Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Jika ada pepatah: habis jatuh tertimpa tangga, maka begitulah nasib Arren yang sebenarnya. Sudah beberapa tahun ini, ia kehilangan ibunda tercinta. Ayahnya yang dulunya gagah dan kaya raya, kini tak ubahnya sampah masyarakat karena perangai buruknya: seorang alkoholik dan penjudi akut yang seolah tanpa dosa. Di usianya yang masih belia—19 tahun—Arren harus membanting tulang untuk menafkahi dirinya dan ayah yang tidak bisa bekerja. Pria itu hanya tahu cara berhutang dan menghabiskannya dalam semalam. Nasib Arren benar-benar malang. “Akh ….” Rasa sakit kembali menjalar. Kali ini, Arren merasakannya di area paha dan sebelah kakinya, setelah sebelumnya, hanya denyut di kepala saja yang menyakitinya. “Di mana aku?” Arren menyipitkan mata, memindai setiap benda yang ada di sekitarnya. Gelap. Arren tidak dapat melihat apa-apa. “Errgh ….” Arren mengerang karena tiba-tiba, rasa perih muncul di area vitalnya. Apa yang terjadi? Mengapa dia ada di tempat asing seperti ini? TIba-tiba, pint
"Bagaimana semalam, Tuan? Anda menikmatinya?" tanya Venn, seorang tawanan lain yang ada di mansion Leon. Bedanya, tawanan itu kini menyebut dirinya sebagai selir kesayangan sang tuan. Berbeda dengan Arren yang masih belum mendapatkan pengakuan. "Lumayan. Dia sangat manis dan beraroma mawar," ucap Leon sambil menikmati pijatan Venn. Pria itu merasa lelah, setelah menghabiskan malam dan bertempur bersama di kamar wanita barunya.“Baik ….” Seolah memahami perasaan kekasihnya yang membuncah, Venn berpura-pura bahagia. Separuh hatinya luka, meski tak mengeluarkan darah. Venn tidak terima ketika Leon begitu memuja gadis baru di wilayah kekuasaannya."Apakah anda ingin ronde kedua? Tuan?" goda Venn sambil menanggalkan seluruh pakaiannya. Venn yang berusia matang, tentu saja memiliki keahlian lain ketimbang Arren yang masih perawan. Mereka berdua adalah wanita dengan level yang berbeda."Tidak. Pijat saja aku, lelah sekali semalam, bertempur dengan kucing hutan," tolak Leon sambil tersenyum
Mata biru, rahang keras, bibir tebal dan kulit putih yang kecokelatan membuat penampilan pria di hadapan Arren begitu mempesona. Wajahnya sangat tampan. Tatapannya pun memancarkan gairah yang sukar dijelaskan. “Sudah puas mengamati wajahku?” Satu hal. Suara itu. Suara yang sangat dibenci oleh Arren. Suara yang selalu menyakiti hati dan alat vitalnya selama beberapa waktu. “BAJINGAN!” Arren menggeram kemudian hampir menyundulkan kepala untuk mengusirnya, sayangnya … pria itu sangat lihai dalam menyiksanya lagi dan lagi. “Tenanglah, nanti infusmu copot!” Leon menahan dahi Arren yang hendak dihentakkan kepadanya. Hangat. Telapak tangan pria itu begitu kontras dengan kondisi Arren yang dingin dan pucat. “Lepaskan!” Arren menggelengkan kepala, berusaha menjauhkan diri dari sentuhan pria tadi. Untuk sesaat, Arren baru menyadari bahwa ada banyak selang yang terhubung pada tubuhnya. Kamarnya pun tidak lagi suram. Semuanya tampak terawat dengan baik. Wajahnya … ketika Arren melihat ke
“Katakan! Apa yang terjadi semalam?” Venn, selir Leon, mendesak mata-mata yang ada di rumah utama untuk menceritakan segalanya. Sudah beberapa hari ini, Leon tidak tampak mengunjunginya di Paviliun Barat. Pria itu sibuk dengan tikus jalanan yang baru saja dipungutnya, Arren. “Nona muda itu sakit, Nyonya. Jadi … tuan merawatnya,” ucap pelayan itu dengan gemetar. Ia takut salah bicara. Rahang Venn mengeras. Bangunan ini begitu sepi tanpa malam panas dengan sang pujaan hati. “Untuk apa kau memberiku rumah seperti ini jika tanpa kita tinggali, Tuan?” Venn menggumam. Hatinya begitu sakit mendengar bahwa Leon seolah melupakan segala hal tentangnya. Awalnya, Leon adalah miliknya seorang. Sekarang? Venn harus rela berbagi kekasih dengan gadis asing yang bahkan tak dikenalnya. “Besok! Besok undang dia untuk pesta teh. Kau harus menyampaikannya pada si pelayan pribadi. Mengerti?” “Pe–pesta teh?” Pelayan itu terkesiap. Keringat dingin segera mengucur dari dahinya. “Ya! Kau mengerti, kan,
Arren berjalan setengah pincang untuk mencapai ke rumah kaca, sesuai petunjuk Poppy. Entah kenapa … semua hal di mansion ini aneh sekali. Pertama, pemiliki rumah ini adalah penculik dan pemerkosa. Arren harus menjebloskannya ke penjara! Kedua, selir yang cemburu? Arren dapat merasakan bahwa wanita yang bernama Vennina itu sepertinya merasa tersaingi oleh kehadirannya. “Aku akan berbicara padanya bahwa aku bukanlah saingannya!” Mendengar kata ‘saingan’, membuat bulu kuduk Arren meremang. Hanya orang bodoh yang bisa mencintai pria bejat seperti Leon. Tidak. Arren bukan lah orang seperti itu. “Selamat datang, Nona ….” Seorang pelayan tampak menyambut Arren yang tampak memasuki rumah kaca. Sebuah meja telah terhias indah, dengan kepungan bunga mawar di sekitar mereka. Aromanya yang harum menambah kesan elegan dalam ruangan itu. Arren segera menyukai perjamuan yang diadakan. “Halo,” sapa Arren ramah. Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun-an tampak bangkit dari kursinya. Wajahn
Seorang pelayan yang terkejut melihat salah satu majikannya memuntahkan darah. Segera, Venn memanggil seseorang untuk membantu Arren yang terkapar tak berdaya. "Panggil dokter!" teriaknya berpura-pura panik. Hanya satu pelayan yang tahu bahwa itu adalah tipu muslihat dari Venn, sedangkan pelayan yang lain bahkan tidak berani untuk berpikir ke arah sana. Tak lama kemudian, Dokter pribadi Leon berlari ke dalam rumah kaca. "Ada apa ini?" tanya dokter dengan cepat, sambil memeriksa tanda vital pasien. "Dia tiba-tiba muntah darah dan pingsan," ucap Venn, yang sebelumnya telah menyuntikkan zat halusinogen agar Arren tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya dengan jelas. Dokter itu tampak panik karena menemukan tanda-tanda keracunan pada tubuh Arren. "Pindahkan dia ke kamar!" perintah sang dokter kepada para pengawal yang tadi ikut mengiringinya. Para pengawal dengan cepat membawa nona yang tak sadarkan diri itu kembali ke kamarnya di lantai tiga. Dokter segera memberikan pertolongan per
Proses pencarian tersangka menjadi topik panas di mansion itu. Semua orang tampak cemas dan ragu … siapa sebenarnya yang telah memprovokasi tuan mereka sampai sedemikian rupa? “Cari mati,” gumam seorang pelayan yang melintas di depan ruang kerja sang tuan. Setelah mengantarkan dua cangkir teh kepada majikannya, pelayan itu kembali ke dapur, ke tempat yang seharusnya. Ia lalu meneruskan gosip dan desas-desus tentang pencarian menyeluruh oleh tim keamanan pada pelaku peracunan kekasih baru sang tuan. *** "Apakah mungkin Nona Venn yang melakukannya?" tanya Ford, ajudan Leon yang baru saja bergabung setelah menuntaskan misi pengintaian di markas Napoli, rival bisnis Leon yang beberapa waktu ini telah mengusik ketentraman kelabnya. "Venn? Hmm..." Leon terlihat memikirkan kemungkinan tersebut. Bagi para pria, persaingan dalam wilayah kekuasaan mungkin sudah hal yang biasa, tetapi apakah hal yang sama berlaku juga bagi para wanita? "Aku akan mencari tahu," ujar Leon dengan serius. Ford t
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.