Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Dalam kebuntuan penyelidikan oleh pihak kepolisian, Ford dan Leon merasa tertekan. Mereka tahu bahwa untuk mengungkap kebenaran di balik kericuhan itu, mereka membutuhkan dukungan dari para tamu yang menjadi saksi kunci. “Kau tahu, kan? Siapa yang tidak mengenalmu, Bos? Mereka takut salah bicara, dan malah diterkam dua binatang buas di luar sana,” Ford menyimpulkan keengganan para tamu untuk bersuara. Para tamu itu pasti tak ingin menambah beban masalah pada hidup mereka. Leonard Connor, terkenal sebagai pria paling berbahaya di ibu kota, sedangkan rivalnya, Napoli Toredo, juga tak kalah menyeramkan. Dalam dunia ini, orang yang waras dan berhati-hati akan menghindari hubungan dengan dua bos gengster ini secara sadar. Mereka tahu bahwa keterlibatan sekecil apapun dengan pria-pria berbahaya seperti Leonard Connor dan Napoli Toredo memiliki resiko besar bagi keselamatan hidup mereka. Dalam dunia kriminal, Leonard Connor dan Napoli Toredo bisa dikatakan sebagai nemesis, alias musuh be
KLANG! Sebuah peluru kembali melesat, namun, kali ini mengenai tiang tangga yang mengarah ke dalam kolam. Beruntung, Arren berhasil menghindar. Ia langsung menunduk dan merambat ke bebatuan yang berada tak jauh dari kolam. Teriakan dari sang pengawal berhasil membuatnya tersadar dari keterkejutan.Awalnya, Arren masih membatu setelah melihat gadis yang sedang bersamanya tiba-tiba ambruk dan mengeluarkan banyak darah."Arah jam sebelas!" teriak salah seorang pengawal yang terlihat sedang mencari sumber pemicu dari insiden mendadak ini. Atas petunjuk dari rekannya, pengawal lain bergegas menuju ke arah tersebut. Langkah mereka berderap menuju ke atas rooftop yang berhadapan langsung dengan bukit.DOR!!Suara tembakan balasan terarah ke bukit, setelah seorang pengawal melihat sekelabat bayangan yang tampak mencurigakan. Anggota pengawal lain tampak menuju ke kaki bukit. Mereka berencana untuk membekuk pelaku penyerangan secara langsung di sana. Ketegangan semakin merajai malam tragi
Arren yang pingsan, akhirnya sadar. Ia mencari Leon, namun, Poppy mengatakan bahwa tuannya itu sedang berada di ujung wilayah Canadak untuk membuat perhitungan dengan rivalnya, Napoli Toredo.Sudah menjadi rahasia umum bahwa perseteruan keduanya tidak ada habisnya, bahkan sejak ayah Leon meninggal. Benar kata pepatah, sahabat sejati bisa menjadi musuh mematikan ketika sudah tidak lagi sesuai visi.Bisnis kelab malam dan narkoba awalnya dijalankan oleh keluarga Connor dan Toredo secara akur dan saling mendukung. Namun, ketika ayah Leon jatuh sakit, pria itu mulai menguasai kerajaan bisnis sang ayah dan melenyapkannya. Baik ayahnya, maupun bisnis narkoba miliknya, sama-sama tidak meninggalkan jejak yang tersisa. Leon sangat membenci narkoba. Leon memiliki trauma masa kecil yang berhubungan dengan barang haram tersebut.Ketika ayah Leon sudah meninggal, ia akhirnya membumi-hanguskan akta perjanjian antara Connor dan Toredo, dan memutus akses kerjasama secara sepihak. Leon tidak pedul
Sudah seharian Leon pergi ke markas Napoli, Arren tidak melihatnya sama sekali sejak saat itu. Gadis itu tidak begitu mempedulikannya. Arren sangat membenci Leon. Bagaimana bisa pria itu begitu dingin dan kejam. Ia masih tidak dapat menerima fakta bahwa salah satu pengawalnya kritis dan sedang berjuang di kamar operasi akibat serangan Leon kemarin malam. Seharusnya, Leon tidak menyerang pengawal Arren yang juga merupakan orang dalamnya sendiri. Seharusnya, Leon fokus melakukan pencarian pada penembak jitu yang telah mengancam nyawanya. Bagaimana bisa pola pikir seseorang menjadi tidak praktis seperti itu? Arren benar-benar tidak mengerti. "Bagaimana keadaan orang itu?" tanya Arren pada salah seorang pengawal yang bertugas hari ini. "Ia sudah melewati masa kritis, Nona. Anda tidak perlu khawatir," sahutnya. Arren merasa cukup lega mendengarnya. Ia benar-benar harus keluar dari neraka dunia seperti ini. Arren sudah tidak tahan lagi untuk berurusan dengan kekejaman Leon lebih dal
Arren yang sedang telanjang tampak terkejut dengan kehadiran Leon. Bukankah, pria itu sudah mati? Atau belum? "Le--leon? Apa yang kau lakukan jam segini?" Arren menutup tubuh polosnya dengan kedua tangannya. Leon, secara otomatis, membanting pintu yang tadi dibukanya. Ia melangkah dengan gusar menuju ke arah gadis itu, wajahnya memerah, napasnya menderu. Arren sepertinya telah memancing insting binatang Leon sehingga tanpa sadar menjadikan dirinya mangsa secara sukarela. "Kau sedang menungguku?" bisik Leon dengan cengkeraman yang membuat bulu kuduk Arren meremang. "Ti--tidak. Aku baru saja selesai mandi," sahut Arren dengan kaki lemas, karena ia pun tak dapat menahan gejolak hasrat yang mulai merayapinya. "Hm… Benarkah?" Leon mulai berbisik lembut, kemudian melancarkan serangan di lehernya. Leon mengecupnya perlahan, kemudian bermain-main dengan inti dirinya yang tak tertutup sehelai kain-pun. Jemari Leon mulai menyusup, menyebabkan kenikmatan yang tak pernah Arren bayangkan seb
Arren terperanjat, ia tak menyangka bahwa Leon memiliki bakat memasak yang tersembunyi. Sebagai seorang wanita, Arren merasa kalah saing. "Kau bercanda, kan?" Arren tampak tak mempercayai perkataan Leon. "Apakah bercanda memang seperti itu?" Leon bertanya balik, karena tidak pernah melakukan candaan sepanjang hidupnya. "Entahlah," Arren malas menjawab pertanyaan Leon yang aneh. Hidup pria itu memang tidak tampak normal. Tidak heran jika ia tak pernah melakukan candaan sepanjang hidupnya. "Kalau mau suka, aku akan sering memasakkan steak untukmu," lanjutnya lagi, kemudian mengelap sudut bibirnya dengan sapu tangan karena telah menyelesaikan makanannya. "Y--ya??" Arren tak percaya dengan pendengarannya. "Kau tidak suka?" tanya Leon lagi. "Suka.. Suka..," Arren tak dapat menyembunyikan seleranya. Leon, pria itu benar-benar sesuai seleranya, dari segala hal, kecuali sikapnya di awal pertemuan dengannya. "Baiklah,"Makan pagi menjelang siang milik Arren berlalu dengan suasana yang
Leon sedikit terkejut dengan permintaan Arren untuk pergi berlibur. Namun, ia berusaha untuk menyembunyikan kekecewaannya. Leon merasa, menyembunyikan Arren di wilayahnya adalah keputusan yang tepat. Leon tak ingin ada orang lain yang mengetahui maupun mendambakan kecantikan Arren yang membuatnya tergila-gila.Leon mengambil napas dalam-dalam, mencoba untuk memahami keinginan Arren. Ia tak bisa membiarkan Arren merasa bosan maupun tersiksa dalam menjalin hubungan dengannya. Meski memang niat awalnya seperti itu. Entah mengapa, Leon menjadi kebingungan dengan kontradiksi emosi dan rasionalitasnya yang seakan berada pada garis yang berbeda."Baiklah, jika itu yang kau inginkan," ucap Leon dengan nada yang berat. Pria itu akhirnya mengalah, dan memilih untuk mengabulkan permintaan wanitanya.“Benarkah? Bisakah kita pergi ke ibu kota?” tanya Arren kemudian.Wajah Leon yang awalnya ramah, berubah marah. “Apa kau ingin melarikan diri dariku?” Kali ini, Leon bangkit dari tidurnya. Ia mem
Bugh!Sebuah bola basket hampir mengenai kepala Arren, beruntung, segera ditepis oleh Leon, meski akhirnya pria itu mengalami cedera ringan pada otot tangannya.Leon meringis menahan sakit, namun, ia tidak menampakkannya dengan jelas. Arren cukup menyadari ada yang tidak beres dengan gelagatnya.“Tuan, Nyonya, Maafkan kami. Nak, minta maaflah pada paman ini,” ucap seorang wanita yang tampaknya sebaya dengan Leon.“Maaf, Paman,” ucap seorang anak laki-laki yang tak sengaja melemparkan bola basket ke arah Arren dan Leon. Anak itu sebenarnya hanya ingin mencoba ayunan tangannya agar terampil, namun, ia melupakan lokasi ideal dan melemparnya sembarangan.“Mama sudah bilang kan? Bermainnya di lapangan, jangan di jalan!” dengus ibunya sambil melirik ke arah anaknya. "Iya, Ma," sahut sang anak laki-laki yang berusia sekitar delapan tahun itu dengan lesu. “Tidak masalah. Berhati-hatilah lain kali,” ucap Leon yang tak ingin memperpanjang urusan dengan kedua orang asing tersebut.Arren memand
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.