Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Dalam suasana yang masih kacau balau, bisikan lembut Arren membuat Leon mematung sesaat, namun kemudian, ia melesat dengan segera, dan berlari ke arah istrinya. "Arren! Oh! Sayang!"Leon memeluk tubuh rapuh sang istri dengan dekapan erat, seolah hendak mematahkannya dalam sekejap mata. "Ergh," erang Arren, merasa sesak, namun juga memahami mengapa Leon bersikap seperti ini. "A—ku tidak bisa bernapas."Leon mengendurkan pelukannya, tawa bahagia mewarnai perjumpaan mereka yang begitu dramatis itu. Leon membelai wajah ayu sang istri dengan gerakan lembut yang seolah menyatu dalam alam mimpi. Ia masih tidak mempercayai keajaiban ini."Mmh…"Detik kemudian, bibir ranum Arren dilumat sempurna oleh Leon. Dalam kecupan lembut itu, Arren dapat merasakan gairahnya yang telah padam kini kembali hidup dan tertawan oleh pesona sang suami. Ah. Ciuman manis ini, terasa seperti mimpi. Untuk sesaat, dua sejoli itu bahkan melupakan tempat berdiri mereka. Beberapa petugas yang masih berlalu-lalang
Arren berkata sambil memandang berlian yang berkilauan di jarinya. Kilauannya tidak hanya berasal dari cincin, tetapi juga dari matanya yang penuh cinta.Leon gembira ketika melihat rona wajah Arren yang bahagia. "Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu."Arren tersipu mendengarnya. Detik kemudian, sebuah ciuman hangat mendarat di pipi sang suami. "Terima kasih, Sayang. Aku benar-benar menghargainya. ""Hadiah itu, aku baru pertama kali membelinya untuk wanita. Syukurlah kau menyukainya," ucap Leon bahagia. Ia merasa begitu bangga karena dapat membelikan barang kesukaan istrinya. Tidak sia-sia, Leon menguras harta hingga ribuan dollar hanya untuk perhiasan kecil seperti itu. Usul Ford ternyata ada benarnya. "Tentu saja aku suka. Lihatlah ini! Pasti harganya mahal!" Arren bersorak. Ia memperhatikan setiap detail cincin tersebut.Matanya bersinar oleh kilau berlian, Arren merasa seperti seorang putri di negeri dongeng yang sedang dilamar pangeran tertampan. "Cincin itu adalah cinci
"Permisi, Nona… Nyonya memanggil Anda untuk makan bersama," ucap pelayan pribadi Arren sambil mengetuk pintu kamar majikannya. Senja telah berganti malam. Dan kini, saatnya mereka untuk mengisi kekosongan perut yang sudah mulai keroncongan. "Baiklah… Aku akan ke sana," sahut Arren, tanpa membuka pintu. Dengan kehadiran Leon di sisinya, Arren selalu tidak bisa berpakaian dengan benar. Suaminya itu tidak segan-segan melepas gaunnya kapan pun ia inginkan. "Satu ronde lagi, ya?" pinta Leon dengan senyuman nakalnya. Arren melemparkan bantal yang ada dalam jangkauannya ke arah sang suami. "No!" tegasnya sambil melotot heran. Leon terkekeh, ia meraih tangan Arren yang hampir mendaratkan berbagai benda kepadanya. Dengan satu tarikan kencang, Leon berhasil menangkap sang istri kembali ke dalam pelukannya. "Kena!"Detik kemudian, Leon mencumbui bibir sang istri dengan gairah yang membuncah—sebagai upah atas kesabarannya untuk tidak melakukan ronde ke dua. "Mmh…" Arren menggeliat, ingin m
"Apa yang kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun!" Arren menyela, ia seakan menjadi orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa. Nenek dan suaminya begitu penuh rahasia. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di sini? "Arren. Ayah Leon itu seharusnya menjadi menantu keluarga ini. Sebelum pria bajingan itu kawin lari dengan seorang budak!" Nyonya Rossie menjelaskan, dengan lengkingan tajam yang memekakkan telinga. "A—apa?" Arren tak percaya dengan pendengarannya. "Benarkah itu?" Ia melihat ke arah Leon yang sedang menundukkan kepala. Pria itu diam dan tidak tahu harus menjawab apa. "Lihatlah. Anak itu juga bakal seperti Ayahnya. Kau jangan mudah percaya!" Nyonya Rossie terus menuduh Leon yang serupa sang ayah. Padahal… "Aku bahkan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Mengapa Anda menyamakan kami? Gila!" Leon meradang. Kisah kelam keluarganya yang dengan rapat ia simpan, akhirnya terbuka juga. Arren dan Neneknya tentu saja syok dengan pengakuan Leon itu. Namun, mere
Nenek Lucy tersenyum lembut dan dengan bangga memperkenalkan Leonard Connor sebagai cucu angkatnya. "Lesea—budak itu—adalah anak angkat saya, Nyonya," ucap Nenek Lucy dengan mata berkaca-kaca, teringat kembali akan kenangan bersama sang anak angkat yang telah tiada. "Apa maksudmu, Lucy?""Itulah kenyataannya…""Jangan bercanda!"Nyonya besar tampak tidak menerima fakta tentang kenyataan ini. Namun, ia tidak melihat ekspresi kebimbangan di dalam diri Lucy—sang mantan pesuruh yang ia percayai. "Mengapa budak itu harus menjadi anak angkatmu? Anak laknat itu!" Amukan Nyonya besar tampak tak bisa dikendalikan. Ia masih merasa sakit hati terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh Alexander Connor dan Lesea yang mencoreng kehormatannya. Bukan hanya itu saja, Nyonya besar juga telah kehilangan banyak uang karena kerjasama yang ia bangun dengan keluarga Connor harus berhenti di tengah jalan. Tidak sedikit kerugian yang dideritanya. Bahkan, sangat banyak. Oleh karena itu, Nyonya besar sanga
Tatapan Nyonya besar tampak mengancam, dengan desahan napas berat yang seolah yak memberi harap pada sang cucu menantu. Mau tidak mau, ia harus mencari jalan tengah agar perseteruan ini tidak sampai merusak hubungannya dengan Arren, dan tentu saja memberi keuntungan yang ia inginkan."Katakan, Nyonya. Saya akan mengerahkan kemampuan saya jika bisa," ucap Leon dengan kesungguhan, namun Arren menarik tangan sang suami dan menggeleng pelan. "Kau tidak harus membuktikan apa pun," katanya dengan suara bergetar. Entah mengapa, sikap Neneknya cukup keterlaluan. Arren keberatan dengan berbagai desakan dari sang Nenek yang seolah memojokkan Leon. Leon tidak seharusnya menuruti setiap permintaan sang Nenek yang menjatuhkan harga dirinya. Seharusnya Leon melawan, namun pria itu hanya tersenyum lembut dan menggenggam erat tangan Arren. "Aku tidak ingin hubungan kita seperti duri dalam daging, Arren. Tenanglah, aku pasti bisa memenuhi syarat itu.""Sayang, kau tidak perlu seperti ini," kata Arre
Seorang pria berjas hitam yang rapi dengan dasi merah terlihat berdiri dengan sikap tegak dan penuh kepercayaan diri.Dengan postur tubuh atletis dengan tinggi sekitar 185 cm, Pria itu sangat kokoh dan seakan sulit untuk didekati. Matanya berwarna cokelat tajam, dengan dagu bersih dan bibirnya yang sering terlipat dalam ekspresi serius. "Selamat pagi, Nyonya," sapanya sambil mengangguk hormat. Inspektur Kirk, pria itu kembali lagi ke Mansion ini, untuk apa? "Ada yang bisa saya bantu, Inspektur?" tanya Nyonya Rossie dengan ekspresi curiga. Ia belum mempersilahkan sang inspektur untuk masuk ke dalam kediamannya sebelum jelas apa kepentingan yang hendak diungkapkannya. Inspektur Kirk menjawab dengan suara yang tegas dan berwibawa, "Izinkan saya masuk, Nyonya Rossie. Saya memiliki berita yang harus saya sampaikan mengenai Abigail Rossie," ucapnya dengan ekspresi serius. "Abbey? Apalagi yang ingin Anda ketahui? Saya tidak ada hubungannya dengan dia!" teriak Nyonya Rossie yang mengejutk
Malam semakin larut, jam makan malam telah usai, seharusnya setelah ini, Nyonya Rossie, Arren dan Leon akan kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain sambil menunggu waktu tidur tiba. Namun, sebelum beranjak dari ruang makan tersebut, sebuah kehebohan mengejutkan mereka. Seorang penjaga tampak tergopoh-gopoh masuk dan memberitahuksn bahwa ada rombongan pria besar yang sedang bertamu di gerbang Mansion mereka. Salah seorang di antaranya adalah mantan menantu sang Nyonya rumah, Adam Hart. "Nyo—nyonya. Adam Hart ingin bertemu Anda," ucap pengawal itu dengan napas tersengal. Dadanya kembang-kempis menahan laju oksigen yang terpompa cepat pada jantungnya. Keringatnya bercucuran, dan ia tampak sedikit gusar. Kedatangan tamu-tamu asing itu cukup memantik perhatian sehingga para penjaga bersiap dengan kewaspadaan ekstra. Mereka tidak ingin lagi terkecoh dan mengalami insiden membahayakan bagi penghuni Mansion seperti yang telah terjadi di masa lalu. "B