Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Arren tidak bisa berteriak, dan hanya menatap Leon lekat, dengan tatapan sendu yang mendalam. Tatapan Arren itu seakan berarti, ia begitu menantikan kedatangan Leon, meski awalnya hanya sebatas angan.Bulir air terlihat menggenang di antara kedua matanya. Entah mengapa, gadis itu begitu lega karena Leon akhirnya menampakkan dirinya. Tapi, perasaan aneh apa ini?Ada semacam kerinduan yang tiba-tiba menyeruak, namun terhalang oleh harga diri yang tetap ada di dalam hatinya. Bukankah Arren sudah melarikan diri dari jeratan pria itu? Lantas, mengapa sekarang ia begitu bahagia ketika kembali bertemu? Ah… apakah, perasaan cinta dan benci memang harus membingungkan seperti ini? Arren belum bisa mengartikan kontradiksi perasaannya ini. Namun, satu hal yang pasti, Ia begitu bahagia, jika memang harus ditakdirkan untuk mati, hari ini. ***Leon menyapu pandangan, mencoba menelaah situasi yang sedang terjadi di tempat ini. Ia tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Tidak ada senjata, tidak
Malam yang kelam sedikit lagi berganti pagi. Semburat merah perlahan mulai menampakkan diri. Abigail telah selesai berkemas dan siap untuk pergi dari pondok terkutuk ini. Langkahnya yang tak sabar, segera bergema di seluruh ruangan. "Kita pergi sekarang!""Tunggu!"Leon mematung, memandangi sang istri yang sendirian dan tampak rapuh itu. Meski terbebas dari ikatan, namun tentu saja Arren masih belum bisa bergerak bebas. Ranjau terkutuk itu menahan segalanya. "Arren… bertahanlah!""Leon…"Perpisahan kembali menghadang pasangan ini. Keduanya sadar bahwa mereka tidak memiliki pilihan. Baik Leon maupun Arren, keduanya tertawan oleh keadaan, tanpa bisa melawan. "Biarkan aku berpamitan sebentar."Leon mendekat ke arah Arren, sambil mengucap kata perpisahan. Tidak ada yang ingin mati terpanggang di sana. Jadi, Leon hanya bisa mendekat sekitar satu meter dari posisinya semula. "Tunggulah aku. Ini tidak akan lama."Arren mengangguk perlahan, setelah mendengar penuturan Leon. Gadis itu tent
"Hei!"Leon menatap nyalang musuh yang ada di hadapannya. Pria itu! Dengan jenggot tebal yang menyerupai seorang tuna wisma, namun perawakannya tinggi besar hampir setinggi dirinya. "Siapa kau!" teriak Leon yang sedang dalam posisi siaga, siap menyerang jika pria itu tiba-tiba melayangkan kapaknya. Namun, pria itu hanya terengah-engah tanpa menjawab segala pertanyaan dari Leon. Pandangannya lekat pada sosok Abigail yang tengah meregang nyawa, bersimbah darah di hadapannya. Abigail—wanita jahat itu—bahkan tewas dalam posisi terperangah. Bola matanya hampir melompat ke luar, seakan tidak pernah memperkirakan kejadian nahas yang menimpanya ini. Semua sudah terlambat. Kejadiannya begitu cepat. Saat ini, Abigail telah tewas. "Akhirnya…" desis pria itu lega. Klang! Ia membuang kapak dengan semburat darah itu begitu saja, di sekitar mayat sang buruan yang teronggok seperti sampah di atas aspal jalan. "Tuntas dendamku, padamu. Pergilah ke neraka!" teriaknya dengan nada tajam dan napa
Hiruk-pikuk mulai terdengar keras, tatkala truk-truk pemadam kebakaran dengan cepat tiba di area ledakan. Mereka datang dengan sirine yang meraung-raung, memecah ketenangan hutan dan membuat hewan-hewan liar yang sebelumnya merasa aman, kini berlari ketakutan.Suasana pasca ledakan di dalam hutan cedar menjadi sangat dramatis. Mobil-mobil polisi dengan lampu merah dan biru yang berkedip-kedip tiba di sekitar lokasi, mengiring truk pemadam kebakaran yang telah sampai terlebih dahulu di tempat kejadian.Cahaya warna-warni dari sirine polisi memberi silau nyata bagi para hewan yang ada di sana. Suaranya yang nyaring turut menakuti fauna hutan yang kini sibuk mencari tempat perlindungan.Mereka benar-benar ketakutan. Setelah gema ledakan mulai mereda, kini, hutan—tempat tinggal para hewan liar itu—malah semakin ramai orang.Hewan-hewan yang terbiasa merasa aman karena jauh dari peradaban manusia, kini merasa terancam. Mereka tampak gemetar dan tidak terlihat menampakkan diri di sekitar lo
Dalam suasana yang masih kacau balau, bisikan lembut Arren membuat Leon mematung sesaat, namun kemudian, ia melesat dengan segera, dan berlari ke arah istrinya. "Arren! Oh! Sayang!"Leon memeluk tubuh rapuh sang istri dengan dekapan erat, seolah hendak mematahkannya dalam sekejap mata. "Ergh," erang Arren, merasa sesak, namun juga memahami mengapa Leon bersikap seperti ini. "A—ku tidak bisa bernapas."Leon mengendurkan pelukannya, tawa bahagia mewarnai perjumpaan mereka yang begitu dramatis itu. Leon membelai wajah ayu sang istri dengan gerakan lembut yang seolah menyatu dalam alam mimpi. Ia masih tidak mempercayai keajaiban ini."Mmh…"Detik kemudian, bibir ranum Arren dilumat sempurna oleh Leon. Dalam kecupan lembut itu, Arren dapat merasakan gairahnya yang telah padam kini kembali hidup dan tertawan oleh pesona sang suami. Ah. Ciuman manis ini, terasa seperti mimpi. Untuk sesaat, dua sejoli itu bahkan melupakan tempat berdiri mereka. Beberapa petugas yang masih berlalu-lalang
Arren berkata sambil memandang berlian yang berkilauan di jarinya. Kilauannya tidak hanya berasal dari cincin, tetapi juga dari matanya yang penuh cinta.Leon gembira ketika melihat rona wajah Arren yang bahagia. "Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu."Arren tersipu mendengarnya. Detik kemudian, sebuah ciuman hangat mendarat di pipi sang suami. "Terima kasih, Sayang. Aku benar-benar menghargainya. ""Hadiah itu, aku baru pertama kali membelinya untuk wanita. Syukurlah kau menyukainya," ucap Leon bahagia. Ia merasa begitu bangga karena dapat membelikan barang kesukaan istrinya. Tidak sia-sia, Leon menguras harta hingga ribuan dollar hanya untuk perhiasan kecil seperti itu. Usul Ford ternyata ada benarnya. "Tentu saja aku suka. Lihatlah ini! Pasti harganya mahal!" Arren bersorak. Ia memperhatikan setiap detail cincin tersebut.Matanya bersinar oleh kilau berlian, Arren merasa seperti seorang putri di negeri dongeng yang sedang dilamar pangeran tertampan. "Cincin itu adalah cinci
"Permisi, Nona… Nyonya memanggil Anda untuk makan bersama," ucap pelayan pribadi Arren sambil mengetuk pintu kamar majikannya. Senja telah berganti malam. Dan kini, saatnya mereka untuk mengisi kekosongan perut yang sudah mulai keroncongan. "Baiklah… Aku akan ke sana," sahut Arren, tanpa membuka pintu. Dengan kehadiran Leon di sisinya, Arren selalu tidak bisa berpakaian dengan benar. Suaminya itu tidak segan-segan melepas gaunnya kapan pun ia inginkan. "Satu ronde lagi, ya?" pinta Leon dengan senyuman nakalnya. Arren melemparkan bantal yang ada dalam jangkauannya ke arah sang suami. "No!" tegasnya sambil melotot heran. Leon terkekeh, ia meraih tangan Arren yang hampir mendaratkan berbagai benda kepadanya. Dengan satu tarikan kencang, Leon berhasil menangkap sang istri kembali ke dalam pelukannya. "Kena!"Detik kemudian, Leon mencumbui bibir sang istri dengan gairah yang membuncah—sebagai upah atas kesabarannya untuk tidak melakukan ronde ke dua. "Mmh…" Arren menggeliat, ingin m
"Apa yang kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun!" Arren menyela, ia seakan menjadi orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa. Nenek dan suaminya begitu penuh rahasia. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di sini? "Arren. Ayah Leon itu seharusnya menjadi menantu keluarga ini. Sebelum pria bajingan itu kawin lari dengan seorang budak!" Nyonya Rossie menjelaskan, dengan lengkingan tajam yang memekakkan telinga. "A—apa?" Arren tak percaya dengan pendengarannya. "Benarkah itu?" Ia melihat ke arah Leon yang sedang menundukkan kepala. Pria itu diam dan tidak tahu harus menjawab apa. "Lihatlah. Anak itu juga bakal seperti Ayahnya. Kau jangan mudah percaya!" Nyonya Rossie terus menuduh Leon yang serupa sang ayah. Padahal… "Aku bahkan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Mengapa Anda menyamakan kami? Gila!" Leon meradang. Kisah kelam keluarganya yang dengan rapat ia simpan, akhirnya terbuka juga. Arren dan Neneknya tentu saja syok dengan pengakuan Leon itu. Namun, mere