‘Rekening baruku ini aku buka satu bulan lalu. Ini agar uangku tidak cepat habis,’ batin Ziandra.
Setelah itu, dia mandi dan mulai menunggui anaknya.
Sambil memegangi tangan putrinya yang ditempelkan ke pipinya, dia mulai menyapa, “Rara, sayangnya Bunda, bangun, Nak! Bunda kangen Rara!”
Kemudian, dia mulai teringat dengan ‘dosanya’.
Dengan nada pelan, dia berucap, “Rara, maafkan Bunda. Bunda mengobati Rara dengan uang hasil …. hasil Bunda ….”
“Hasil kamu apa?” Mendadak saja terdengar suara Dion di belakang Ziandra.
Terkejut dengan kemunculan suaminya, Ziandra lekas menoleh dan memang suaminya sudah ada di belakangnya, mengenakan baju khusus untuk masuk ke ICU.
Ada rasa gembira, akhirnya suaminya bersedia menjenguk putrinya! Tapi, tadi suaminya bertanya …..
“Ah, oh, itu … maksudku … itu … uang dari hasil … berutang sana-sini.” Meski gugup, dia berhasil juga memberikan jawaban yang sangat masuk akal. “Mas Dion tumben ke sini. Rara—“
“Aku ingin membawa motormu. Mana kuncinya?” potong Dion sambil mengulurkan tangan.
Seketika senyuman di wajah Ziandra luntur, berganti kesedihan. Ternyata bukan untuk menjenguk putri mereka. Dia pun menyerahkan kunci motor ke Dion.
“Mas, hari Minggu kembalikan motornya ke aku, yah! Biar Seninnya bisa kupakai ke kantor.” Dia mengingatkan Dion sebelum pria itu berlalu dari hadapannya.
“Tsk! Entahlah! Kalau Minggu belum pulang, pakai saja ojek ke kantor!” Dion terdengar acuh tak acuh dan pergi.
Ziandra sedih. Meski suaminya menyebalkan semenjak beberapa tahun ini, dia tetap berharap suaminya kembali manis seperti dulu.
Sampai sore, ibunya tidak juga datang, hingga kemudian dia menerima telepon dari Susan yang mengabarkan ibunya masuk angin dan tak bisa ke rumah sakit untuk sementara waktu.
Mau bagaimana lagi? Dia tak mungkin memaksa ibunya.
“Iya, Ma, tak apa. Mama istirahat saja di rumah.” Ziandra menatap jam dinding di ruang ICU. Sudah jam 5 sore.
Maka, malam Minggu ini, dia sendirian saja menunggui putrinya. Clara masih belum sadar.
Ziandra berharap ketika putrinya sadar, dia ada di samping sang putri.
Kemudian handphone-nya bergetar di saku. Ketika diangkat, itu dari teman yang memberinya piutang.
“Maaf, Zia, bukannya aku pelit, tapi apa boleh uangku kembali besok Senin? Aku butuh mendadak, Zia.” Si teman menagih uangnya.
“Iya, tak apa. Senin pasti aku kembalikan, jangan khawatir.” Ziandra membalas dan panggilan pun diakhiri.
Setelah itu, dia mendongakkan kepala, menatap langit-langit. Semenjak ayahnya meninggal, semua terasa berat untuknya.
Dia duduk berdiam diri di samping putrinya hingga malam datang dan dia dikejutkan oleh kejang-kejang dari Clara. Panik, dia lekas menekan tombol agar perawat lekas datang.
“Suster, Dokter mana? Dokter mana?! Anak saya kejang! Tolong anak saya! Anak saya kenapa?” paniknya saat melihat dua perawat datang mendekat ke Clara.
“Sebentar, Ibu. Harap Ibu keluar dulu! Sebentar lagi dokter datang untuk memeriksa.” Perawat mengusir halus sebelum menarik tirai pemisah bilik.
Ziandra paham dan bergegas keluar, tapi dia tetap mondar-mandir panik di depan ruang ICU. Kejang-kejang bukankah pertanda gawat?
Ketika dia menghubungi suaminya, Dion tidak merespon. Lalu dia dilema, apakah perlu menghubungi ibunya? Tapi Susan sedang tak enak badan. Bukankah dia akan mengganggu ibunya?
Drrttt!
Mendadak, ponsel di tangannya bergetar. Nyaris saja dia menjatuhkan gadgetnya akibat terkejut.
Namun, ketika dia melihat siapa yang menghubunginya, dia memekik tertahan, “Ya ampun! Apa tidak bisa kalau tidak mengganggu dulu di saat-saat seperti ini?!”
Dia memandangi nama Aldric di layar ponselnya, seakan sebaris nama itu sedang meneriaki dia untuk lekas datang, berulang kali.
“Tidak! Tidak bisa! Aku tak mungkin pergi ke dia malam ini! Clara sedang dalam kondisi gawat! Aku akan menyesal seumur hidup jika aku meninggalkan Rara dan ternyata ada hal buruk terjadi ke Rara!”
Terjadi pergulatan hebat di benaknya. Mana yang harus dia beratkan? Anaknya? Atau Aldric dengan segala kuasa dan kekuatan finansialnya?
“Tapi bagaimana kalau Bos maniak itu marah karena aku menolak datang? Apakah aku akan dituntut? Dibawa ke polisi? Ya ampun, ini bagaimana?” bingungnya.
Sungguh sebuah dilema yang sangat sulit dipilih salah satunya. Kedua hal itu sama penting baginya dan dia tak bisa mengabaikan satu dari lainnya.
“Pak! Saya mohon, Pak! Untuk kali ini saja, saya tak bisa. Saya sungguh meminta maaf, malam ini benar-benar tidak bisa, Pak!” ucap Ziandra begitu mengangkat panggilan keempat dari Aldric.
Tentu saja dia bisa memperkirakan semarah apa Aldric saat ini mendengar penolakannya. Pria itu memiliki kepribadian buruk dan terlalu bossy. Semua keinginannya harus tercapai, tak boleh ada halangan dan penolakan!
“Kamu! Sudah berani melawanku? Apa kamu lupa kalau kamu sudah menandatangani perjanjian! Oh! Aku yakin saat ini kamu disuruh melayani suamimu di sana, benar? Dengar, Zia, aku tidak peduli! Kalau aku minta sekarang, ya sekarang! Terserah apa alasan yang kamu berikan ke suamimu!” tegas Aldric.
Rasanya Ziandra ingin menjerit keras-keras. Anaknya sedang gawat begini dan Aldric malah menginginkan tubuhnya? Yah, dia memang tak bisa menyalahkan bosnya karena Aldric tidak tahu-menahu mengenai sakitnya Clara.
Tidak! Dia tak mungkin meninggalkan Clara ketika putrinya sedang dalam kondisi darurat!
Dia pun menangis tersedu-sedu saking bingungnya. “Huhuu … saya mohon, Pak … malam ini saja saya tidak melayani Bapak. Huhuuu … saya benar-benar tidak bisa malam ini, Pak ….”
“Siap-siap saja menerima hukuman berat dariku!” ancam Aldric.
“Iya, Pak, saya siap dihukum! Hiks!” Ziandra sudah tak peduli lagi jika dia harus dijebloskan ke penjara sekali pun, yang penting dia sudah menyetorkan uang untuk perawatan anaknya.
“Nyonya Pradipta, bisa ke ruangan saya sebentar?” Suara dokter perempuan memecah konsentrasinya ke Aldric, sehingga secara refleks, dia menekan tombol merah di layar handphone.
“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu._ _ _‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, samb
“Kamu berani menolak?” Ada suara geraman rendah saat Aldric mengucapkan itu.Mendadak, nyali Ziandra menciut. Langsung saja dia khawatir mengenai uang untuk biaya Qiana.‘Duh! Harusnya aku tidak langsung menolak! Kalau dia marah, lalu tak mau memberi uang lagi, aku harus cari uang di mana? Tak mungkin aku nekat merayu pria lain lagi. Akan jadi apa aku nanti kalau pakai cara itu terus?’ Dia panik.Sambil menggenggam erat ponselnya, Ziandra melembutkan suaranya untuk bicara ke Aldric, “Maaf, Pak, bukan maksud saya menolak perintah Bapak, tapi … luar negeri terlalu jauh dan pasti butuh waktu cukup lama untuk meninggalkan rumah.”Dia berharap, Aldric bisa mengerti posisinya sebagai wanita bersuami.Kemudian, ada tawa di seberang sambungan, tawa sumbang Aldric. “Hahaha! Kamu merasa tak enak pada suami kamu, begitu? Rupanya kamu masih punya cinta ke dia, yah? Cih! Cinta, tapi tubuhmu kamu jajakan ke pria lain sepertiku. Wah, wah, uang memang membutakan kamu, yah!”Geraham Ziandra terkatup e
‘Gawat! Bagaimana kalau aku sampai diangkut paksa dan dibawa ke luar negeri? Rara! Aku tak bisa pergi! Rara butuh aku! Rara menungguku!’ Batin Ziandra terus berteriak.Selain itu, dia berusaha memberontak dari cengkeraman Aldric, hingga akhirnya terhempas di lantai. Isakan tangis tak tertahankan. Dia tak mau dibawa paksa sejauh itu dari putrinya!Aldric pun melepaskan genggaman tangan kokohnya pada lengan ramping Ziandra dan menatap wanita yang sedang terisak sembari duduk tak berdaya di lantai.“Pak … hiks! Saya mohon jangan paksa saya begini … saya mohon, Pak!” Ziandra tetap mengiba tanpa berani menatap sang Bos.Dengan kepala tertunduk, dia melihat kedua kaki Aldric mendekat ke dirinya. Setelah itu, dagunya dicengkeram dan diangkat sehingga mau tak mau, mereka saling bertemu tatap.“Kamu membantahku, Ziandra. Padahal kamu sudah sangat jelas dengan setiap butir pasal di perjanjian kita, perjanjian yang sudah kamu tanda tangani.” Suara rendah dan berat milik Aldric semakin terasa men
“Mas Dion sebenarnya ke mana, sih?” heran Ziandra.Akhirnya dia terpaksa menelepon Susan.“Ma, Mas Dion ada di rumah?” tanyanya.“Enggak, Zia. Dia pergi dari kemarin. Katanya ada kerjaan bersama temannya di luar kota.” Susan menyahut. “Ini juga Mila pergi dari kemarin, katanya diajak temennya cari baju untuk dagangan di kota Ebon.”Susan menyebutkan nama kota industri, 270 km ke timur dari kota Sangria.Ziandra menghela napas. Pasti besok dia harus menggunakan ojek untuk ke kantor.“Padahal aku harus ambil pakaian kerjaku untuk besok. Hgh! Mas Dion egois!” rutuknya pelan.Terpaksa dia pulang sebentar menggunakan angkot yang lebih murah untuk mengambil pakaian kerjanya.“Apa tak apa kalau Rara kamu tinggal begini, Zia?” tanya Susan ketika melihat kedatangan putri sulungnya di rumah.“Ini aku buru-buru, kok Ma.” Dia bergegas mengemasi pakaian untuk Senin besok, memasukkannya serapi mungkin ke tas travel yang agak besar dan segera kembali ke rumah sakit usai mencium tangan Susan.Untung
“Itu … silakan Pak Binar bicara dengan Pak Aldric. Saya permisi.” Ziandra bergegas melarikan diri dari ruangan itu.Dia begitu gugup ketika ditatap Binar yang memicingkan mata dengan curiga saat mempertanyakan hal tadi.‘Semoga saja bajuku sudah rapi, tak ada kancing yang meleset!’ Ziandra sambil melihat blusnya, berharap tak ada satu pun hal mencurigakan di sana, seperti … bau Aldric?Hari ini terasa sangat panjang bagi Ziandra yang sedang menanti waktu pulang kerja agar bisa secepatnya bertemu dengan Clara.Ketika sore tiba, semangat padam Ziandra mulai bangkit. Matanya berbinar, membayangkan Clara akan tersenyum kalau dia membawakan roti krim kesukaan bocah itu.Sayangnya ….“Ikut aku menemui salah satu klien. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Kamu hanya perlu ikut aku sekarang juga dan bisa pulang jam 11 nanti.” Aldric langsung saja menjatuhkan bom padanya.Aldric dan kemauannya selalu saja mengagetkan Ziandra meski dia sudah belajar untuk terbiasa dengan sikap bossy dan berbeda
‘O-orang ini gila! Dia maniak sialan! Maniak cabul!’ Ziandra terus mengumpat dan memaki Aldric di benak.Hukuman macam apa pula itu?!“Berani kamu menolak hukuman itu, aku bisa menambah durasi masa pelayananmu sebanyak 60 kali lagi,” imbuh Aldric sambil berbalik badan menghadap Ziandra.Betapa geramnya Ziandra mendengar kesewenang-wenangan si Bos. Apakah semua Bos sebrengsek dia? Citra positif dan bagaikan malaikat tak bersayap? Omong kosong!“Kamu harus ingat di salah satu pasal perjanjian kita, ada tertulis bahwa hukuman harus dilaksanakan oleh pihak kedua, yaitu kamu. Dan kalau kamu tidak melaksanakannya, maka kamu akan dibebani 60 kali pelayanan padaku atau keluargamu mengetahui perjanjian kita.” Aldric menaikkan dagu sambil mengucapkannya.Hrrgh! Ingin sekali Ziandra mencakar-cakar muka arogan Aldric yang menampilkan kesombongan sebagai penguasa yang selalu menang.Ziandra menarik napas dalam-dalam, berusaha memperluas lautan kesabarannya. Kemudian berkata, “Bapak, Anda meminta s
“Ah!” Ziandra ikut memekik akibat kaget.Tidak disangka, ada perawat masuk ke kamar mandi.“Wah, maaf, Ibu. Saya tidak tahu kalau di dalam ada orang, karena tidak ada suara air.” Perawat itu memberikan alasan masuk akal.Untung saja itu perawat perempuan, tapi tetap saja Ziandra merasa sangat malu!“Ini … saya ….” Ziandra gelagapan menjawab.“Oh, Ibu sedang memeriksa payudara sendiri, kah?” tanya si perawat.Mendadak, Ziandra termangu mendengar ucapan perawat itu. Memeriksa payudara sendiri? Oh!“Ah, be-benar! Benar, Sus.” Ziandra lebih baik ikuti saja jawaban yang diberikan perawat itu.Perawat itu mendekat sembari Ziandra menutupi dadanya dengan handuk.“Kita sebagai wanita memang harus selalu aware dengan tubuh kita sendiri, Ibu. Salah satunya memang dengan perawatan payudara agar bisa lekas ditangani apabila ada keanehan yang tidak lazim di sana.” Perawat itu tersenyum.Sehingga, Ziandra ikut tersenyum.“Kalau Ibu membutuhkan pemeriksaan mammogram, Ibu bisa segera menjadwalkannya
‘Fo-foto KTP!’ Benak Ziandra berteriak mengulang ucapan si Bos maniak.Ziandra melongo, tak tahu harus menjawab apa. Dia memotret dirinya seperti itu saja sudah merupakan beban tersendiri baginya. Dan sekarang si Bos masih protes mengenai gaya?‘Tidak bisakah dia memahami sedikit saja mengenai kegugupanku, karena itu bukan hal yang biasa aku lakukan!’ Ingin dia menjerit keras-keras.Dia kesal. Bukannya berterima kasih, Aldric malah sibuk meributkan mengenai gaya dan pose.‘Kalau ingin yang pintar bergaya, cari saja foto model terkenal, sana!’ jerit Ziandra dalam hati, penuh kekesalan.“Zia, apakah kamu ingin mendapatkan hukuman tambahan?” ancam Aldric.Pria ini! Geram sekali Ziandra. Beruntung saja Aldric adalah bosnya, atau dia sudah melayangkan tinjunya ke wajah pria itu jika bertemu.Sambil menahan kegeraman di hatinya, Ziandra menyahut dengan nada rendah penuh penekanan, “Bapak, maaf kalau foto saya mirip foto KTP, tapi itu dikarenakan saya melakukannya dengan kegugupan luar bias
“Gila kamu, yah!” Ziandra sampai mendelik sambil menahan seruan suaranya.Tapi Namila justru terkikik seakan reaksi kakaknya merupakan hal lucu.“Ayolah, Kak. Cuma Rp50 juta pasti kecil buat kamu. Apalagi untuk pacar barumu. Ya kan?”Tangan Ziandra terkepal erat di samping tubuhnya. Dia sibuk membuat pertimbangan di kepalanya mengenai permintaan keterlaluan adiknya.Kenapa sekarang dia justru jadi korban pemerasan orang-orang yang katanya adalah keluarga?“Hgh!” dengus kesal Ziandra sambil mengambil ponsel di dalam tasnya.Tak berapa lama, dia mengetik ini dan itu pada layarnya dan kemudian menatap Namila yang menunggu dengan senyum terkulum lebar.“Sudah!” Ziandra menyimpan kembali ponselnya.Wajahnya berubah masam dan keruh. Apakah dia tidak pernah dipandang sebagai manusia sejak dulu?“Haha! Nah gitu, dong Kak! Itu baru namanya kakak sayang adik!” Namila memeriksa rekening bank di ponselnya.Raut mukanya langsung cerah saat melihat deretan nominal yang baru masuk di sana.“Sana per
“Hmmm….”Aldric menatap layar ponsel itu lama. Layarnya terkunci, tapi pemberitahuan terakhir masih terpampang jelas:Dion: “Aku ingin 50 juta ditransfer malam ini. Jangan coba-coba menghindar, Zia.”Tangan Aldric mengepal. Rahangnya mengeras. Tapi dia tidak membuka pesan itu lebih jauh, tidak membongkar isi ponsel secara langsung.Sebaliknya, dia mengembalikan ponsel itu ke tempat semula dan menutup tas Ziandra pelan. Napasnya panjang, berat, dan dalam matanya terpancar gelombang kekecewaan yang ditahan.Beberapa saat kemudian, Ziandra keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, kulitnya yang bersih bersinar lembut di bawah cahaya temaram kamar. Tapi sorot matanya tetap sama—lelah, kosong, dan penuh tekanan.Aldric hanya menatapnya sebentar. Tak ada pertanyaan. Tak ada kecurigaan yang dilontarkan.“Masih mengantuk?” tanya Aldric, duduk di tepi ranjang, memandangi Ziandra seperti biasa.Ziandra mengangguk. “Sedikit.”“Kalau begitu, kita tidur.”Dia mengangguk lagi dan masuk ke dal
Aldric menggenggam jemarinya. “Kamu tidak sendiri, Zia. Sekarang dan seterusnya.”Ziandra hanya bisa mengangguk.Namun dalam dadanya, badai telah terlanjur bertiup. Dan dia tahu… tidak selamanya dia bisa menyembunyikannya.“Aku mandi dulu.” Aldric beranjak turun dari tempat tidur.Tak lupa dia mengecup kening Ziandra sebelum melangkah ke kamar mandi.Setelah yakin Aldric masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran shower di dalam sana, Ziandra lekas meraih ponselnya kembali. Dia menekan nomor suaminya.Jantung Ziandra berdetak lebih kencang ketika sambungan tersambung. Dia menengok cepat ke arah kamar mandi—suara shower masih terdengar deras, menandakan Aldric belum selesai. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat.“Cepat katakan apa yang kamu mau, Dion,” desis Ziandra pelan, menahan suaranya agar tak terdengar.Suara Dion di seberang langsung terdengar sinis, seolah sudah menunggu dengan segelas kopi dan senyum licik di wajah.“Akhirnya kamu angkat juga, Zia sayang. Aku hampir mengira k
“Aku di sini, Zia,” jawab Aldric sambil mengecup pipinya yang basah. “Dan aku akan tetap bersamamu, Zia. Selalu.”Malam terus bergulir, membawa mereka ke dunia tanpa batas, di mana waktu tak berarti dan dunia luar tak lagi penting. Yang ada hanyalah mereka, saling menemukan, saling melepaskan, saling menyembuhkan.Keintiman itu bukan semata-mata pertemuan raga, melainkan pengakuan batin yang akhirnya menemukan suara.“Aaahhh!”Ketika semuanya mereda, dan napas mereka mulai menyatu dalam ketenangan, Aldric menarik Ziandra ke dadanya. Dia membelai rambutnya perlahan, seakan membungkusnya dalam doa panjang.Ziandra mendekapnya erat, membenamkan wajah di leher pria itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa… tidak sendirian. Tak lagi takut. Tak lagi ragu.“Aku mencintaimu,” bisiknya dalam diam. Mungkin belum siap mengatakannya keras-keras. Tapi dia tahu, pria itu mendengarnya—melalui detak jantung, pelukan, dan cara Aldric membalas dekapannya dengan begitu sabar dan past
“Aku… aku….” Dengan mata basahnya, Ziandra berucap.Haruskah dia mengatakan hal ITU? Bukankah dia sudah cukup menunjukkannya melalui tindakan yang tak biasa? Kurang apa lagi?“Kamu apa, Zia? Bicara yang jelas,” desak Aldric tanpa mengalihkan pandangan dari wanita di bawah kungkungan tubuhnya.Ziandra ragu-ragu. Dia merutuki pria itu. Alangkah kejamnya Aldric memaksanya menyebutkan sesuatu yang akan membuatnya malu.Sambil menggigit bibirnya dengan tubuh terhentak di bawah Aldric, Ziandra memalingkan pandangan ke arah lain, seakan-akan itu lebih menarik dibandingkan pria itu.“Masih mau bungkam, Zia? Baiklah, kalau begitu, aku lebih baik pergi saja.”Aldric menghentikan gerakannya dan bersiap untuk beranjak dari tempat tidur.Seketika Ziandra panik. Dia lekas rengkuh leher Aldric dan membelitnya erat-erat. Khawatir pria itu benar-benar pergi.“Jangan pergi! Aldric, aku… aku menginginkan kamu. Aku menginginkanmu!” Ziandra menoleh, menyatukan tatapannya ke mata Aldric.Dia sudah menyerah
“Um….” Ziandra terbangun pada tengah malam.Matanya beredar mencari sosok pria yang dia inginkan di ruangan tersebut.Tak ada. Pria itu tak ada.“Aldric? Aldric kamu di mana?”Dengan suara parau, Ziandra bertanya. Dia melangkah turun dari tempat tidur untuk mencari Aldric.Namun, tidak juga ditemukan di semua ruangan di kamar suite yang luas tersbut.“Apa dia… dia meninggalkanku? Dia bosan padaku?”Dalam gumaman lirih, Ziandra menduga-duga. Ada rasa menyengat di matanya ketika dia membayangkan Aldric tak lagi menginginkannya.Serasa ada tangan berduri yang meremas jantungnya saat imajinasi liar dia muncul. Yaitu jika Aldric bosan padanya dan memiliki wanita lain untuk ditaklukkan.Mata Ziandra semakin terasa panas dengan pikiran kacau yang terasa kusut. Hatinya sesak oleh rasa cemburu yang asing.Meski sekuat apa pun dia ingin menyangkal apa yang sedang bercokol di sanubarinya, tapi batinnya semakin menjerit kalut.Dengan air mata berjatuhan tanpa bisa dicegah, dia membatin pilu, ‘Aku
"Tapi... benarkah begitu?" Justru dia sendiri yang meragukan hatinya.Namun, dorongan itu terus mendesak dan semakin membuatnya gelisah.Ting tung!Ziandra terlonjak saat melihat pintu terbuka di depannya usai dia menekan bel.Di sana, berdiri Aldric, mengenakan kemeja hitam yang dilipat di lengan, rambutnya sedikit berantakan seperti habis berkutat dengan pikiran yang tak menentu. Mata pria itu langsung mengunci matanya—dalam, teduh, dan... menahan sesuatu."Ziandra..." gumam Aldric.Namun, Ziandra tak memberinya kesempatan berkata apa-apa lagi.Tanpa sadar, gadis itu melangkah maju, melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Aldric, memeluknya erat seolah hidupnya bergantung padanya.Seolah... Aldric adalah satu-satunya jangkar dalam badai hatinya.Aldric tersentak sedikit, kaget, namun segera menahan tubuhnya. Tangannya refleks memeluk Ziandra erat, seperti menahan sesuatu yang rapuh agar tak pecah.Ziandra menggigil dalam pelukan itu."Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi padaku..."
‘Perjalanan ke Kantata terasa lebih sunyi dari yang aku bayangkan.’ Ziandra membatin saat dia sudah berada di dalam mobil bersama Aldric.Hanya suara deru mobil dan sesekali Aldric menjawab telepon dari anak buahnya.Sepanjang jalan, Aldric tetap menjaga jarak, namun ada kalanya, diam-diam, Ziandra menangkap sorot matanya yang teduh memandanginya dari sudut kaca spion.Di hotel tempat mereka menginap, Aldric memilih suite dua kamar. Tidak satu kamar.‘Apakah dia kecewa padaku? Tapi aku tak mungkin begitu saja bercerai dari Mas Dion. Tidak segampang itu, kan?’ batinnya.Bahkan keputusan kecil semacam pisah kamar, tanpa banyak penjelasan, sudah membuat Ziandra serasa dilemparkan ke lautan ketidakpastian lagi.Setelah rapat yang cukup melelahkan di kantor cabang Kantata, Aldric dan Ziandra kembali ke hotel menjelang malam. Langit mulai gelap, dengan rintik hujan membasahi jalanan.Ziandra menatap bayangan Aldric di kaca lift sambil membatin, ‘Dia tampak begitu jauh, begitu tak terjangkau
‘Tidak… tidak akan memintaku menikahinya lagi?’Napas Ziandra tercekat saat membatin, mengulangi ucapan Aldric di hatinya.Ada gelenyar rasa sesak di hatinya ketika dia merenungi sejenak ucapan Aldric. Seakan jantungnya diremas secara tak nyaman oleh tangan berduri.‘Apakah dia marah?’ Ziandra hanya bisa berasumsi demikian di hatinya.Setelah itu, selama beberapa hari berikutnya, sikap Aldric kian dingin dan pria itu seolah menjauh dari Ziandra. Meski tetap saja jika Aldric menginginkannya di ranjang, dia tak bisa menolak.‘Dia sudah tidak seperti biasanya.’Pikiran Ziandra semakin berkeliaran tak terkendali. Baru saja dia melayani Aldric di ranjang, tapi pria itu memperlakukannya seperti dia hanyalah batang pohon pisang semata.‘Dingin, dia dingin.’ Ada rasa sedih menyusup di sanubari Ziandra melihat perubahan pada sikap Aldric. ‘Pasti dia marah karena penolakanku.’Selanjutnya, hari-hari terasa kosong bagi Ziandra. Hanya celoteh Clara yang membuatnya berseri.Pagi itu, Ziandra menge