Proses pencarian tersangka menjadi topik panas di mansion itu. Semua orang tampak cemas dan ragu … siapa sebenarnya yang telah memprovokasi tuan mereka sampai sedemikian rupa?
“Cari mati,” gumam seorang pelayan yang melintas di depan ruang kerja sang tuan. Setelah mengantarkan dua cangkir teh kepada majikannya, pelayan itu kembali ke dapur, ke tempat yang seharusnya. Ia lalu meneruskan gosip dan desas-desus tentang pencarian menyeluruh oleh tim keamanan pada pelaku peracunan kekasih baru sang tuan.
***
"Apakah mungkin Nona Venn yang melakukannya?" tanya Ford, ajudan Leon yang baru saja bergabung setelah menuntaskan misi pengintaian di markas Napoli, rival bisnis Leon yang beberapa waktu ini telah mengusik ketentraman kelabnya.
"Venn? Hmm..." Leon terlihat memikirkan kemungkinan tersebut. Bagi para pria, persaingan dalam wilayah kekuasaan mungkin sudah hal yang biasa, tetapi apakah hal yang sama berlaku juga bagi para wanita?
"Aku akan mencari tahu," ujar Leon dengan serius. Ford tertawa terbahak-bahak. "Ya Tuhan. Apa yang terjadi pada monster kutub ini? Mengapa kau tampak sangat peduli padanya? Bukankah beberapa waktu lalu, kau bahkan mencekik dan menikam kakinya, Tuan?” cemooh Ford yang kemudian dibalas tatapan tajam oleh Leon.
“Diam kau!” hardik Leon dengan telinga memerah.
“Lihatlah Tuan Besar kita ini, responmu benar-benar aneh. Kau seolah menjadi malaikat penjaga," lanjut Ford yang mengabaikan hardikan dari majikan sekaligus sahabatnya itu.
Ford dan Leon sudah saling mengenal sejak taman kanak-kanak. Mereka adalah sahabat sejati, selaras dalam pertumbuhan fisik dan emosional yang hampir sama seiring waktu.
Ayah Ford adalah tangan kanan ayah Leon ketika mendiang masih hidup. Ford dan Leon kecil tetap terhubung melalui garis keturunan ini, sebagai majikan dan ajudan, seperti hubungan yang sama antara ayah mereka.
Hingga saat ini, Ford adalah salah satu orang kepercayaan Leon yang loyal, jujur, dan kuat baik secara fisik maupun mental. Dia selalu menjadi penopang bagi Leon ketika dia kehilangan kendali. Namun, situasi saat ini terasa canggung bahkan bagi Ford yang mengenal Leon dengan baik.
Leon seakan terpesona oleh gadis misterius yang seharusnya diperlakukan sebagai budak, bukan nyonya muda. Terlebih, usia gadis itu baru menginjak 19 tahun, sungguh, usia yang masih belia.
"A-aku ...," Leon tidak bisa berkata-kata. Dia juga tidak sepenuhnya memahami perasaannya yang bertindak di luar kebiasaan. Baru saja Leon selamat dari kematian akibat menghisap racun Dolalopa yang pernah dilatih sebelumnya, dan sekarang dia bahkan bersedia mencari pelaku yang meracuni kekasih kecilnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Aku hanya merasa kasihan padanya, dia terlihat seperti seorang anak kecil," ujar Leon berbohong. Perasaan yang ada, bukanlah sekadar rasa kasihan. Melainkan lebih dari itu. Leon sangat mengetahui hal tersebut karena Arren bukan benar-benar kucing hutan yang membutuhkan belas kasihan agar tidak dicincang.
"Ya, baiklah," sahut Ford mencoba mempercayai, meski sedang menahan tawanya. "Untunglah kau adalah monster yang kebal terhadap racun. Jika tidak, aku mungkin telah mengambil alih bisnismu hari ini," ucap Ford sambil tertawa. Namun, Leon hanya menyeringai.
Ia tidak menganggap gurauan Ford itu lucu. "Kau pikir aku ini orang bodoh tanpa perhitungan?" tanya Leon tidak terima.
"Percayalah, kebodohan itulah yang dilakukan seseorang yang sedang jatuh cinta," seloroh Ford sambil berlalu menjauhi meja kerja Leon. Ia tak ingin memesan batu nisan lebih awal, karena telah mengusik malaikat maut yang saat ini sedang berada di depannya.
***
“Apa katamu?? Gadis itu kenapa???” Venn merasakan amarah kembali menjalari tubuhnya, mendengar kabar terbaru dari rumah utama. Venn tidak menyangka bahwa usaha terbaiknya bisa gagal begitu saja.
“Nona… Nona Arren, tidak mati, Nyonya…,” ucap pelayan itu mengulang informasi yang tadi diberikannya.
“Tidak mungkin! Bagaimana bisa?” Venn tampak tidak percaya. Racun yang didapatkannya dari pasar gelap itu adalah racun yang langka dan sangat beracun. Hanya ada 2 orang di negara ini yang pernah terkena racunnya, dan orang-orang itu dipastikan telah meninggal.
“Apa pedagang itu membohongiku?” Venn mulai menaruh curiga pada serikat dagang yang menjadi langganannya. Ia akan memastikan bahwa penipu itu tidak akan bertahan lama di bisnis ini.
Venn tampak menggigil ketakutan. Ia harus segera mencari jalan pintas untuk melenyapkan Arren dengan hal lain. “Sial!!!!” Venn merutuk kesal dan kali ini, seluruh pelayan paviliun harus pasrah menerima kemurkaannya.
“Persiapkan mobil! Aku harus menemui seseorang!” perintahnya dengan teriakan menggelegar, setelah puas menghajar seluruh pelayan yang ada di Paviliun Barat.
***
Sementara itu, Arren yang baru saja siuman dari cengkeraman maut, pagi ini sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Ia tampak menyantap sarapan yang disajikan oleh Poppy dengan lahap dan cepat, seolah-olah itu adalah kali pertamanya menemui makanan setelah sekian lama.
"Enak, Poppy. Terima kasih," ucap Arren setelah menandaskan makanan dalam piringnya. Poppy tersenyum dan menganggukkan kepala, "Syukurlah, Nona telah pulih dengan baik."Arren kemudian bersiap untuk mandi dan membersihkan diri. Yang aneh, kakinya tidak lagi pincang. "Poppy, kakiku sudah sembuh!" pekiknya dengan gembira. "Syukurlah, Nona. Kejadian kemarin membawa berkah rupanya. Nona bisa beristirahat dengan baik," sahut Poppy yang juga merasa senang."Poppy, apakah ... ehm ... Tuan selalu bersamaku ketika aku terbaring di tempat tidur?" tanya Arren dengan ragu karena ia tidak bisa mengandalkan ingatannya yang tercampur selama berada di ambang maut dan terbaring lemah di atas tempat tidur. Arren tidak mampu membedakan antara mimpi dan kenyataan karena masih dalam pengaruh obat. Yang tidak diketahuinya, halusinogen yang disuntikkan oleh Venn juga mempengaruhi sebagian besar kesadarannya, membuat Arren tampak linglung."Benar, Nona. Tuan sangat khawatir. Ia terus memantau perkembangan Nona dengan matanya sendiri!" ucap Poppy dengan semangat. Ia merasa terharu dengan dedikasi Tuan Leon yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Wajah Arren tiba-tiba memerah, dan ia tidak melanjutkan pertanyaannya. Itu hanya akan membuatnya kehilangan akal dan kembali dipenuhi oleh ilusi-ilusi tentang cinta dan kasih sayang yang tidak mungkin ada. *Setelah mandi, Arren tiba-tiba ingin berjalan-jalan. Namun, ia begitu terkejut karena harus diawasi oleh dua pria besar saat keluar dari kamarnya. "Poppy, siapa mereka?" tanya Arren setengah berbisik. Ia tampak tidak senang dengan kehadiran para pengawal tersebut. "Nona, mereka adalah pengawal yang ditugaskan untuk mengawal nona secara pribadi. Tuan tidak dapat menerima insiden peracunan terakhir kali," sahut Poppy tidak ingin menjadikannya beban. Arren tampak mengangguk tanda paham. Namun, tetap saja, ia merasa risih karena gerak-geriknya seakan terus ada dalam pengawasan Leon. "Nona, mau pergi ke mana hari ini? Apakah ke taman bunga atau ke kebun sayur? Di area depan mansion juga ada air mancur yang indah. Atau mungkin Nona ingin bermain air? Ada Infinity Pool di lantai teratas mansion. Kita bisa pergi ke sana," jelas Poppy memberikan beberapa pilihan destinasi wisata di mansion seperti seorang pemandu tur.Arren tertawa melihat Poppy yang dengan lancarnya menjelaskan berbagai hal menarik yang ada di mansion Leon. Arren berpikir sejenak, kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan ke kebun sayur sambil memanen beberapa tanaman yang bisa dijadikan lalap makan siang nanti. "Kalau ke kebun sayur, apakah jauh?" tanya Arren untuk memastikan. Ia tidak ingin terlalu lelah berjalan karena kaki dan tubuhnya baru saja pulih."Nona! Anda pikir kita akan berjalan kaki untuk sampai ke sana? Jauh sekali. Kita akan naik mobil, baru berjalan-jalan di sekitar perkebunan saja," sahut Poppy tidak percaya dengan pemikiran polos Arren.***Mansion Lukas memiliki luas 5 hektar dan terdiri dari beberapa bangunan yang saling terhubung. Karena letaknya di sebuah pulau kecil yang cukup jauh dari pusat kota, Leon sengaja membeli seluruh pulau tersebut sebagai tempat tinggalnya karena tidak ingin memiliki tetangga. Leon juga memiliki unit bisnis yang mandiri untuk memenuhi segala kebutuhan di wilayahnya, seperti peternakan, pertanian, dan pembangkit listrik yang menggunakan arus laut dan tenaga surya. Secara teknis, Leon benar-benar memiliki kerajaan pribadi yang terisolasi dari kebisingan dan campur tangan orang lain. Jika Leon mau, ia bahkan bisa membeli jabatan sebagai adipati pulau tersebut karena ia juga mempekerjakan penduduk lokal secara eksklusif di pulau tersebut. Kesejahteraan mereka juga meningkat dibanding sebelumnya. Pulau Lesea, nama yang diambil dari ibu Leon, adalah pulau yang indah dan relatif kecil, dengan keanekaragaman hayati yang masih terjaga. "Poppy, ceritakan lebih banyak tentang keindahan Pulau Lesea. Aku benar-benar penasaran," pintanya dengan antusias.Poppy tersenyum dan mulai menjelaskan, "Tentu, Nona. Pulau Lesea ini pesonanya luar biasa. Terdapat hamparan pantai berpasir putih yang terjaga dengan baik. Air lautnya yang jernih dan biru membuat siapapun betah. Terkadang, juga ada lumba-lumba yang muncul di teluk. Nona bisa melihatnya.”Arren semakin terpesona. Namun, ia tahu, ini bukan saatnya mengagumi pulau milik orang lain. Arren harus mencari informasi yang memadai untuk menunjang pelariannya di masa depan. “Lalu, apakah tidak ada kantor polisi di sekitar sini?” tanya Arren tanpa tekanan nada yang mencurigakan. Pertanyaan pancingan sudah dilontarkan, kini, saatnya mengorek informasi yang lebih menguntungkannya. “Tentu saja ada, Nona. Bangunan administratif satu atap ada di pusat kota, sekitar satu kilometer dari mansion. Di sana ada kelab, restoran, dan juga pusat atraksi juga,” ucap Poppy tidak menyadari bahwa Arren sedang merencanakan untuk menghubungi polisi agar dapat memulangkannya.“Terima kasih atas informasinya, Poppy. Pulau Lesea ini benar-benar indah,” ucap Arren sambil menghela napas, karena Poppy tampak tak menyadari rencananya.Tak lama kemudian, Arren dan Poppy melangkah keluar dari mobil, karena mereka telah berada di area perkebunan sayur yang alami dan segar. "Wah, hijau sekali," ucap Arren dengan penuh kekaguman, memandangi hamparan kebun sayur yang luas dan kehijauan. "Silakan menjelajahi kebun ini, Nona. Saya akan membuatkan kudapan untuk anda," ucap Poppy sambil memberi isyarat pada pengawal agar tetap menemani Arren. "Baiklah, aku akan menunggu sambil berjalan-jalan sebentar," sahut Arren seakan menikmati piknik dadakan yang tidak ia rencanakan sebelumnya.Arren mulai berkeliling ke area kebun sayur dan memetik sayuran dengan penuh semangat. Namun, tiba-tiba, di tengah-tengah perjalanannya, Arren menemukan seekor anak burung yang terjatuh dari sarangnya. “Kasihan sekali,” ucapnya penuh simpati.Arren lalu mengangkat anak burung itu, dan ingin meletakkan kembali di dekat induknya. Ia mulai memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi untuk mencapai sarang burung tersebut, meskipun pengawal mencoba mencegahnya. "Nona, berbahaya!”Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Pengawal yang bertugas menjaga keselamatan Arren memintanya untuk turun dari pohon. Sungguh, situasi ini dapat menjadi poin hukuman dan juga pengurangan gaji jika saja majikan mereka mengalami cedera."Tenanglah, aku jago memanjat," sahut Arren dengan keyakinan. Ia menggerakkan kakinya secara perlahan-lahan, naik ke atas satu persatu hingga mencapai ujung dahan. Di ujung sana, terdapat sarang burung pipit yang kehilangan salah satu anaknya. "Nah, baik-baik ya, burung kecil," ucap Arren dengan lembut, kemudian meletakkan kembali burung yang terjatuh tadi ke dalam sarangnya.Arren hendak beranjak pergi untuk menuruni batang pohon yang kokoh namun licin itu, namun, nahas, kakinya terpeleset. "Aaaaaaakkkhh....."Arren terpeleset, dan hampir terjatuh. Bisa-bisa, kakinya terkilir. Untung saja, seseorang menangkap tubuhnya tepat waktu. Arren benar-benar bersyukur. Rupanya, pengawal yang ditugaskan oleh Leon ada gunanya juga. "Siapa yang sedang menyelamatkan siapa?" tukas Leon dengan rasa
"Sebelum itu, jelaskan dulu, mengapa tadi Anda tiba-tiba menyeret saya ke dalam gudang?" tanya Arren sambil menunduk, untuk menyembunyikan ekspresi takut dan malu yang dirasakannya. Leon menarik alisnya, menganggap bodoh pertanyaan dari gadis yang telah menawan hatinya. "Kau bodoh atau tidak paham?" tanya Leon balik. “Apa maksud Anda?” "Aku sudah memperingatkan para pengawal agar menjagamu supaya tetap aman. Dan, apa yang tadi kusaksikan? Kau hampir patah tulang!" bentak Leon sambil mencengkram kedua lengan Arren yang tampak rapuh. “Aww ….” Seketika, Leon melepaskan cengkeramannya karena ia tahu bahwa Arren meringis kesakitan. Wajah gadis itu tampak pucat dan ketakutan. "Maaf, maksudku. Kau jangan membahayakan diri sendiri! Mengerti?" tegas Leon supaya Arren lebih berhati-hati di masa depan. "Baik, Tuan," sahut Arren patuh. Entah mengapa, perangai Leon tampak berbeda. Ia tidak lagi bersikap seenaknya. Apa ini? Apakah hati Arren mulai luluh kepadanya? Arren segera menepuk keras w
"Tugas terakhirmu adalah menjadi kambing hitam. Aku akan menciptakan sebuah cerita untuk melindungiku dan menyalahkanmu atas peracunan itu," ucap Venn dengan nada ancaman.Hillis bersimpuh dan memohon pada Venn agar tidak menjebaknya seperti itu. "Kasihanilah saya, Nyonya. Mana berani saya berbohong seperti itu?" Air mata Hillis mengalir deras dengan tubuh yang gemetar. "Kau akan menjadi orang yang bertanggung jawab, dan keselamatan keluargamu akan kujamin. Harus seperti itu!" tegas Venn tanpa ingin memberikan kesempatan untuk bernegosiasi. “Oh Tuhan!” pekiknya putus asa.Hillis memucat, ia dapat merasakan keputusasaan yang memenuhi hatinya. Namun, dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Keluarganya dan nyawanya berada di tangan Venn. Dia hanya bisa menuruti perintahnya."Ingat, Hilis," Venn menambahkan dengan nada tajam. "Jika rencana ini berhasil, keluargamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jika gagal, kalian akan menerima akibatnya."Hillis mengangguk dengan sedih semb
"Kapan dia akan sadar?" tanya Leon penuh kekhawatiran. "Dia akan cepat sadar, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Ini racun yang sama seperti yang pernah didapatkan oleh Nona Arren. kita sudah punya penawarnya," ucap dokter dengan nada yang meyakinkan."Hhhh.. Baiklah, terima kasih atas bantuanmu," kata Leon sambil berlalu. Ia sudah melaksanakan kewajibannya sebagai tuan rumah terhadap tanggungannya, saat ini, Leon harus kembali bekerja.Venn tidak mengetahui bahwa, cara Leon memperlakukannya sangat berbeda dengan Arren, ketika sama-sama sedang sekarat. Hanya sang dokter dan para pelayan yang mengetahui hal itu. Jika saja, Venn saat ini telah sadar, ia pasti sudah mengamuk dan menggila untuk menarik perhatian sang kekasih yang kehilangan bara cinta terhadapnya.*"Leon, apa yang terjadi? Kenapa mansion begitu gaduh?" tanya Ford yang baru saja turun dari mobil. Ia membawa beberapa botol minuman beralkohol terbaru untuk diuji oleh Leon.Bisnis Leon yang berhubungan dengan dunia malam, men
Arren memegang erat tangan gadis itu dan menuntunnya untuk duduk di gazebo terdekat. Ia menyuruh pelayan untuk membuatkan teh hangat supaya dapat menenangkannya. "Minumlah," ucap Arren lembut sambil menyodorkan secangkir teh hangat. Gadis itu tampak gemetar, dan menerima cangkir itu dengan penuh ketakutan. Sedetik kemudian, cangkir itu luput dari genggamannya. Prang! Cangkir terpecah, Arren terkejut, pengawal kembali bersiaga di dekat sang majikan. Namun, dengan ayunan tangan, Arren berhasil mengusir mereka kembali."Aku tidak apa-apa," ucapnya tegas. Arren memerintahkan para pengawalnya untuk menjauh, agar dapat memberi ruang yang tidak mengintimidasi bagi gadis tersebut. Lea tidak ingin situasinya menjadi semakin rumit.Arren kembali memfokuskan pandangannya pada sang gadis misterius, yang tak kunjung membuka identitasnya. "Apakah kau ingin terus bersikap seperti ini? Bagaimana aku bisa menolongmu, jika kau tak kunjung berbicara?" Arren mulai bersikap tegas pada gadis itu denga
Dalam kebuntuan penyelidikan oleh pihak kepolisian, Ford dan Leon merasa tertekan. Mereka tahu bahwa untuk mengungkap kebenaran di balik kericuhan itu, mereka membutuhkan dukungan dari para tamu yang menjadi saksi kunci. “Kau tahu, kan? Siapa yang tidak mengenalmu, Bos? Mereka takut salah bicara, dan malah diterkam dua binatang buas di luar sana,” Ford menyimpulkan keengganan para tamu untuk bersuara. Para tamu itu pasti tak ingin menambah beban masalah pada hidup mereka. Leonard Connor, terkenal sebagai pria paling berbahaya di ibu kota, sedangkan rivalnya, Napoli Toredo, juga tak kalah menyeramkan. Dalam dunia ini, orang yang waras dan berhati-hati akan menghindari hubungan dengan dua bos gengster ini secara sadar. Mereka tahu bahwa keterlibatan sekecil apapun dengan pria-pria berbahaya seperti Leonard Connor dan Napoli Toredo memiliki resiko besar bagi keselamatan hidup mereka. Dalam dunia kriminal, Leonard Connor dan Napoli Toredo bisa dikatakan sebagai nemesis, alias musuh be
KLANG! Sebuah peluru kembali melesat, namun, kali ini mengenai tiang tangga yang mengarah ke dalam kolam. Beruntung, Arren berhasil menghindar. Ia langsung menunduk dan merambat ke bebatuan yang berada tak jauh dari kolam. Teriakan dari sang pengawal berhasil membuatnya tersadar dari keterkejutan.Awalnya, Arren masih membatu setelah melihat gadis yang sedang bersamanya tiba-tiba ambruk dan mengeluarkan banyak darah."Arah jam sebelas!" teriak salah seorang pengawal yang terlihat sedang mencari sumber pemicu dari insiden mendadak ini. Atas petunjuk dari rekannya, pengawal lain bergegas menuju ke arah tersebut. Langkah mereka berderap menuju ke atas rooftop yang berhadapan langsung dengan bukit.DOR!!Suara tembakan balasan terarah ke bukit, setelah seorang pengawal melihat sekelabat bayangan yang tampak mencurigakan. Anggota pengawal lain tampak menuju ke kaki bukit. Mereka berencana untuk membekuk pelaku penyerangan secara langsung di sana. Ketegangan semakin merajai malam tragi
Arren yang pingsan, akhirnya sadar. Ia mencari Leon, namun, Poppy mengatakan bahwa tuannya itu sedang berada di ujung wilayah Canadak untuk membuat perhitungan dengan rivalnya, Napoli Toredo.Sudah menjadi rahasia umum bahwa perseteruan keduanya tidak ada habisnya, bahkan sejak ayah Leon meninggal. Benar kata pepatah, sahabat sejati bisa menjadi musuh mematikan ketika sudah tidak lagi sesuai visi.Bisnis kelab malam dan narkoba awalnya dijalankan oleh keluarga Connor dan Toredo secara akur dan saling mendukung. Namun, ketika ayah Leon jatuh sakit, pria itu mulai menguasai kerajaan bisnis sang ayah dan melenyapkannya. Baik ayahnya, maupun bisnis narkoba miliknya, sama-sama tidak meninggalkan jejak yang tersisa. Leon sangat membenci narkoba. Leon memiliki trauma masa kecil yang berhubungan dengan barang haram tersebut.Ketika ayah Leon sudah meninggal, ia akhirnya membumi-hanguskan akta perjanjian antara Connor dan Toredo, dan memutus akses kerjasama secara sepihak. Leon tidak pedul
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.