Pengawal yang bertugas menjaga keselamatan Arren memintanya untuk turun dari pohon. Sungguh, situasi ini dapat menjadi poin hukuman dan juga pengurangan gaji jika saja majikan mereka mengalami cedera.
"Tenanglah, aku jago memanjat," sahut Arren dengan keyakinan. Ia menggerakkan kakinya secara perlahan-lahan, naik ke atas satu persatu hingga mencapai ujung dahan. Di ujung sana, terdapat sarang burung pipit yang kehilangan salah satu anaknya. "Nah, baik-baik ya, burung kecil," ucap Arren dengan lembut, kemudian meletakkan kembali burung yang terjatuh tadi ke dalam sarangnya.Arren hendak beranjak pergi untuk menuruni batang pohon yang kokoh namun licin itu, namun, nahas, kakinya terpeleset. "Aaaaaaakkkhh....."Arren terpeleset, dan hampir terjatuh. Bisa-bisa, kakinya terkilir. Untung saja, seseorang menangkap tubuhnya tepat waktu. Arren benar-benar bersyukur. Rupanya, pengawal yang ditugaskan oleh Leon ada gunanya juga.
"Siapa yang sedang menyelamatkan siapa?" tukas Leon dengan rasa tidak senang karena Arren hampir berada dalam bahaya sekali lagi. Para pengawal saling pandang dengan tatapan khawatir. Mereka sadar bahwa mereka tidak akan mendapatkan upah lembur hari itu.
"Tu--tuan Leon, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arren sambil menyingkirkan tubuhnya sendiri yang telah menindih Leon. Bahkan, ia bisa merasakan batang Leon yang tiba-tiba mengeras ketika beradu dengan area bawahnya yang berbuntal dua.
"Pertanyaan yang sama untukmu," sahut Leon tanpa memberi jawaban.
"A--aku. Aku sedang berjalan-jalan," sahut Arren sambil membersihkan bajunya yang bernoda tanah. Ia melihat pakaian Leon juga tampak mengkerut, dan memiliki noda sama seperti dirinya.
Arren mendekat untuk membersihkan sang penyelamatnya dengan niat tulus, karena ia tidak ingin Leon mendapatkan masalah ketika mulai bekerja. Bukankah, kebersihan dan kerapihan adalah citra seorang pimpinan?
Dengan sigap, Arren menyingkirkan debu-debu dan noda tanah di area celana milik Leon. Tangannya mengusap-usap celana Leon yang kotor dan penuh lempung. Tanpa disadari, ada sesuatu yang menyembul dari balik celana itu. Arren begitu terkejut dan gemetar, lalu … menyudahi aktivitas bersih-bersih itu.
Leon tampak menahan getaran asing yang menjalari seluruh tubuhnya. Ia tampak gemetar, dan lututnya yang beradu dengan lutut Arren tidak kuat menahan godaan sang pembersih dadakan.
"Ikut aku!" seret Leon pada Arren yang tampak merona malu karena telah berbuat hal aneh padanya.
BRAK!
Leon mendobrak pintu gudang dengan sisa tenaganya. Gudang itu seharusnya adalah tempat untuk menyimpan pupuk dan beberapa alat perkebunan. Kali ini … gudang itu akan menjadi saksi pergumulan panas dua insan yang sedang mengeja arti kenikmatan dan … cinta.
“Mmhh ….”
Arren mendesah ketika Leon mulai melumat bibirnya. Dengan perlahan, pria itu membimbing Arren untuk merasakan kenikmatan. “Tu–tuan ….”
“Sshh ….”
Jemari Leon membungkam pembicaraan. “Aku akan melakukannya dengan perlahan, hm?”
Kali ini, anehnya … Leon meminta persetujuan. Seakan terbius oleh nafsu setan, Arren mengiyakan. Sejak saat itulah, Arren mulai dapat merasakan kenikmatan hubungan badan.
"Heuuuphh," Secara cepat, Leon menyesap aroma mawar yang ada pada tengkuk dan leher gadis itu sampai habis tanpa sisa. Mereka pun melakukan pergumulan panas yang tidak pernah diduga.
Nikmat.
Itu lah kata-kata yang tepat menggambarkan bagaimana sensasi berhubungan dengan seorang pria. Arren merasa berdosa, namun … detik kemudian, ia mulai terbiasa.
“Aakh ….” Gadis itu tak berkutik ketika Leon menghimpit tubuhnya dengan perkasa. Ia hanya pasrah menerima setiap jejakan kasar dari otot tubuhnya yang mengeras semua. “Sakit, Tuan,” erang Arren namun tak bisa menutupi kenikmatan yang juga ia dapatkan.
“Hm? AH ….”Leon terus mengguncangkan tubuhnya, menciptakan setiap desir panas yang memenuhi dada hingga ke kepala. Arren menikmatinya. Namun … di saat yang sama, Arren juga merasa tak boleh larut dalam syahwat terlarang ini.
"Panggil namaku, Sayang," ucap Leon sambil terus memompa tubuhnya.
"Le--leon," bisik Arren sambil melingkarkan tangannya, mengikat tubuh perkasa pria yang telah memberinya kenikmatan sesaat itu.
"Haaaaah.... "
Mereka berdua terkulai lemas, setelah berhasil mencapai puncak bersama-sama. 'Arren bodoh! Sedang apa kau saat ini?' rutuknya pada diri sendiri setelah berhasil memuaskan diri.
'Apa laki-laki ini hanya tahu s*ks saja? Tidakkah ia ingin melakukan hal lain yang lebih berguna?' gumamnya sambil membuang muka, tidak ingin terlihat bodoh di mata Leon.
"Arren, aku ingin memberitahu sesuatu," ucap Leon sambil bangkit dan mulai berpakaian. Ia menolong Arren berdiri sebelum keluar dari gudang.
"Ya, silakan," sahut Arren sambil memakai kembali gaunnya dan merapikan rambut yang berantakan. Ia juga tampak mengusap peluh yang bercampur dengan aroma Leon sehingga menghasilkan wangi baru yang menggairahkan.
Oh tidak, apa yang sedang Arren pikirkan?
"Ini tentang kasus peracunanmu. Aku sudah menemukan tersangkanya," ucap Leon sambil menatap lurus ke arah Arren.
"Y--ya? Tersangka? Berarti belum pasti pelakunya?" tanya Arren seakan paham dengan maksud Leon.
"Ya, itu benar. Sepertinya, mereka bergerak bersama. Aku tidak yakin dia bisa mendapatkan racun langka itu tanpa koneksi. Menurutmu, apa yang akan kau lakukan untuk menghukumnya?" tanya Leon meminta pertimbangan Arren.
Gadis itu menatap Leon dengan wajah gusar. Ia bukanlah orang yang terbiasa memberi hukuman. “Te–terserah Anda saja, Tuan.”
“Panggil dengan namaku, mulai sekarang.”
“Baik. Le–leon.”
Pria itu tersenyum mendengar panggilan baru yang disematkan gadis pujaan hatinya. Leon. Entah kenapa, nama itu terdengar merdu di telinga.
“Aku meminta pendapatmu karena jika aku yang menghukumnya, itu artinya … membunuhnya.”
“A–apa?” Arren membeliak. Tentu saja nyawa orang seharusnya sangat berharga. “Jangan!”
“Mengapa? Dia bahkan hampir membunuhmu!” Leon menggeram, mempertanyakan logika Arren yang berseberangan.
“Yah. Memang betul, tapi … Saya bahkan tidak dapat mengingat peristiwa peracunan itu,” Arren muram. Sebagian ingatannya telah hilang. Ia tidak mengetahui bahwa Venn telah menyuntikkan zat halusinogen untuk mengacaukan memorinya.
“Tidak masalah. Hukum Leon bukanlah hukum negara. Kau bisa menghukum siapa pun yang kau suka.”
Arren menggeleng. Tidak semudah itu mengambil nyawa seseorang. Namun, apa yang bisa ia lakukan?
Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
"Sebelum itu, jelaskan dulu, mengapa tadi Anda tiba-tiba menyeret saya ke dalam gudang?" tanya Arren sambil menunduk, untuk menyembunyikan ekspresi takut dan malu yang dirasakannya. Leon menarik alisnya, menganggap bodoh pertanyaan dari gadis yang telah menawan hatinya. "Kau bodoh atau tidak paham?" tanya Leon balik. “Apa maksud Anda?” "Aku sudah memperingatkan para pengawal agar menjagamu supaya tetap aman. Dan, apa yang tadi kusaksikan? Kau hampir patah tulang!" bentak Leon sambil mencengkram kedua lengan Arren yang tampak rapuh. “Aww ….” Seketika, Leon melepaskan cengkeramannya karena ia tahu bahwa Arren meringis kesakitan. Wajah gadis itu tampak pucat dan ketakutan. "Maaf, maksudku. Kau jangan membahayakan diri sendiri! Mengerti?" tegas Leon supaya Arren lebih berhati-hati di masa depan. "Baik, Tuan," sahut Arren patuh. Entah mengapa, perangai Leon tampak berbeda. Ia tidak lagi bersikap seenaknya. Apa ini? Apakah hati Arren mulai luluh kepadanya? Arren segera menepuk keras w
"Tugas terakhirmu adalah menjadi kambing hitam. Aku akan menciptakan sebuah cerita untuk melindungiku dan menyalahkanmu atas peracunan itu," ucap Venn dengan nada ancaman.Hillis bersimpuh dan memohon pada Venn agar tidak menjebaknya seperti itu. "Kasihanilah saya, Nyonya. Mana berani saya berbohong seperti itu?" Air mata Hillis mengalir deras dengan tubuh yang gemetar. "Kau akan menjadi orang yang bertanggung jawab, dan keselamatan keluargamu akan kujamin. Harus seperti itu!" tegas Venn tanpa ingin memberikan kesempatan untuk bernegosiasi. “Oh Tuhan!” pekiknya putus asa.Hillis memucat, ia dapat merasakan keputusasaan yang memenuhi hatinya. Namun, dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Keluarganya dan nyawanya berada di tangan Venn. Dia hanya bisa menuruti perintahnya."Ingat, Hilis," Venn menambahkan dengan nada tajam. "Jika rencana ini berhasil, keluargamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jika gagal, kalian akan menerima akibatnya."Hillis mengangguk dengan sedih semb
"Kapan dia akan sadar?" tanya Leon penuh kekhawatiran. "Dia akan cepat sadar, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Ini racun yang sama seperti yang pernah didapatkan oleh Nona Arren. kita sudah punya penawarnya," ucap dokter dengan nada yang meyakinkan."Hhhh.. Baiklah, terima kasih atas bantuanmu," kata Leon sambil berlalu. Ia sudah melaksanakan kewajibannya sebagai tuan rumah terhadap tanggungannya, saat ini, Leon harus kembali bekerja.Venn tidak mengetahui bahwa, cara Leon memperlakukannya sangat berbeda dengan Arren, ketika sama-sama sedang sekarat. Hanya sang dokter dan para pelayan yang mengetahui hal itu. Jika saja, Venn saat ini telah sadar, ia pasti sudah mengamuk dan menggila untuk menarik perhatian sang kekasih yang kehilangan bara cinta terhadapnya.*"Leon, apa yang terjadi? Kenapa mansion begitu gaduh?" tanya Ford yang baru saja turun dari mobil. Ia membawa beberapa botol minuman beralkohol terbaru untuk diuji oleh Leon.Bisnis Leon yang berhubungan dengan dunia malam, men
Arren memegang erat tangan gadis itu dan menuntunnya untuk duduk di gazebo terdekat. Ia menyuruh pelayan untuk membuatkan teh hangat supaya dapat menenangkannya. "Minumlah," ucap Arren lembut sambil menyodorkan secangkir teh hangat. Gadis itu tampak gemetar, dan menerima cangkir itu dengan penuh ketakutan. Sedetik kemudian, cangkir itu luput dari genggamannya. Prang! Cangkir terpecah, Arren terkejut, pengawal kembali bersiaga di dekat sang majikan. Namun, dengan ayunan tangan, Arren berhasil mengusir mereka kembali."Aku tidak apa-apa," ucapnya tegas. Arren memerintahkan para pengawalnya untuk menjauh, agar dapat memberi ruang yang tidak mengintimidasi bagi gadis tersebut. Lea tidak ingin situasinya menjadi semakin rumit.Arren kembali memfokuskan pandangannya pada sang gadis misterius, yang tak kunjung membuka identitasnya. "Apakah kau ingin terus bersikap seperti ini? Bagaimana aku bisa menolongmu, jika kau tak kunjung berbicara?" Arren mulai bersikap tegas pada gadis itu denga
Dalam kebuntuan penyelidikan oleh pihak kepolisian, Ford dan Leon merasa tertekan. Mereka tahu bahwa untuk mengungkap kebenaran di balik kericuhan itu, mereka membutuhkan dukungan dari para tamu yang menjadi saksi kunci. “Kau tahu, kan? Siapa yang tidak mengenalmu, Bos? Mereka takut salah bicara, dan malah diterkam dua binatang buas di luar sana,” Ford menyimpulkan keengganan para tamu untuk bersuara. Para tamu itu pasti tak ingin menambah beban masalah pada hidup mereka. Leonard Connor, terkenal sebagai pria paling berbahaya di ibu kota, sedangkan rivalnya, Napoli Toredo, juga tak kalah menyeramkan. Dalam dunia ini, orang yang waras dan berhati-hati akan menghindari hubungan dengan dua bos gengster ini secara sadar. Mereka tahu bahwa keterlibatan sekecil apapun dengan pria-pria berbahaya seperti Leonard Connor dan Napoli Toredo memiliki resiko besar bagi keselamatan hidup mereka. Dalam dunia kriminal, Leonard Connor dan Napoli Toredo bisa dikatakan sebagai nemesis, alias musuh be
KLANG! Sebuah peluru kembali melesat, namun, kali ini mengenai tiang tangga yang mengarah ke dalam kolam. Beruntung, Arren berhasil menghindar. Ia langsung menunduk dan merambat ke bebatuan yang berada tak jauh dari kolam. Teriakan dari sang pengawal berhasil membuatnya tersadar dari keterkejutan.Awalnya, Arren masih membatu setelah melihat gadis yang sedang bersamanya tiba-tiba ambruk dan mengeluarkan banyak darah."Arah jam sebelas!" teriak salah seorang pengawal yang terlihat sedang mencari sumber pemicu dari insiden mendadak ini. Atas petunjuk dari rekannya, pengawal lain bergegas menuju ke arah tersebut. Langkah mereka berderap menuju ke atas rooftop yang berhadapan langsung dengan bukit.DOR!!Suara tembakan balasan terarah ke bukit, setelah seorang pengawal melihat sekelabat bayangan yang tampak mencurigakan. Anggota pengawal lain tampak menuju ke kaki bukit. Mereka berencana untuk membekuk pelaku penyerangan secara langsung di sana. Ketegangan semakin merajai malam tragi
Arren yang pingsan, akhirnya sadar. Ia mencari Leon, namun, Poppy mengatakan bahwa tuannya itu sedang berada di ujung wilayah Canadak untuk membuat perhitungan dengan rivalnya, Napoli Toredo.Sudah menjadi rahasia umum bahwa perseteruan keduanya tidak ada habisnya, bahkan sejak ayah Leon meninggal. Benar kata pepatah, sahabat sejati bisa menjadi musuh mematikan ketika sudah tidak lagi sesuai visi.Bisnis kelab malam dan narkoba awalnya dijalankan oleh keluarga Connor dan Toredo secara akur dan saling mendukung. Namun, ketika ayah Leon jatuh sakit, pria itu mulai menguasai kerajaan bisnis sang ayah dan melenyapkannya. Baik ayahnya, maupun bisnis narkoba miliknya, sama-sama tidak meninggalkan jejak yang tersisa. Leon sangat membenci narkoba. Leon memiliki trauma masa kecil yang berhubungan dengan barang haram tersebut.Ketika ayah Leon sudah meninggal, ia akhirnya membumi-hanguskan akta perjanjian antara Connor dan Toredo, dan memutus akses kerjasama secara sepihak. Leon tidak pedul
Sudah seharian Leon pergi ke markas Napoli, Arren tidak melihatnya sama sekali sejak saat itu. Gadis itu tidak begitu mempedulikannya. Arren sangat membenci Leon. Bagaimana bisa pria itu begitu dingin dan kejam. Ia masih tidak dapat menerima fakta bahwa salah satu pengawalnya kritis dan sedang berjuang di kamar operasi akibat serangan Leon kemarin malam. Seharusnya, Leon tidak menyerang pengawal Arren yang juga merupakan orang dalamnya sendiri. Seharusnya, Leon fokus melakukan pencarian pada penembak jitu yang telah mengancam nyawanya. Bagaimana bisa pola pikir seseorang menjadi tidak praktis seperti itu? Arren benar-benar tidak mengerti. "Bagaimana keadaan orang itu?" tanya Arren pada salah seorang pengawal yang bertugas hari ini. "Ia sudah melewati masa kritis, Nona. Anda tidak perlu khawatir," sahutnya. Arren merasa cukup lega mendengarnya. Ia benar-benar harus keluar dari neraka dunia seperti ini. Arren sudah tidak tahan lagi untuk berurusan dengan kekejaman Leon lebih dal
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.