‘Rekening baruku ini aku buka satu bulan lalu. Ini agar uangku tidak cepat habis,’ batin Ziandra.
Setelah itu, dia mandi dan mulai menunggui anaknya.
Sambil memegangi tangan putrinya yang ditempelkan ke pipinya, dia mulai menyapa, “Rara, sayangnya Bunda, bangun, Nak! Bunda kangen Rara!”
Kemudian, dia mulai teringat dengan ‘dosanya’.
Dengan nada pelan, dia berucap, “Rara, maafkan Bunda. Bunda mengobati Rara dengan uang hasil …. hasil Bunda ….”
“Hasil kamu apa?” Mendadak saja terdengar suara Dion di belakang Ziandra.
Terkejut dengan kemunculan suaminya, Ziandra lekas menoleh dan memang suaminya sudah ada di belakangnya, mengenakan baju khusus untuk masuk ke ICU.
Ada rasa gembira, akhirnya suaminya bersedia menjenguk putrinya! Tapi, tadi suaminya bertanya …..
“Ah, oh, itu … maksudku … itu … uang dari hasil … berutang sana-sini.” Meski gugup, dia berhasil juga memberikan jawaban yang sangat masuk akal. “Mas Dion tumben ke sini. Rara—“
“Aku ingin membawa motormu. Mana kuncinya?” potong Dion sambil mengulurkan tangan.
Seketika senyuman di wajah Ziandra luntur, berganti kesedihan. Ternyata bukan untuk menjenguk putri mereka. Dia pun menyerahkan kunci motor ke Dion.
“Mas, hari Minggu kembalikan motornya ke aku, yah! Biar Seninnya bisa kupakai ke kantor.” Dia mengingatkan Dion sebelum pria itu berlalu dari hadapannya.
“Tsk! Entahlah! Kalau Minggu belum pulang, pakai saja ojek ke kantor!” Dion terdengar acuh tak acuh dan pergi.
Ziandra sedih. Meski suaminya menyebalkan semenjak beberapa tahun ini, dia tetap berharap suaminya kembali manis seperti dulu.
Sampai sore, ibunya tidak juga datang, hingga kemudian dia menerima telepon dari Susan yang mengabarkan ibunya masuk angin dan tak bisa ke rumah sakit untuk sementara waktu.
Mau bagaimana lagi? Dia tak mungkin memaksa ibunya.
“Iya, Ma, tak apa. Mama istirahat saja di rumah.” Ziandra menatap jam dinding di ruang ICU. Sudah jam 5 sore.
Maka, malam Minggu ini, dia sendirian saja menunggui putrinya. Clara masih belum sadar.
Ziandra berharap ketika putrinya sadar, dia ada di samping sang putri.
Kemudian handphone-nya bergetar di saku. Ketika diangkat, itu dari teman yang memberinya piutang.
“Maaf, Zia, bukannya aku pelit, tapi apa boleh uangku kembali besok Senin? Aku butuh mendadak, Zia.” Si teman menagih uangnya.
“Iya, tak apa. Senin pasti aku kembalikan, jangan khawatir.” Ziandra membalas dan panggilan pun diakhiri.
Setelah itu, dia mendongakkan kepala, menatap langit-langit. Semenjak ayahnya meninggal, semua terasa berat untuknya.
Dia duduk berdiam diri di samping putrinya hingga malam datang dan dia dikejutkan oleh kejang-kejang dari Clara. Panik, dia lekas menekan tombol agar perawat lekas datang.
“Suster, Dokter mana? Dokter mana?! Anak saya kejang! Tolong anak saya! Anak saya kenapa?” paniknya saat melihat dua perawat datang mendekat ke Clara.
“Sebentar, Ibu. Harap Ibu keluar dulu! Sebentar lagi dokter datang untuk memeriksa.” Perawat mengusir halus sebelum menarik tirai pemisah bilik.
Ziandra paham dan bergegas keluar, tapi dia tetap mondar-mandir panik di depan ruang ICU. Kejang-kejang bukankah pertanda gawat?
Ketika dia menghubungi suaminya, Dion tidak merespon. Lalu dia dilema, apakah perlu menghubungi ibunya? Tapi Susan sedang tak enak badan. Bukankah dia akan mengganggu ibunya?
Drrttt!
Mendadak, ponsel di tangannya bergetar. Nyaris saja dia menjatuhkan gadgetnya akibat terkejut.
Namun, ketika dia melihat siapa yang menghubunginya, dia memekik tertahan, “Ya ampun! Apa tidak bisa kalau tidak mengganggu dulu di saat-saat seperti ini?!”
Dia memandangi nama Aldric di layar ponselnya, seakan sebaris nama itu sedang meneriaki dia untuk lekas datang, berulang kali.
“Tidak! Tidak bisa! Aku tak mungkin pergi ke dia malam ini! Clara sedang dalam kondisi gawat! Aku akan menyesal seumur hidup jika aku meninggalkan Rara dan ternyata ada hal buruk terjadi ke Rara!”
Terjadi pergulatan hebat di benaknya. Mana yang harus dia beratkan? Anaknya? Atau Aldric dengan segala kuasa dan kekuatan finansialnya?
“Tapi bagaimana kalau Bos maniak itu marah karena aku menolak datang? Apakah aku akan dituntut? Dibawa ke polisi? Ya ampun, ini bagaimana?” bingungnya.
Sungguh sebuah dilema yang sangat sulit dipilih salah satunya. Kedua hal itu sama penting baginya dan dia tak bisa mengabaikan satu dari lainnya.
“Pak! Saya mohon, Pak! Untuk kali ini saja, saya tak bisa. Saya sungguh meminta maaf, malam ini benar-benar tidak bisa, Pak!” ucap Ziandra begitu mengangkat panggilan keempat dari Aldric.
Tentu saja dia bisa memperkirakan semarah apa Aldric saat ini mendengar penolakannya. Pria itu memiliki kepribadian buruk dan terlalu bossy. Semua keinginannya harus tercapai, tak boleh ada halangan dan penolakan!
“Kamu! Sudah berani melawanku? Apa kamu lupa kalau kamu sudah menandatangani perjanjian! Oh! Aku yakin saat ini kamu disuruh melayani suamimu di sana, benar? Dengar, Zia, aku tidak peduli! Kalau aku minta sekarang, ya sekarang! Terserah apa alasan yang kamu berikan ke suamimu!” tegas Aldric.
Rasanya Ziandra ingin menjerit keras-keras. Anaknya sedang gawat begini dan Aldric malah menginginkan tubuhnya? Yah, dia memang tak bisa menyalahkan bosnya karena Aldric tidak tahu-menahu mengenai sakitnya Clara.
Tidak! Dia tak mungkin meninggalkan Clara ketika putrinya sedang dalam kondisi darurat!
Dia pun menangis tersedu-sedu saking bingungnya. “Huhuu … saya mohon, Pak … malam ini saja saya tidak melayani Bapak. Huhuuu … saya benar-benar tidak bisa malam ini, Pak ….”
“Siap-siap saja menerima hukuman berat dariku!” ancam Aldric.
“Iya, Pak, saya siap dihukum! Hiks!” Ziandra sudah tak peduli lagi jika dia harus dijebloskan ke penjara sekali pun, yang penting dia sudah menyetorkan uang untuk perawatan anaknya.
“Nyonya Pradipta, bisa ke ruangan saya sebentar?” Suara dokter perempuan memecah konsentrasinya ke Aldric, sehingga secara refleks, dia menekan tombol merah di layar handphone.
“Ah! Iya, Dokter!” Ziandra menoleh cepat sambil menghapus air matanya.Dengan patuh, dia pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Jantungnya berdebar kencang, menanti apa yang akan dikatakan oleh dokter. Hatinya tak surut memanjatkan doa terbaik untuk sang anak.Dia tak tahu, bahwa di tempat lain, ada yang mengerutkan kening usai termangu memandang handphone yang sudah terputus koneksinya.Ziandra tidak tahu ada yang bergegas memanggil anak buahnya untuk melakukan sesuatu._ _ _‘Ya ampun … lega!’ Ziandra akhirnya bisa melepaskan sejenak semua kekhawatirannya akan Clara.Dokter sudah memastikan bahwa Clara stabil dan akan baik-baik saja. Apabila sampai besok sore kondisi Clara terus menunjukkan level stabil, Clara harus dipindahkan ke bangsal khusus.Teringat ketika dokter menjelaskan hal ini padanya, “Bu Pradipta, karena kondisi Clara sudah lebih baik dan infeksinya sudah berhasil kami atasi, maka sebaiknya Clara dipindah ke bangsal Hematologi setelah nanti mulai stabil dan bangun, samb
“Kamu berani menolak?” Ada suara geraman rendah saat Aldric mengucapkan itu.Mendadak, nyali Ziandra menciut. Langsung saja dia khawatir mengenai uang untuk biaya Qiana.‘Duh! Harusnya aku tidak langsung menolak! Kalau dia marah, lalu tak mau memberi uang lagi, aku harus cari uang di mana? Tak mungkin aku nekat merayu pria lain lagi. Akan jadi apa aku nanti kalau pakai cara itu terus?’ Dia panik.Sambil menggenggam erat ponselnya, Ziandra melembutkan suaranya untuk bicara ke Aldric, “Maaf, Pak, bukan maksud saya menolak perintah Bapak, tapi … luar negeri terlalu jauh dan pasti butuh waktu cukup lama untuk meninggalkan rumah.”Dia berharap, Aldric bisa mengerti posisinya sebagai wanita bersuami.Kemudian, ada tawa di seberang sambungan, tawa sumbang Aldric. “Hahaha! Kamu merasa tak enak pada suami kamu, begitu? Rupanya kamu masih punya cinta ke dia, yah? Cih! Cinta, tapi tubuhmu kamu jajakan ke pria lain sepertiku. Wah, wah, uang memang membutakan kamu, yah!”Geraham Ziandra terkatup e
‘Gawat! Bagaimana kalau aku sampai diangkut paksa dan dibawa ke luar negeri? Rara! Aku tak bisa pergi! Rara butuh aku! Rara menungguku!’ Batin Ziandra terus berteriak.Selain itu, dia berusaha memberontak dari cengkeraman Aldric, hingga akhirnya terhempas di lantai. Isakan tangis tak tertahankan. Dia tak mau dibawa paksa sejauh itu dari putrinya!Aldric pun melepaskan genggaman tangan kokohnya pada lengan ramping Ziandra dan menatap wanita yang sedang terisak sembari duduk tak berdaya di lantai.“Pak … hiks! Saya mohon jangan paksa saya begini … saya mohon, Pak!” Ziandra tetap mengiba tanpa berani menatap sang Bos.Dengan kepala tertunduk, dia melihat kedua kaki Aldric mendekat ke dirinya. Setelah itu, dagunya dicengkeram dan diangkat sehingga mau tak mau, mereka saling bertemu tatap.“Kamu membantahku, Ziandra. Padahal kamu sudah sangat jelas dengan setiap butir pasal di perjanjian kita, perjanjian yang sudah kamu tanda tangani.” Suara rendah dan berat milik Aldric semakin terasa men
“Mas Dion sebenarnya ke mana, sih?” heran Ziandra.Akhirnya dia terpaksa menelepon Susan.“Ma, Mas Dion ada di rumah?” tanyanya.“Enggak, Zia. Dia pergi dari kemarin. Katanya ada kerjaan bersama temannya di luar kota.” Susan menyahut. “Ini juga Mila pergi dari kemarin, katanya diajak temennya cari baju untuk dagangan di kota Ebon.”Susan menyebutkan nama kota industri, 270 km ke timur dari kota Sangria.Ziandra menghela napas. Pasti besok dia harus menggunakan ojek untuk ke kantor.“Padahal aku harus ambil pakaian kerjaku untuk besok. Hgh! Mas Dion egois!” rutuknya pelan.Terpaksa dia pulang sebentar menggunakan angkot yang lebih murah untuk mengambil pakaian kerjanya.“Apa tak apa kalau Rara kamu tinggal begini, Zia?” tanya Susan ketika melihat kedatangan putri sulungnya di rumah.“Ini aku buru-buru, kok Ma.” Dia bergegas mengemasi pakaian untuk Senin besok, memasukkannya serapi mungkin ke tas travel yang agak besar dan segera kembali ke rumah sakit usai mencium tangan Susan.Untung
“Itu … silakan Pak Binar bicara dengan Pak Aldric. Saya permisi.” Ziandra bergegas melarikan diri dari ruangan itu.Dia begitu gugup ketika ditatap Binar yang memicingkan mata dengan curiga saat mempertanyakan hal tadi.‘Semoga saja bajuku sudah rapi, tak ada kancing yang meleset!’ Ziandra sambil melihat blusnya, berharap tak ada satu pun hal mencurigakan di sana, seperti … bau Aldric?Hari ini terasa sangat panjang bagi Ziandra yang sedang menanti waktu pulang kerja agar bisa secepatnya bertemu dengan Clara.Ketika sore tiba, semangat padam Ziandra mulai bangkit. Matanya berbinar, membayangkan Clara akan tersenyum kalau dia membawakan roti krim kesukaan bocah itu.Sayangnya ….“Ikut aku menemui salah satu klien. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu. Kamu hanya perlu ikut aku sekarang juga dan bisa pulang jam 11 nanti.” Aldric langsung saja menjatuhkan bom padanya.Aldric dan kemauannya selalu saja mengagetkan Ziandra meski dia sudah belajar untuk terbiasa dengan sikap bossy dan berbeda
‘O-orang ini gila! Dia maniak sialan! Maniak cabul!’ Ziandra terus mengumpat dan memaki Aldric di benak.Hukuman macam apa pula itu?!“Berani kamu menolak hukuman itu, aku bisa menambah durasi masa pelayananmu sebanyak 60 kali lagi,” imbuh Aldric sambil berbalik badan menghadap Ziandra.Betapa geramnya Ziandra mendengar kesewenang-wenangan si Bos. Apakah semua Bos sebrengsek dia? Citra positif dan bagaikan malaikat tak bersayap? Omong kosong!“Kamu harus ingat di salah satu pasal perjanjian kita, ada tertulis bahwa hukuman harus dilaksanakan oleh pihak kedua, yaitu kamu. Dan kalau kamu tidak melaksanakannya, maka kamu akan dibebani 60 kali pelayanan padaku atau keluargamu mengetahui perjanjian kita.” Aldric menaikkan dagu sambil mengucapkannya.Hrrgh! Ingin sekali Ziandra mencakar-cakar muka arogan Aldric yang menampilkan kesombongan sebagai penguasa yang selalu menang.Ziandra menarik napas dalam-dalam, berusaha memperluas lautan kesabarannya. Kemudian berkata, “Bapak, Anda meminta s
“Ah!” Ziandra ikut memekik akibat kaget.Tidak disangka, ada perawat masuk ke kamar mandi.“Wah, maaf, Ibu. Saya tidak tahu kalau di dalam ada orang, karena tidak ada suara air.” Perawat itu memberikan alasan masuk akal.Untung saja itu perawat perempuan, tapi tetap saja Ziandra merasa sangat malu!“Ini … saya ….” Ziandra gelagapan menjawab.“Oh, Ibu sedang memeriksa payudara sendiri, kah?” tanya si perawat.Mendadak, Ziandra termangu mendengar ucapan perawat itu. Memeriksa payudara sendiri? Oh!“Ah, be-benar! Benar, Sus.” Ziandra lebih baik ikuti saja jawaban yang diberikan perawat itu.Perawat itu mendekat sembari Ziandra menutupi dadanya dengan handuk.“Kita sebagai wanita memang harus selalu aware dengan tubuh kita sendiri, Ibu. Salah satunya memang dengan perawatan payudara agar bisa lekas ditangani apabila ada keanehan yang tidak lazim di sana.” Perawat itu tersenyum.Sehingga, Ziandra ikut tersenyum.“Kalau Ibu membutuhkan pemeriksaan mammogram, Ibu bisa segera menjadwalkannya
‘Fo-foto KTP!’ Benak Ziandra berteriak mengulang ucapan si Bos maniak.Ziandra melongo, tak tahu harus menjawab apa. Dia memotret dirinya seperti itu saja sudah merupakan beban tersendiri baginya. Dan sekarang si Bos masih protes mengenai gaya?‘Tidak bisakah dia memahami sedikit saja mengenai kegugupanku, karena itu bukan hal yang biasa aku lakukan!’ Ingin dia menjerit keras-keras.Dia kesal. Bukannya berterima kasih, Aldric malah sibuk meributkan mengenai gaya dan pose.‘Kalau ingin yang pintar bergaya, cari saja foto model terkenal, sana!’ jerit Ziandra dalam hati, penuh kekesalan.“Zia, apakah kamu ingin mendapatkan hukuman tambahan?” ancam Aldric.Pria ini! Geram sekali Ziandra. Beruntung saja Aldric adalah bosnya, atau dia sudah melayangkan tinjunya ke wajah pria itu jika bertemu.Sambil menahan kegeraman di hatinya, Ziandra menyahut dengan nada rendah penuh penekanan, “Bapak, maaf kalau foto saya mirip foto KTP, tapi itu dikarenakan saya melakukannya dengan kegugupan luar bias
Ziandra memandang Dion dengan dahi mengernyit, hatinya seketika terasa aneh. “Apa maksudmu kita pindah rumah?” tanyanya, menjaga nada suaranya tetap rendah agar tidak membangunkan Clara.Dion tersenyum, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak membuat Ziandra nyaman. “Aku dapat kerjaan di kota sebelah. Gaji bagus. Aku pikir ini bisa jadi awal yang baru buat kita. Kamu, aku, Clara. Kita tinggalkan semua masalah di sini.”“Kamu tiba-tiba sekali,” sahut Ziandra, pelan. “Kenapa tidak bicara dulu? Kenapa putuskan sendiri, Mas?”Dion mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya menyentuh tangan Ziandra dengan lembut, lalu turun ke pahanya. “Zia… kamu tahu aku cuma ingin yang terbaik buat keluarga kita. Aku tahu akhir-akhir ini kita… renggang. Tapi kita bisa perbaiki itu, kan?”Ziandra menegakkan punggungnya, merasa canggung. Dia bisa mencium napas Dion yang makin dekat.Laki-laki itu mengusap bahunya, lalu dengan perlahan menunduk, mencium sisi lehernya.“Dion, jangan,” ucapnya cepat, me
‘Astaga, bagaimana aku menjelaskannya pada Rara? Apa aku beli dulu di kota setelah mendarat?’Ziandra bersandar di kursi penumpang jet pribadi Aldric, masih mencoba menenangkan pikirannya setelah semua yang terjadi.Langit luar jendela tampak gelap, malam menutupi seluruh pandangan, seakan menyembunyikan segala kenangan dan rahasia yang tertinggal di Maldavis.Dia menghela napas panjang, memeluk tubuhnya sendiri. Terlalu banyak hal yang belum bisa dia cerna. Aldric, Hanz, Kenzo—semuanya berputar di kepalanya seperti kabut yang tak kunjung reda.“Lusa seharusnya kita kembali,” gumamnya sendiri.Tapi Aldric, seperti biasa, mengambil keputusan sepihak. Mendadak, tak terbantahkan, dan tanpa penjelasan panjang. Sikapnya tetap sama—dingin, tegas, tak memberi ruang untuk perdebatan.Bahkan saat menyelamatkan Ziandra dari bahaya malam itu, dia melakukannya dengan ekspresi tajam dan diam, seolah bukan karena peduli, melainkan karena harga diri.Ziandra sempat menatapnya saat berada di kabin pe
“A-Aldric?” Sekali lagi Ziandra memanggil si Bos.Namun, senyap, seakan hanya dia sendirian saja di ruangan itu.Sret! Sret!Tiba-tiba dia dikejutkan dengan terurainya belenggu di pergelangan tangannya.“Pakai pakaianmu, Zia. Cepat!” Suara Aldric kembali terdengar.Ziandra merenggut kain penutup di matanya dan mendapati Aldric ada di depannya, berdiri dengan wajah tegang. Kenapa dengan pria itu? Marah?Tapi Ziandra tak ingin membuang waktu dan segera memakai pakaian yang sudah cukup rusak di beberapa bagian.“Pakai ini!” Aldric berkata sambil melemparkan jasnya ke Ziandra.Tanpa pikir panjang, Ziandra bergegas mengenakan jas yang kebesaran di tubuhnya untuk menutupi baju rusaknya di bagian atas.Kemudian, dengan digamit pada pinggangnya, Ziandra keluar dari tempat itu bersama Aldric, langsung masuk ke mobil si Bos.“Ini… kita ke mana? Kok bukan arah hotel?” tanya Ziandra saat dia mengamati jalanan yang dilalui.Dia masih ingat meski samar arah-arah ke hotelnya. Dan saat ini mobil just
“A-apa maksudmu, Aldric?” Ziandra mulai dihinggapi rasa takut serta khawatir.Terlebih ketika dia melihat senyum seringai di wajah Aldric.“Aldric, lepaskan dulu ikatanku. Aku… aku akan melayanimu seperti biasanya.” Ziandra membujuk.Tangannya yang terbelenggu digerakkan dengan maksud meminta pria itu segera membebaskannya.Tapi Aldric justru menggeleng.“Bukankah aku sudah bilang kalau kamu menarik dalam kondisi seperti itu, Zia?” Aldric mengusap bibir menggunakan ibu jarinya.Setelah itu, dia menatap sekeliling, ada beberapa peralatan BDSM di sana, dan tangannya mengambil salah satu.“Aldric!” Ziandra terkejut saat kedua matanya seketika tertutup sesuatu berwarna hitam yang dipakaian Aldric padanya.Sebuah blindfold, penutup mata.“Sshhh… jangan terlalu tegang, Zia. Aku takkan menyakitimu. Aku justru akan membuatmu… melayang.” Aldric membisikkannya di dekat telinga Ziandra.Ziandra hendak menyahut, ketika dia bergiding merinding saat telinga yang baru saja menerima bisikan itu sudah
“Tidak! Aku tidak mau!” Ziandra memejamkan mata ketika dada polosnya masih saja diremas dan dipermainkan tangan agresif Hanz sambil pria itu sesekali akan mendekatkan ponselnya ke dia.Terkadang mengarahkan kamera ke wajahnya, kadang pula ke dadanya yang sudah tidak ditutupi apa pun.Isak tangis Ziandra tidak menimbulkan iba pada Hanz, seakan sudah tak ada rasa kemanusiaan sedikit pun pada pria itu.“Aldric… Aldric, tolong! Aldric… huhuhuuu….” Dengan mata terpejam erat, Ziandra tanpa sadar menyeru nama pria itu keras-keras saking kalutnya.CKLAAKK!Suara pintu yang dibuka kasar terdengar.Hanz tersentak, kepalanya menoleh dengan ekspresi terkejut.Ziandra juga membelalakkan mata, napasnya tersengal. Masih ada sisa air mata di pelupuk matanya.Di ambang pintu yang kini terbuka lebar, seorang pria berdiri dengan ekspresi penuh amarah.Tatapan matanya gelap, tajam seperti elang yang siap menerkam. Tangannya mengepal di sisinya, rahangnya mengeras seolah menahan diri agar tidak langsung
“Apa ini? Mau apa kau?”Ziandra tersentak saat kesadarannya kembali, napasnya tersengal. Rasa berat dan sesak menyerang tubuhnya, dan begitu matanya terbuka lebar, dia tersentak panik.“Tanganku!”Dua tangannya terikat di atas kepalanya, dibelenggu dengan kain kuat yang diikat ke kepala ranjang. Pergelangan kakinya juga mengalami nasib yang sama, terikat.Dia terbaring di atas tempat tidur empuk, tetapi rasa nyaman itu sama sekali tak berarti ketika dia menyadari situasinya.“Lepaskan aku! Lepaskan tali ini! Kumohon….”Dia panik saat menyadari bahwa dia sudah tak bisa berkutik. Namun, tetap saja dia berjuang melepaskan diri.“Kamu… kenapa kamu melakukan ini? Ini salah! Ini sudah melanggar hukum! Tolong lepaskan aku, dan aku berjanji takkan melaporkanmu. Aku akan langsung pulang dan tidak akan berkata apa-apa mengenai ini pada siapa pun.”Dengan nada memelas, dia membujuk Hanz agar melepaskannya. Dua tangan yang terbelenggu terus digerakkan, berharap bisa melonggarkan ikatannya.Tapi,
“Orang-orang yang tidak menghargainya, yah?” Suara Aldric terdengar berat dan sinis.Mata Aldric melirik setajam belati ke putranya. Kenzo sedang menyindir dia atau bagaimana?Ziandra menatapnya dengan bingung. Pemuda itu mengetahui seluk-beluk kehidupannya? Bahkan tentang Clara?Hal ini semakin membuat Ziandra tak tenang. "Kenzo, kamu baru mengenalku. Kamu tidak tahu—""Aku tahu cukup banyak untuk menyadari bahwa kamu pantas mendapatkan kebahagiaan," potong Kenzo.Aldric tiba-tiba menarik tangan Ziandra dengan kasar, wajahnya semakin gelap. "Sudah cukup, Kenzo. Ziandra bukan milikmu untuk direncanakan sesuka hati."Kenzo, bukannya takut, malah menahan tangan Ziandra yang satunya. "Tapi dia juga bukan milikmu, Ayah. Kamu sendiri yang selalu menolak konsep kepemilikan dalam hubungan, bukan? Lalu kenapa sekarang kamu terdengar begitu posesif?"Ziandra semakin merasa tak nyaman. Tatapan para tamu restoran semakin banyak yang mengarah ke mereka."Cukup! Aku tidak ingin menjadi pusat perha
"Hah? Argh!"Ziandra termangu mendengar ucapan sang Bos, tapi dia sudah langsung dihentak kuat-kuat dari bawah, sehingga dia tak sempat berpikir lebih."Ayo, Zia! Fokus saja padaku dan tinggalkan suamimu payahmu itu, ergh!" Aldric berucap disela-sela hentakannya."Tu-tunggu, Al—ahh!” Dia tak sempat mendebat Aldric karena pria itu sudah terus bergerak di bawahnya secara beringas.Ruang mobil yang terbatas menjadi semakin terasa sesak dan tak sanggup menampung pergolakan dua orang di dalamnya.“Kamu milikku, Zia!” geram Aldric seraya terus mengentak tubuh pasrah Ziandra.“Hah? Argh!” Ziandra tak mengerti maksud Aldric? Dia dinyatakan sebagai milik pria itu dikarenakan sudah dibeli oleh perjanjian laknat mereka?Bahkan ketika mereka sudah kembali ke hotel dan Aldric melanjutkan permainan panas mereka di kamarnya, pria itu mengulangi ucapannya.“Ja-jangan bicara be-begitu, Al…Aldric… mmhh….” Ziandra tergagap saat dia terengah dalam kuasa Aldric yang menindihnya dari belakang punggungnya.
“Pak….” Ziandra mendesah ketika tangannya ditarik secara lembut oleh Aldric dan dibawa ke dalam pelukan pria itu.“Jangan panggil aku seperti itu.” Suara Aldric melirih.Ziandra bisa merasakan debaran jantungnya sendiri yang berpacu dengan debaran milik Aldric.‘Sepertinya Pak Aldric sedang dalam kondisi yang cukup rapuh.’ Dia berpikir.Sementara, tanpa dia ketahui, Kenzo melihat adegan tersebut dan tetap diam di tempatnya, tidak mengganggu seperti biasa.Sret!Ketika Ziandra merasa iba akan rapuhnya Aldric saat ini, mendadak saja dia sudah ditarik pergi.‘Pasti Pak Aldric merasa hancur melihat kenekatan Bu Aurelind.’ Dia berspekulasi sembarangan saja di kepalanya. ‘Yah, wajar saja karena mereka memiliki anak dan tentu ada kisah sebelum ini.’Lagi dan lagi, Ziandra mencoba berempati atas hubungan rumit yang terjadi antara Aldric dan Aurelind.“Heh?&