mengantar Aldric ke kamarnya saat itu.‘Tunggu! Lalu… apa itu artinya mereka menikah?’ duga Ziandra di hatinya.Mendadak saja hatinya berdenyut tak nyaman ketika memikirkan itu. Saliva ditelan bagaikan dia sedang menelan pasir.‘Pak Aldric sudah menikah? Kalau benar begitu… untuk apa dia dan aku….’ Kalimatnya menggantung di benak.Dia masih belum bisa memahami alasan Aldric membuat perjanjian yang sangat keterlaluan itu. Perjanjian yang mengorbankan moralitas dan martabatnya.“Hubungan kami tidak seperti yang kamu bayangkan, Zia.” Tiba-tiba keluar pernyataan tersebut dari Aldric.Hati Ziandra melonjak terkejut.‘Pernyataan macam apa itu? Lagipula, untuk apa Pak Bos repot-repot menjelaskannya? Apakah hubungan mereka tidak baik-baik saja?’ Batinnya merutuki ucapan Aldric yang
“Maaf?” Ziandra menoleh ke samping.Lelaki yang duduk di sebelahnya memiliki wajah tampan yang dia yakini merupakan perpaduan beberapa ras.‘Wajah orang ini… kenapa mengingatkan aku akan seseorang, yah? Tapi siapa? Duh! Pokoknya dia itu mirip seseorang!’ batin Ziandra.“Kenalkan, aku Kenzo.” Lelaki itu mengulurkan tangannya. “Kamu siapa?”Ziandra tak punya pilihan lain selain menyambut tangan Kenzo. “Saya Ziandra. Apakah Anda orang Teranesia?”Ini yang sejak awal ingin ditanyakan olehnya. Itu karena dia merasa Kenzo memiliki kaitan dengan Teranesia meski fitur wajahnya terlihat sangat bule.“Hm, mungkin!” Kenzo mengangkat bahu dengan cepat sambil tersenyum singkat. “Aku berumur 22 tahun. Aku memang baru saja lulus kuliah, tapi kedua orang tuaku bermaksud ingin mengajariku cara berbisnis.”Betapa orang yang blak-blakan, pikir Ziandra.‘Oh, anak orang kaya. Enak sekali punya orang tua yang sudah siap menampungmu dalam bisnis mereka, yah!’ Ziandra membatin.Meski begitu, dia tak bisa ter
Ziandra membeku bingung. “Eh? Bantu mandi—““Sshhh! Cepat!” Aldric tak sabar.Mendapati tangannya ditarik dan dibawa ke kamar mandi, Ziandra hanya bisa pasrah menerima nasib yang akan didapatkan nantinya di ruangan lembab tersebut.“Gosokkan punggungku!” perintah Aldric setelah mereka berdiri bersama di bawah shower.Tak berdaya atas perintah absolut Aldric, Ziandra mengambil sabun cair tak jauh darinya dan mulai melakukan yang diperintahkan sang Bos.Sementara itu, Aldric berdiri seraya kedua tangan menopang di dinding tak jauh darinya. Lelaki itu diam dan membiarkan air mengucur di kepalanya dan kemudian turun ke tubuh.‘Ya ampun! Baru kali ini aku mandi dengan laki-laki! Bahkan Mas Dion saja belum pernah mandi bersamaku selama kehidupan rumah tangga kami.’ Ziandra membatin.Tangan lentiknya terus bergerak di tubuh atas Aldric. Dia sudah ikut basah terkena cipratan air shower.“Ini juga!” Aldric berputar menghadap ke arahnya.Mata Ziandra melirik sesuatu yang secara tak sadar mengam
Ziandra merangkak perlahan untuk turun dari tempat tidur. Dia sambil merutuki sang Bos yang berlaku sewenang-wenang.Ketika membasuh diri di dalam kamar mandi, dia teringat kejadian yang terjadi 2 jam silam.“Pak? Bukannya Bapak mabuk—arh!” tanya Ziandra saat itu.Dia terkejut ketika melihat sikap stabil bosnya saat melucuti bajunya disertai senyum tipis. Ke mana mata mabuk dan berdiri sempoyongan yang tadi?“Pffhh! Mabuk, yah?” Aldric justru menyahut diiringi tawa kekehannya.Jangan lupakan senyum seringaiannya yang biasa diperlihatkan apabila berhasil memperdayai Ziandra.Dari sana, akhirnya Ziandra mengerti bahwa si Bos hanya berpura-pura mabuk. Tapi, untuk apa?!Dan setelah itu, dia mengalami yang biasa dia alami jika berdua saja dengan Aldric.Dia harus menerima semua hasrat Aldric yang diluapkan padanya. Lelaki itu begitu bersemangat memberikan penjajahan seksual padanya.Namun… entah kenapa, Ziandra mulai terbiasa.‘Yang lebih tololnya lagi… aku sekarang kerap mendesah atau mer
“Ya, sebentar!” seru Ziandra ketika hendak membukakan pintu.Pada akhirnya dia tersadar, bahwa ini dia di hotel bintang 5, bukan di rumahnya sendiri.‘Dih! Untuk apa juga aku menyahut seperti tadi?’ sesalnya sambil membukakan pintu. ‘Rasanya aku seperti orang dusun yang gagap dengan kota saja, duh!’Namun, alangkah terkejutnya dia ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintunya.“Pak Aldric?” Ziandra terkejut mendapati Aldric dalam kondisi mabuk, wajahnya memerah.Namun, dia lebih terkejut dengan adanya wanita yang membawa Aldric.“Anda….” Ziandra menoleh ke wanita yang memegangi Aldric yang kurang stabil berdiri.“Aku Aurelind.” Wanita itu menyebutkan namanya.Mata Ziandra segera meneliti wanita itu.Aurelind wanita yang cantik, tapi wajahnya terkesan dingin dan sepertinya kurang mudah didekati untuk dijadikan teman. Tinggi semampai dengan lekuk tubuh indah yang pasti didambakan wanita lain dan diminati lawan jenis yang normal.“Aldric bersikeras ke kamarnya, tapi rupanya ini buk
Pada dua jam berikutnya, akhirnya Ziandra benar-benar terbebas dari kuasa Aldric.‘Bos sialan! Maniak! Hyper gila!’ Ziandra melepaskan umpatan kekesalan dia ke Aldric sambil dia turun dari tempat tidur.Jalannya sedikit sempoyongan akibat kegilaan Aldric hanya karena pria itu merasa cemburu terhadap suami Ziandra.Hingga akhirnya, dia bisa tentram menjalani perjalanan di udara.“Ayo, Zia.” Aldric mengulurkan tangannya ke Ziandra ketika mereka telah tiba di negara Maldavis, di kota metropolitan Mauva, dan hendak turun dari pesawat pribadi milik pria itu.Tidak memiliki pilihan lain, Ziandra menyambut tangan Aldric dan membiarkan pria itu menggenggamnya sambil mereka menuruni tangga yang disediakan pihak bandara.Mobil sudah siap menjemput dan membawa mereka ke sebuah hotel bintang lima di kota Mauva.“Nanti malam kita akan menemui calon klien.” Aldric berbicara ketika sudah berada di dalam mobil. “Karena ini masih siang, masih ada waktu untuk mencari baju buat kamu.”Ziandra melebarkan
“Um… Pak?” Ziandra agak ragu ketika membuka pintu tersebut.Dia melongok ke dalam, tapi kenapa tidak ada siapa pun di sana? Bahkan ranjang besar yang terlihat begitu pintu dibuka pun tidak menampilkan sosok Aldric di sana.Alih-alih mengurungkan diri masuk karena si empunya tidak terlihat di kamar itu, kaki Ziandra justru melangkah masuk. Penasaran?“Pak—arghh!” Dia memekik ketika secara tiba-tiba ada tangan yang merengkuh pinggangnya dan menarik dia ke belakang.Pintu juga secara mendadak tertutup.Ketika dia menoleh, sudah ada Aldric dengan senyum seringai iblis di wajahnya.“Bagaimana yang sudah berbulan madu semalaman dengan suami tercinta, hm?” Aldric memenjarakan tubuh Ziandra dalam pelukan dua lengannya. “Pasti sangat menyenangkan, bukan?”Sindiran!Ziandra yakin bahwa sang Bos saat ini sedang menyindir dirinya. Tapi dia juga merasakan aroma satu lagi dari kalimat Aldric.Cemburu!Cemburu? Aldric? Pria mapan yang bisa memanggil wanita dengan hanya menjentikkan jari secara santa